Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

SKRIPSI

SKRIPSI

Eko Indrayadi*

Malam sedikit mendung dengan permainan kabut yang sibuk menutup kecerahan rembulan. Beberapa ekor laron sibuk mempermainkan diri dengan mengelilingi lampu fijar di depan teras kampus perubahan. Satu persatu mahasiswa sudah tak nampak lagi di emperan teras yang dulu pernah jadi ajang aksi mimbar bebas menentang turunnya rezim kongkalikong OrBa. Rintih gerimis yang turun dan datang mulai berlari menjatuhkan diri dari atas genting bangunan 4 lantai tempatku menuntut ilmu selama 4 tahun ini.

Terlihat cahaya temaram kebimbangan di antara wajah teman-temanku. Mahasiswa semester akhir yang sibuk membolak-balikkan Skripsi untuk sidang besok pagi. Mereka tampak serius. Terlihat dari guratan dahi yang semakin keras berpikir dan berekplorasi tentang nasib esok hari.

“Yad, gimana Skripsi loe? Udah kelar belum. Jangan sampe loe gagal dalam ujian besok pagi.”, ujar Isma, teman karibku yang kukenal lebih dari separuh umur perantauanku saat berada kampus ini. Suaranya yang cempreng segera membuyarkan lamunanku yang sedari tadi sibuk memandangi langit yang mendung. Kelabu bergelayut pasrah menjatuhkan diri pada lembayung malam yang tiada henti meneteskan air hujan lewat pori-pori langit.

“Bereslah, Coy. Skripsi kayak gini mah gampang, Cuma butuh 3 minggu ja bagi gue buat bikin penelitian kayak gini. Tetapi, ada yang membuat diriku ini bingung, Sob. Ada kegundahan yang menggelayuti pikiranku”, jawabku.

“Kegundahan apa? Loe kayak orang kesurupan aja. Dari tadi gue lihat tatapan loe selalu kosong-menatap langit?”, tanyanya.

“Entahlah, ujarku. Aku pun bingung dengan keadaan kita yang hanya mampu bercumbu dengan tugas akhir ini. Memutuskan hubungan kita dengan keadaan luar yang dulu pernah kita deklarasikan di atas mimbar kosong ini”.

Ia tak menjawab tampak rasa bingung dan tak mengerti kuterka dari wajah melayunya. Wajah seorang bujang Aceh yang telah puas minum asam dan pahitnya perantauan. Kuketahui dari beberapa orang kerabatnya. Ia terpaksa merantau ke tanah ini untuk melanjutkan studinya yang terbengkalai akibat Gerakan Operasi Militer yang terjadi antara TNI dan GAM. Pengalaman telah mengukir jiwa yang keras dan tegar dalam kehidupannya. Dan, semua kuakui karena selama 4 tahun berteman bagai saudara di perantauan kota metropolitan demi menuntut ilmu di kampus ini. Tak pernah sekalipun terdengar eluhan hatinya dalam mengahadapi setiap persoalan yang timbul dan datang. “Apa yang kaupikirkan, sob?”, tanyanya kembali.

“Aku hanya memikirkan diri kita, kawan. Memikirkan perjalanan panjang yang harus kita lalui selepas kuliah ini. Aku takut kita hanya jadi bayang-bayang pengangguran yang dulu pernah engkau ceritakan lewat diskusi panjang tempo hari. Dan apakah kau tidak merasa resah, dengan korporatisme yang ada di negeri yang katanya menganut Pancasilais ini. Tidakkah kau tahu, apa yang ku punya untuk jadi orang. Ayahku hanya buruh tani kecil di kampung sana. Dan Ibuku, . . .”,suaraku seperti tertahan di dada. Sesak dan sakit mulai turun lewat tetesan air yang mengalir bersama air hujan lewat kedua kelopak mataku.

Dia diam. Mungkin kata-kataku telah menjadi sembilu yang menyobek hatinya menjadi kepingan dengan rasa pedih yang tak terhingga. Segera kulanjutkan kata-kataku yang sempat tertahan,

“Aku sudah berulangkali merasakan betapa angkuh dan kejamnya tembok korporatisme yang membentur tubuhku. Sejak masa SMP dulu aku telah merasakan bagaimana pedihnya dicampakkan oleh nepotisme yang dilakukan oleh setiap orang “besar” yang ada di kampungku. Sampai waktu SMA pun, aku terpaksa meradang menahan tangis akibat tak bisa bersaing karena ayahku hanyalah seorang buruh tani yang tidak bisa mengerti apa itu birokrasi? Apa itu tirani? Dan apa itu money?”

Dia segera merangkul tubuhku. Memeluk hangat dengan baluran bersahabatan seperti pertemuan pertama dulu. Wajahnya yang sunyi mulai menampakkan kesembapan air mata yang tak kuasa mengaliri kedua pipi tegarnya. Ia menangis, lelaki tegar ini menangis. Dan, kami berdua menangis karena berpikir. Harus jadi apa selepas sidang Skripsi esok pagi.

Ciputat, 27 Juni 2011.

Dalam ke-abu-an depan yang tak pasti


*Penikmat Sastra dan Aktif Di Kajian Sastra TIM Jakarta

Surat Cinta


Cinta, masih ingatkah dirimu pada sepi. Gelombang-gelombang tiada henti menggurui batin kita-keletihan yang memuja diri-serentak buat keajaiban lewat mimpi-mimpi. Malam ini sunyi, satu persatu suara berganti senyap yang mengail luka lewat sebait puisi. Tentang cinta, masa, dan sunyi. Ketika semua berhenti untuk bersuara dan melihat langit. Tiada pernahkah engkau berpaling dalam sudut-sudut yang tak pernah kau lihat dan amati. Siapa dirimu? Ketika semua berujar dengan kata-kata semau hati. Tak pernah seorang pun pernah berbisik tentang keadaan surga lewat nyanyian sunyi mereka-anak-anak yang mencari sepucuk mimpi. Sederet algoritma semu. Dan mungkin tak pernah Einstein atau Phytagoras tahu jawabannya.

Cinta, sekelompok manusia kusaksikan perlahan mati hari ini. Dalam tangguhan nasib yang tak pernah peduli betapa lapar dan haus diri mereka. Secuil mimpi, dalam setangguk rupiah? Bukankah ini aneh, kalian yang bisa saja memesan makanan beberapa porsi di restauran mewah. Bermain golf di lapangan dengan ditemani gadis-gadis cantik. Dan berlibur setiap pekan ke Bali. Tetapi tidak dengan mereka, cinta.

Cinta, anak-anak malang itu dengan lahap menyantap kesendirian. Berbagi dengan sepi yang menusuk hingga ke tulang sumsumku. Ada beberapa yang tak kuat menahan langit, memaki bumi lewat kurus dan tertekannya tubuh ringkih.

Cinta, bukankah dirimu bermimpi jadi seorang dokter. Bermimpi jadi penyelamat dengan ratusan mendali penghormatan tersemat. Tetapi, cinta tidak pernahkah engkau melihat? Beberapa orang tua, beberapa anak-anak, dan beberapa masyarakat yang terpaksa “berpuasa”-menahan sakit.

Cinta, dunia memang kejam. Penuh gejolak saling mengutuk satu sama lainnya. Sambil berpura-pura lupa, tidak melihat. Banyak yang berkaca lewat wanginya parfum. Manisnya senyum dengan berbagai perhiasan menggantung. Sementara mereka, dengan kebutuhan tanpa emansipasi kemanusian. Terlupa-terluka, untuk di[me]hilangkan.

Cinta, tak pernah kumengerti apa itu hitungan statistik. Dengan segala upaya memistikkan keadaan. Berupaya jadi Tuhan. Normalisasi. Mengusap keringat dengan berbagai handuk mewah-membuang keadaan. Tanpa sempat melihat betapa sembabnya wajah, penuh kudis dan kotoran.

Cinta, mungkin aku tak bisa tahan. Ketika satu persatu mencabik sanubari. Mencoba jadi makhluk yang paling tak berperasaan. Bukankah engkau yang paling paham tentang peranan “sel kelabu” yang ada pada setiap manusia. Atau mungkin kau yang paling paham pelbagai penyakit akibat kekurangan gizi.

Cinta, nikotin dan kafein bukanlah sumber kekacauan. Ia penyelamat. Pembawa kepada ketenangan dalam sepi. Dalam keputusasaan seorang manusia yang lupa bahwa ia pernah jadi manusia.

Cinta, bukankah Budha bilang hidup adalah penderitaan. Penderitaan yang satu setan pun tak pernah tau bagaimana harus dilewati oleh mereka. Banyak pimpinan yang mampu berbuat dengan segunung otoritas. Segunung popularitas, lewat jabatan yang diamanahkan dari sini. Dari kaum bawah yang terbuang dan dihimpit oleh keterasingan.

Cinta, mungkin sekian belas juta manusia di negeri ini jijik melihat prilaku mereka. Muak terhadap pekerjaan haram yang mereka lakukan. Tetapi, pernahkah setiap kita; saya, anda, dan mereka. Berfikir, sekali melihat-kehidupan dalam keusangan malam. Kenapa Tuhan tidak kutuk saja para koruptor, tidak kutuk saja aparat yang seenaknya berkong-kalikong perjual-belikan kerakyatan.

Cinta, mungkin beberapa tahun lagi engkau seorang dr dengan d (kecil) atau bahkan menjadi DR dengan D(besar). Menjadi orang; dadi wong. Menikah dengan pria ganteng dengan titel yang tak kalah darimu. Membangun rumah tangga. “Kehidupan yang romantik”, ujar Gibran. Sementara kehidupan mereka satu pun tak berubah. Lewat cerobong-cerobong asap pekat dan menyesakkan dada. Demi, kehidupan-tanpa kemakmuran.

Cinta, siapa pria itu? Begitu beruntung dalam kesunyian yang mulai berganti kelabu lewat separuh umur perjuangan. Menjadi wakil dari kehidupanmu. Memimpin sebuah pergantian. Tetapi tidak untuk sebuah kepastian keterasingan seperti disini.

Cinta, rengkuhlah kebahagiaan. Raihlah kenikmatan selagi kesempatan diberikan Tuhan padamu. Capai mimpimu, raih cita-cita dan keagungan yang dulu pernah kau ceritakan padaku.

Cinta, pesan sepiku padamu. Raihlah apa yang seharusnya engkau raih. Rangkullah apa yang seharusnya engkau pertaruhkan. Tidak seperti kelabunya purnama malam ini. Kelabunya, kehidupan manusia-ku. Kelabunya bangsaku, rakyatku, sanakku, saudaraku . . .

Cinta, . . .

Cinta, . . .

Cinta, . . .

“Human life with love, but anyone who can’t understand what’s the meaning of true love . . . “

Doly, Surabaya

Akhir Mei 2011

(Kutulis Untuk Bangsaku, Dalam Merenungi Pancasila)

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009