Cinta, masih ingatkah dirimu pada sepi. Gelombang-gelombang tiada henti menggurui batin kita-keletihan yang memuja diri-serentak buat keajaiban lewat mimpi-mimpi. Malam ini sunyi, satu persatu suara berganti senyap yang mengail luka lewat sebait puisi. Tentang cinta, masa, dan sunyi. Ketika semua berhenti untuk bersuara dan melihat langit. Tiada pernahkah engkau berpaling dalam sudut-sudut yang tak pernah kau lihat dan amati. Siapa dirimu? Ketika semua berujar dengan kata-kata semau hati. Tak pernah seorang pun pernah berbisik tentang keadaan surga lewat nyanyian sunyi mereka-anak-anak yang mencari sepucuk mimpi. Sederet algoritma semu. Dan mungkin tak pernah Einstein atau Phytagoras tahu jawabannya.
Cinta, sekelompok manusia kusaksikan perlahan mati hari ini. Dalam tangguhan nasib yang tak pernah peduli betapa lapar dan haus diri mereka. Secuil mimpi, dalam setangguk rupiah? Bukankah ini aneh, kalian yang bisa saja memesan makanan beberapa porsi di restauran mewah. Bermain golf di lapangan dengan ditemani gadis-gadis cantik. Dan berlibur setiap pekan ke Bali. Tetapi tidak dengan mereka, cinta.
Cinta, anak-anak malang itu dengan lahap menyantap kesendirian. Berbagi dengan sepi yang menusuk hingga ke tulang sumsumku. Ada beberapa yang tak kuat menahan langit, memaki bumi lewat kurus dan tertekannya tubuh ringkih.
Cinta, bukankah dirimu bermimpi jadi seorang dokter. Bermimpi jadi penyelamat dengan ratusan mendali penghormatan tersemat. Tetapi, cinta tidak pernahkah engkau melihat? Beberapa orang tua, beberapa anak-anak, dan beberapa masyarakat yang terpaksa “berpuasa”-menahan sakit.
Cinta, dunia memang kejam. Penuh gejolak saling mengutuk satu sama lainnya. Sambil berpura-pura lupa, tidak melihat. Banyak yang berkaca lewat wanginya parfum. Manisnya senyum dengan berbagai perhiasan menggantung. Sementara mereka, dengan kebutuhan tanpa emansipasi kemanusian. Terlupa-terluka, untuk di[me]hilangkan.
Cinta, tak pernah kumengerti apa itu hitungan statistik. Dengan segala upaya memistikkan keadaan. Berupaya jadi Tuhan. Normalisasi. Mengusap keringat dengan berbagai handuk mewah-membuang keadaan. Tanpa sempat melihat betapa sembabnya wajah, penuh kudis dan kotoran.
Cinta, mungkin aku tak bisa tahan. Ketika satu persatu mencabik sanubari. Mencoba jadi makhluk yang paling tak berperasaan. Bukankah engkau yang paling paham tentang peranan “sel kelabu” yang ada pada setiap manusia. Atau mungkin kau yang paling paham pelbagai penyakit akibat kekurangan gizi.
Cinta, nikotin dan kafein bukanlah sumber kekacauan. Ia penyelamat. Pembawa kepada ketenangan dalam sepi. Dalam keputusasaan seorang manusia yang lupa bahwa ia pernah jadi manusia.
Cinta, bukankah Budha bilang hidup adalah penderitaan. Penderitaan yang satu setan pun tak pernah tau bagaimana harus dilewati oleh mereka. Banyak pimpinan yang mampu berbuat dengan segunung otoritas. Segunung popularitas, lewat jabatan yang diamanahkan dari sini. Dari kaum bawah yang terbuang dan dihimpit oleh keterasingan.
Cinta, mungkin sekian belas juta manusia di negeri ini jijik melihat prilaku mereka. Muak terhadap pekerjaan haram yang mereka lakukan. Tetapi, pernahkah setiap kita; saya, anda, dan mereka. Berfikir, sekali melihat-kehidupan dalam keusangan malam. Kenapa Tuhan tidak kutuk saja para koruptor, tidak kutuk saja aparat yang seenaknya berkong-kalikong perjual-belikan kerakyatan.
Cinta, mungkin beberapa tahun lagi engkau seorang dr dengan d (kecil) atau bahkan menjadi DR dengan D(besar). Menjadi orang; dadi wong. Menikah dengan pria ganteng dengan titel yang tak kalah darimu. Membangun rumah tangga. “Kehidupan yang romantik”, ujar Gibran. Sementara kehidupan mereka satu pun tak berubah. Lewat cerobong-cerobong asap pekat dan menyesakkan dada. Demi, kehidupan-tanpa kemakmuran.
Cinta, siapa pria itu? Begitu beruntung dalam kesunyian yang mulai berganti kelabu lewat separuh umur perjuangan. Menjadi wakil dari kehidupanmu. Memimpin sebuah pergantian. Tetapi tidak untuk sebuah kepastian keterasingan seperti disini.
Cinta, rengkuhlah kebahagiaan. Raihlah kenikmatan selagi kesempatan diberikan Tuhan padamu. Capai mimpimu, raih cita-cita dan keagungan yang dulu pernah kau ceritakan padaku.
Cinta, pesan sepiku padamu. Raihlah apa yang seharusnya engkau raih. Rangkullah apa yang seharusnya engkau pertaruhkan. Tidak seperti kelabunya purnama malam ini. Kelabunya, kehidupan manusia-ku. Kelabunya bangsaku, rakyatku, sanakku, saudaraku . . .
Cinta, . . .
Cinta, . . .
Cinta, . . .
“Human life with love, but anyone who can’t understand what’s the meaning of true love . . . “
Doly, Surabaya
Akhir Mei 2011
(Kutulis Untuk Bangsaku, Dalam Merenungi Pancasila)
0 komentar:
Posting Komentar