Pendahuluan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
adalah salah satu Partai Politik di Indonesia yang seringkali dibahas oleh para
peneliti dan pengamat politik di Indonesia. Alasan sederhananya adalah karena
partai ini mampu tumbuh besar secara signifikan hanya sekitar satu tahun pasca
dideklarasikan pada agustus 1998. Partai yang berdiri sebagai bentuk antusias
aspirasi masyarakat terhadap reformasi pasca Orde Baru dengan nama awal Partai
Keadilan mengikuti Pemilu pertamanya pada tahun 1999 dan menjaring sebanyak
1.436,565 suara atau sekitar 1, 36 % dari keseluruhan jumlah suara dan
menempatkan 7 wakilnya di DPR.
Pada Pemilu 2004, Partai Keadilan
(PK) yang mengalami pergantian nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
karena terkendala electoral threshold.
Partai ini berhasil meraih 8.325.020 suara atau sekitar 7,34% dari total suara
dan berhasil mendudukkan 45 orang wakilnya di DPR. Pada Pemilu 2009 perolehan
suara PKS 8.204.946 atau 7,88% dengan 57 kursi di parlemen. Sedangkan pada
Pemilu 2014 memperoleh suara 8.480.204 atau 6.79% dengan penurunan jumlah kursi
sebanyak 17 buah dari Pemilu sebelumnya.
Meskipun diterpa berbagai macam
persoalan di struktural Partainya. PKS mampu tetap solid sebagai mesin partai
yang mapan. Kemapanan dan kesolitan di tubuh PKS dapat ditelusuri melalui
sistem kaderisasi yang dibangun sebagai mesin utama partai –selain sukses di
tingkat nasional partai yang tumbuh dari LDK anak-anak muda Tarbiyah ini
berhasil membangun basis politik di daerah-daerah, termasuk mendudukkan
wakil-wakilnya di legislatif maupun di birokrasi, bahkan PKS meraih sukses
besar dalam menempatkan kader-kadernya atau kandidat-kandidat yang diusung
untuk menjadi kepala daerah, baik di tingkat propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Dengan kekuatannya yang relatif masih kecil, serta manajemen partai yang sangat
baik, partai yang dikenal dengan sebutan partai dakwah ini mampu mempengaruhi
kompetisi politik dan mempengaruhi keputusan publik.
Permasalahan
Di dalam sub tesis yang membahas
tentang dilema Partai PKS, Burhanuddin mengaitkan munculnya fenomena partai
dakwah yang bernama PKS sebagai dampak dari marginalisasi politik selama tiga
dekade yang dilakukan oleh pemerintahan otoriter Soeharto. Marginalisasi yang
menempatkan Islam sebagai sebuah kekuatan politik yang mengancam stabilitas
politik negara. Lengsernya Soeharto dan jatuhnya rezim Orde Baru pada 21 Mei
1998, ibarat sebuah angin segar yang membawa kesempatan besar bagi persemaian
gagasan dan gerakan aktivisme Islam.
Secara teoritis dan praksis,
aktivisme Islam dapat diekspresikan dalam beragam bentuk dan aksi. Burhan mencoba
membaginya menjadi dua hal, yaitu : Pertama, aktivisme Islam yang diwujudkan
dengan dilahirkannya kembali partai-partai politik Islam. Di antara 141 partai
politik baru yang didirikan tak lama setelah Soeharto jatuh, sebanyak 42 partai
atau hampir sepertiganya bernuansa Islam. Partai Islam yang dimaksudkan disini
adalah partai-partai yang secara eksplisit mengklaim Islam sebagai ideologi
mereka dan/atau partai yang memiliki basis dukungan dari organisasi-organisasi
atau kelompok Islam. Namun demikian setelah proses verifikasi administrasi dan
aktual, hanya terdapat 20 partai bercorak Islam dari 42 partai yang
berkompetisi dalam Pemilu 1999. Pada Pemilu 2004, Partai Islam kontestan Pemilu
menyusut drastis. Terhitung dari 24 partai yang lolos sebagai peserta Pemilu
tahun 2004, hanya ada 7 partai Islam saja yang terdaftar sebagai kontestan
Pemilu. Partai Islam banyak yang tidak memenuhi kualifikasi ambang batas
elektoral untuk ikut serta dalam Pemilu tahun 2004. Pada Pemilu 2009, dari 38
Partai nasional yang berlaga, ada 10 partai di antaranya yang bisa dikategorikan
Islam.
Kedua,
era
pasca Soeharto juga ditandai dengan pertumbuhan gerakan Islam dengan spektrum
ideologi dan aksi yang beragam: merentang dari gerakan yang menoleransi
kekerasan hingga yang menggunakan cara-cara damai, dari gerakan Islam yang
demokratis hingga yang anti demokrasi juga ada. Di antara gerakan Islam baru
yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya ada Front Pembela Islam
(FPI) dan Laskar Jihad, dua kelompok yang paling dikenal di tingkat nasional.
Dalam konteks pergantian
kepengurusan kepemimpinan PKS sebagai partai politik cenderung sangat harmonis
dan bahkan cenderung tidak pernah mengalami konflik dan kontraksi kepemimpinan
yang berarti. Proses pergantian kepengurusan juga hampir seluruhnya secara
transparan diketahui oleh kader, sehingga keterlibatan kader dalam pengambilan
keputusan terkait dengan kepengurusan relatif tinggi. Meminjam istilah dari
Mutiah Allagapha
takkala melakukan assesment legetimasi di dunia Islam, bahwa orang sepertinya
terlibat dalam proses politik, namun sejatinya mereka tidak terlibat. PKS
sebagai partai politik yang memegang transparansi harus mampu menjelaskan
kepada publik bahwa keterlibatan anggota dalam pengambilan keputusan di partai
adalah cerminan active participation.
Kedua, pandangan yang muncul terhadap
PKS sebagai salah satu partai politik yang mampu mengelola, sekaligus memiliki
daya tahan yang tinggi dalam mengelola isu suksesi karena masih kohesif dan
solidnya elit politik PKS sebagai implikasi dari mapannya sistem perkaderan
dakwah Tarbiyah. Pertanyaannya, adalah jika PKS telah menjadi partai terbuka
dan kompleks, sehingga elit politik PKS
tidak hanya didominasi oleh perkaderan Tarbiyah, apakah PKS mampu
mempertahankan situasi pergantian kepemimpian sebagai sesuatu yang alamiah.
Artinya, dengan menjadi partai yang inklusif, PKS harus mulai menyiapkan
supra-struktur dan infra-struktur yang memadai, agar ruang transformasi yang
dibuat tidak menjadi bumerang. Dari penjelasan ini, penulis mencoba untuk
menganalis melalui tulisan pendek ini, terkait “Kepemimpinan Di Internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) : Leader,
Kader, dan Jalan Dakwah”
Kerangka
Konsep
Partai politik adalah sarana untuk
berpartisipasi di dalam sistem negara yang demokratis. Secara umum dapat
dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama.
Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui
kekuasaan itu, mereka melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Sigmeund Neuman mendefinisikan
partai politik sebagai organisasi yang artikulatif yang terdiri dari
pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan
perhatiannya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk
memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai
pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai politikmerupakan perantara
besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan
lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi
politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas.
Selanjutnya menurut Murice
Duverger, secara umum perkembangan partai politik sejalan dengan demokrasi,
dalam hal perluasan hak pilih dari rakyat dan perluasan hak-hak parlemen.
Semakin luas pertumbuhan dan fungsi-fungsi kebebasan majelis politik, maka
semakin tumbuh kesadaran para anggotanya untuk membentuk kelompok antarmereka
dan bersaing dalam pentas politik. Semakin meluas hak individu untuk memberikan
suaranya, semakin mendesak pula keperluan pembentukan komite untuk
mengorganisasi dan menyalurkan suara para pemilih, serta penyediaan calon-calon
untuk mereka pilih. Dengan demikian kebangkitan sejalan dengan kebangkitan
kelompok-kelompok dalam parlemen dan komite-komite pemilihan. Sekalipun
demikian, perkembangan partai terjadi di dalam maupun di luar lingkaran parlemen,
dengan karakteristik yang saling berbeda.
Kepemimpinan adalah sebuah
kapasitas untuk menginspirasi keyakinan akan kebenaran tujuan seseorang,
keberanian dalam pelaksanaan kolektifnya, dan ketaatan dalam menghadapi ancaman
resistensi. Kepemimpinan kadang-kadang dikemukakan sebagai kebajikan atau
keutamaan politik tertinggi. Derajat kepemimpinan seseorang ditentukan sejauh
mana dapat membangun kendali atas dasar pengaruh. Ada yang berpendapat bahwa
kepemimpinan adalah hasil kharisma yang merupakan karakteristik pribadi.
Sementara yang lainnya menganggap kepemimpinan lebih tergantung pada konteks
sosialnya, sehingga mereka yang menjadi pemimpin di dalam suatu negara atau
situasi tertentu belum tentu dapat menjadi pemimpin di negara lain atau situasi
yang berbeda.
Dalam praktiknya, ada beberapa tipe
kepemimpinan yang dapat dilihat dari gaya kepemimpinan seorang pemimpin.
Sarlito dalam Hunneryager dan Heckman mengemukakan bahwa ada beberapa tipologi
kepemimpinan dalam sebuah institusi yang sifatnya struktural, diantaranya: Pertama, tipe otokratis. Seorang
pemimpin otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri menganggap
organisasi sebagai milik pribadi, mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan
organisasi, serta sering menggunakan pendekatan dengan unsur paksaan dan
bersifat menghukum. Kedua, tipe
militeristik. Seorang pemimpin yang bertipe militeristik ialah seorang pemimpin
yang memiliki sifat bersifat sentralistik dan bersifat formalistik. Ketiga, tipe paternalistik. Seorang
pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin paternalistik bersifat melindungi,
namun senantiasa jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil
keputusan. Keempat, tipe kharismatik.
Pada umumnya pemimpin ini memiliki daya tarik dan pengikut yang jumlahnya besar.
Kelima, tipe demokratis. Pengetahuan
tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe kepemimpinan yang bersifat
demokratis merupakan tipe kepemimpinan yang ideal untuk oraganisasi modern.
Tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik senantiasa mensinkronisasikan
kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari
kelompoknya. Bersifat terbuka dalam menerima saran, pendapat, bahkan kritik
dari bawahannya.
Sedangkan Max Weber membahas
tentang tipe kemepimpinan didasarkan sumber legitimasi atau otoritas yang
dimilikinya. Teori Max Weber tentang otoritas kepemimpinan yang terdiri dari
otoritas kepemimpinan kharismatik, tradisional dan legal formal memperlihatkan
adanya proses evaluasi secara linear, yaitu dari otoritas kharismatik ke
tradisional dan ke legal formal. Kepemimpinan disebut kharismatik jika
pengabsahannya tersebut berasal dari kekuatan supra natural yang diyakini para
penganutnya. Kemudian kepemimpinan yang berotoritas tradisional yang terjadi
manakala memperoleh pengakuan dari para leluhurnya dan masyarakatnya. Lalu,
kepemimpinan yang berotoritas legal formal, pengabsahannya berasal dari
pengakuan di depan hukum dan karena dipilih oleh mereka yang memiliki hak
memilih melalui koridor aturan yang sudah dibakukan.
Pembahasan
1.
Leader
Struktur organisasi pada PKS
bersifat federal sentralistik. Ada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang menjalankan
dan mengkoordinasikan seluruh pimpinan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) di tingkat
Provinsi, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) di tingkat Kabupaten/Kota, Dewan Pimpinan
Cabang (DPC) di tingkat Kecamatan sampai ke tingkat struktur PKS terbawah, yang
bekerja pada tingkat desa/kelurahan, yang disebut sebagai Dewan Pimpinan
Ranting (DPRa). DPP memiliki tanggung jawab penuh atas penyelenggaraan organisasi
partai pada semua tingkat, namun secara administratif DPC bertanggung jawab
kepada DPD, dan DPD bertanggung jawab kepada DPW masing-masing.
DPP PKS saat ini dipimpin oleh Anis
Matta yang menjabat pada 1 Februari
2013, menggantikan Luthfi Hasan Ishaaq, pasca terkait kasus pidana korupsi.
Struktur anggota DPP sekurang-kurangnya beranggotakan presiden partai,
sekretaris jenderal, bendahara umum, dan ketua-ketua departemen. Menurut
statuta PKS, DPP berdiri sejajar dengan Dewan Syariah Pusat (DSP) yang bertugas
sebagai lembaga fatwa dan qadha yang merumuskan landasan syar’i terhadap partai
dalam melaksanakan aktivitasnya dan memberikan jawaban berdasarkan syariah
terhadap berbagai masalah yang dihadapi partai serta anggotanya dan masyarakat.
Majelis Pertimbangan Partai (MPP)
adalah lembaga pelaksana harian tugas-tugas Majelis Syuro dalam hal mengawasi
jalannya partai agar sesuai dengan tujuan-tujuan partai, sejalan dengan
ketetapan-ketetapan yang dikeluarkan oleh Majelis Syoro dan Musyawarah
Nasional. Meskipun begitu, secara organisatoris, DPP, MPP, dan DSP berada di
bawah lembaga tertinggi partai, yakni Majelis Syuro. Fungsi Majelis Syuro
adalah lembaga tertinggi partai yang berfungsi sebagai lembaga Ahlul Halli wal-Aqdi. Menurut statuta
PKS, majelis tersebut berfungsi untuk menyusun visi dan misi partai,
ketetapan-ketetapan dan rekomendasi Musyawarah Nasional. Majelis ini juga
memiliki kekuasaan yang mutlak untuk memilih presiden partai (ketua eksekutif
partai di DPP), membentuk kepengurusan MPP, memilih badan harian DSP,
menentukan kebijakan partai, memutuskan isu-isu strategis dan semacamnya.
Lembaga tertinggi ini sekarang
dipimpin oleh alumnus Universitas Madinah K.H. Hilmi Aminuddin, pemimpin
ideologis PKS. Majelis Syuro ini terdiri atas 99 anggota, yang bertugas,
seperti senat atau kongres. Anggota Majelis Syuro dipilih oleh kader-kader
tingkat Madya ke atas yang disebut sebagai kader inti untuk mewakili
kepentingan anggota dan kader PKS di tingkat lokal dan memastikan suara mereka
bisa didengar di tingkat nasional. Namun demikian, hasil temuan yang
dikemukakan oleh Burhan menyatakan bahwa tidak semua anggota Majelis Syuro
dipilih oleh oleh kader-kader inti PKS. Dari 99 Majelis Syuro, 65 anggota
memang dipilih; mereka berasal dari 33 provinsi. Komposisi dan alokasi jumlah
Majelis per provinsi didasarkan pada kouta kader di masing-masing daerah.
Misalnya, kursi Majelis yang diperebutkan DKI Jakarta sebanyak 6, Jawa Barat
paling banyak kursinya (12), Bali (1), NTT (1), Jawa Tengah (6), Jawa Timur
(4).
Disini pertimbangan keterwakilan
provinsi dalam struktur majelis syuro penting dilihat. Sebagaimana kita tahu
anggota-anggota kader PKS harus melewati enam jenjang pengkaderan yang pada
jenjang takhassus, yaitu mereka yang
keahlian paripurna dalam bidang dakwah. Empat tingkat tertinggi disebut kader
inti yang kemudian diberi kesempatan untuk memilih bagi Majelis. Namun, dalam
beberapa kasus sebelumnya, ada sejumlah provinsi yang tidak memiliki kader inti
berjumlah mencukupi sehingga mereka tidak bisa memilih perwakilan mereka di
Majelis Syuro. Dalam beberapa kejadian sebelumnya, agar ada representasi
anggota Majelis Syuro daari 33 provinsi, anggota-anggota terpilih Majelis Syuro
kemudian menunjuk anggota-anggota terpilih yang tidak memiliki cukup banyak
kader inti. Selain itu, ada dua anggota Majelis Syuro seumur hidup, yakni K.H.
Hilmi Aminuddin dan Salim Segaf Al-Jufri. Juga terdapat 32 anggota Majelis Syuro
yang ditunjuk (by selection)
berdasarkan hasil rapat 65 anggota terpilih dan 2 anggota Majelis seumur hidup.
Ke 32 anggota tersebut ditunjuk berdasarkan keahlian dan profesionalitasnya
dalam berbagai bidang, antara lain ekonomi, syariah, politik dan lain-lain.
Untuk lebih jelasnya terkait
struktru kepengurusan dan kepemimpinan dalam tubuh PKS dapat dilihat pada
gambar di bawah ini:
Gambar 1.1 Struktur Kepengurusan PKS
Namun, terlepas dari model
kepemimpinan di dalam PKS. Penulis mencoba mengamati tentang kemungkinan
terbentuknya faksi politik di dalam internal PKS. Faksi muncul sebagai bentuk
konflik dalam internal partai yang diakibatkan adanya perbedaan pandangan.
Sehingga masing-masing kelompok atau individu mencoba untuk melakukan merebut
pengaruh kelompok atau individu lainnya di dalam partai atau institusi politik.
Menurut Zariski (1960) faksi
adalah “any intra-party combination, clique or grouping whose members
share a sense of common identity and common purpose and are organised to act
collectively – as a distinct bloc within the party – to achieve their goals”. Dalam
definisi itu faksi menyaratkan adanya pengelompokan dalam partai atas dasar
sebuah identitas dan tujuan bersama dari pada anggotaya sebagai sebuah blok
atau kubu yang berbeda di dalam partai untuk meraih sebuah tujuan secara
kolektif.
Sementara itu Rose (1964)
membedakan antara faksi dan kecenderungan pengelompokan yang disebutnya sebagai
tendensi (tendency). Tendensi lebih bersifat cair di mana pengelompokan atau
penyikapan sebuah kelompok dapat berubah-ubah atau bukan suatu hal yang
permanen, tergantung isu yang berkembang. Dan karena tidak solid, maka tidak
dapat diidentikan dengan kalangan atau orang tertentu. Sementara faksi,
menurutnya, merupakan sebuah pengelompokan yang ditandai adanya soliditas
pengorganisasian yang tinggi, adanya disiplin dan kesadaran berkelompok, dan
memiliki semacam keanggotaan yang kohesif.
Ada beberapa momen dalam PKS yang
kemudian menguatkan dugaan adanya faksi. Momen pertama melibatkan kalangan yang
Pro-Amien dan Pro-Wiranto pada Pemilu Presiden 2004. Tokoh-tokoh seperti
Hidayat Nurwahid, Rahmat Abdullah, dianggap mewakili kubu yang berbeda dengan
kalangan yang mendukung Wiranto seperti Anis Matta, Fahri Hamzah atau Aus
Hidayat Nur. Di sini, mulai muncul selentingan adanya kalangan yang lebih
pragmatis dalam menentukan pilihan politik, yakni berorientasi kemenangan,
versus kalangan idealis yang lebih mengedepankan ukhuwah
islamiyah. Momen kedua, terkait dengan kelanjutan koalisi dengan SBY.
Situasi ini dipicu dengan naiknya harga BBM di tahun 2005.
Beberapa kalangan dalam PKS
menyuarakan untuk meninggalkan koalisi. Di sini tokoh-tokoh sepeti Anis Matta
dan Mashadi yang dalam momen tertentu berbeda pandangan, memiliki suara yang
sama. Keduanya menginginkan adanya evaluasi atas koalisi yang dirasakan semakin
tidak mengutungkan rakyat dan citra partai. Dalam hal ini, sikap Anis
yang menyarankan partai keluar dari kabinet menjadi lebih “idealis”, ketimbang
gerbong besar elit partai, termasuk beberapa tokoh yang berbeda pandangan pada
kasus Pemilu 2004, yang memilih bersikap hati-hati dan melihat langkah keluar
koalisi sebagai langkah yang tidak bijak.
Dalam perkembangannya, di dalam
partai muncul seolah pengelompokan antara kalangan yang lebih berorientasi
eksklusif dan moderat, terutama dalam menjalin kerjasama dan
mengembangkan political networking, dengan kalangan yang lebih
hati-hati dan cenderung “text book” dalam soal-soal
pengembangan kerjasama dan menafsirkan arah perkembangan partai. Kalangan
yang pertama ini ditengarai digerakan oleh Anis dan Fahri. Sementara kalangan
yang kedua diyakini digerakan oleh mereka yang “non-Anis“, yakni mereka yang
tidak terlalu sejalan dengan perspektif politik Anis yang kerap “terlalu
canggih”. Uniknya kalangan kedua dalam hal ini dipandang lebih idealis
ketimbang Anis. Pendukung Anis selanjutnya kerap disebut sebagai “kalangan
muda”, yang kemudian dikonfrontir dengan tokoh-tokoh “tua” seperti Rahmat
Abdullah atau Yusuf Supendi. Namun pengelompokan “muda versus tua” ini
sebenarnya tidak dapat dikatakan sepenuhnya benar. Karena “tokoh tua” seperti
KH Hilmi Aminuddin kenyataannya justru kerap memuluskan jalan kalangan muda.
Sementara figur-figur muda seperti Al-Muzzamil atau Untung Wahono cenderung
bersikap hati-hati cenderung tidak sejalan dengan kalangan muda meski mereka
tidak dapat disebut kalangan tua. Pada akhirnya sifat pengelompokan itu lintas
generasi dan lebih pada style dalam menjalankan kepentingan
partai. Dengan kata lain lebih disebabkan pada startegi perjuangan.
Tidak lama setelahnya muncul stereotype yang
lebih fenomenal lagi, yakni akan adanya “Faksi Kesejahteraan” dan “Faksi
Keadilan”. Faksi Kesejahteraan” dianggap sebagai kalangan extravaganza yang
berbeda dengan kalangan “Faksi Keadilan” yang menunjukan sebuah kesederhanaan.
Dalam perkembangannya Faksi Kesejahteraan terlihat lebih mengambil peran,
tercermin dari sikap partai yang menjadi lebih terbuka, nasionalistik dan
fleksibel, termasuk pemberian Award kepada tokoh-tokoh
Nasional termasuk Soeharto, hingga keputusan untuk menjadi “partai terbuka”
secara resmi di tahun 2010.
2.
Kader
Pola rekrutmen kader-kader PKS
menggunakan sistem dan modus operandi Jama’ah Tarbiyah. Dalam usahanya, PKS
menggunakan dua strategi. Pertama, adalah
pola rekrutmen individual (al-da’wah al
fardhiyyah), bentuk pendekatan orang per orang, meliputi komunikasi
personal secara langsung. Daripada mendekati orang-orang yang belum dikenal,
strategi ini dimulai dengan dengan mengajak calon-calon kader potensial di
lingkungan terdekat kader seperti keluarga, teman, kolega kerja, dan tetangga.
Dengan kata lain, rekrutmen PKS dibangun atas relasi sosial yang telah ada
sambil pada saat yang sama menumbuhkan semacam solidaritas baru berdasarkan
kepercayaan yang sama, serta loyalitas dan komitmen dan loyalitas yang kuat.
Calon-calon kader yang akan direkrut tersebut akan diajak
berpartisipasi dalam serangkaian forum keagamaan dan pelatihan yang diorganisir
oleh PKS sebagai fasilitatornya, seperti usrah
(keluarga) atau halaqah (kelompok
studi terbatas) atau liqo (pertemuan
mingguan), rihlah (rekreasi), mukhayyam (camping), daurah (pelatihan dan workshop islami), nadwah (seminar) dan seterusnya.
Harapannya adalah setiap peserta baru akan saling mengenal (ta’aruf), memahami (tafahum),
dan mendukung (tafaul).
Kegiatan-kegiatan ini terorganisir secara sistematis ini dilakukan secara
rutin, dengan harapan bahwa peserta-peserta baru bisa memiliki nilai dan
pemahaman yang sama.
Kedua adalah pola rekrutmen
institusional (al da’wah al-‘amma).
Ada pelbagai bentuk rekrutmen institusional yang bisa melibatkan struktur
formal PKS maupun organisasi-organisasi sayap yang berafiliasi dengan PKS
dengan bekerja sama dengan intitusi-institusi keagamaan seperti masjid maupun
institusi pendidikan seperti sekolah dan universitas.
Dilihat dari tujuan politik,
strategi rekrutmen kader yang dilakukan PKS dapat dapat dibagi menjadi dua
kategori. Pertama, ditujukan untuk
memobilisasi sebanyak mungkin orang terlepas suku, ras, dan jenis kelamin untuk
menjadi anggota, simpatisan, dan sukarelawan PKS. Mereka diharapkan bersedia
terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik yang diorganisir oleh
partai. Mekanisme rekrutmen kader seperti ini jelas merupakan karakter dasar
dari partai politik seperti PKS yang mementingkan kuantitas sebagai alat untuk
memenangkan Pemilu.
Kedua,
pola
rekrutmen yang bertujuan untuk mendaftar kader-kader potensial melalui
mekanisme rekrutmen yang selektif. Sebagai partai kader yang memiliki standar
rekrutmen yang ketat, PKS mewajibkan para kadernya untuk terlibat aktif dalam
serangkaian pelatihan intensif. Pelatihan ini dikemas secara berjenjang dan
hirarkis (marhalah), yang mencakup
proses pembelajaran (ta’alim),
mengasah kemampuan berorganisasi (tandzim),
pengembangan karakter dan internalisasi ajaran Islam (taqwin), dan evaluasi (taqwim).
Singkatnya, proses pelatihan kaderisasi di PKS dapat dibagi dalam enam
tingkatan pelatihan yang berakhir pada tingkatan takhassus yang memiliki keahlian dakwah secara paripurna.
Sebagai cara untuk mengetahui
bagaimana proses rekrutmen dan kaderisasi PKS melalui tarbiyah. Penulis
mengutip hasil penelitian salah satu mahasiswa UI terkait sistem yang digunakan
dalam proses rekrutmen di kampus Universitas Indonesia melalui struktur
kepengurusan yang rapi dalam mencapai tujuannya untuk menciptakan kampus madani
dengan menguasai posisi strategis lembaga intra kampus. Mulai dari struktur
gerakan yang rapi. Alur koordinasi dan rantai komando yang ketat, hingga
program-program yang terukur. Berikut adalah struktur kelompok tarbiyah UI tahun 2012:
Gambar 1.2 Struktur Kepengurusan
Kelompok Tarbiyah
Keterangan :
·
UK
: Unit Kampus, berisikan alumni-alumni yang dulunya memiliki posisi strategis
dan para Aktifis Dakwah Kampus Permanen (ADKP) yang meliputi para dosen yang
ada di birokrasi kampus.
·
MS:
Majelis Syuro
·
BM
: Barisan Muslimah
·
Akpro
: Aksi dan Propaganda
·
Sospol
Sosial Politik
Tahun 2012, terjadi perubahan pola
gerakan (atau yang mencakup struktur di atas) dari kelompok tarbiyah. Rantai
komando dari atas sedang diupayakan untuk dihilangkan dan diganti dengan jalur
koordinasi. Sehingganya dalam pengambilan keputusan atau kebijakan-kebijakan,
para kader tarbiyah dituntut untuk mengambil berdasarkan hasil rasionalisasi
bersama anggota mereka di internal organ intra. Kegiatan kemahasiswaan pada
kelompok tarbiyah ini dibagi menjadi kegiatan terbuka dan tertutup. Kegiatan
terbuka dimaksudkan apabila kegiatan tersebut dapat diikuti publik secara umum.
Kegiatan terbuka ini dapat dijumpai di kegiatan-kegiatan lembaga intra yang
didominasi oleh anggota tarbiyah. Kegiatan tertutup jika kegiatan tersebut
diadakan secara tertutup tanpa diketahui oleh publik. Kegiatan ini disebut
kegiatan amiyah atau rahasia oleh
internal tarbiyah. Biasanya kegiatan-kegiatan ini diadakan oleh struktur
tarbiyah kampus.
Berdasarkan kepada manhaj atau nilai-nilai dasar perjuangan
yang dimiliki oleh anggota tarbiyah, maka di dalam pergerakan mahasiswa mereka
memiliki daftar agenda yang harus dicapai setiap tahunnya. Agenda tersebut
dinamakan agenda dakwah. Beberapa agenda tersebut antara lain: Penambahan
jumlah kelompok belajar atau mentoring atau holaqoh,
dan peningkatan kualitas kader. Pusat pembinaan ini terpusat di LDK Salam UI
dan LDF-LDF. Pembinaan merupakan sebuah kegiatan terpenting di kelompok
tarbiyah. Dasar dari pembinaan tersebut adalah halaqoh.
Temuan dari riset yang dilakukan
oleh Ibnu, alasan yang menjadikan gerakan kaderisasi sukses dari kelompok
tarbiyah dalam lingkup universitas di UI adalah dikarenakan dimilikinya
jabatan-jabatan strategis-struktural secara birokratis di lingkungan UI.
Kelompok tarbiyah mampu meletakkan kader-kader unggul mereka untuk menjabat di
birokrasi Direktorat Kemahasiswaan UI. Pejabat ini adalah ADKP yang
berkoordinasi dengan struktur tarbiyah kampus.
3.
Jalan
Dakwah
Gerakan tarbiyah diinspirasi oleh
gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Gerakan ini dipelopori oleh Hasan Al-Banna
dan Sayyid Qutb sebagai acuan gerakannya. Ketika Lembaga Dakwah Kampus (LDK)
berkembang menjadi sebuah gerakan politik pasca kejatuhan rezim Orde Baru.
Pengaruh gerakan tarbiyah semakin kuat, terutama setelah dideklarasikannya
Partai Keadilan (PK) pada tahun 1998. Pengaruh ideologi Ikhwanul Muslimin
semakin kuat. Ideologi yang didoktrin secara kuat melalui manhaj gerakan dakwah tidak pernah pernah diganti meski sudah
menjadi partai.
Dalam praktik dakwah yang dilakukan
oleh kader-kader tarbiyah/PKS ada beberapa medan perjuangan yang menjadi
tahapan yang harus dilakukan oleh para kader-kader, diantaranya: Pertama, medan pengorganisasian (mihwar tanzhimi), yakni membangun sebuah
organisasi yang kuat dan solid, yang menjadi kekuatan utama dalam
mengoperasikan dakwah. Organisasi ini diperkuat dengan orang-orang yang tangguh
sebagai lokomotif dakwah maupun memimpin umat. Untuk kepentingan tersebut, dilakukan
pembinaan dan kaderisasi yang sistematis, integral, dan berjenjang dengan waktu
yang relatif panjang. Kedua, medan
kemasyarakatan (mihwar sya’biy),
yakni membangun basis massa yang luas dan merata sebagai pendukung dakwah.
Medan ini bersifat terbuka bagi semua orang dengan orientasi kuantitas.
Ketiga,
medan
institusional (mihwar mu’asasi),
yaitu membangun berbagai lembaga untuk mewadahi berbagai kerja perjuangan di
seluruh sektor kehidupan dan seluruh segmen masyaraka. Selain membangun
institusi ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan, dan politik, kegiatan ini
juga memasuki berbagai intitusi yang sudah ada, termasuk pemerintahan dan
militer. Dengan langkah ini maka terjalin jaringan strategis antara PKS dan
pihak-pihak tersebut.
Keempat,
medan
kenegaraan (mihwar daulah), yakni wilayah dakwah di tingkat
negara. Bagi PKS, dakwah harus sampai pada tingkat negara karena institusi
negara dipandang mampu merealisasikan secara legal dan kuat seluruh kehendak
Allah atas kkehidupan masyarakat. Mencermati uraian di atas, nyaris sulit
dibedakan antara manhaj dakwah PKS
dengan manhaj dakwah Ikhwanul
Muslimin. Dalam hal ini Ikhwan bukan hanya inspirasi bagi PKS melainkan sebuah
qiblat dan acuan perjuangan.
Mengenai perjuangan dakwah terhadap
persoalan gender PKS, menegaskan bahwa kesetaraan antarmanusia tidak bisa
dilepaskan dari bagian integral konsep Islam tentang keadilan. Tidak ada
keistimewaan bagi sebagian manusia atau sebagian yang lain. Laki-laki tidak
istimewa karena kelaki-lakiannya dan perempuan tidak istimewa karena
keperempuanannya. Laki-laki dan perempuan sederajat dalam hak keagamaan, etika,
sipil, tugas dan kewajiban. Setiap individu dalam pandangan PKS memiliki
kewajiban untuk menegakkan keadilan dan menjalin hubungan yang sehat antara
laki-laki dan perempuan sebagai suatu pasangan. Di sini pentingnya apa yang
disebut relasi gender yang didasarkan kepada nilai keadilan, yaitu proses dan
pemberlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki dalam menjalankan peran
kemanusiaannya atas dasar persamaan. Persamaan kemanusiaan ini menjadi dasar
dua jenis kelamin untuk saling berintegrasi dalam kerangka persaudaraan.
Memiliki akes dan kesempatan
berpartisipasi berarti laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama
untuk memanfaatkan sumber dayanya dalam pembangunan peradaban dan dapat
menikmati anugerah sumber daya alam yang sempurna. Memiliki kontrol berarti
memiliki kewenangan penuh untuk terlibat dalam mengambil keputusan atas
penggunaan hasil sumber daya alam tersebut demi kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Kesimpulan
PKS sebagai sebuah partai politik
Islam merupakan bentuk tipologi partai yang lebih rajin membangun basis
kekuatan melaluo aksi-aksi ektra-institusional untuk menarik perhatian publik.
PKS adalah satu-satunya partai yang secara aktif melakukan mobilisasi terhadap
kader dan simpatisannya untuk turun ke jalan dan melakukan aktivitas
non-elektoral. Dalam proses ini dapat dipahami karena PKS adalah partai yang
tidak biasa (unusual party). PKS
lahir dari gerakan sosial bernama tarbiyah yang kemudian bermutasi menjadi
partai politik. Basis sosialnya adalah kelompok muslim terdidik, muda, dan
kelas menengah kota. PKS mampu mendulang simpati publik dengan memobilisasi
kader dan simpatisannya untuk melakukan kegiatan bakti sosial secara terus-menerus
dan tidak hanya menjelang Pemilu. PKS tampil sebagai sebagai partai kader yang
menerapkan standar ketat dalam proses rekrutmen dan pelatihan-pelatihan para
anggotanya.
Dalam proses kepemimpinan di dalam
internal partai. PKS memiliki tokoh kharismatik yang menjadi unsur perekat dan
pemersaru, yaitu Hilmi Aminuddin yang senantiasa dianggap sebagai golongan tua
pendiri tarbiyah yang mendirikan PK. Namun, tokoh-tokoh kunci ini lebih sering
menempatkan diri di belakang layar dan pembuat keputusan, sekaligus mengawawasi
jalannya partai. Tokoh-tokoh yang dianggap golongan muda lebih cenderung
dimunculkan untuk berhadapan dengan kompetisi politik, seperti Hidayat Nur
Wahid, Fahri Hamzah, Tifatul Sembiring, Lutfi, Nur Mahmudi Ismail, dan Anis
Matta. Pengaruh ini membawa unsur positif di dalam model kepemimpinan partai
karena PKS muncul ke publik dengan brands
sebagai partainya anak muda dan terpelajar.
Kebijakan PKS yang menekan model
kepemimpinan yang kharismatik terhadap golongan tua sebagai perekat apabila terjadi
konflik. Keputusan diinternal partai dapat dibuat secara cepat dengan cara
melibatkan golongan-golongan muda sebagai eksekutif partai tentunya. Namun,
kelemahan dari model kepemimpinan dalam tubuh PKS adalah kurang dikenalnya para
kader yang mengusung berdirinya kepemimpinan secara kolektif. Meski kuat secara
internal karena terlibatnya kader secara keseluruhan dalam mengambil peran di
dalam partai. Kurang dikenalnya tokoh-tokoh populer di dalam PKS di tingkat
nasional lebih sering menempatkan PKS sulit menjadi partai besar yang berbasis
massa yang mengutamakan kepopuleran tokohnya sebagai magnet penarik suara dalam
Pemilu.
Olivier Roy mengkritik
partai-partai Islamis yang mengalami kegagalan ketika masuk ke dalam tahapan
mengelola pemerintahan karena memilih pemimpin lebih atas dasar kesalehan dan
bukannya kapasitas dan profesionalitas. Kritik tersebut relevan bila digunakan
untuk membedah model rekrutmen kepemimpinan di PKS karena seringkali
pertimbangan jenjang keanggotaan dan lamanya masa tarbiyah seorang kader lebih
diutamakan dari kapasitas. Bila ada pilihan seseorang dengan jenjang
keanggotaan tinggi namun kurang kapasitas sedangkan ada kader yang lebih
kapasitasnya namun jenjang keanggotaannya lebih rendah, maka masih lebih sering
kader yang lebih senior yang diutamakan. Sementara stressing pembinaan atau
tarbiyah di masa awal gerakan Tarbiyah
memang mengutamakan peningkatan kesalehan dan ketaatan, bahkan kadang kala ada taqwim,
pengujian apakah seseorang mau meninggalkan kewajibannya di kantor untuk ikut
demonstrasi di hari kerja. Bila kader tersebut tidak mau mangkir dari kantor, maka
ia akan dinilai tidak taat kepada murabbi dan lebih mementingkan urusan
duniawi.
Daftar Pustaka
Aman
(ed), Ichlasul. Teori-Teori Mutakhir
Partai Politik . Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Budiardjo,
Mirriam . Partisipasi dan Partai Politik.
Jakarta: Yayasan Obor, 1998.
Budiman,
Ibnu . Geopolitik Islam Kampus UI:
Indonesia, Islam, dan Ikhwah(n). Yogyakarta: Gre Publishing, 2014.
Muhtadi,
Burhanuddin . Dilema PKS: Suara dan
Syariah. Jakarta: KPG, 2012.
Platform
Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Memperjuangkan Masyarakat Madani. Jakarta: Majelis Pertimbangan
Pusat PKS, 2008.
Rahmat,
M. Imdadun t. Ideologi Politik PKS: Dari
Masjid Kampus Ke Gedung Parleme. Yogyakarta: Lkis, 2009.
S.G.
Huneryager &I.L. Heckman. Kepemimpinan.
Semarang: Dahara Prize, 1992.
Suekanto,
Sitaresmi S. Desertasi: Pemenangan Pemilu
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia 1999-2009 dan Adelet Ve Kalkinma
(AKP) di Turki 2002-2007: Studi Perbandingan. Depok: Desertasi Universitas
Indonesia, 2012.
Ware,
Alan. Political Parties and Party Sytems.
New York: Oxford University Press, 1996.
Wibowo,
Ragil Sapto. Skripsi : Suksesi
Kepemimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Internet
Jurnal
Rose, R. (1964),
‘Parties, Factions and Tendencies in Britain’, Political Studies, 12 (1) :
33-46.
Roger Scruton. The
Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought dalam Sitaresmi S.
Suekanto “Pemenangan Pemilu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia
1999-2009 dan Adelet Ve Kalkinma (AKP) di Turki 2002-2007: Studi Perbandingan” (Depok:
Desertasi Universitas Indonesia, 2012), hal.61.
0 komentar:
Posting Komentar