Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Dari Desa . . .



“Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?”
(Sajak Sepotong Jagung: Ws. Renra 12 Juli 1975) 

Sepiring nasi jagung. Makanan lezat yang kini mungkin sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Keberadaan nasi sebagai makanan pokok sudah terlalu ‘mendarah daging’ bagi kita masyarakat Indonesia. Mungkin jika dulu kita selalu mendengar makanan khas berbagai penduduk Indonesia yang penuh dengan keberagaman makanan. Masih ingat dalam pelajaran waktu saya SD dulu. Kita mendengar bahwa setiap suku di Indonesia memiliki makanan khas yang berbeda satu sama lainnya. Semisal, suku Madura dengan Jagung dan orang-orang Maluku yang makan dengan Sagu. Tetapi sayangnya keberagaman itu berubah. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia mulai mengidolakan nasi sebagai satu-satunya makanan pokok.

Meresapi sebuah perjalanan yang penulis lakukan beberapa hari yang lalu menuju Garut. Ada perasaan senang tak kala diberikan kesempatan untuk mengunjungi sebuah Pesantren di wilayah ini. Pesantren yang selalu akan menjadi bagian dari pemikiran penulis mengenai dramaturgi persaingan ‘masyarakat lokal vs industrialisasi’ yang kini sudah mulai hilang dan dipandang sebelah mata. Pesantren yang bernama At-Thoriq yang penulis dan teman-teman kunjungi jelas sangat berbeda sekali dengan persfektif yang penulis lalui selama pernah tinggal di Mahad di desa dulu, jauh di pedalaman Sumatera. Di sini, pesantren tidak hanya mengajarkan nilai-nilai ke-ilaihian semata yang sarat dengan nilai-nilai keislaman yang formalistik. Sebab, sebagian besar dari santrinya diajarkan untuk menghargai pertanian. Ya, mereka diajarkan untuk mengolah tanah; membajak sawah, menyemai benih, hingga kepada panen dan bagaimana cara menghargai sepiring makanan.

Pesantren yang berdiri ‘kokoh’ di tengah persawahan di wilayah Tarogong, Garut ini. Secara langsung mencoba untuk mengajarkan bagaimana kontrasnya kehidupan pertanian yang ada di Indonesia. Komoditas pangan yang ditunjang oleh suburnya tanah di Indonesia secara langsung tidak dapat memberikan kontribusi yang maksimal terhadap kesejahteraan masyarakat. Ibarat analogi sudah di ujung tanduk. Keberadaan Desa yang sepatutnya mampu menunjang kesejahteraan masyarakat. Kini hanya jadi sebuah alat pemenuhan industri oleh wilayah perkotaan. Masyarakat sudah mulai malas menjadi petani. Anak-anak muda merantau ke kota, enggan mengolah tanah. Memilih jadi buruh di pabrik-pabrik. Sebab, mereka tak mau menjadi petani yang tak jelas penghidupan kedepannya.

Keberadaan yang mulai menjadi ‘duri dalam daging’ ini telah memaksa kami para pemuda mahasiswa yang bersama-sama tergabung dalam Aliansi Desa Sejahtera untuk turun membasahi kaki dengan lumpur, kembali menuju desa. Meskipun hanya 2 hari keberadaan kami di Pesantren. Setidaknya pengalaman ini akan selalu berbekas dalam ingatan kami. Bahwa hidup sebagai petani adalah sebuah pekerjaan mulia. Bukankah, negara ini dulu juga besar dari kerajaan-kerajaan yang menjadikan pertanian sebagai sektor krusial dalam penghidupannya. Salah satu hal yang mampu menjadi sebab  hilangnya respon masyarakat terhadap keberadaan wilayah pertanian di Indonesia adalah munculnya paradigma pangan yang murah dan bisa didapatkan kapan saja melalui proses impor. Seumpama menegakkan benang basah. Kondisi sulit berkepanjangan ini pun mulai menjadi benalu yang sulit ditebas. Ketika petani hanya dijadikan sebuah obyek pemenuhan kebutuhan oleh masyarakat perkotaan. Kecenderungan ini sangat jelas terlihat sebagai sebuah ketimpangan. Apabila kita lihat pelbagai persoalan yang dihadapi oleh petani hanya dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan pihak swasta yang me-nuhankan perekonomian terhadap pasar.

Kondisi ini memang sulit untuk diubah. Jika kita berpandangan pada beberapa filsuf seperti Marx, mungkin dia akan memilih untuk melakukan revolusi saja. Sebagai proses untuk meruntuhkan tatanan feodal yang terbentuk. Petani ibarat kelompok proletar yang hanya bisa pasrah dihisap oleh keadaan yang penuh dengan ketidakkemungkinan. Mereka dituntut untuk menyediakan pangan yang murah. Tetapi dipaksa untuk bersaing dengan derasnya arus pasar bebas dengan komoditas industri dari negara-negara lain.  

Sebagai sebuah refleksi mengenai keadaan. Cobalah kita renungi kembali beberapa waktu yang telah kita semua habiskan sebagai seorang mahasiswa. Kaum civitas akademika yang seharusnya punya amanah dan beban berat yang harus kita lakukan untuk kemajuan bangsa. Mahasiswa jelaslah berbeda dengan seorang siswa yang hanya mendapatkan pembelajaran secara langsung melalui seorang guru. Mereka dituntut untuk berperan dan terjun ke dalam masyarakat dan berkontribusi untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Jika mahasiswa sudah enggan untuk berbagi kepada masyarakat. Lalu, bagaimanakah sebuah kelanjutan dari sebuah bangsa. Bukankah kita semua tidak ingin keadaan ini berlarut-larut menjadi keadaan yang menimbang rasa, menutup perihnya luka. Seruan dari Renra melalui puisi yang penulis kutip di atas setidaknya menjadi introspeksi kita semua para pemuda. Belajar dalam beragam teori dan lembaran buku ilmiah, tetapi memilih jadi layang-layang di ibu kota. Dan bimbang harus berbuat apa ketika dituntut kembali ke desa. []



Cerita Mojang Pasundan


Di antara semaian bibit padi.
Berbalut untaian rumput perdu yang mengaduh.
Dalam jalan hidup yang mulai tertatih,
Belailah sunyi dalam batinku.

“Wilujeng sumping”,
Tutur manis ketika aku sampai di priangan.
Keramahan terucap datang kelana biang lala waktu.
Tanpa beban dirimu tersenyum berbagi nasi.
Para mojang penyemai padi.

Syahdan, kulepas lelah beberapa hari.
Tentang mesin dan asap pabrik.
Cerita dirimu tentang nasib,
Bahwa petani tak hidup di sini lagi.
Mereka hidup miskin dan terbelakang.
Sebab orang kota membeli tanah kami.

Lalu aku tak bisa berkata-kata,
Hanya ucapan sunyi mengalun di udara pagi.
Dari tanah pedesaan yang kering dan enggan menghasil benih.
Kau berbisik dalam bahasa tak kumengerti;



Sumiratna cahaya sarengenge
nyaangan dada nu rangsak
karasa haneutna susuganan
garing tatuna
balas di sasaak rasa

Manuk ricit di sarada
siga nu tausyiah
ngupahan nu lara tunggara

Ceuk manuk
sing sabar....sing sabar...
kuring kur bisa mesm bari ngalimba



Taragog-Garut, Jawa barat, 6 Oktober 2012
_Indra Ganesha_






Mudik Dan Kesiapan Pemerintah



Tradisi Mudik adalah ritual tahunan yang tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial masyarakat Indonesia. Keadaan ini berlangsung sebagai rutinitas yang saling terhubung dengan proses libur panjang menjelang Hari Raya yang menjadi alasan mendasar bagi para pemudik untuk pulang ke kampung halaman. Tetapi sayangnya, permasalahan yang timbul sebagai akibat dari mudik seringkali di pandang sebelah mata. Kuantitas para pemudik yang naik secara signifikan seringkali tidak mendapatkan perhatian yang setimpal dari pemerintah. Kerumitan yang muncul lebih sering dianggap sebagai masalah tahunan yang tak kunjung mendapatkan perhatian maksimal untuk dipecahkan dan dicari solusi praktisnya.
Dalam hemat saya, ada hubungan yang terbentuk dan saling terkait antara kesiapan pemerintah tiap tahunnya dalam menghadapi arus mudik dengan peningkatan jumlah pemudik yang ada. Ditinjau dari masalah yang ditimbulkan. Ritual mudik lebih cenderung memiliki sebab yang sama tiap tahunnya. Dari masalah teknis terhadap kesiapan pelayanan infrastruktur jalanan untuk keselamatan para pemudik, hingga kepada persoalan pengaturan laju kendaraan bermotor yang bertambah tiap tahunnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Neta S. Pane selaku koordinator Indonesian Police Watch (IPW) dalam media Rakyat Merdeka Online, bahwa setidaknya ada 4 masalah krusial yang menjadi persoalan tahunan dari ritual mudik di masyarakat.
Pertama, meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang diikuti oleh jumlah pemudik tiap tahunnya. Kedua, kondisi pelayanan angkutan umum yang hingga kini dianggap buruk dan kurang memadai telah menjadikan pemudik lebih cenderung memilih menggunakan sepeda motor sebagai alternatif pilihan untuk mudik. Ketiga, kondisi jalanan yang buruk, berlubang, tambal sulam, dan berlobang. Sangat berbahaya bagi keselamatan pemudik. Keempat, terbatasnya jumlah personil polisi yang tidak bisa mengimbangi jumlah kendaraan bermotor tiap tahunnya. Sehingga sulit untuk melakukan pengawasan yang maksimal terhadap pemudik.
Permasalahan tersebut merupakan permasalahan klasik yang umum terjadi dari tahun ke tahun. Meskipun bersifat krusial. Penyelesaian masalah tersebut masih kurang maksimal dan lebih cenderung bersifat ‘kejar-tayang’ dalam proses penyelesaiannya. Simak saja persoalan infrastruktur jalanan yang hingga sampai saat ini masih saja mengalami perbaikan yang belum maksimal. Kondisi ini sudah sepatutnya dijadikan bahan evaluasi dari pihak pemerintah dalam menanggapi persoalan mudik tahunan seperti yang terjadi pada saat menjelang Hari Raya Idul Fitri yang sebentar lagi. Sudah sepatutnya pemerintah berbenah diri dalam melihat persoalan mudik tidak lagi sebatas ritual dan kegiatan tahunan dari masyarakat wilayah perkotaan yang ingin menghabiskan waktu dengan bertemu dan bersilaturahmi dengan keluarga mereka yang ada di kampung. Namun, sebagai rutinitas yang harus diperhatikan secara seksama dan maksimal agar terbentuknya kondisi yang kondusif dan perasaan nyaman dan aman dari para pemudik yang akan bepergian menuju kampung halamannya. []

Eko Indrayadi
Mahasiswa FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Direktur Rumput Hijau Institute





Mendefinisikan Kembali Kegiatan Ospek


Pelaksanaan Ospek yang acapkali menjadi simbol diterimanya mahasiswa baru di sebuah Universitas merupakan acara seremonial rutin yang sering dilakukan tiap tahunnya. Ospek yang notabenenya adalah usaha pengenalan almamater dan kehidupan kampus pada awalnya bertujuan untuk membentuk sikap dan proses dan beradaptasi dari para calon mahasiswa. Ditinjau dari tujuan mendasarnya, Ospek memiliki tujuan baik dan jelas. Asalkan dijalankan sesuai dengan aturan dan prosedur yang bertujuan untuk menanamkan prinsip-prinsip kehidupan kampus yang tersirat dalam Tridarma Perguruan Tinggi; Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian terhadap masyarakat ketika mahasiswa berhasil mencapai gelar sarjana.

Selain itu, ditinjau dari manfaat lainnya. Ospek juga bisa menjadi sarana pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai moral kehidupan di dalam lingkungan mahasiswa. Misalnya saja dengan melakukan kegiatan Ospek yang berlandaskan pada kegiatan-kegiatan positif, seperti Outbond, pelatihan kepemimpinan, dan manajemen keorganisasian. Tetapi sayangnya, stigma negatif terhadap pelaksanaan Ospek seolah sudah tertanam begitu mengakar. Mengingat seringkali Ospek dilabelkan sebagai sarana balas dendam dari para senior kepada yuniornya. Kecenderungan inilah yang seringkali berakibat fatal dengan berubahnya nilai-nilai positif dan membangun di dalam kegiatan Ospek. Menjadi perbuatan amoral dan anarkis. Bentuk kekerasan fisik yang seringkali dilakukan oleh para senior terhadap para yunior yang melakukan kesalahan sepele sudah selayaknya dihilangkan dan tidak dapat ditolerir oleh pihak kampus.

Sangat dilematis apabila kita mengingat dua pasal yang sifatnya bersifat otoriter dalam kehidupan kampus. Pertama, senior selalu benar. Kedua, apabila senior salah maka kembali kepada pasal pertama. Secara jelas, sikap yang tercermin dalam kata-kata tersebut sangatlah tidak mencerminkan sikap seorang mahasiswa yang merupakan penerus estafet dari kepemimpinan bangsa. Keberadaan Ospek yang cenderung menyemai ‘bibit’ kekerasan sudah sepantasnya dihentikan melalui kewenangan yang dimiliki oleh pihak kampus. Agar tidak terciptanya kondisi balas dendam yang berlarut-larut di lingkungan mahasiswa senior terhadap para maba (mahasiswa baru) yang memasuki kampus.

Salah satu cara efisien yang dapat ditempuh adalah dengan merumuskan dan mendefiniskan kembali kegiatan Ospek yang berlaku di kalangan mahasiswa. Pihak kampus, sudah selayaknya memegang kewajiban penuh untuk melakukan monitoring dan pengawasan dalam proses Ospek. Selain itu, pihak kampus dan mahasiswa bisa duduk bersama untuk menyusun konsep pelaksanaan Ospek yang bertujuan untuk mendinamiskan beragam kegiatan postif dan membangun di dalamnya. Kegiatan-kegiatan yang sifatnya militeristik dengan menggunakan kekerasan fisik sudah sepatutnya dirombak dan digantikan oleh kegiatan yang lebih mengedepankan skill dan intelektual. Sehingga diharapkan akan terciptanya kondisi Ospek yang lebih berkarakter positif dan membangun untuk mempersiapkan para mahasiswa sebagai generasi-generasi muda yang tidak hanya memiliki sifat dan akhlak yang terpuji. Tetapi juga, sebagai batu loncatan para mahasiswa baru untuk bersikap lebih dewasa dalam bertindak sebelum memasuki kehidupan kampus. []

“SURAT HUKUMAN MATI BUAT PEMBUNUH SAHABAT KAMI”



Assalamu’alaikum Warakhmatullahiwabarakatuh,
Yth. Terhormat Para pemuka hukum dan pemegang amanat keadilan.
Yth. Seluruh MAHASISWA INDONESIA.
Yth. RAKYAT INDONESIA.



BISMILLAHHIRROHMANIRROHIM

Dengan penuh rasa sesal dan sakit. Kami semua mahasiswa dan mahasiswi UIN Jakarta berkumpul menyatukan suara. Bergerak dalam kebersamaan untuk menuntut keadilan di muka meja hijau. Pernahkan Bapak/Ibu pikirkan apa yang pelaku perbuat terhadap sahabat kami. Sebuah pembunuhan terencana yang tidak hanya menghilangkan nyawa dengan tetesan darah penyiksaan. Tetapi juga, menghilangkan cita-cita seorang generasi muda untuk melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang wisuda.

Bapak/Ibu yang terhormat. Bukan sebuah penyesalan yang terlontar yang ingin kami lihat ketika para pembunuh keji itu dengan buas berpesta di atas kesucian sahabat kami. Bukan wajah polos dan sayu dengan raup kesedihan para pelaku yang ingin kami lihat. Tetapi, kami melihat bagaimana kedua orang tua sahabat kami sangat terpukul dengan kejadian. Saudara-saudaranya yang tidak mampu berkata-kata akibat luka batin yang mendalam.

Bapak/Ibu yang terhormat. Di dalam kitab KUHP telah jelas dan nyata disebutkan. Apa hukuman setimpal bagi pelaku pembunuhan berencana? Ya, tertulis jelas dalam pasal 340 KUHP bahwa hukuman berat bagi pelaku adalah : MATI. Hukuman yang setimpal bagi para pelaku yang tiada kenal rasa prikemanusian. Sudah jelas bagaimana biadabnya para pelaku melakukan pekerjaan hina dengan akhir hilangnya  nyawa sahabat kami.

Bapak/Ibu yang terhormat. KAMI MAHASISWA UIN JAKARTA. DENGAN INI MENUNTUT HUKUMAN MATI TERHADAP PARA PELAKU PEMBUNUH SAHABAT KAMI IZZUN NAHDIYAH, MAHASISWA FISIP UIN JAKARTA. AGAR DIHUKUM MATI!!! AGAR TIDAK LAGI TERULANG KASUS YANG SAMA YANG SUATU SAAT MENIMPA PUTRA/PUTRI, BAPAK DAN IBU SEKALIAN.

Wassalamualaikum Warakhmatullahiwabarakatuh.

                                                                                                                                TTD
                                                                                              SELURUH MAHASISWA UIN JAKARTA

Tulisan Seleksi


Jika Aku Menjadi JEI Ambassador
(Pemuda Pengemudi Masa)

Seribu orang tua mungkin hanya bisa bermimpi dan berharap. Namun, sepuluh orang pemuda bisa menjadi pelopor yang mengubah dunia. Kata-kata inilah yang senantiasa tertanam dalam benak dan diri saya. Bukan tanpa alasan, sebagai salah satu pemuda yang terlahir di Indonesia. Keinginan untuk selalu berpartisipasi dalam setiap kegiatan positif untuk kemajuan bangsa ini bukan hanya sampai pada tahap harapan dan mimpi. Tetapi sudah selayaknya membutuhkan sebuah proses implementasi yang mendalam dalam mengerahkan setiap potensi tenaga dan pemikiran.
Dalam berproses mencapai hal tersebut, membangun wawasan budaya dan sejarah melalui penjajakan mendalam tentang situasi dan kondisi museum yang ada di Kota Tua Jakarta adalah langkah tepat dan mendasar. Selain sebagai wahana  pembentukan karakter pemuda. Kegiatan ini juga sebagai langkah awal dalam menumbuhkan perasaan cinta yang mendalam terhadap Indonesia. Kegiatan JEI adalah langkah yang sangat signifikan dalam perubahan ke arah positif untuk para pemuda. Kegiatan ini sangat sikron dengan pernyataan seorang filsuf Plato, Historia Vitae Magistra. Sejarah adalah sumber kehidupan. Melalui sejarahlah terkadang sebuah masa depan dirancang dan dibangun. Sejarah juga ibarat sebuah pondasi yang menentukan, seberapa kuat sebuah bangsa bisa bertahan dalam dua kemungkinan, maju dan mundurnya di masa mendatang.
Oleh sebab itu, meskipun seringkali sejarah dikaitkan dengan sesuatu yang membosankan karena dianggap sebagai cerita-cerita yang jadul. Namun setidaknya, sejarah bisa menjadi sebuah inspirasi bagi golongan pemuda yang suatu saat mengambil bagian dalam proses sejarah tersebut. Datang ke museum dengan beragam permainan yang fun dan tidak membosankan. Merupakan alternatif  pilihan yang bisa dilakukan oleh anak-anak muda yang kini sudah mulai tergerus minatnya oleh modernisasi dan mal-mal megah yang berdiri berdampingan dengan pusat perbelanjaan. Museum bukanlah hal yang membosankan. Karena dengan mendatanginya kita bisa bertukar pandangan mengenai pengetahuan sejarah yang kita pelajari di bangku sekolah. Tidak hanya sebatas pada membaca dan memahaminya. Tetapi juga ikut mengerti mengenai bagaimana proses sejarah itu berlangsung.
Mendatangi Kota Tua misalnya, Sangat edukatif dalam membangun wawasan dan cakrawala budaya bagi generasi muda. Tidak hanya sekedar paham dan mengerti bagaimana sebuah peradaban, khususnya di Jakarta terbentuk. Tetapi juga secara umum memberi pembelajaran mengenai cikal-bakal terbentuknya negara Indonesia. Di Kota Tua, kita dapat menyaksikan bagaimana sebuah peradaban dibangun dan dibentuk. Memang jika kita lihat, museum ini hanyalah bangunan-bangunan kosong dan saksi bisu dari sejarah. Tetapi, dengan berkontribusi melalui kegiatan mengunjungi museum. Kita sudah menghidupkan sebuah semangat dan jiwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar. Karena ibarat sebuah perumpamaan jika museum adalah deskripsi sejarah bangsa, maka pemudalah yang menjadi jiwa dan ruh dari jalannya proses peradaban kebudayaan sebuah bangsa.
Seyogyanya, sebagaimana yang saya ungkapkan di atas. Tidak ada keinginan yang terlalu muluk dan jumawa  mengenai alasan saya untuk ikut dalam pemilihan JEI Ambasassador. Alasan mendasarnya hanyalah berpartisipasi dan menularkan bagaimana rasa cinta kepada sejarah dan budaya kepada anak-anak muda. Meskipun besar harapan dapat mengenalkan budaya Indonesia ke seluruh dunia. Tetapi, hal tersebut akan terlihat mustahil dan sulit jika tidak membangun perasaan cinta terhadap sejarah dan budaya mulai dari diri para pemuda. Sebab, keelokan Indonesia hanya terlihat semu jika tanpa kecintaan mendalam dari generasi mudanya.[]

*Eko Indrayadi
Mahasiswa Ilmu Politik UIN Jakarta dan Kahfi Public Speaking School

Tulisan ini dibuat sebagai salah satu syarat pemilihan JEI Ambasador oleh YouthEmpowering 2012 

Awal Mule Sebuah Cerite: Eko Indrayadi


Alhamdulilah, ahi ni pas malam minggu. Diwek'an ngado kance nak usek atau sekedar behusek rami-rami nyakah ciwek. Mumpung agi diwekan, alangke baiknye kalu aku nak betutur kudai mengenai riwayat atau sejarahnye kenape umak ngan bak ku dulu ngenjok aku name Eko Indrayadi. Mungkin bnyak yang salah man uji uhang kele. Tapi, ini sekedar perapalanku kian ngenai sejare nameku. Bukankah men uji mamang William Shakespear yang nulis buku Romeo ngan Juliet. Ape nian arti sebuah name? Tapi alangke baeknya amen kite tau arti name kite. sebab man uji Ustad Thabroni badaku belajah ngaji mwaktu kecek dulu, name tu doa: mimpi dan harapan jeme tue kite. Nah karena itulah malam ini aku nak mutar palak. Tapi kannye begiling. Kalu mabok, hehehe. Tapi ngape adaklah yang penting namenye usahe.


Eko uji jeme artinye satu. Anak nomer satu lebih tepatnye. Name ini memang name pasaran, name yang bise kance-kance temukan di seluruh lapisan masyarakat jeme kite. Ndai tukang bakso, mamang pecel lele, pelajar, mahasiswa, sampai ke anggota DPRD di dusunku ade pule yang namenye Eko. Tapi, ade yang unik. Jeme banyak yang mehase amen ade jeme namenye Eko pasti jeme jawe. Pas nian amen di dusunku tu ade name daerah namenye Talang Jawe. Amen uji ninekku dulu itu bada para pekerja pembuat Rel Kereta Api yang dulu di drop ndai Pulau Jawe alias diperbantukan untuk melakukan pembangunan di daerahku. Daerah itu termasuk wilayah padat dan banyak jemenye. same kian dengan bada huma puyangku di dusun baturaje atau di daerah Cemara bada huma ninekku.Nah, amen kamu nak tau behape name uhang Eko pacak lakukan survei di bada ini. Anggapan name Eko adalah hang Jawe memang lah terpatri dalam pemikiran jeme-jeme dimanepun berade. Di SMA pun, aku banyak dikatekan kance-kance anak uhang jawe. Oleh karene itu banyak yang pasti nyangke bak ngan umakku jeme jawe. Ngenjok nameku mak ini.


Tapi ketike tepaham dalam pikiran, ade makne lain kenape umak ngan bak ngenjok name ini. Memang beliau bedue kannye jeme Jawe. Bakku ndai OKI, tepatnye di dusun Kuang Lubuk Tunggal. Amen kamu uhang dek tau daerahnye, kamu pasti kenal jeme hebat cak Helmy Yahya ngan Tantowi Yahya atau kamu uhang kenal dengan Pak Hatta Rajasa yang mak ini ahi jadi Menteri Koordinator Perekonomian. Nah legale uhang ini asalnye same Kabupatennye ngan bada bakku lahir. Tapi dusun bakku ini maseh jauh masuk ke dalam ndai wilayah uhang-uhang tekenal itu. Due Yahya ndai Indralaye daerah yang mak ini ahi jadi ibu kabupaten Ogan Ilir, sedangkan Pak Hatta ndai daerah Kayu Agung yang jadi ibu kabupaten Ogan Komering Ilir. Tapi men kamu uhang bace sejarah administratif wilayah Sumatera Selatan, kedue daerah itu dulunye satu dengan name kabupaten Ogan Komering Ilir saje.


Amen kamu uhang tau mak mane sejarah hidup ndai bakku, mungkin kance-kance pacak setarakan ceritenye gok, kisah Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, juge dengan cerite tokoh Alif dalam novel 5 Menara. Kele mungkin dalam sesi tersendiri aku bakal cerite mak mane kerasnye perjuangan bakku dulu ketike sekolah. Alangke malunye aku, men tau betape semangatnye die. Beda nian gok budak-budak jaman mak ini. Mungkin juge dek bise disetarakan gok pejuanganku saat ini.


Sedangkan umakku asli jeme Dusun Baturaje, amen uji jeme Jakarta tu Betawinye Baturaje. Huma puyangku pun masih sampai mak ini betegak di dusun tue baturaje. Parak gok sungai ugan. Aku maseh kurang tau jelasnye cerite sejarah turun-temurun ndai keluarge umakku. Tapi, men dekde salah keluarge umakku dulu ade yang namenye Pangeran Awaludin. N'tah siape kenan tu, tapi men ji umakku die jeme tekenal di Sumsel. Mungkin kance ade yang pacak sejarahnye. Selain tu, keluarge umakku juge mase beduluran gok Jenderal Makmun Murod. Mungkin amen kance-kannce lebih pacak gok anak beliau Dodi Makmun Murod. Nah, huma kenan tu sedepanan dengan huma puyangku di dusun Baturaje. Umakku ndai kecek besak di Baturaje, amen nganengkan ceritenye waktu aku kecek dulu. Baturaje tu la tekenal ndai jaman dulu. Nah, amen kamu kurang percaye cuka bukaklah blognye mang Joni Lodeh. Mamang kite sikok ini mungkin bise dikatekan Beny and Mice-nye uhang Baturaje. Legale sejarah Baturaje mamang kite ini pacak gale. Mungkin kele aku pacak milui jejak Soko Guru kite ini. Jadi budayawan suku Ogan lok almarhum Djohan Hanafiah. Semoga Allah senantiasa ngenjok tempat setimpal dengan pahale dan amal jariah beliau. Amien.


Kalau kite kinak, keluarge besakku rate-rate jadi Petani gale, memang ade yang jadi Pegawai Negeri. Tetapi, secare dek de langsung ade darah agraris yang berade dalam tubuhku. Memang, ninekku, puyangku, bak puyangku, atau ninek puyangku dulu aku dekde tau ige mak mane kise atau cerite beliau gale. Tapi yang jelas, karene mereka galelah aku pacak nginak dunie ini mak ini ahi.


Balek agi ke cerite awal, nah mungkin kamu uhang la tau sediket asal-muasal ndai jeme tueku, ngatek sedikitku hang jawe. Cuma ade cerite unik, waktu umakku ngandung aku dulu. Ade kemungkinan bak ngan umakku kepengen aku ini lok hang Jawe yang banyak merantau di dusunku. Rate-rate behasil gale dan jadi jeme sukses. Memang, hang Jawe tu men uji jeme kami pekerja ulet. Jarang nian tekinak jeme Jawe yang merantau gawinye behusek ngan ngerumpi kecuali men legale penggawiannye la selesai gale. Mpai uhang-uhang ini tekinak beselunjuhan melepas lelah di pucuk pance sambil ngudut rokok dan minum kopi.


Lalu, sambungan nameku yang selanjutnye Indrayadi. Nah, men sambungan ini caknye ade due arti. Cak ambigu men kite tela'ah. Banyak dosen-dosenku yang jeme Palembang nyangke Indrayadi tu, ndai kate Indralaya. Bada bakku dulu. Tapi, kalau kite kinak secare bahase Indrayadi itu semacam sinar atau cahaye. Mungkin bak ngan umakku secare dek de langsung dulu kepengen aku ini jadi budak yang bise jadi panutan jeme. Semacam tokoh. Amin. Tapi,Wallahu'alam. Ape kian artinye mudah-mudahan aku bise banggakan kedue uhang tueku. Adeng-adengku, gok keluargeku.


Nah, setelah bepanjang kalam gok kate. kamu uhang la tau kan mak mane asal-usulku, ngape nameku Eko Indrayadi tapi bukan uhang Jawe. Harapan kedue uhang tueku mungkin dekde terlalu muluk-muluk. Cukuplah aku jadi seorang pekerja keras lok hang Jawe, pintar lok mereka. Nirui jejak mereka yang merantau ke seluruh Indonesia. Mungkin cuma sampai sini kian cerite ndai aku ke kamu uhang. Mohon maaf kalu ade salah kate, karene kesempurnaan cuma milik Tuhan kite yang Maha Kuase.



Ciputat, 17 Maret 2012


FPI Dan Ketegasan Pemerintah Dalam Demokrasi

Anggapan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap Front Pembela Islam (FPI) mungkin memiliki perbedaan satu sama lainnya. Banyak yang pro, tetapi tidak sedikit juga dari masyarakat yang yang kontra terhadap ormas Islam ini. Kemunculan FPI yang terlahir dari proses berdemokrasi setidaknya memiliki beberapa aspek yang mampu kita amati. Dalam satu sisi FPI bisa dilabelkan sebagai kelompok anarkis, anti perbedaan, ataupun menolak nilai-nilai yang dianggap memiliki interpretasi berbeda dengan paham yang mereka anut. Sedangkan disisi lain, FPI adalah ormas yang keberadaannya berusaha menegakkan dan menyelaraskan nilai-nilai keislaman di dalam masyarakat.

Puncak dari keadaan ini adalah aksi penolakan oleh sekelompok masyarakat etnis Dayak yang mencoba untuk mencegah masuknya kelompok ini ke wilayah mereka di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Tindakan yang mencoba untuk memblokade penyebaran dari FPI ini setidaknya membuka babak baru mengenai pilihan dari masyarakat dalam menyingkapi sebuah organisasi kemasyarakatan dalam proses berdemokrasi di Indonesia.

Adanya FPI yang merupakan konsekuensi dari kehidupan berdemokrasi pada nyatanya memiliki keharusan untuk saling mengerti. Tindakan dan aksi yang sering mereka lakukan setidaknya akan membuat keberagaman persepsi dari masyarakat. Di pandang dalam pendekatan Islam, memang menegakkan Amar Makruf Nahi Munkar, adalah kewajiban bagi setiap muslim. Tetapi, bukankan kita diajarkan untuk mendakwahi seserorang dengan tutur kata yang lemah lembut dan sopan. Bukan sebaliknya, dengan tindakan dan aksi keras.

Melihat hal ini, pemerintah setidaknya harus turun tangan melalui cara lain terlepas dengan cara memperingatkan. Kegiatan dari ormas-ormas yang mengganggu ketertiban harus mendapatkan perhatian yang serius dan seksama dari pemerintah. Bila diperlukan, pemerintah perlu untuk mencabut izin dari ormas tersebut.

Namun dalam sistem demokrasi kemunculan FPI merupakan sebuah keunikan tersendiri. Keberagaman masyarakat yang terlahir dari multi etnis, sangatlah membutuhkan peran serta dari ormas-oramas yang muncul. Meskipun, dalam hal ini peran penting dari perintah untuk terlibat dalam mengawasi keberadaan ormas tersebut sangat ditekankan, terutama terhadap tindakan ormas-ormas yang bersifat anarkis dan mengganggu ketentraman masyarakat.

Di dalam demokrasi keberadaan ormas, hendaklah mengutamakan nilai-nilai kolektivisme kebersamaan untuk menyatukan perbedaan yang timbul di dalam masyarakat. Bukankah Indonesia adalah bangsa yang terlahir dari kesatuan suku-suku bangsa yang saling menghormati satu sama lainnya. Perbedaan dalam satu hal memang merupakan karunia tersendiri bagi bangsa Indonesia. Sebab dengan keberagaman inilah Indonesia dibangun dan dideklarasikan sebagai negara kebangsaan.

Secara implisit tertuang dalam Pancasila secara jelas bahwa perbedaan yang terlahir dari masyarakat Indonesia bukanlah sebuah faktor penghambat. Baik perbedaan secara agama, suku, budaya, bahasa, maupun pemahaman. Adanya semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu jua. Merupakan salah satu harapan dari para pendiri bangsa ini, bahwa perbedaan pemahaman bukanlah sebuah landasan untuk menciptakan perpecahan, tetapi dengan perbedaanlah kita semua diajarkan untuk paham bagaimana nilai-nilai keberagaman menciptakan harmonisasi sosial di Indonesia.[]

Eko Indrayadi

Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Orientasi Islam Sebagai Kelompok Kepentingan Dalam Negara

Memahami perkembangan kondisi Islam di Asia Tenggara, khususnya di negara Filipina, Thailand, serta Malaysia. Umumnya tidak bisa kita lepaskan dari bagaimana proses pertautan dan hubungan Islam di negara tersebut. Perbedaan budaya, sistem politik, hingga kepada aktualisasi permasalahan yang berbeda, telah menjadikan perbedaan perjuangan yang mengkristal kepada munculnya hambatan-hambatan mengenai peranan eksistensi Islam di ketiga negara itu. Perbedaan itu akan tampak semakin jelas ketika kita mencoba untuk mengamati beragam persoalan yang muncul dan berkembang.

Dalam konteks sosial-politik, permasalahan tersebut memang pada nyatanya sangat berkaitan dengan persoalan hubungan Islam yang terbentuk di negara-negara tersebut. Memang, pada dasarnya Islam hanyalah sebuah agama yang bersifat teologis yang secara substantif diakui oleh negara sebagai sebuah sistem kepercayaan masyarakat. Tetapi, jika kita tela’ah lebih jauh. Islam memiliki posisi tawar sebagai kekuatan politik yang mampu dan selayaknya mempunyai peranan yang krusial terhadap negara. Mengingat itu, kemunculan permasalahan Islam dan politik dalam hubungannya dengan negara memiliki variabel yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Di negara Filipina misalnya, Islam memiliki problematika yang khas dalam kaitan permasalahannya dengan perjuangan memperoleh pengakuan atau ‘eksistensi’ secara nasional. Pada sisi ini, Islam di Filipina mencoba berupaya untuk mendapatkan legitimasi dari pemerintah dalam usaha memperoleh keadilan. Pemerintah Filipina yang terkesan memarginalkan kelompok Islam di Mindano atau yang lebih dikenal dengan Bangsa Moro, telah menjadikan sebuah un-trust dari kelompok ini kepada pemerintah.

Memang sejujurnya penulis akui, permasalahan utama yang muncul di Filipina pada dasarnya adalah mengenai pengakuan dan lunturnya kepercayaan kelompok-kelompok muslim yang ada di negara ini. Bangsa Moro yang dianggap lebih dekat kepada identitas masyarakat Melayu yang identik dengan roh keislaman daripada kelompok etnis lainnya seperti Indios apalagi Spinard yang juga merupakan suku bangsa Filipina, namun menganut agama mayoritas Katolik. Memang, hal ini tidak bisa disalahkan. Secara kuantitatif dari jumlah keseluruhan penduduk Filipina sebesar 101.833.938 jiwa, mayoritas penduduk filipina memeluk agama kristiani dengan presentase 80%, dan agama-agama lain seperti animisme, islam dan budha dengan presentase 10% dari total jumlah penduduk di filipina[1]. Pada awal mulanya mayoritas penduduk filipina merupakan pemeluk agama islam akan tetapi setelah kolonialisme masuk yang di tandai dengan datangnya bangsa spanyol dan adanya kristenisasi di filipina presentase jumlah umat islam pun drastis menurun.

Jumlah kelompok Islam yang minoritas inilah yang menjadi penyebab utama persoalan konflik hubungan antara Bangsa Moro yang mendiami wilayah Filipina. Problem ini, semakin meruncing dengan adanya keingininan dari Bangsa Moro untuk menentukan nasibnya sendiri (right to self-determination). Masalah, yang juga disebabkan oleh persoalan kemiskinan, ketertinggalan pembangunan, rendahnya pendidikan, minimnya pekerjaan, diskriminasi, hingga permasalahan stigma dianggap sebagai terorir telah menjadikan konflik ini semakin besar[2].

Tidak salah, jika penulis mengatakan bahwa sebagai umat Islam yang minoritas di Filipina. Bangsa Moro selalu berada dalam tirani keterasingan yang diakibatkan oleh penjajahan. Lepas dari penjajahan yang diakibatkan oleh Spanyol selama lebih dari tiga abad (1521-1898), Bangsa Moro berada dalam kekuasaan Amerika Serikat hampir selama lima dekade (1898-1942). Berikutnya Jepang menguasai mereka selama tiga tahun sampai akhirnya berada dalam kekuasaan Republic of Philippines, pada 4 Juli 1946[3].

Perjuangan untuk memperoleh pengakuan, sekaligus kemerdekaan bagi diri Bangsa Moro telah berlangsung sejak lama hingga masa saat ini. Dimulai dari munculnya Moro National Liberation Front (MNLF) pada akhir tahun 1960-an yang dipimpin oleh Nur Misuari, Moro Islamic Liberation Front (MILF) tahun 1981 pimpinan Salamat Haasyim. Lahirnya MILF adalah respon dari ketidakpuasan terhadap MNLF yang dianggap kurang tegas dalam memperjuangkan hak-hak Bangsa Moro dan terlalu akomodatif dengan pemerintah Filipina[4].

Belakangan, aksi yang pada mulanya bersifat soft dan kooperatif berubah sejak kemunculan Abu Sayyaf Group pada awal tahun 1990-an yang dipimpin oleh Abdulrazak Janjani. Namun, secara gerakan kelompok ASG sangat berbeda dengan kedua kelompok pendahulunya. Dalam melakukan aksi, ASG cenderung bersifat non-kooperatif sehingga digolongkan sebagai foreign terrorist organization oleh pemerintah Amerika Serikat, karena disinyalir acapkali menimbulkan teror di Filipina. Hal inilah yang mendasarkan kedua organisasi, MNLF dan MILF memiliki keterkaitan dengan Abu Sayyaf Group. Memang, gerakan revolusioner ini di satu sisi mampu membuat pemerintah Filipina kembali memikirkan keadaan Bangsa Moro yang teralenasi. Tetapi di sisi lain, keberadaan segelintir pihak yang menempuh jalan radikal ini sangat merugikan Bangsa Moro. Akibat krusialnya adalah terjadinya generalisasi dan stigmatisasi bahwa Bangsa Moro identik dengan teroris[5].

Negoisasi dalam menyelesaikan permasalahan Bangsa Moro dan pemerintah Filipina sendiri sudah lama dilaksanakan. Baik dalam skala internal melalui usaha nasional, maupun secara eksternal melalui usaha internasional, dengan proses skala regional dan global. Salah satunya melalui perantara OKI (Organisasi Konferensi Islam) yang sering mengikutsertakan negara Libya, Indonesia, dan Malaysia sebagai fasilitator. Pencapaian terakhir dari hasil perundingan Bangsa Moro dan pemerintah Filipina adalah dicapainya status otonomi khusus dengan nama ARMM (Autonomous Region of Muslim Mindanao) pada 1 Agustus 1989, buah perjanjian antara pemerintah Filipina dan MNLF, menghasilkan kesepakatan bahwa ARMM terdiri dari enam provinsi yaitu tiga di daratan Mindanao: Maguindanao, Lanao del Sur, Shariff Kabunsuan dan tiga di kepulauan Sulu: Sulu, Basilan, Tawi-Tawi. Jumlah penduduk di enam provinsi mayoritas Muslim tersebut mencapai hampir tiga juta jiwa[6].

Di samping ARMM, bentuk akomodasi lain terhadap bangsa Moro oleh pemerintah Filipina adalah pemberlakuan Code of Muslim Personal Laws of the Philippines pada tahun 1977[7] yang mengatur urusan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, dan kewarisan) masyarakat Muslim Filipina. Selanjutnya, beberapa mahkamah syariah dibentuk dan hakim-hakim syariah ditunjuk. Di bidang ekonomi Islam, Philippine Amanah Bank, yang beroperasi di kalangan Muslim, dibentuk pada tahun 1974 oleh mantan Presiden Ferdinand Marcos.

Namun, terlepas dari permasalahan agama. Bangsa Moro juga memiliki masalah lain, yakni masalah kemiskinan. Kemiskinan di ARMM adalah yang paling buruk di Filipina. Pendapatan per kapitanya hanya PhP (Philippina Peso) 3.433 pada tahun 2005. Pada saat yang sama, rata-rata pendapatan per kapita di 16 region yang lain adalah PhP 14.186[8]. Sungguh ironis, jika kita amati. Sementara, region termiskin kedua di Filipina, pendapatan per kapitanya masih dua kali lebih baik daripada ARMM.

Kesulitan dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi masyarakat Muslim Moro ada hubungannya dengan deskriminasi secara agama yang diberlakukan. Setidaknya sebagaimana yang diungkapkan oleh Evelyn dalam Heru Susatyo (2005) bahwa, “Penduduk Muslim sukar mendapatkan pekerjaan di kantor-kantor pemerintah maupun di pertanian umum, hanya karena mereka muslim.”[9]

Meskipun secara nyata tidak ada kebijakan pemerintah Filipina yang secara terang-terangan mendiskriminasikan penduduk Muslim. Namun, berhubung karena mayoritas penduduk Filipina adalah Kristen (Katolik dan Protestan), maka banyak kebijakan yang memang dirumuskan sesuai dengan kehendak mayoritas dan akhirnya merugikan minoritas. Sebagai contoh, kebijakan memindahkan penduduk Filipina non-muslim ke Mindanao atas nama pembangunan akhirnya cenderung meminggirkan kaum minoritas di Mindanao, yaitu Bangsa Moro.

Keadaan yang tidak singkron yang terjadi pada Bangsa Moro. Antara keberadaan ruhnya sebagai Islam Melayu, sementara fisiknya adalah Pinoy telah memaksa bangsa ini untuk terus tanpa henti bernegoisasi. Menegoisasikan hak-haknya untuk menentukan nasib sendiri di tengah mayoritas Pinoy yang bersamaan ras, bahasa, dan warna kulitnya tetapi berbeda secara kultur, agama, maupu ideologi. Karena selain, dihinggapi oleh beragam persoalan mengenai kemiskinan, pengangguran, dan rendahnya pendidikan, serta stigma sebagai teroris yang melekat sebagai lebel atas mereka.

Hampir sama permasalahannya dengan keadaan kelompok Muslim yang menjadi kelompok minoritas di Filipina. Keadaan kelompok muslim yang ada di Thailand juga tidak jauh berbeda. Sangat berbeda jauh dengan paradoks predikat yang disandang oleh Thailand sebagai the land of smile. Konflik politik di Thailand seringkali terjadi. Kudeta yang silih berganti tanpa henti, telah menjadikan negeri ini cenderung sarat konflik. Sejak tahun 1932, awal mula monarki konstitusional diperkenalkan untuk membatasi hak-hak dan otoritas kerajaan tak kurang dari 59 kali pergantian kekuasaan dan 18 kali kudeta dengan cara damai maupun melalui kekerasan[10].

Perdana Menteri Thailand bahkan telah berganti sebanyak 29 kali. Namun, uniknya, dalam transisi tersebut sejak tahun 1932, baru empat kali saja pergantian raja. Raja Bhumibol Adulyadej, yang kini berkuasa, bahkan telah berkuasa sejak tahun 1946 tanpa putus. Memang, pengaruh seorang raja dalam politik mendapatkan posisi yang istimewa di Thailand. Lepas, dari faktor sejarah tersebut. Peristiwa yang paling fenomenal acapkali menjadi ‘duri dalam daging’ mengenai pergolakan perpolitikan di Thailand. Salah satunya adalah pada tahun 2008, dimana dalam jangka priode satu tahun Perdana Menteri Thailand berganti tiga kali[11].

Tahun 2008 juga ditandai dengan semakin peliknya konflik antar masyarakat Thailand yang memiliki anspirasi dan ideologi politik yang berbeda-beda. Salah satu puncaknya adalah pemblokiran dan penutupan Bandara Suvarnabhumi, bandara keempat tersibuk di Asia dan kedelapan belas terbaik di dunia, oleh massa pendukung People’s Aliliance for Democracy (PAD) selama delapan hari. Aksi PAD menutup bandara ini adalah untuk mendongkel pemerintahan yang berkuasa sejak tahun 2005[12].

Hal lain yang menarik dari dinamika politik Thailand adalah penggunaan cara pembangkangan sipil (civil disobedience), sebagai alat untuk menekan penguasa dan ketidakberdayaan negara memberangus pembangkangan tersebut. Gerakan masssa untuk menentang penguasa ini telah terjadi berulang kali. Beberapa yang bersejarah adalah gerakan mahasiswa 14 Oktober 1973 sebagai reaksi terhadap pemerintahan otoriter Field Marshall Thanom Kittikachon. Kemudian gerakan mahasiswa 6 Oktober 1976 yang dimotori mahasiswa Thammasat University dalam rangka menentang kembalinya Field Marshall Thanom dari tempat pengasingannya. Lalu gerakan rakyat Mei 1992 yang populer dengan nama Black May dan menelan korban 52 orang tewas[13].

Dan akhirnya, gerakan massa pada tahun 2005 hingga sekarang yang dimotori People’s Alliance for Democracy (PAD) dan lawannya The Nation United Front of Democracy Against Dictatorship (UUD) atau Democratic Alliance Against Dictatorship (DAAD). Aliansi pro pemerintah yang didirikan pada tahun 2006 untuk mendukung mantan PM Thaksin dan menentang junta militer[14].

Setelah melihat bagaimana mobilisasi politik di Thailand. Dalam perkembangan selanjutnya, timbul pertanyaan mendasar di benak penulis mengenai posisi minoritas muslim Thailand di tengah hiruk pikuk konflik sipil ini? Sejatinya banyak muslim di Thailand memilih bersikap netral dan tidak mengambil posisi pada satu kubu. Walaupun banyak juga Muslim yang mendukung PAD. Ini terlihat dari beberapa pendukung PAD yang terlihat menggunakan jilbab dan tetap menggunakan kaos kuning. Alasan mereka memilih PAD tidak lain adalah karena keberadaan Partai Demokrat yang manyoritas pendukungnya berada di Thailand Selatan, tempat di mana banyak Muslim Thailand berada.

Ibarat buah simalakama, posisi minoritas Muslim yang ada di Thailand nyaris tidak pernah diutungkan dari adanya konflik horizontal yang muncul tersebut. Kedua kelompok amat jarang membawa isu yang mengakomodasi kelompok Muslim. Kalaupun membawa isu konflik di Thailand Selatan, yang menimbulkan penderitaan bagi Muslim, lebih untuk kepentingan sesaat.

Namun, di balik faktor tersebut. Rasa enggan yang muncul dan timbul dari kelompok minoritas Muslim untuk berpihak kepada salah satu kubu lebih kepada masalah ideologi. Banyak Muslim yang ada di Thailand merasa bukan menjadi bagian dari negara ini. Utamanya Muslim di selatan Thailand yang secara kultur dan geografis lebih dekat kepada Melayu. Bergabungnya tiga provinsi di Selatan Thailand: Pattani, Yala, Narathiwat adalah kehendak dari Inggris dan Thailand melalui perjanjian tahun 1909. Sama sekali tidak melibatkan atau mendengar suara dari rakyat di tiga provinsi tersebut. Di samping itu, pemujaan yang secara berlebihan terhadap raja Thailand menimbulkan resistensi lain. Akidah Islam melarang adanya pemujaan yang secara berlebihan terhadap sosok pemimpin karena akan menimbulkan sikap syirik terhadap Tuhan. Posisi raja yang berkuasa lebih dari 62 tahun ini begitu sakral dan istimewa di mata rakyat non Muslim Thailand.

Secara historis, Muslim di Thailand Selatan memang tidak berakar secara kultural maupun genealogis dengan penduduk Thai yang lain. Dahulu, mereka merupakan bagian dari warga kerajaan Muslim Pattani yang kemudian dianeksasi oleh kerajaan Siam pada abad ke 18. Proses pemaksaan aneksasi secara politik ini telah menyebabkan kelompok Muslim di Thailand hidup sebagai kaum minoritas di tengah mayoritas Budhist. Kendati berpenampilan fisik sama, namun perbedaan agama, bahasa, dan budaya telah membuat benturan dua kekuatan di Thailand, Muslim dan Budhis. Meskipun keduanya saling tolerensi satu sama lain. Tetapi, perasaan termarginalkan juga muncul sebagai gerakan separatis, sebagai usaha untuk memperoleh pengakuan dari Thailand, meskipun seringkali dianggap tindakan pemberontakan yang menentang simbol-simbol kerajaan di Thailand.

Berbeda dengan keadaan Thailand dan Filipina. Permasalahan yang dihadadapi oleh Muslim di Malaysia tidak menyangkut hak-hak mereka sebagai kaum minoritas yang termarginalkan oleh negara. Melainkan lebih kepada tekanan yang diberikan oleh etnis Cina dan India yang merasa dijadikan sebagai warga kelas dua akibat kebijakan pemerintah Malaysia melalui kebijakan NEP (New Economic Polucy). Tekanan yang diberikan oleh kelompok India dan Cina, seakan mulai menggerus keistimewaan masyarakat Melayu yang banyak mendapatkan keistimewaan sebagai etnis dominan di Malaysia.

Pacca kerusuhan etnis pada 13 Mei 1969, kontroversi Kebijakan Ekonomi Baru dikeluarkan oleh Perdana Menteri Tun Abdul Razak. Dari kebijakan ekonomi baru Malaysia menjaga keseimbangan politik-etnis yang lunak, dan mengembangkan peraturan yang unik menggabungkan pertumbuhan ekonomi dan aturan politik yang menguntungkan bumiputera (sebuah grup yang terdiri dari etnis Melayu dan kaum pribumi) dan warganegara Malaysia yang menganut agama Islam[15].

Antara 1980-an hingga awal 1990-an, Malaysia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat di bawah pimpinan Dr. Mahathir bin Mohammad, perdana menteri keempat Malaysia. Dalam periode ini terjadi peralihan dari ekonomi berdasarkan agrikultur menjadi produksi dan industri dalam bidang komputer dan barang elektronika rumahan[16].

Pada akhir 1990-an, Malaysia diguncang krisis finansial Asia. Oposisi ke beberapa aspek dalam sistem yang ada membawa jatuh pemerintah. Oposisi dari sosialis dan reformis sampai partai yang mengadvokasikan pembentukan negara Islam. Pada 2003, Dr. Mahathir, perdana menteri yang menjabat terlama di Malaysia, mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan kepada Abdullah Ahmad Badawi. Pemerintahan baru mengadvokasikan pandangan moderat negara Islam yang didefinisikan oleh Islam Hadhari[17].

Kelahiran NEP sebagai inisiatif penting pacsa kerusuhan merupakan ujung tombak dari pemerintahan kebijakan Malaysia dalam memperjuangkan apa yang mereka sebut dengan kesetaraan antara etnis Melayu dengan etnis lain, khususnya Cina, serta sebagai solusi yang dianggap tepat oleh pemerintah untuk mengatasi ketimpangan ekonomi yang berlarut antara antara etnis Melayu yang tertinggal kemampuan ekonominya. Kemudahan melalui pemeberian keistimewaan untuk mendongkrak perekonomian masyarakat Melayu, melalui NEP cukup berhasil dengan banyaknya pengusaha-pengusaha dari kelompok Melayu yang mulai bangkit di Malaysia.

Selain, terlepas dari kebijakan NEP tersebut. Dalam konteks Malaysia, Melayu dan Islam sering dilihat sebagai satu komponen yang sangat sulit untuk dipisahkan. Bila individu tertentu berasal dari etnis Melayu maka secara langsung akan diidentifikasikan beragama Islam. Dalam kondisi yang lebih ekstrim, etnis selain Melayuyang memeluk Islam akan dikatakan "Masuk Melayu" dan akan meninggalkan identitas asal etnis mereka. Pandangan ini diperkuat dengan Konstitusi Federasi yang mengatakan, "Melayu artinya seseorang yang menganut agama Islam, Fasih berbicara bahasa Melayu, menurut adat istiadat Melayu[18]".

Dalam politik Malaysia, Melayu dan Islam ini, sering disandingkan secara bersama. Ia dijadikan sebagai ideologi partai. Tidak jarang sebagian orang menilai bahwa ini keliru karena Secara umum terdapat perbedaan yang jelas antara Melayu dan Islam. Melayu adalah etnis dan perjuangan yang berbasis etnis dicap sebagai nasionalisme.

Dalam konteks perpolitikan Malaysia, UMNO dan PAS dilihat sebagai dua partai terbesar yang mendukung ideologi Melayu-Islam dalam perjuangan politik mereka. Kedua partai sering bersaing dalam pemilihan umum demi mempertahankan ideologi masing-masing. UMNO lebih dilihat memperjuangkan nasionalisme Melayu. Untuk PAS pula, ideologi yang diperjuangkan adalah Islam. Namun dalam kondisi tertentu, PAS juga seolah-olah dilihat lebih mementingkan Melayu dalam tindakan politik mereka. Ini membawa pada persepsi PAS hampir sama dengan UMNO yang memperjuangkan kepentingan Melayu dan pada waktu yang sama membantah kepentingan etnis lain[19]. Atas persepsi ini maka muncul saran agar PAS dan UMNO membentuk gagasan ‘untuk mempersatukan mereka' demi kesejahteraan rakyat. Gagasan ini mendapat tidak disetujui oleh kelompok internal PAS sendiri, tetapi disambut dengan tangan terbuka oleh pihak UMNO. Sehingga hari ini, ide mempersatukan mereka masih tidak menentu, tetapi tidak pernah dilupakan kedua pihak ini.

Akan tetapi, terlepas dari permalahan tersebut. Keberadaan Islam di Malaysia lebih cenderung dilekatkan kepada permasalahan etnisitas yang bersaing dalam sektor-sektor perkonomian. Meskipun, keberadaan etnis Melayu di dalam tatanan politik mendapatkan posisi terhormat, tetapi dalam sektor perkonomian. Masyarakat etnis Melayu yang ada di Malaysia harus bersaing secara kompetitif dengan masyarakat Cina dan India. Meskipun mendapatkan perlakuan yang istimewa melalui NEP, etnis Melayu mengalami ketertinggalan dari etnis lain yang ada di Malaysia.

Sementara itu, kembali kepada permasalahan awal mengenai permasalahan Islam dan hubungannya dengan negara yang ada di Filipina, Thailand, dan Malaysia. Penulis menemukan bahwa permasalahan utamanya terletak pada masalah etnis, meskipun memiliki paradigma yang berbeda. Masalah hubungan Islam dan negara di Filipina dan Thailand, lebih kepada permasalahan Islam sebagai kelompok minoritas yang seringkali termarginalkan akibat kebijakan-kebijakan yang merugikan komunitas Muslim di negara tersebut. Sedangkan, di Malaysia. Permasalahan etnis lebih kepada persaingan secara ekonomi yang mempengaruhi hajat hidup masyarakat. Keberadaan kelompok etnis Melayu yang identik dengan keislaman yang mengalami marginalisasi akibat ketidakmampuan mereka mengendalikan sektor ekonomi, serta pemberlakuan NEP telah menjadi pisau bermata dua di Malaysia. Meskipun di satu sisi, ini mampu mendongkrak perekonomian masyarakat Melayu. Tetapi di sisi lain, tindakan ‘pemanjaan’ ini dapat berakibat kepada menurunnya kualitas dari masyarakat Melayu untuk berkompetisi secara bebas dari etnis Cina yang ada di Malaysia.

Sebagai sesama anggota ASEAN, sekaligus sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di Asia Tenggara. Posisi Indonesia, amatlah berpengaruh dalam hal menentukan masa depan ketiga negara tersebut[20]. Khususnya, mengenai konflik yang terjadi terhadap minoritas Muslim yang ada di Filipina dan Thailand. Indonesia selama ini, mungkin telah berperan aktif sebagai negara fasilitator yang berperan untuk memediasi konflik di negara tersebut. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan melalui ASEAN. Selama empat dekade keberadaannya, ASEAN telah mengalami banyak perubahan serta perkembangan positif dan signifikan yang mengarah pada pendewasaan ASEAN.

Kerjasama dan penyelesaian permasalahan konflik Islam sebagai minoritas di negara Thailand dan Filipina, setidaknya mampu mendapat titik terang mengingat akan dibentuknya Komunitas ASEAN (ASEAN Community) pada tahun 2015. Tujuan dari pembentukan Komunitas ASEAN ingin lebih mempererat integrasi ASEAN dalam menghadapi perkembangan konstelasi politik internasional. Setidaknya akan membuka peluang baru bagi Indonesia untuk menciptakan perdamaian antara kelompok Muslim yang ada di Thailand dan Filipina.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menjadi juru negoisator untuk negara yang sedang berkonflik tersebut. Indonesia mampu memberikan resolusi penyelesiaan permasalahan yang menyangkut soal internal negara tersebut dengan ikut mengawasi dan terlibat secara aktif memberikan solusi penyelesaian. Tetapi, sayangnya. Permasalahan tersebut tidaklah mudah untuk diselesaikan mengingat masalah Islam yang ada di Filipina dan Thailand senantiasa mendapat ‘cap’ sebagai kelompok terorisme yang bersifat separatis dan mengancam kedaulatan sebuah negara.

Tetapi, dalam benak penulis. Konsep terbaik yang dapat dilakukan Indonesia melalui ASEAN adalah melakukan kerja sama dengan negara tersebut dalam menuntut pemberian otonomi khusus, meskipun seringkali terbentur permasalahan kepentingan politik di masing-masing kelompok diinternal negara. Hal ini lebih baik daripada harus memutuskan sebuah referendum ‘kemerdekaan diri’ seperti yang terjadi pada Bangsa Moro di Filipina, dan provinsi Pattani, di Thailand Selatan. Di samping itu, Indonesia juga harus mampu memberikan penjelasan kepada pemerintah negara tersebut untuk lebih bersikap adil dan tidak mendiskriminasikan kelompok minoritas Muslim yang ada di negaranya. Namun, hal yang paling krusial adalah Indonesia harus mampu melakukan pendekatan budaya dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Sebelum mencoba memutuskan bagaimana usaha maksimal yang harus dicapai dalam menyelesaikan konflik yang ada di Thailand dan Filipina melalui Komunitas ASEAN.[]

Daftar Referensi

Anang, Chai Samudavanija. Old Soldier Never Die, They are just bypassed. ANU Press, 2007.

Jafar, Kamarudin. Islam Dan Kebangsaan Melayu. Prentice-Hall Inc, Edisi Indonesia 2004.

Mohammad, Mahathir. The Early Years 1947-1972. Berita Publishing, Kuala Lumpur: 1995.

Rudolf, YF. Gerakan Militansi Islam Di Asia Tenggara. LIPI, Jakarta: 2003.

Susatyo, Heru. The Jurnal Of Muslim Traveller. Lingkar Pena, Jakarta 2009.

Zaini, Fadilah. Hubungan Etnik Di Malaysia. Universiti Teknologi Malaysia Press, Johor Baru: 2005.

Website Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Filipina (Diakses pada Rabu, 11 Januari 2012 pukul 20.00 wib)

http://www.pelita.or.id/baca.php?id=68382 Diakses pada Rabu, 11 Januari 2012 pukul 20.00 wib)

http://www.antaranews.com/berita/284477/pengamat-kepemimpinan-indonesia-sangat-diharapkan Diakses pada Rabu, 11 Januari 2012 pukul 20.00 wib)



[2] Heru Susatyo, The Jurnal Of Muslim Traveller, (Jakarta: Lingkar Pena, 2009), hal. 13.

[3] YF. Rudolf, Gerakan Militansi Islam Di Asia Tenggara, (Jakarta: LIPI, 2003), hal. 21.

[4] Ibid, hal. 25.

[5] Ibid, hal. 25.

[6] Ibid, hal. 27.

[7] Ibid, hal. 27.

[8] Heru Susatyo, The Jurnal Of Muslim Traveller, (Jakarta: Lingkar Pena, 2009), hal. 15.

[9] Ibid, hal. 16

[10] Chai-Anang Samudavanija, Reading Break: Old Soldier Never Die, They are just bypassed, (ANU Press: 2007), hal. 2-3.

[15] Kamaruddin Jafar, Islam dan Kebangsaan Melayu, (Kuala Lumpur: Yayasan Anda, 1980), hal. 31.

[16] Dr. Mahathir Mohamad, The Early Years 1947-1972, (Kuala Lumpur: Berita Publishing, 1995), hal. 65

[17] Ibid, hal. 75.

[18] Fadilah bt Zaini dan Kassim b Thukiman, Hubungan Etnik Di Malaysia, (Johor Bharu: Universiti Teknologi Malaysia, 2005), hal. 30.

[19] Ibid, hal. 33.

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009