Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Pemikiran H.O.S Tjokroaminoto: Prinsip Egalitas Sosial Dalam Sosialisme Islam Tjokroaminoto




*Tulisan ini dibuat sebagai prasyarat Beasiswa Sekolah Pemikiran Politik Megawati Institut
Eko Indrayadi

Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang lebih familiar dengan sebutan H.O.S Tjokroaminoto adalah guru besar dari pergerakan modern pada awal abad ke-20. Keberadaan dirinya sebagai ketua Sarekat Islam (SI) banyak diamini sebagai seorang pelopor pergerakan nasional yang menolak tunduk terhadap Belanda melalui pengorganisasian modern dalam sejarah pergerakan nasional. Muncul sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, Tjokroaminoto  menjadikan dirinya sebagai tokoh pergerakan fenomenal pada masa awal pergerakan modern di Indonesia. Menurut P.F Dahler salah seorang pemimpin nasionalis berkebangsaan Belanda[1], Tjokkroaminoto adalah harimau mimbar yang pidato-pidatonya dapat memukau pendengarnya sampai berjam-jam. Dengan postur tubuh yang tegap, penampilan yang berwibawa, dilengkapi dengan suara yang berat dan bahasa yang teratur menjadikan dirinya sebagai tokoh massa yang sangat disegani oleh pihak penjajah pada masa kolonial. Kharisma dan kemampuan inilah yang suatu hari nanti akan menurun kepada salah satu muridnya sang proklamator kemerdekaan Indonesia, Soekarno.

Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto dilahirkan pada 16 Agustus 1882. Nama kecilnya adalah Oemar Said. Ia lahir di Desa Bukur, Madiun bertepatan dengan setahun sebelum meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda, dari keluarga Raden Mas Tjokromiseno. Cikal bakal keluarganya berasal dari Ponorogo, desa Tegalsari. Kakeknya, Raden Mas Adipati Tjokronegoro adalah Bupati Ponorogo. Sedangkan ibunya adalah anak seorang ulama di daerah Madiun, bernama Kiai Bagus Kasan Besari. Kakek dari pihak ibunya adalah keturunan ulama kenamaan pada penghujung abad kesembilan belas yang ikut serta dalam mendakwahkan pengajaran Islam di wilayah Keresidenan Madiun, Ponorogo, dan bahkan ke kawasan Jawa Timur.[2] Kesadaran nasionalisme Tjokroaminoto telah tumbuh semenjak dirinya masuk ke sekolah OSVIA Magelang yang menyiapkan murid-muridnya untuk menjadi abdi pemerintah kolonial. Di sekolah pegawai Pamong Praja inilah, Tjokroaminoto banyak menyaksikan perlakuan yang berbeda antara pribumi dan anak-anak Belanda. Tiga tahun selepas kelulusannya dari OSVIA, Tjokroaminoto bekerja sebagai seorang juru tulis di Kepatihan Ngawi, bahkan ia berhasil menduduki jabatan sebagai seorang Patih. Tetapi, karena terdorong oleh keinginan hatinya Tjokroaminoto memutuskan untuk berhenti dan pindah ke Surabaya dan bekerja di sebuah perusahaan Belanda.[3]

Di kota inilah kesadaran nasionalismenya  sebagai pemuda yang terjajah di negerinya sendiri mulai tumbuh. Bergabungnya Tjokroaminoto di SDI yang berdiri pada tahun 1905 di bawah pimpinan seorang ulama dan pengusaha H. Samanhudi. Menjadikan dirinya cepat dikenal sebagai salah satu tokoh pergerakan yang radikal dengan karena sikapnya yang menentang perlakuan kesewenang-wenangan oleh pemerintah kolonial terhadap penduduk pribumi di Hindia Belanda. Sikap kesewenangan dari pihak kolonial inilah yang juga membuat dirinya meninggalkan pekerjaannya sebagai abdi di Pemerintahan Hindia Belanda. Berbekal tinta dan kertas, dirinya memutar haluan dengan menekuni dunia jurnalistik pada tahun 1907[4]. Melalui beragam tulisannya yang termuat dalam berbagai media Tjokroaminoto mengkritik ketidakadilan pihak penjajah terhadap kaum pribumi. Menurut pemikiran Tjokroaminoto, kesadaran nasionalisme dapat tumbuh dan berkembang melalui usaha peningkatan rasa persatuan masyarakat pada tingkat natie (bangsa), dan melalui kebijakan menentukan pemerintahannya sendiri, atau setidaknya melalui pemberian hak kepada masyarakat bumiputera untuk mengemukakan pendapatnya dalam masalah-masalah politik.[5] Hal ini dikemukakan dirinya dalam kongres nasional Sarekat Islam (SI) di Bandung Tahun 1916. Ia mengemukakan bahwa, “Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberikan makan hanya disebabkan karena susunya.” Dalam pernyataan tersebut jelaskah bahwa Cokrominoto mengkritik keras adanya sikap sewena-wenana yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial yang mengeluarkan peraturan di Hindia Belanda tanpa adanya partisipasi dan mendengarkan aspirasi penduduk pribumi.[6]

Sebagai kaum pemuda dan terpelajar dari penduduk pribumi, Tjokroaminoto sangat menentang tindakan ketidakadilan yang diberlakukan oleh pemerintah Belanda yang sewena-mena terhadap hajat hidup masyarakat pribumi yang terjajah. Baginya, tindakan yang dilakukan oleh pihak kolonial tidak lebih dari tindakan para kapitalis yang hidup sebagai benalu di atas kesuburan tanah air orang lain. Menurut Tjokroaminoto[7], kesejahterakan masyarakat yang adil dan makmur bisa tercapai melalui pelaksanaan Sosialisme Islam. Beliau mengemukakan bahwa cita-cita sosialisme di dalam Islam tidak bisa disamakan dengan sosialisme yang muncul dan digembar-gemborkan di Eropa. Sosialisme Islam lebih tua dan paripurna terutama menyangkut asas-asas humanisme dan persamaan hak dihadapan Tuhan.

 Menurut pendapatnya, Islam adalah sebenar-benarnya agama yang bersifat demokratis dan telah menetapkan dasar-dasar hukum yang bersifat sosialistik bagi tiap pemeluknya. Islam secara agama tidak membeda-bedakan manusia dari ras, suku, bahasa, warna kulit, dan status sosial seseorang. Islam sebagai agama, sebagaimana yang diyakini oleh dirinya adalah penghormatan setinggi-tingginya terhadap persamaan hak dan derajat manusia di hadapan Tuhan. Islam tidak mengkultuskan adanya kasta, bahkan mengutuk keras terhadap sikap membeda-bedakan manusia berdasarkan kelas sosial. Dalam intisari pemikiran Sosialisme Islam yang diyakini oleh Tjokroaminoto. Ada tiga bentuk yang menjadi pondasi Sosialisme Islam secara fundamental, yaitu;[8] kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijk-qualty), dan persaudaraan (broederchap-fraternity).

Dari ketiga intisari tersebut, Tjokroaminto mengungkapkan bahwa dasar dari Sosialisme Islam adalah terletak pada keutamaan nilai persamaan dan persaudaraan dalam kemerdekaan bagi setiap manusia dihadapan penciptanya. Sosialisme Islam tidak pernah melakuan tindakan pemaksaan terhadap setiap orang. Hal terpenting dalam ajaran Sosialisme Islam menurutnya adalah persoalan etika dan perangai tingkah laku seseorang dengan adanya perbaikan terhadap prilaku dan nafsu yang tidak baik di dalam sistem masyarakat. Sebab dirinya yakin bahwa kesejahteraan dan keadilan akan timbul melalui sifat dan perangai yang baik di dalam kehidupan. Sebab asas-asas sosialis dapat tumbuh dan berkembang dengan baik ketika adanya anjuran dan tindakan yang prilaku baik melalui individu dalam membentuk sistem kemasyarakatan yang sosial-religius dengan susunan pemerintahan yang bersendikan demokrasi, dan musyawarah untuk mufakat serta tidak berdasarkan kepada aturan pertentangan kelas yang justru dipakai sebagai sarana penindasan di negara-negara Barat akibat adanya konflik dan gesekan kelas di dalamnya. Sebagaimana salah satu nasehatnya,[9]Larena mangan sadurunge wareg”. Agar setiap generasi sadar untuk menghindari sikap rakus dan serakah, serta bertindak aji mumpung untuk memperkaya diri menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi dan golongan.



[1] P.F. Dahler dalam Kholid O. Santosa pada tulisan pembuka “HOS. Tjokroaminoto: Raja Jawa Yang Tak Bermahkota pada buku Islam dan Sosialisme Tjokroaminoto, (Bandung: Sega Arsy, 2008), hal. vii.
[3] HOS. Tjokroaminoto, Islam Dan Sosialisme (Bandung: Sega Arsy, 2008), hal. x.
[4] Ibid, hal. x.
[5] Ibid, hal. xi.
[6] Ibid, hal. xi.
[7] Ibid, hal. 8
[8] Ibid, hal. 32.
[9] Ibid, hal. xiii.

0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009