Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

True Story About Blue (X1-01)


Kumal dan sedikit penuh keriput. Dirimu yang kini tergeletak tak berdaya melawan kuasa waktu dan panjangnya masa. Dulu warnamu begitu indah. Penuh polesan artistik yang diciptakan oleh para Profesor di negeri antah brantah nun jauh di sana. Tidak segarang dulu aku menamaimu. Ketika ingat perjumpaan kita di tanah perantauan. Di kota pinggiran metropolitan; Ciputat, kota kecil yang selalu dirindukan oleh mereka yang merantau ke Ibu Kota untuk sebuah kepastian.

Dulu selepas pergi meninggalkan kota kelahiran. Tak pernah kuharap kita bakal berjumpa. Perjumpaan yang sedikit keukeuh di emperan toko yang jarang sekali diperhatikan orang-orang yang mengejar waktu di kota Jakarta. Entah, aku tak tahu apa yang membuat diriku tergerak melihat dirimu yang berada di emperan toko tersebut. Di discount!!! Begitulah kata-kata besar yang terpampang di sana. Kau tahu saja membuat hatiku tergerak untuk mengambilmu dari tempat ini. Mungkin saja kau tahu, bahwa aku baru saja terima pesangon bulanan hasil memeras keringat bersama tulisan.

Pertama aku mencoba menolak, sebab kutahu tak kubutuhkan dirimu selepas kupunya si Merah yang sedia menemaniku dari kampung. Tetapi, samar kudengar rengekanmu yang begitu pilu dari kotak kaca. “Tolong aku, kasihani aku, ambil diriku. Bawa aku bersamamu”, ujarmu penuh mata pilu berkaca-kaca.

Luluh juga hatiku, mungkin aku sedang butuh dirimu untuk kujadikan asisten pribadiku. Teman yang dibutuhkan ketika aku rindu kampung halaman di kala malam menerpa hari-hari yang begitu panjang dalam menempuh pendidikan di kota.

Kudekati Sang penjaga. Kukatakan bahwa aku hendak mengambilmu. Oh, tidak meminangmu sepertinya lebih tepat. Tetapi sayang uang pesangonku kurang. Tapi sang pelayan tersenyum ramah. Entah karena ia belum mendapatkan satu pelanggan jua hari ini. Atau karena berita baik yang ia terima soal turunnya harga dolar di pasaran. Ia mengikhlaskan kau kubayar meski kurang dari harga yang ditawarkan.

Dan tak terasa sudah hampir tiga tahun. Setia dirimu tergolek lemah di kamar kosan. Memberi nuansa yang begitu berbeda. Menggantikan si Merah yang terkapar sakit karena jatuh dari kantongku selepas kuliah setahun lalu. Kau begitu setia, tak pernah dirimu merengek sedikit pun meski setiap pagi kuperintahkan membangunkan diriku sebelum Subuh. Hingga memberiku kabar tentang kabar kampung yang jaraknya sekitar 1000 KM2. Sedikit mengobati kerinduanku.

Tak tahu berapa lama lagi umurmu, kawan. Setia sekali dirimu menemaniku. Meski begitu lama waktu panjang melelahkan diantara kita berdua. Kulihat senyummu pagi ini masih setia duduk di dekat laptopku. Menemaniku bercumbu dengan Skripsi yang sempat membuatku sedih karena tuntutan wisuda yang datang lewat dirimu. Tetapi, tetap saja wajah penuh semangatmu meneriakiku setiap pagi selepas tidur. Bahwa jangan pernah menyerah karena satu alasan yang tak diperlukan bagi perantau seperti dirimu . . . .

Terimakasih Blue, Salam hangat buat drimu.
(My Old Gadgets J)


0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009