“.
. . . Singsingkan lengan baju dan bersungguh-sungguhlah menggapai impian.
Karena kemuliaan tidak akan bisa diraih dengan kemalasan ”
(Syair
Sayyid Ahmad Hasyimi )
Sebuah toga hitam berdebu.
Tergeletak dengan penuh ketidakberdayaan di samping tempat tidurku. Toga yang
kuperjuangkan selama hampir 4 tahun di kampus. Toga yang selalu jadi tuntutan
kedua orang tuaku yang terus-terusan berharap agar anak sulungnya menjadi
seorang sarjana; kaum cendikiawan, terpelajar di Ibu kota, Jakarta. Entah,
sudah sejak beberapa bulan semenjak wisuda selesai kujalani. Toga itu juga tak
enggak beranjak dari sisi tempat tidurku. Warna yang hitam berkilat ketika
kupakai dengan bangga di depan Rektor dan Dekan hanya tinggal kelapukan oleh debu-debu
yang dengan serakah menutupi warna hitam kegagahannya. Sungguh tak enak
dipandang dengan keadannya seperti itu. Tak mencerminkan bahwa dirinya adalah
benda tersakral bagi kami yang terpaksa merantau karena mencari ilmu. Meski
jarak jauh dan kejam hingga ke kota sebesar Jakarta.
Samar-samar dalam kebimbangan yang
muncul ketika kesenangan berlalu di hari selepas wisuda. Kucampakkan toga itu
di samping tempat tidur. Tak puas rasanya aku dengan hasil yang kudapat selama
menjadi mahasiswa di kampus megah di Jakarta. Sebuah toga ini seakan membuat
diriku malas dengan keadaan yang hanya menuntut kami para pencari ilmu untuk
bersusah payah melakukan riset dan penelitian hanya demi sebuah “Toga”. Lalu
kuajaklah dia bercakap-cakap dalam sebuah percakapan seorang kawan. Yang
sama-sama merasakan kegelisahan dalam mencari pengetahuan dalam sebuah negeri
streotif, Indon.
“Hai toga. Kenapa dikau diam saja.
Tak pernahkah dirimu ikut berpikir seperti aku. Mengenai kelanjutan jalan
kehidupan yang harus ditempuh setelah upacara serah terima gelar melalui
wisuda?”, kembali toga itu hanya diam. Bahkan tersenyum sedikit dengan wajah
sinisnya yang tertutup debu kamar.
“Apakah kau bangga? Dengan gelar
predikat mahasiswa terbaik yang kita peroleh. Bahkan dengan membahananya
tepuk-tangan ketika aku dan dirimu maju berdua di depan Aula kebesaran
Universitas untuk memberikan sambutan”, kembali kuulangi pertanyaanku pada toga
ini.
“Hmmmmmmm”, desah panjang dari
napas sang toga bisa kudengar. Sama seperti desahan para intelectuil yang tidak bisa tidur selama 1 minggu karena
dipusingkan oleh sebuah dialektika teori yang harus ia bantah dan kembangkan.
“Aku sebenarnya ingin bercerita
sebuah kisah padamu. Hey Sarjana! Kaum intelektual
terpelajar yang telah selesai menyelesaikan gelar sarjana dengan nilai Summa Cumlaude dan ijazah yang penuh
nilai A berjejer di ijazah. Yang selalu disibukkan dengan buku dan perdebatan
ilmiah di perpustakaan. Yang selalu dibanggakan dengan beasiswa yang kau terima
setiap awal tahun perkuliahan dari berbagai instansi pemerintah dan yayasan.
Apakah itu yang kau cari? Selama 4 tahun duduk dan belajar dalam ruangan ber-AC
dengan segala fasilitas pengetahuan yang disubsidi oleh negara”, panjang lebar
sebuah toga itu mengeluarkan desah-kegundahannya kepadaku.
“Tidak toga, aku pun bimbang dengan
keadaanku yang seperti ini. Hanya dituntut oleh sistem agar mendapatkan nilai
dan predikat terbaik. Lalu bisa dengan mudah mendapatkan sebuah pekerjaan yang
bergengsi dan bonafit di hadapan
keluargaku. Tetapi, tak pernah kurasakan kegamangan hatiku yang begitu besarnya
ketika wisuda berlangsung dulu. Sebuah kontradiksi antara akal, nalar, dan
perasaan; aku sebagai pelajar dan anak bangsa yang seharusnya malu dengan gelar
dan amanah sarjana di negeri yang penuh dengan kontradiksi kontekstual seperti
ini”.
“Apakah kau puas?”, tuntutnya.
“Tidak-tidak sama sekali toga.
Bahkan sekarang aku mulai merasa gerah dengan keadaan. Mungkin jika orang
bilang sarjana itu kaum terpelajar. Tetapi bagiku itu adalah beban berat yang
harus ditanggung oleh pemuda/i bangsa yang bisa mendapatkan amanah dari segenap
jantung bangsa. Mungkin itu dialektika idealismeku. Utopis dan penuh dengan ketidakmapanan
dalam melihat keadaan dalam sistem yang diterapkan dalam education stability; mapan dalam pengetahuan tetapi buta dalam
kehidupan nyata”, kusahut pertanyaannya dengan penuh disposisi dialektis
tentang kehidupan.
“Hahahaha, kau ini begitu lucu. Anak
muda yang penuh idealisme tetapi masih saja mau menuruti sebuah sistem yang
mengekangmu dalam sebuah nilai-nilai normatif; tentang indah dan betapa
harmonisnya hidup. Kau tahu, bahkan Soe dulu masih mahasiswa. Pernah bilang
kepada salah seorang temanku yang menemaninya dulu wisuda. Bahwa realitas
kehidupan civitas academika itu tak
lebih dari deskripsi dari tiga kata; buku, pesta dan cinta. Tetapi justru
mereka bingung dan berlaku bagai tuna
rungu dan tuna wicara ketika
harus duduk dan dihadapkan dengan banyaknya persoalan kehidupan nyata ketika
lepas dari kehidupan kampus yang penuh dengan kemapanan dan kesenangan”,
kembali sang toga menusuk batinku dengan diksinya yang tegas dan lugas.
“Ah tidaklah begitu kawanku.
Bukankah kau tadi mau bercerita tentang sebuah kisah. Kenapa tidak kau
ceritakan saja. Malah dengan berbagai macam retoris kau tutup-tutupi persoalan
nyata yang seharusnya kami ketahui sebagai academika.
Jangan terlalu kau pancing perasaanku yang kini sudah tak tahan dengan
keadaan”.
“Baiklah, duduk dan diamlah engkau
di ruangan ini. Anggaplah saja ini adalah bilik perenungan sebagaimana Sang
Maestro pembebas Nelson Mandela merenungkan pembebasan para budak kulit hitam
yang ditindas di Afrika Selatan. Anggaplah saja dirimu Sang Renaisance peradaban manusia Muhammad
SAW yang berdiam diri di kegelapan goa Hira’ dalam rangka menanti wahyu Tuhan
dalam membebaskan kebodohan yang berabad-abad karena mereka menjual Nabi
sebelumnya ISA dengan beberapa keping perak. Dan diamlah saja engkau jangan
membentak atau bertindak jauh lebih pintar dengan akal. Sebab tidak semua hal
bisa dipecahkan dengan logika manusia. Sebagaimana yang diajarkan Nabiyullah
Khidir kepada Musa mengenai kekuasaan ilahiyah milik Tuhan, penguasa segenap
alam bahwa tidak selamanya logika bisa menemukan kebenaran”.
“Cukup!, langsung saja kita ke poin
persoalannya saja. Jangan terlalu panjang engkau ber-narasi untuk membuat
kegalauan yang semakin dalam dalam diriku”, Kubentak dia dengan kegalauan yang
semakin menjadi-jadi dalam batinku.
“Baiklah, karena kau merasa sudah
cukup siap. Aku akan mulai menceritakan tentang kisah seorang anak manusia yang
mencari ilmu. Sebelum itu aku ingin kau melihat lampu yang menerangi wajah kita
berdua di atas langit-langit kamar ini. Lampu itu begitu berjasa bukan. Sebab
karena lampu lah anak-anak bisa belajar dan menuntut ilmu ketika matahari
terbenam tanpa takut terbakar karena api, terbatuk karena asap, atau bimbang
ketika kegelapan datang. Tahukah kau, sobat. Siapa penemu lampu itu. Orang
kenal dia sebagai Edison Sang Pembuat Lampu. Pada awalnya dia adalah anak yang
bodoh dan tidak bisa diharapkan. Bahkan gurunya sendiri lah yang mengantarkan
dia pulang ke rumah orang tuanya karena ketidakmampuan “otaknya” untuk menyerap
pelajaran di sekolah. Nilai-nilai yang didapat setiap ulangan tidak lebih dari
angka-angka merah. Bahkan teman-teman sekelasnya bilang dia adalah Edison
Goblok, orang tak punya harapan masa depan. Sebab, sehari-hari kerjanya hanya
saja disibukkan dengan peralatan tukang milik Ayahnya. Tetapi kesabaran dan
ketabahan hati yang diperolehnya dalam pengalaman lah yang mengajarkan dirinya
untuk terus berusaha hingga berhasil menemukan lampu.”
“Hmmmm, itu wajar. Edison punya
waktu lebih untuk mengerjakan sesuatu dan dia juga punya waktu yang lebih untuk
berbuat karena tidak sekolah”, aku membantah.
“Tunggu, jangan dirimu potong
ceritaku ini. Belum selesai aku bercerita sudah kau potong. Kalau begini sama
saja dirimu dengan para kaum terpelajar di negeri ini. Banyak berbicara tetapi
enggan dalam mendengarkan. Janganlah merasa pintar dan terpelajar meski title sudah bertambah di belakang nama.
Orang yang jumawa dan enggan
mendengarkan hanya membuat kejatuhan dirinya ke dalam jurang kebodohan semakin
dekat. Sabar dan dengarkan saja”, dengan bahasa yang bijaksana toga ini kembali
menenangkan emosiku.
“Edison memang dikeluarkan dari
sekolah. Bahkan dengan cap sebagai pelajar terbodoh yang pernah ada. Tetapi,
sesungguhnya karena ada sistem sekolah lah terkadang orang-orang jenius jadi
bodoh dan terpaksa dituntut mengejar score
daripada menemukan sesuatu. Dan karena bekal semangat sebagai more stupid of all. Edison berhasil
menemukan lampu. Pada awalnya ia terinspirasi dengan kisah ibunya yang
bercerita tentang jasa “Matahari” yang selalu terbit dan memberi semangat bagi
manusia untuk bangun dari kegelapan dan kembali mengejar mimpinya. Itulah
inspirasi Edison, meski 999 kali gagal dia tetap yakin bahwa suatu hari ia
mampu menciptakan matahari yang bisa membawa keluar manusia dari kegelapan jati
dirinya. Matahari yang mampu mengajarkan setiap manusia tentang arti dari
pendeknya hidup tanpa bergantung pada sebuah gelar ke-Maha Kuasa-an sebagai
kaum terpelajar”, sang toga kembali menatap wajahku.
“Aku tak tahu toga. Aku tak tahu
apa yang harus kulakukan sekarang. Haruskah aku menemukan matahariku dalam
kerja keras dan pengetahuan yang kudapat selama di kampus. Haruskah aku ikut
menjadi layang-layang terpelajar yang justru kalah dengan pemuda yang dapat
hidup dengan sebuah ladang jagung dalam puisi WS. Renra. Dan aku tidak ingin
menjadi seorang lelaki lusuh yang menggigit ilalang dengan MAP berwarna merah
jambu yang mengelilingi kantor demi kantor untuk mendapatkan pekerjaan. Aku
ingin berbuat toga. Tidak ingin semata-mata menjadi orang yang sama yang harus
terdiam karena kemiskinan dan ketidakmampuan mereka untuk menemukan prinsip
hidup dan jati diri. Aku ingin seperti Edison yang kau ceritakan. Aku ingin
memberikan hadiah yang tidak hanya sebuah ijazah bagi ayah dan ibuku. Tidak
hanya sebuah gelar yang begitu prestise
orang panggil aku ketika mengisi sebuah forum ilmiah. Itu hanya kesemuan belaka.
Karena aku ingin jadi EKO yang pertama dipanggil sebagai orang Indonesia yang
punya andil di dunia. Aku ingin jadi EKO yang punya kontribusi dan manfaat bagi
peradaban umat manusia. Dan aku adalah EKO yang tidak hanya dikenang
sebagaimana ratusan orang-orang yang bernama EKO yang ada di negaraku.”
Toga itu pun kembali hening. Namun
keheningannya kini tampak berbeda dari balik debu tebal yang menutupi kegagahan
warna hitam di tubuhnya. Ia tampak tersenyum dan di dalam senyumnya itu ia
seolah-olah berkata, “Kau telah menemukan mataharimu, sobatku. Semoga dengan
matahari yang ada di dalam dirimu ini. Bisa kau berikan juga matahari-matahari
lainnya kepada orang-orang yang ada di sekelilingmu. Kepada bangsa dan
negaramu. Dan kepada generasi selanjutnya yang kelak juga akan tersenyum
sebagaimana aku yang berbangga karena dikenakan oleh orang seperti dirimu”. (*)
Ciputat,
25 Maret 2013
Eko
Indrayadi
“Ini
sebuah toga tidak hanya sebuah lambang pembeda antara kita dan para saudara
yang ada di luar sana. Sebab Dia (sebuah toga) adalah bentuk tanggungjawab yang
seharusnya menjadi bentuk keikutsertaan kita terhadap segala persoalan tentang
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di Indonesia dan dunia.”