Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Idealisme Sebuah Toga


“. . . . Singsingkan lengan baju dan bersungguh-sungguhlah menggapai impian. Karena kemuliaan tidak akan bisa diraih dengan kemalasan ”
(Syair Sayyid Ahmad Hasyimi )

Sebuah toga hitam berdebu. Tergeletak dengan penuh ketidakberdayaan di samping tempat tidurku. Toga yang kuperjuangkan selama hampir 4 tahun di kampus. Toga yang selalu jadi tuntutan kedua orang tuaku yang terus-terusan berharap agar anak sulungnya menjadi seorang sarjana; kaum cendikiawan, terpelajar di Ibu kota, Jakarta. Entah, sudah sejak beberapa bulan semenjak wisuda selesai kujalani. Toga itu juga tak enggak beranjak dari sisi tempat tidurku. Warna yang hitam berkilat ketika kupakai dengan bangga di depan Rektor dan Dekan hanya tinggal kelapukan oleh debu-debu yang dengan serakah menutupi warna hitam kegagahannya. Sungguh tak enak dipandang dengan keadannya seperti itu. Tak mencerminkan bahwa dirinya adalah benda tersakral bagi kami yang terpaksa merantau karena mencari ilmu. Meski jarak jauh dan kejam hingga ke kota sebesar Jakarta.
Samar-samar dalam kebimbangan yang muncul ketika kesenangan berlalu di hari selepas wisuda. Kucampakkan toga itu di samping tempat tidur. Tak puas rasanya aku dengan hasil yang kudapat selama menjadi mahasiswa di kampus megah di Jakarta. Sebuah toga ini seakan membuat diriku malas dengan keadaan yang hanya menuntut kami para pencari ilmu untuk bersusah payah melakukan riset dan penelitian hanya demi sebuah “Toga”. Lalu kuajaklah dia bercakap-cakap dalam sebuah percakapan seorang kawan. Yang sama-sama merasakan kegelisahan dalam mencari pengetahuan dalam sebuah negeri streotif, Indon.

“Hai toga. Kenapa dikau diam saja. Tak pernahkah dirimu ikut berpikir seperti aku. Mengenai kelanjutan jalan kehidupan yang harus ditempuh setelah upacara serah terima gelar melalui wisuda?”, kembali toga itu hanya diam. Bahkan tersenyum sedikit dengan wajah sinisnya yang tertutup debu kamar.
“Apakah kau bangga? Dengan gelar predikat mahasiswa terbaik yang kita peroleh. Bahkan dengan membahananya tepuk-tangan ketika aku dan dirimu maju berdua di depan Aula kebesaran Universitas untuk memberikan sambutan”, kembali kuulangi pertanyaanku pada toga ini.
“Hmmmmmmm”, desah panjang dari napas sang toga bisa kudengar. Sama seperti desahan para intelectuil yang tidak bisa tidur selama 1 minggu karena dipusingkan oleh sebuah dialektika teori yang harus ia bantah dan kembangkan.
“Aku sebenarnya ingin bercerita sebuah kisah padamu. Hey Sarjana! Kaum intelektual terpelajar yang telah selesai menyelesaikan gelar sarjana dengan nilai Summa Cumlaude dan ijazah yang penuh nilai A berjejer di ijazah. Yang selalu disibukkan dengan buku dan perdebatan ilmiah di perpustakaan. Yang selalu dibanggakan dengan beasiswa yang kau terima setiap awal tahun perkuliahan dari berbagai instansi pemerintah dan yayasan. Apakah itu yang kau cari? Selama 4 tahun duduk dan belajar dalam ruangan ber-AC dengan segala fasilitas pengetahuan yang disubsidi oleh negara”, panjang lebar sebuah toga itu mengeluarkan desah-kegundahannya kepadaku.
“Tidak toga, aku pun bimbang dengan keadaanku yang seperti ini. Hanya dituntut oleh sistem agar mendapatkan nilai dan predikat terbaik. Lalu bisa dengan mudah mendapatkan sebuah pekerjaan yang bergengsi dan bonafit di hadapan keluargaku. Tetapi, tak pernah kurasakan kegamangan hatiku yang begitu besarnya ketika wisuda berlangsung dulu. Sebuah kontradiksi antara akal, nalar, dan perasaan; aku sebagai pelajar dan anak bangsa yang seharusnya malu dengan gelar dan amanah sarjana di negeri yang penuh dengan kontradiksi kontekstual seperti ini”.
“Apakah kau puas?”, tuntutnya.
“Tidak-tidak sama sekali toga. Bahkan sekarang aku mulai merasa gerah dengan keadaan. Mungkin jika orang bilang sarjana itu kaum terpelajar. Tetapi bagiku itu adalah beban berat yang harus ditanggung oleh pemuda/i bangsa yang bisa mendapatkan amanah dari segenap jantung bangsa. Mungkin itu dialektika idealismeku. Utopis dan penuh dengan ketidakmapanan dalam melihat keadaan dalam sistem yang diterapkan dalam education stability; mapan dalam pengetahuan tetapi buta dalam kehidupan nyata”, kusahut pertanyaannya dengan penuh disposisi dialektis tentang kehidupan.
“Hahahaha, kau ini begitu lucu. Anak muda yang penuh idealisme tetapi masih saja mau menuruti sebuah sistem yang mengekangmu dalam sebuah nilai-nilai normatif; tentang indah dan betapa harmonisnya hidup. Kau tahu, bahkan Soe dulu masih mahasiswa. Pernah bilang kepada salah seorang temanku yang menemaninya dulu wisuda. Bahwa realitas kehidupan civitas academika itu tak lebih dari deskripsi dari tiga kata; buku, pesta dan cinta. Tetapi justru mereka bingung dan berlaku bagai tuna rungu dan tuna wicara ketika harus duduk dan dihadapkan dengan banyaknya persoalan kehidupan nyata ketika lepas dari kehidupan kampus yang penuh dengan kemapanan dan kesenangan”, kembali sang toga menusuk batinku dengan diksinya yang tegas dan lugas.
“Ah tidaklah begitu kawanku. Bukankah kau tadi mau bercerita tentang sebuah kisah. Kenapa tidak kau ceritakan saja. Malah dengan berbagai macam retoris kau tutup-tutupi persoalan nyata yang seharusnya kami ketahui sebagai academika. Jangan terlalu kau pancing perasaanku yang kini sudah tak tahan dengan keadaan”.
“Baiklah, duduk dan diamlah engkau di ruangan ini. Anggaplah saja ini adalah bilik perenungan sebagaimana Sang Maestro pembebas Nelson Mandela merenungkan pembebasan para budak kulit hitam yang ditindas di Afrika Selatan. Anggaplah saja dirimu Sang Renaisance peradaban manusia Muhammad SAW yang berdiam diri di kegelapan goa Hira’ dalam rangka menanti wahyu Tuhan dalam membebaskan kebodohan yang berabad-abad karena mereka menjual Nabi sebelumnya ISA dengan beberapa keping perak. Dan diamlah saja engkau jangan membentak atau bertindak jauh lebih pintar dengan akal. Sebab tidak semua hal bisa dipecahkan dengan logika manusia. Sebagaimana yang diajarkan Nabiyullah Khidir kepada Musa mengenai kekuasaan ilahiyah milik Tuhan, penguasa segenap alam bahwa tidak selamanya logika bisa menemukan kebenaran”.
“Cukup!, langsung saja kita ke poin persoalannya saja. Jangan terlalu panjang engkau ber-narasi untuk membuat kegalauan yang semakin dalam dalam diriku”, Kubentak dia dengan kegalauan yang semakin menjadi-jadi dalam batinku.
“Baiklah, karena kau merasa sudah cukup siap. Aku akan mulai menceritakan tentang kisah seorang anak manusia yang mencari ilmu. Sebelum itu aku ingin kau melihat lampu yang menerangi wajah kita berdua di atas langit-langit kamar ini. Lampu itu begitu berjasa bukan. Sebab karena lampu lah anak-anak bisa belajar dan menuntut ilmu ketika matahari terbenam tanpa takut terbakar karena api, terbatuk karena asap, atau bimbang ketika kegelapan datang. Tahukah kau, sobat. Siapa penemu lampu itu. Orang kenal dia sebagai Edison Sang Pembuat Lampu. Pada awalnya dia adalah anak yang bodoh dan tidak bisa diharapkan. Bahkan gurunya sendiri lah yang mengantarkan dia pulang ke rumah orang tuanya karena ketidakmampuan “otaknya” untuk menyerap pelajaran di sekolah. Nilai-nilai yang didapat setiap ulangan tidak lebih dari angka-angka merah. Bahkan teman-teman sekelasnya bilang dia adalah Edison Goblok, orang tak punya harapan masa depan. Sebab, sehari-hari kerjanya hanya saja disibukkan dengan peralatan tukang milik Ayahnya. Tetapi kesabaran dan ketabahan hati yang diperolehnya dalam pengalaman lah yang mengajarkan dirinya untuk terus berusaha hingga berhasil menemukan lampu.”
“Hmmmm, itu wajar. Edison punya waktu lebih untuk mengerjakan sesuatu dan dia juga punya waktu yang lebih untuk berbuat karena tidak sekolah”, aku membantah.
“Tunggu, jangan dirimu potong ceritaku ini. Belum selesai aku bercerita sudah kau potong. Kalau begini sama saja dirimu dengan para kaum terpelajar di negeri ini. Banyak berbicara tetapi enggan dalam mendengarkan. Janganlah merasa pintar dan terpelajar meski title sudah bertambah di belakang nama. Orang yang jumawa dan enggan mendengarkan hanya membuat kejatuhan dirinya ke dalam jurang kebodohan semakin dekat. Sabar dan dengarkan saja”, dengan bahasa yang bijaksana toga ini kembali menenangkan emosiku.
“Edison memang dikeluarkan dari sekolah. Bahkan dengan cap sebagai pelajar terbodoh yang pernah ada. Tetapi, sesungguhnya karena ada sistem sekolah lah terkadang orang-orang jenius jadi bodoh dan terpaksa dituntut mengejar score daripada menemukan sesuatu. Dan karena bekal semangat sebagai more stupid of all. Edison berhasil menemukan lampu. Pada awalnya ia terinspirasi dengan kisah ibunya yang bercerita tentang jasa “Matahari” yang selalu terbit dan memberi semangat bagi manusia untuk bangun dari kegelapan dan kembali mengejar mimpinya. Itulah inspirasi Edison, meski 999 kali gagal dia tetap yakin bahwa suatu hari ia mampu menciptakan matahari yang bisa membawa keluar manusia dari kegelapan jati dirinya. Matahari yang mampu mengajarkan setiap manusia tentang arti dari pendeknya hidup tanpa bergantung pada sebuah gelar ke-Maha Kuasa-an sebagai kaum terpelajar”, sang toga kembali menatap wajahku.
“Aku tak tahu toga. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Haruskah aku menemukan matahariku dalam kerja keras dan pengetahuan yang kudapat selama di kampus. Haruskah aku ikut menjadi layang-layang terpelajar yang justru kalah dengan pemuda yang dapat hidup dengan sebuah ladang jagung dalam puisi WS. Renra. Dan aku tidak ingin menjadi seorang lelaki lusuh yang menggigit ilalang dengan MAP berwarna merah jambu yang mengelilingi kantor demi kantor untuk mendapatkan pekerjaan. Aku ingin berbuat toga. Tidak ingin semata-mata menjadi orang yang sama yang harus terdiam karena kemiskinan dan ketidakmampuan mereka untuk menemukan prinsip hidup dan jati diri. Aku ingin seperti Edison yang kau ceritakan. Aku ingin memberikan hadiah yang tidak hanya sebuah ijazah bagi ayah dan ibuku. Tidak hanya sebuah gelar yang begitu prestise orang panggil aku ketika mengisi sebuah forum ilmiah. Itu hanya kesemuan belaka. Karena aku ingin jadi EKO yang pertama dipanggil sebagai orang Indonesia yang punya andil di dunia. Aku ingin jadi EKO yang punya kontribusi dan manfaat bagi peradaban umat manusia. Dan aku adalah EKO yang tidak hanya dikenang sebagaimana ratusan orang-orang yang bernama EKO yang ada di negaraku.”
Toga itu pun kembali hening. Namun keheningannya kini tampak berbeda dari balik debu tebal yang menutupi kegagahan warna hitam di tubuhnya. Ia tampak tersenyum dan di dalam senyumnya itu ia seolah-olah berkata, “Kau telah menemukan mataharimu, sobatku. Semoga dengan matahari yang ada di dalam dirimu ini. Bisa kau berikan juga matahari-matahari lainnya kepada orang-orang yang ada di sekelilingmu. Kepada bangsa dan negaramu. Dan kepada generasi selanjutnya yang kelak juga akan tersenyum sebagaimana aku yang berbangga karena dikenakan oleh orang seperti dirimu”. (*)


Ciputat, 25 Maret 2013
Eko Indrayadi
“Ini sebuah toga tidak hanya sebuah lambang pembeda antara kita dan para saudara yang ada di luar sana. Sebab Dia (sebuah toga) adalah bentuk tanggungjawab yang seharusnya menjadi bentuk keikutsertaan kita terhadap segala persoalan tentang kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di Indonesia dan dunia.”


0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009