Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Surat Perjanjian Tuhan, Saya, Dan Setan

Pernahkan dirimu berpikir, tentang “adil” dalam setiap hal yang terkadang mengganggu kita untuk sejenak merenung kecil atau menganggukkan kepala. Adil dalam berbagi, adil dalam bertindak. Ya, inilah term-term kecil yang terkadang jadi sengketa perdebatan bodoh diantara otak kerdil manusia yang dianugrahkan akal oleh Tuhan. Kembali disini, dalam kisahku seorang malang yang mencoba untuk dicoba jadi atau tidaknya sebagai pemimpin yang didaulat dan coba pasrah atas kehendak legitimasi semu milik kaum barbar yang tak lebih dari kata-kata spekulasi dalam bertindak. Masih bimbang dalam sebuah sintesa “hamba adalah pemimpin, lalu untuk apa dibai’at?”

Tentu dan tidak tentu tugas adalah memilih dan memilah dalam meluruskan penyimpangan oleh saudara-saudara yang budiman. Mencari beragam solusi agar terciptanya kerukunan dan ketentraman. Namun tentu tidak menyebabkan ketimpangan demi tugas yang menggunung untuk dikerjakan. Lalu, sepertiga malam di tengah antah berantah perenungan duduk di hadapan “laut kosong” yang coba serta merta berontak pada kehendak Tuhan. Hmm, adakah Tuhan ciptakan hamba untuk jadi hamba bagi tuan dan puan sekalian. Bertekuk lutut mengharapkan seteguk kecil minuman dalam “gurun hati” ambisi besar manusia. Segumpal hidup kosong tak bermakna tentunya, jika dan maka dia berontak ajukan beberapa petisi kecil yang hambar.

“Pemimpin-pemimpin bodoh, engkau terlena oleh harta dan kuasa hingga bertekuk lutut pada nafsu dunia”. Lalu, pemimpin pintar??? Diperdaya mayoritas untuk membunuh minoritas kecil yang mencoba melaporkan ketidakadilan. Homo Homini Lupus? Mungkin terlalu cepat bagi si Hobbes buat berpikir manusia ibarat binatang. Ah, percuma satu, dua, atau tiga orang pun tak pernah mendengarkan. Ibarat setimba air dimasukkan dalam botol pecah yang tak mungkin penuh isinya. Pemimpin tai kucing yang sekedar jadi bual-bualan orang-orang - menganggap dirinya setepis debu yang bisa diguyur hujan. Hingga dibuat jadi hamba dengan mistik harga diri tak lebih dari comberan.

Kembalilah dirimu pada kenyataan yang busuk dan menyengat. Sibuk bekerja engkau dilaknat. Apakah tuan dan puan tak pernah bertanya? Berapa harga perasaan yang diperjual-belikan dalam lingkar keegoisan atau setidaknya mengerti sedikit tanggung jawab yang mesti hamba tanggungkan. Dari segi moral, agama, atau apakah yang biasa kalian jadikan tipu daya untuk berbuat. Di malam ini aku tak kuasa menahan, kuletakkan segagang pena di samping kertas putih kusuh yang sedikit lembab dan lusuh oleh tangis air mata beku yang turun dari hati, turun dari harga diri, turun dari berbagai persoalan yang menggumpal jadi batu di hati seorang hamba yang menggerutu. Supaya kalian tahu, supaya tidak hanya Tuhan yang tahu, supaya tidak hanya setan yang selalu terlibat dalam konsepsi “hitam” yang kalian naskahkan pada hamba. Ikhlas, tawakal, ikhtiar adalah jalan-jalan yang berbuat dalam narasi singkat proses penghidupan.

Dan, kembali ke awal, lelah dan hambar dalam berbuat. Baca Marx dan Machiavelli yang mengantarkan pada jalan “pintar” untuk membalas kelakuan. Tapi tuan punya Laviathan, tuan punya Chiron dan/atau rahwana? Diam, lepas semua terbang. Obral harga mati diri yang tak harus jadi manusia pujaan orang. Manusia kafir, haram jaddah yang berkokok di tengah kobaran api neraka jahanam. Inilah balada, balada protes kaum bunian. Dari puritan dangau-dangau kecil keserakahan, dari tebing-tebing cadas kekosongan manusia dari teori-teori kosong tentang akhlak, etika, dan moral yang dikalkulasikan dalam dialektika materialistik antara sahabat, akal, dan kebimbangan di persimpangan jalan. Hingga sampailah kita diakhir perjalanan, bersiap terjun dan hibernasi menunggu tanggungan perbuatan di alam kebodohan yang terkadang membuat terlena dalam selimut fatamorgana – cadas-cadas tajam dalam kehingaran. Kebimbangan dalam jalan-jalan tak bertujuan. Antara nikmat dan durjana, antara kehormatan dan kelaliman, antara kesetiaan dan kehinaan yang diaduk dalam majas-majas indah demi terselenggaranya perkembangbiakan kemunafikan.

Surat Perjanjian Saya, Tuhan, dan Setan

Raden Eko Ronggowarsito

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009