Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Surat Perjanjian Tuhan, Saya, Dan Setan

Pernahkan dirimu berpikir, tentang “adil” dalam setiap hal yang terkadang mengganggu kita untuk sejenak merenung kecil atau menganggukkan kepala. Adil dalam berbagi, adil dalam bertindak. Ya, inilah term-term kecil yang terkadang jadi sengketa perdebatan bodoh diantara otak kerdil manusia yang dianugrahkan akal oleh Tuhan. Kembali disini, dalam kisahku seorang malang yang mencoba untuk dicoba jadi atau tidaknya sebagai pemimpin yang didaulat dan coba pasrah atas kehendak legitimasi semu milik kaum barbar yang tak lebih dari kata-kata spekulasi dalam bertindak. Masih bimbang dalam sebuah sintesa “hamba adalah pemimpin, lalu untuk apa dibai’at?”

Tentu dan tidak tentu tugas adalah memilih dan memilah dalam meluruskan penyimpangan oleh saudara-saudara yang budiman. Mencari beragam solusi agar terciptanya kerukunan dan ketentraman. Namun tentu tidak menyebabkan ketimpangan demi tugas yang menggunung untuk dikerjakan. Lalu, sepertiga malam di tengah antah berantah perenungan duduk di hadapan “laut kosong” yang coba serta merta berontak pada kehendak Tuhan. Hmm, adakah Tuhan ciptakan hamba untuk jadi hamba bagi tuan dan puan sekalian. Bertekuk lutut mengharapkan seteguk kecil minuman dalam “gurun hati” ambisi besar manusia. Segumpal hidup kosong tak bermakna tentunya, jika dan maka dia berontak ajukan beberapa petisi kecil yang hambar.

“Pemimpin-pemimpin bodoh, engkau terlena oleh harta dan kuasa hingga bertekuk lutut pada nafsu dunia”. Lalu, pemimpin pintar??? Diperdaya mayoritas untuk membunuh minoritas kecil yang mencoba melaporkan ketidakadilan. Homo Homini Lupus? Mungkin terlalu cepat bagi si Hobbes buat berpikir manusia ibarat binatang. Ah, percuma satu, dua, atau tiga orang pun tak pernah mendengarkan. Ibarat setimba air dimasukkan dalam botol pecah yang tak mungkin penuh isinya. Pemimpin tai kucing yang sekedar jadi bual-bualan orang-orang - menganggap dirinya setepis debu yang bisa diguyur hujan. Hingga dibuat jadi hamba dengan mistik harga diri tak lebih dari comberan.

Kembalilah dirimu pada kenyataan yang busuk dan menyengat. Sibuk bekerja engkau dilaknat. Apakah tuan dan puan tak pernah bertanya? Berapa harga perasaan yang diperjual-belikan dalam lingkar keegoisan atau setidaknya mengerti sedikit tanggung jawab yang mesti hamba tanggungkan. Dari segi moral, agama, atau apakah yang biasa kalian jadikan tipu daya untuk berbuat. Di malam ini aku tak kuasa menahan, kuletakkan segagang pena di samping kertas putih kusuh yang sedikit lembab dan lusuh oleh tangis air mata beku yang turun dari hati, turun dari harga diri, turun dari berbagai persoalan yang menggumpal jadi batu di hati seorang hamba yang menggerutu. Supaya kalian tahu, supaya tidak hanya Tuhan yang tahu, supaya tidak hanya setan yang selalu terlibat dalam konsepsi “hitam” yang kalian naskahkan pada hamba. Ikhlas, tawakal, ikhtiar adalah jalan-jalan yang berbuat dalam narasi singkat proses penghidupan.

Dan, kembali ke awal, lelah dan hambar dalam berbuat. Baca Marx dan Machiavelli yang mengantarkan pada jalan “pintar” untuk membalas kelakuan. Tapi tuan punya Laviathan, tuan punya Chiron dan/atau rahwana? Diam, lepas semua terbang. Obral harga mati diri yang tak harus jadi manusia pujaan orang. Manusia kafir, haram jaddah yang berkokok di tengah kobaran api neraka jahanam. Inilah balada, balada protes kaum bunian. Dari puritan dangau-dangau kecil keserakahan, dari tebing-tebing cadas kekosongan manusia dari teori-teori kosong tentang akhlak, etika, dan moral yang dikalkulasikan dalam dialektika materialistik antara sahabat, akal, dan kebimbangan di persimpangan jalan. Hingga sampailah kita diakhir perjalanan, bersiap terjun dan hibernasi menunggu tanggungan perbuatan di alam kebodohan yang terkadang membuat terlena dalam selimut fatamorgana – cadas-cadas tajam dalam kehingaran. Kebimbangan dalam jalan-jalan tak bertujuan. Antara nikmat dan durjana, antara kehormatan dan kelaliman, antara kesetiaan dan kehinaan yang diaduk dalam majas-majas indah demi terselenggaranya perkembangbiakan kemunafikan.

Surat Perjanjian Saya, Tuhan, dan Setan

Raden Eko Ronggowarsito

Reuni 1 Tahun Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2

Setahun sudah perjalanan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid (KIB) 2 dalam mengarungi kehidupan rezim SBY-Boediono. Memang, jika ditinjau dari umurnya kabinet ini sudah cukup kita anggap dewasa dalam dua priode pemerintahannya. Namun, kedewasaan tersebut seolah terlihat absurd ketika kabinet ini tak mampu merealisasikan visi dan misinya pada saat ia diproklamirkan. Adalah tugas SBY, sebagai orang nomer satu di tatanan eksekutif kabinet untuk senantiasa melakukan pengawasan serta mengambil berbagai macam tindakan strategis dalam menuntun kinerja maju atau mundurnya sistem pemerintahan pada masa kabinet ini berjalan. Akan tetapi, sikap dan tindakan beliau yang penuh kehati-hatian atau bahkan terlalu skeptis telah ikut menjadi bagian dari kepribadian kabinet.

Di lihat dari berbagai macam dimensi, ada banyak sekali permasalahan-permasalahan yang dapat kita saksikan dan amati dari sebuah priodisasi sejak kabinet jilid 2 ini dilahirkan, dimulai dari permasalahan lumpur lapindo di porong, sidoarjo yang penanganannya belum juga terselesaikan, raibnya kasus century dari ranah hukum, penegakan hukum yang masih samar-samar, hingga terganggunya stabilitas keamanan nasioanal dengan munculnya berbagai macam aksi kekerasan dan terorisme.

Semua permasalahan di atas senantiasa membuat kita bingung, sebenarnya apa yang terjadi di negeri ini? Apakah pemerintah benar-benar telah bekerja keras untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat yang dilayaninya? Terlalu normatif, apabila pemerintah negeri ini hanya mampu beretorika untuk mengaburkan semua realitas yang terjadi selama ini. Pemerintah harus segera sadar untuk cepat tanggap dalam menyelesaikan berbagai permasalahan itu, bukan sebaliknya berupaya menjaga citra dan menebarkan pesona dengan satu atau dua keberhasilan yang diperoleh untuk menutupi berbagai macam kegagalan yang tak tampak secara sistematis.

Secara makro, permasalahan tersebut sangat erat kaitannya dengan kinerja dan pola pikir dari pemerintah kita. Tindakan yang cenderung skeptis dalam menyelesaikan sesuatu dan ketergantungan yang semakin tinggi terhadap asing dalam bidang ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat kita jadikan pisau analisis dalam menanggapi kecenderungan permasalahan dalam KIB 2 saat ini. Keterlenaan pemerintah terhadap surplusnya devisa hingga terlalu besarnya intervensi swasta dalam panggung politik telah ikut menjadi “benalu terselubung” yang menggerogoti tubuh bangsa ini. Selain, kegagalan sistem perekonomian neolib yang samar-samar diadopsi oleh pemerintah, turut pula ambil bagian di dalam merongrong negeri ini.

Sementara itu, di sisi lain tindakan penegakkan hukum yang masih samar-samar dan bahkan cenderung dimanipulasi, telah menjadi faktor sebab-akibat dalam meningkatnya berbagai macam tindakan dan prilaku kriminalitas beberapa pekan terakhir. Aksi terorisme yang pernah merebak dan meresahkan, bisa dijadikan sebuah pembelajaran terhadap pemerintah yang terkadang terkesan ogah-ogahan dalam bertindak.

Oleh kerena itu, sudah sewajibnya di hari ulang tahun pertama KIB II atau keenam tahun rezim pemerintahan SBY. Pemerintah dan semua jajarannya melakukan sebuah perenungan panjang dalam upaya mewujudkan amanah rakyat yang senantiasa menunggu dan menanti uluran tangan pemerintah untuk segera cepat dan tepat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul di negeri ini, dan bukan berupaya seoptimal mungkin untuk beretorika menyamarkan permasalahan tersebut demi terjaganya popularitas pencitraan pemerintah di media. (*)


Eko Indrayadi

*Penulis adalah mahasiswa jurusan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Ketua Divisi Litbang pada Forum Mahasiswa Ilmu Politik (FORMAPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Otonomi Daerah Bukan Alat Cari Kuasa

Adalah kewajiban dan cita-cita otonomi daerah untuk mewujudkan suatu bentuk pemerintahan yang adil dan demokratis, sebagai cita-cita reformasi yang telah dilaksanakan dalam kurun lebih dari satu dasawarsa. Salah satu upaya di dalam perwujudan dari proses tersebut adalah Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PILKADA) langsung, baik di dalam memilih Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota. Proses pemilihan yang merupakan refleksi dari visi dan misi otonomi daerah yang bertujuan dalam memberikan kebebasan secara demokratis kepada rakyat untuk memilih pemimpin daerah secara langsung, rahasia, dan otonom. Sebagaimana yang telah tertuang secara jelas dalam ketentuan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan hasil revisi dari UU No. 22 tahun 1999. Layaknya, di dalam memilih badan eksekutif dan legislatif, pelaksanaan PILKADA memiliki andil yang besar di dalam upaya penciptaan legitimasi politik dari rakyat dalam rangka mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma yang berdimensi hukum, moral dan sosial.

Di dalam proses penyelenggaraan otonomi daerah, ada beberapa buah prinsip yang senantiasa dijadikan pedoman dalam upaya pelaksanaannya, yaitu: 1) Penyelenggaraan otonomi daerah dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah, 2) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab, 3) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten/kota, sedangkan pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas, 4) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antar daerah, 5) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah yang otonom, 6) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legeslatif daera, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan, maupun fungsi angggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah, 7) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi, 8) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah Kepala Daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkkannya.[1]

Sebagai transformasi dan manifestasi dari prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah, PILKADA langsung ditinjau dari segi kegunaannya, memiliki fungsi yang sangat penting di dalam membentuk suatu sistem mekanisme demokratis dalam rangka rekruitmen calon-calon pemimpin di daerah. Dimana, rakyat secara bebas, menyeluruh dan tanpa tekanan memiliki hak dan kewajiban untuk memilih calon-calon yang didukungnya. Menurut Tim Indonesia Center for Civic Education (ICCE), UIN Syarif Hidayatullah[2], “Pilkada langsung dapat disebut pemilu apabila memenuhi dua hal utama sebagai prasyarat yaitu, keterbukaan (transparant) dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable)”.

Secara teknis peraturan pelaksanaan PILKADA tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005[3] tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah. Ditinjau secara ilmu politik, PILKADA sangat erat hubungannya di dalam proses penciptaan legitimasi kepala daerah melalui prosedur dan tata cara sesuai dengan peraturan perundang-undangan, melalui proses kampanye dan pemilihan yang bebas, fair dan adil sesuai dengan norma dan etika politik, didukung oleh suara terbanyak dari seluruh pemilih secara objektif, serta menjalankan fungsi sesuai dengan komitmen pada saat kampanye dan pemilihan kepala daerah.

Berdasarkan studi permasalahan yang penulis amati dalam penyelenggaraan PILKADA di Indonesia maka, dapat kita simak bersama mengenai beberapa problematika yang identik dengan proses PILKADA langsung di Indonesia. Pertama, tidak adanya sebuah pendewasaan dalam berpolitik dari setiap calon-calon pemimpin di daerah. Umumnya, para calon hanya menjadikan PILKADA sebagai ladang permainan untung-untungan untuk dapat terpilih sebagai kepala daerah sehingga memunculkan perasaan tidak puas atau tidak dapat menerima kekalahan yang terjadi. Selain itu, munculnya konflik politik juga terkadang mengarahkan kepada tindakan anarkis yang turut menjadi faktor kausal dan berakibat kepada disintegrasi nilai-nilai pokok tujuan otonomi daerah.

Kedua, munculnya paradigma money power di dalam proses kampanye PILKADA yang bersifat pada sumber instrumental yang berupa kekayaan. Hal ini merupakan bagian dari tindakan argumentum ad populum[4], yang berupa sofistikasi untuk mendapatkan persetujuan rakyat dengan membangkitkan antusiasme dan kefanatikan orang banyak terhadap salah seorang calon. Tindakan money power akan melahirkan sebuah asumsi bahwa uang adalah instrumen kuasa utama untuk membeli suara rakyat. Sebagai tindakan untuk memerangi politik uang atau money politics, pentingnya pengawasan dari pihak independen, LSM, dan media sangat dibutuhkan dalam upaya pengawalan terhadap jalannya proses PILKADA.

Ketiga, masih banyak permasalahan mengenai daftar pemilih tetap (DPT) dan penggelembungan suara. DPT dan penggelembungan suara merupakan salah satu masalah yang hingga kini masih saja dapat ditemukan dalam setiap penyelenggaraan PILKADA. Kurangnya komunikasi antara pihak KPUD dan kantor kelurahan pada tiap desa juga dapat menjadi awal dari permasalahan ini. Perbaikan sistem komunikasi antara KPUD dan kantor kelurahan/kepala desa sangat dibutuhkan dalam melakukan penyesuaian data DPT. Keempat, masih kurangnya tingkat sosialisasi mengenai proses PILKADA oleh KPUD kepada masyarakat yang tinggal di daerah terpencil untuk ikut berpartisipasi dalam PILKADA.

Keempat permasalahan di atas seakan senantiasa menjadi agenda dalam pelaksanaan PILKADA langsung pada otonomi daerah. Namun, sulitnya penyelesaian permasalahan tersebut ditambah oleh berbagai masalah lainnya, khususnya karena kurangnya bentuk komunikasi antara daerah dan pusat dalam bentuk elit-elit politik. Peran serta DPD sebagai wakil daerah, senantiasa terasa vakum dan hampa tanpa adanya proses timbal-balik yang signifikan guna mengelaborasikan daerah-daerah yang diwakili. Kurangnya distribusi elit-elit politik daerah dan DPD partai politik yang senantiasa bersifat mikro politik telah ikut menjadi faktor asimetrisnya pelaksanaan otonomi daerah.

Sebagai solusi terhadap semua permasalahan tersebut perbaikan sistem sangatlah dibutuhkan, khususnya dalam hal pendistribusian kekuasaan antar elit-elit politik di daerah, peran serta DPD serta pengajaran logika dan etika berpolitik dalam lingkup daerah perlu digiatkan oleh pemerintah pusat guna untuk menciptakan pendewasaan berpolitik dan memerangi money politics. Di samping peran aktif mahasiswa dan masyarakat sebagai juri dalam memberikan penilaian terhadap hasil kinerja pemerintah daerah sebagai tindakan awal agar terciptanya hubungan sinergis pemerintah dan rakyat dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi dan mengawal jalannya reformasi otonomi daerah di Indonesia.

Eko Indrayadi

Penulis adalah Ketua Divisi Litbang Forum Mahasiswa Ilmu Politik (FORMAPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktif diberbagai kajian politik, filsafat, dan sosial di kawasan Ciputat dan Ibu Kota.



[1] ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), hlm. 191.

[2] Ibid., hlm. 204.

[3] Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu Yang Lebih Berkualitas,(Jakarta: Rajawali Press, 2009).

[4] Rafael Raga Maran, Pengantar Logika, (Jakarta: PT Grasindo, 2007), hlm. 197.



Malam begitu hening kurasa, rintihan air hujan tak berhenti menyapa keheningan ini. Menatapku dengan mesra dan khitmat melalui jendela buram kamar kontrakanku. Semua seakan menyapaku dikeheningan yang membisu ini. Suara burung malam dan katak sahut-menyahut menjadikan sebuah simponi keagungan Tuhan yang tiada mampu digoreskan dalam sebuah mozaik kehidupan. Namun, semuanya tidak berarti bagi diriku. Di dalam kehampaan ini kucoba menerawang sebuah perjalanan panjang seorang anak desa seperti diriku. Ya, sebuah perjalanan yang sangatlah melelahkan kawan. Perjalanan yang telah membuatku mengerti sebuah makna tentang cinta dan pengorbanan. Pikiranku melayang bersama hembusan angin malam yang sejuk menerpa-nerpa wajahku. Dan terbenam kembali ke masa aku SMA dulu. Kemasa pertama kalinya diriku mengenal sebuah kata yang sangat memusingkan diriku. Ya, itulah cinta. Sebuah kata yang memiliki berjuta interpretasi jika kita artikan. Namun, cintaku ini bukanlah sebuah cinta yang mampu berjalan dengan mulusnya kawan. Cintaku ini hanyalah cinta “Si bungkuk yang merindukan rembulan”. Masih ingat dan terlelap dalam sel-sel kelabuku. Bagaimana kejadian hari itu menjadi sepotong karunia Tuhan.

Hari itu adalah hari pertama aku masuk Sekolah Menengah Atas. Semua hari petualangan dalam pencarian sebuah arti dari kedewasaan. Hari pertama masuk sekolah ini bagiku, tiada jauh berbeda dengan hari-hari yang kulalui. Berlalu, berlalu, dan berlalu. Namun, sebuah pristiwa telah merubah sugesti teoritis dalam benakku. Hari itu kini menjadi seberkas prasasti yang hidup yang senantiasa mengalir bersama setiap hembusan napasku. Sesosok rupawan dan sederhana telah menjadi motivasiku. Ia, tidak begitu sempurna jika kita hanya mampu memandang berdasarkan sebuah pendekatan yang fisiologis. Ia sama dengan setiap perempuan yang ada di bumi ini. Lalu, apakah yang membuatnya begitu berbeda? Ya, pertanyaan yang terkadang kurenungkan untuk mencari jawabannya.
“Namaku Ica”, ucapnya singkat.

“Aku adalah siswa yang berasal dari SMP unggulan di kota ini. Motivasi saya menjadi siswa disini adalah saya ingin menjadi seorang siswa yang unggul dalam bidang imtaq dan iptek. Saya bersyukur dapat diterima menjadi siswa baru di SMA unggulan ini. Saya harap saya mampu mewujudkan cita-cita saya menjadi seorang dokter dengan bersekolah disini”, tambahnya dengan penuh semangat.
Aku hanya mampu menghela napas panjang hari itu. Jujur, aku merasakan sebuah perasaan yang asing merangsang hormon adrenalinku. Jantungkku berdetak lebih cepat setiap kali aku menatap wajahnya. Ia begitu sempurna, dengan sepasang mata tajam dan otak yang cerdas. Perkenalannya di depan kelas pada hari itu telah membuat berjuta bintang jatuh di dalam imajinasiku.

Waktu bergulir dengan cepatnya, ketika detik berganti menit, ketika menit berganti jam. Semuanya mutlak terjadi, semua adalah sebuah kekekalan yang tak mampu dibendung oleh siapapun. Semua kata-kata yang diucapkannya seolah telah dicatat oleh sang takdir. Ia memang siswa yang sempurna, hampir setiap mata pelajaran eksak mampu dilahapnya seperti makanan pokok. Sementara aku, bagaikan seorang kakek tua yang tersok-seok mengejar ketinggalanku dari dirinya. Aku dulu tak pernah menganggapnya sebagai orang yang berharga bagi diriku. Ia tak lebih adalah seorang rival yang harus kusingkirkan dalam setiap bidang akademis. Namun, rahasia Tuhan siapa yang tahu. Kompetisi yang senantiasa kualami, kini berbuah menjadi seribu perasaan galau di hati. Wajahnya senantiasa menghiasi setiap kata, prasa, kalimat, paragraf, hingga rima dalam karya-karyaku. Aku begitu bersemangat untuk menggorekan kata-kata pada selembar kertas ketika aku mengingat senyuman di wajahnya.
Pada suatu hari yang sudah kucoba untuk kulupakan. Kurangkai sebait sajak tentang cinta dengan maksud hati menyatakan cinta. Tetapi, apa daya bukankah cinta adalah zat yang universal dan fleksibel. Cinta bukanlah udara yang mampu bereaksi dengan terpaksa dan dipaksa. Sejujurnya, ia menolakku. Sebuah kata-kata yang sulit diterima dan diresapi oleh manusia yang pertama kali mengalami cinta. Dan cinta itu pada saat menjelang sebuah masa yang paling berharga dalam stratifikasi kehidupan manusia. Biarlah semuanya hanya kisah lalu pilu, sebuah kisah yang mengharu biru.

Namun, semuanya tak kuasa kulupakan hingga saat ini. Semua adalah cat pewarna kehidupan bagiku. Haruskah aku melupakan kenangan itu, ketika semuanya telah menumpuk menjadi tumpukan sedimentasi kenangan masa indah antara aku dan dirimu. Suatu kenangan yang mungkin akan kau lupakan suatu saat nanti, akan kau buang jauh-jauh ke dasar relung hatimu. Akan tetapi, bagiku kisah ini adalah mimpi di masa lalu. Kisah yang suatu saat nanti tak akan terulang dan kutemui kembali dimanapun aku berjalan menapaki tangga-tangga petualanganku mengintari kehidupan ini.

. . .

Protes . . .



Lelaki itu kembali tersenyum padaku, dengan wajah yang sudah mulai menua. Ia telah banyak berubah dipermainkan oleh masa yang datang tiada berhenti. Namun, walau deretan keriput mulai menghisasi wajahnya. Dan hampir separuh dari rambut yang dulu hitam kini mulai memutih, ia tetap sama. Ia senantiasa tersenyum ikhlas dan bersyukur atas karunia Tuhan yang dilimpahkan-Nya pada diri lelaki itu. Aku tak kuasa menahan butir-butir embun yang mulai menetes di kelopak mataku, butir-butir embun yang senantiasa mengingatkanku pada sederet perjuangan dirinya untuk menyekolahkanku di salah satu sekolah terbaik di kota kecil ini. Aku sadar, gaji dirinya yang tak lebih dari satu juta telah mengajarkan kepada diriku sebuah arti kata “jangan menyerah”.

Memang terkadang putaran nasib ini tiada adil mengais mimpi-mimpi kita. Tiada jemu merampok setiap cita-cita yang pernah kita ucapkan atau lebih pragmatisnya kita janjikan. Orang tua itu senatiasa kerja keras berpeluh lumpur di perkebunan kelapa sawit, hanya untuk dapat menyaksikan diriku bercanda ria, bergembira tiada kenal waktu menuntut ilmu di bangunan yang kuanggap neraka. Padahal, betapa mahal harga yang harus ia keluarkan, berapa butir keringat air mata yang harus ia keluarkan ketika bekerja keras untuk masa depanku. Terkadang semua itu senantiasa menjadi semacam imajinasi bisu yang muncul di dalam benakku. Ayahku, seorang lelaki kumal, berbadan kurus kering, beriringan bersama para buruh perkebunan lainnya. Mereka ternyata memiliki sebuah indoktrinisasi mulia bagi anak-anaknya. Sebut saja ayahku, seorang buruh kasar kumal yang hanya lulusan sekolah rakyat. Ia tak pernah punya mimpi untuk lebih menjadi seorang pegawai negeri rendahan yang bekerja sebagai seorang guru. Ayahku hanya bermimpi menjadi seorang guru, namun daya dan kemampuan ekonomi Kakekku berkata lain. Ayah tak mampu melanjutkan sekolah, Ia hanya mampu mengeyam pendidikan rendahan dan bergumul dengan tanah berlumpur dan bau amis keringat para proletar.

***
“Semir, Semir!!”.
Kerumunan manusia di pasar tradisional di kotaku sangatlah menyesakkan. Ini adalah sebuah amoralisasi penggambaran antara mangsa dan pemangsa. Pasar, tempat berkumpulnya semua jenis manusia. Tempat terjadilah proses jual beli. Disinilah aku dapat melihat solidaritas pergumulan semua jenis manusia. Aku menyeret langkah rapuh kakiku dengan sebuah kotak semir usang yang setia menemaniku sejak bangku sekolah dasar, aku menyeret langkahku melompati beberapa kardus kosong milik para penjual perabotan rumah tangga yang sudah menggelar dagangannya sejak dini hari tadi.

“Semir, Pak, Bu, Semir,” suaraku berteriak sumbang beradu dan membaur bersama ratusan hulu lalang manusia yang saling berhimpit-himpitan mencari sesuap nasi.

Seluruh pasar ini mengenal siap diriku. Seorang anak remaja berkalung kotak semir sejak ibuku meninggal 2 tahun yang lalu. Ibuku adalah pedagang sayuran yang meninggal karena tertabrak truk kontainer yang melarikan diri dari kejaran polisi. Sebuah realitas kehidupan yang terkadang sulit untuk kupahami. Mungkin jika tidak ada semangat, aku sudah berlarian bersama anak-anak malang lain di kota ini utuk menjadi pegawai rendahan di luar negeri.

Pukul 12.00 WIB, suara azan memanggil mendayu-dayu mengiris-iris perasaanku. Sudah dua hari ini aku tidak sholad. Ya, aku malas meminta dan beribadah pada Tuhan. Aku ingin protes pada-Nya. Aku ingin mengadukan ketidakadilan yang senantiasa diberikan-Nya. Namun, ada dorongan perasaan yang membuatku segera berlari untuk berwudu dan sholad pada hari ini. Aku kurang tau, apakah setan yang mengerjaiku telah bosan menguji imanku.

“Tidak!”, bentakku.
“Tak ada setan di dunia ini, setan adalah kemiskinan, setan adalah ketidakadilan”, Teriak batinku.

Selesai sholad aku duduk termenung di tepi beranda masjid yang sudah tampak kumal ditinggalkan oleh penghuninya. Masjid ini adalah masjid yang paling besar di kota kecilku. Masjid yang diberi hiasan ornamen mahal dan paling indah. Bangunan ini diselesaikan dengan dana yang tidak kurang dari 1 milyar. Akan tetapi, tengoklah disini. Tiada penghuni, tiada jemaah yang melaksanakan ibadah pada Tuhan, hanya beberapa orang tua yang sudah sangat renta duduk mesra berzikir dan bertafakur pada Tuhan.

Sekali lagi jiwaku berontak, “Tuhan apakah engkau tak pernah berpikir mengapa engkau begitu baik pada diri kami manusia? Kami lupa pada-Mu, kami senantiasa datang mengadu ketika diri ini dirundung masalah, didatangi berbagai ujian. Namun, apa yang terjadi ketika kami sudah mendapatkan apa yang kami mau, mendapatkan apa yang sesuai dengan nafsu dan proritas diri kami. Semua hilang, semua hampa dan kosong. Kami pergi meninggalkan-mu, kami terlena dengan nikmat dan karunia yang Engkau berikan pada kami. Tuhan, haruskah semua ini menjadi kodrat kami manusia? Hidup dengan berbagai peluang hingga pandangan untuk berubah dan berbuat sekehendak hati kami?”

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh lengkingan orang-orang di sekelilingku. Bangunan ini bergetar. Dunia bergoyang keras, mengamuk tak terbendung oleh kami para manusia-manusia hina. Bangunan itu runtuh, satu persatu puing-puingnya ambruk menimpa tubuh kami. Mengubur diri kami dalam sebuah tanda tanya kebimbangan, kegundahan, dan protes beku kami pada ketidakadilan di dalam dunia ini.

***

Transformasi Global Terhadap Implementasi Demokrasi Di Indonesia


Demokrasi dan Globalisasi ibarat sebuah sistem yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Globalisasi dapat diibaratkan sebagai salah satu faktor penunjang pertumbuhan demokrasi sebagai alternatif sistem nilai di berbagai bagian dari kehidupan manusia, baik secara mikro yang berupa indivindu dan keluarga, maupun secara makro dalam lingkup, masyarakat, bangsa, dan negara. Di dalam perkembangan globalisasi yang telah mampu menembus batas ruang dan waktu, ada beberapa konsepsi yang dikeluarkan oleh para ilmuwan di dalam memahami konteks globalisasi di dalam mempengaruhi perkembangan dari demokrasi.

Kelompok pertama, adalah kelompok yang memandang secara optimis dalam melihat perkembangan globalisasi dan demokrasi. Keruntuhan Uni Soviet, sebagai salah satu negara adi kuasa telah membuat demokrasi liberal tidak lagi mempunyai pesaing utama. Akibatnya, di era sekarang ini, sebagian besar negara-negara di dunia mengklaim sebagai negara demokratis, dan setiap orang mengaku dirinya sebagai demokrat. Negara-negara Eropa Timur dan Rusia, yang sebelumnya berada dalam intervensi Uni Soviet kini juga telah mulai mengadopsi sistem demokrasi. Sehingga negara-negara di dunia secara global mulai melangkah ke dalam suatu lingkaran demokrasi liberal.

Kelompok kedua adalah para ilmuwan yang cenderung pesimis dan bahkan skeptis dalam melihat demokrasi. Ada beberapa alasan mengenai sikap pesimis dan skeptis mereka dalam melihat nasib demokrasi dalam era global sekarang ini. Pertama, globalisasi ekonomi telah melahirkan aktor-aktor ekonomi baru yang sangat berkuasa, yakni perusahan-perusahan transnasional. Seperti yang telah dikemukan oleh Nicolas Yeates dalam makalahnya yang berjudul Globalization and Social Policy: From Global Neoliberal Hegemony to Global Political Pluralism , “ Globalisasi telah menghadirkan ekonomi global yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan global yang tidak dapat dikontrol sebagai aktor kunci, yakni transnational corporations. Hal ini merupakan sebuah kendala yang menjadi titik permasalahan pada masa global. Perusahaan-perusahaan transnasional ini dan sekutu-sekutu mereka merupakan aktor politik yang menekankan bahwa kemakmuran bersama dapat dicapai melalui proses free market dan free tread, lembaga dan dan proses melalui mana mereka mengontrol baik melalui diri mereka sendiri maupun melalui aliansi mereka ditingkat lokal, nasional, regional, dan global. Kedua, korporasi global ini tidak demokratis dalam struktur dan prosesnya. Selain itu, tingkat sentralitas dalam perumusan dan pembuatan kebijakan hanya ditujukan untuk memaksimalisasi keuntungan. Sebagian besar pekerja tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan perusahaan, posisi mereka sangat rentan ketika dihadapkan dengan manajemen perusahaan. Di luar keadaan itu, mereka tidak mempunyai akuntabilitas publik yang memadai. Akibatnya perusahaan transnasional ibarat negara dalam negara.

Kelompok ketiga adalah kelompok yang lebih menekankan pentingnya pendefinisian kembali demokrasi di era global sekarang ini. Menurut konsepsi kelompok ini, persoalan-persoalan yang terkait dengan demokrasi dan globalisasi dapat diselesaikan melalui kerjasama multilateral antarnegara. Sehingga dapat ditemukan sebuah keuntungan ekonomi dari ekonomi global jika bekerjasama satu dengan yang lain dalam satu kawasan.
Berdasarkan pendapat dari ketiga kelompok yang memandang sintegritas globalisasi terhadap demokrasi, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa negara negara tidak lagi memiliki entitas yang outonom yang berdaulat karena karena tingkat otonomi dan kedaulatannya telah dilemahkan sedemikian rupa oleh berbagai sebab. Untuk itu, demokrasi hendaknya juga mencakup berbagai subsistem politik yang mengisi ruang-ruang politik internasional ataupun global.

Menurut Moh. Mahfud MD , ada dua alasan utama dipakainya demokrasi dalam alasan bernegara. Pertama, hampir seluruh negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental. Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.

Senada dengan hal tersebut, menurut Robert Dahl dalam Budi Winarno, “Demokrasi memiliki lima standar yang mampu digunakan dalam mengukur demokratisnya suatu proses politis. Diantaranya, 1). Partisisipasi yang efektif, 2). Persamaan dalam memberikan suara ,3). Pemahaman yang jernih dari warga negara anggota suatu kelompok asosiasi, 4). Pengawasan agenda, dan 5). pencakupan orang dewasa.

Selain itu, ada dua unsur penting dari demokrasi yang dapat digunakan sebagai tolak ukur demokratisnya suatu sistem pemerintahan. Pertama , rakyat harus memiliki andil yang besar dan utama dalam mengendalikan kebijakan (popular control). Kedaulatan dan kemakmuran rakyat harus menjadi prioritas dimana diberikan dan diwujudkan melalui pemilihan para wakil rakyat. Kontrol publik terhadap pemerintah juga dapat dilakukan melalui media masa, LSM, dan berbagai organisasi masyarakat lainnya. Kedua, pemerintah harus mampu menciptakan kebijakan-kebijakan yang menjamin persamaan dalam kedudukan politik untuk menciptakan kesetaraan politik bagi setiap warga negaranya.

Dalam proses perkembangannya di Indonesia terkadang demokrasi tidak berjalan mulus dan lancar. Ada berbagai hambatan yang menyebabkan terjadinya proses pasang-surut. Hal ini tergantung pada berbagai kondisi dan situasi yang mendorong demokrasi itu sendiri. Senada dengan hal itu, priodisasi waktu yang senantiasa terus dinamis telah menyebabkan sebuah proses globalisasi yang mau tidak mau, ikut memiliki peranan yang besar di dalam menumbuhkan dan mengembangkan proses pemerintahan yang demokratis di Indonesia. Harapan pemerintahan yang demokratis yang mencuat sejak dimulainya orde reformasi telah menciptakan sebuah simbiosis mutualisme antara globalisasi dan proses perkembangan demokrasi di Indonesia.

Salah satu contoh yang sangat krusial adalah keberhasilan Indonesia dalam menyelenggarakan pemilihan umum pada tahun 1999. Runtuhnya orde baru yang telah berkuasa lebih dari 20 tahun dengan corak pemerintahan yang refresif dan totaliter, atau bahkan cenderung otoriter telah membangkitkan harapan baru bagi dunia internasional tentang prospek demokrasi Indonesia ke depan. Terpilihnya Gus Dur yang berasal dari golongan masyarakat santri (civil Society) telah meningkatkan kepercayaan dunia internasional mengenai berahirnya rezim yang diktator oleh pihak militer dan munculnya sebuah sistem pemerintahan baru yang demokratis dari reformasi.

Dilihat dari sudut kepentingan rakyat, banyak hal yang sesungguhnya dapat ditarik sebagai pelajaran dari pelaksanaan pemilu tahun 1999. Pemilu yang pertama kalinya dianggap sebagai realisasi agenda reformasi telah melahirkan berbagai bentuk aspirasi rakyat dalam hal kebebasan mengeluarkan pendapat sebagai aplikasi semangat berpartisipasi di dalam dunia politik yang baru saja mengalami sebuah metamorfosis. Peranan seseorang atau kelompok orang untuk ikut aktif serta secara aktif dalam kehidupan politik semakin mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Semua ini dapat kita lihat dari jalannya pemilihan pimpinan negara yang mulai mengalami transparansi, partisipasi media dan masyarakat luas dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintahan pun semakin mengalami tranformasi ke arah pemerintahan yang lebih demokratis.

Di dalam analisis politik mengenai partisipasi politik masyarakat dalam mengaspirasikan konsepsi, serta anspirasinya sebagai salah satu kekuatan yang mempengaruhi kebijakan pemerintah, Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries memberi tafsiran mengenai definisi dari partisipasi politik,
“ Political participationwe mean activity by private citizens designed to influences goverment decision making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or inefective.” (Parisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif).

Berdasarkan pada pendapat Samuel P. Huntington di atas, maka proses jalannya pembentukan pemerintahan yang demokratis di Indonesia telah mengalami kemajuan yang sangat luar biasa. Kemajuan ini dapat dilihat dari keberhasilan Indonesia di dalam menyelenggarakan pemilu legeslatif dan pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004. Hal ini merupakan awal dari sebuah proses pemulihan citra dan identitas nasional bangsa Indonesia yang selama ini berkembang di dunia Internasional. Konsulidasi politik demokrasi di Indonesia bergerak satu langkah lebih maju karena kesuksesan pemilu tersebut karena Indonesia telah mampu mengelola keanekaragaman masyarakatnya melalui mekanisme politik yang berlaku secara universal.

Di samping itu, kemenangan dari SBY dan JK yang merupakan calon mayoritas dari pemilihan umum secara langsung oleh rakyat Indonesia telah memberikan bentuk legitimasi yang kuat yang mampu menciptakan sebuah identitas nasional yang positif terhadap negara Indonesia dalam persfektif global dalam paradigma internasional sebagai usaha pencapaian tujuan politik luar negeri Indonesia. Dibandingkan dengan sistem pemerintahan pada era sebelumnya, pemerintahan pada era SBY dan JK, memiliki kelebihan di dalam penciptaan situasi dan kondisi birokrasi pemerintahan yang bersih dari korupsi. Terlegitimasinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai lembaga yang berwenang dalam mengawasi jalannya pemerintahan telah ikut andil di dalam membangun kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Oleh karena itu, proses transformasi dalam pengimplementasian demokrasi di Indonesia sudah dapat dinilai keberhasilannya. Walaupun secara normatif, masih banyak permasalahan-permasalahan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang belum dapat terselesaikan dengan baik di Indonesia.

Salah satu contoh permasalah tersebut adalah beberapa kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah. Kasus pelanggaran HAM berat seperti, penghentian secara refresif terhadap aktivis-aktivis mahasiswa pada orde baru, hingga pembunuhan aktivis HAM, Munir. Belum menapaki titik terang pada era demokrasi reformasi. Peranan dunia secara internasional maupun global diharapkan benar-benar mampu menciptakan sebuah iklim demokrasi yang meskipun tidak secara normatif murni dan mendekati sebuah sistem demokrasi yang absolut di Indonesia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh cendikiawan muslim Nurcholis Masjid, bahwa demokrasi memiliki enam unsur pokok yang dibutuhkan dalam membentuk tatanan masyarakat yang demokratis, yaitu: 1. Kesadaran akan pluralisme, 2. Musyawarah, 3. Cara haruslah sesuai dengan tujuan, 4. Norma dan kejujuran dalam permufakatan, 5. Kebebasan nurani, persamaan hak dan kewajiban, 6. Trial and error (percobaan dan salah dalam berdemokrasi.

Berdasarkan hal itu, akhirnya saya mencoba menjajaki sebuah proses asasi demokrasi dan globalisasi di Indonesia. Globalisasi telah membantu Indonesia di dalam memujudkan sebuah iklim demokratis yang secara menyeluruh dalam bidang kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang beranekaragam suku, bahasa, etnis, dan budaya (pluralis) sudah sepantasnya Indonesia menerapakan sebuah prinsip equality (kesetaraan) dan liberty ( kebebasan) dari setiap rakyatnya sebagai salah satu faktor pendukung tegaknya demokrasi Indonesia di era globalisasi.

Akan tetapi, beberapa permasalahan yang perlu dikaji dan didefinisikan kembali mengenai globalisasi dan demokrasi adalah mengenai penyetaraan terhadap negara-negara dunia ke tiga di dunia. Hal ini akan berakibat terhadap muncul dan berkembangnya suatu bentuk neokolonialisme dalam bidang ekonomi terhadap negara-negara yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap negara-negara maju atau adikuasa. Namun, terlepas dari semua itu, Indonesia sebagai negara yang besar dan memiliki berbagai macam potensi yang luar biasa, baik secara SDM maupun secara SDA harus mampu berkompetisi di dalam era global. Tidak hanya menyangkut permasalahan demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia, tetapi juga menyangkut semua dimensi kehidupan rakyat Indonesia yang berada sebagai satu kesatuan masyarakat yang pluralis, beradap, dan berlandaskan pada pancasila. (**)

DAFTAR PUSTAKA
Beetham, David dan Kevin Boyle, Demokrasi, Kanisius, Yogyakarta, 2000.
Budiardjo, Mirriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
B. N. Marbun, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2007.
Jemadu, Aleksius, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008.
Sahdan, Gregorius, Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto, Pondok Edukasi, Yogyakarta, 2004.
Pambudi, S. Himawan dan Siti Fikriyah, Menuju Demokrasi Terkonsolidasi, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2003.
Tim Indonesian Center for Civic Education (ICCE), Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah Press, Jakarta, 2007
Urbaningrum, Anas, Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Masjid, Republika, Jakarta, 2004.
Winarno, Budi, Globalisasi & Krisis Demokrasi, MedPress, Yogyakarta, 2007.


B-Pol
(The Social Civitas Of UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

Pengadu Nasib Jalanan Kota Jakarta

Jakarta, ibu kota Negara Republik Indonesia yang menyimpan berbagai macam pernak-perniknya. Semua persoalan seolah menjadi kompleks di kota metropolitan ini. Perkembangannya senantiasa dijadikan sebuah manifestasi kebijakan oleh elit-elit penguasa, yang menjadikan ibu kota berbeda dari kota manapun di Indonesia dengan menciptakan sebuah superkultur metropolitan. Ada banyak persoalan realita sosial yang mampu saya tangkap di kota besar ini, mulai dari persoalan kemiskinan yang menghasilkan berbagai macam permasalahan hingga permasalahan kepadatan penduduk dan polusi udara yang kerap memusingkan kepala.


Jakarta secara sosial maupun spasial terbagi secara jelas, dengan kawasan kampung kelas bawah dicirikan oleh kepadatan penduduk yang luar biasa dan kegiatan-kegiatan sektor informal. Salah satu permasalahan penyebab hal ini adalah tingginya urbanisasi yang sering kali melanda kota ini setiap tahunnya. Jakarta bagaikan sebuah magnet yang mampu menarik setiap masyarakat yang berada di seluruh Indonesia untuk bermukim dan mengadu nasib di dalam wilayahnya.


Berdasarkan pengamatan saya, kebanyakan dari para pengadu nasib tidak memiliki kemampuan hidup apa-apa alias modal nekat. Sebagian besar dari pengadu nasib umumnya bekerja di pabrik-pabrik sebagai buruh kasar. Mereka bekerja hanya sebagai tenaga-tenaga pengganti yang suatu saat bisa di-PHK oleh majikannya. Sebagian dari buruh pabrik yang di-PHK terpaksa menganggur dan menjadi salah satu faktor pembentuk berbagai kendala sosial di Jakarta.


Salah satu kendala yang mudah kita jumpai di kota Jakarta adalah pengemis, yang biasanya sering terlihat di seputaran lampu merah. Pengemis merupakan sebuah fenomena sosial. Berdasarkan penelitian sebuah LSM di Jakarta belum lama ini, pendapatan bruto mereka antara Rp. 50.000,- s.d Rp. 100.000,-, dan uang receh yang beredar di tangan para pengemis ini hampir mencapai Rp. 1 milyar perhari.


Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengantisipasi kegiatan mengemis yang semakin marak, salah satunya adalah fatwa haram mengemis yang dikeluarkan oleh MUI Jawa Timur. Dan langkah MUI Jawa Timur ini telah mendapatkan sambutan yang positif dari MUI Pusat. Sedangkan di Jakarta sendiri sebenarnya telah lama dikeluarkan larangan untuk mengemis yang dimuat melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.


Pelarangan terhadap kegiatan mengemis bukan merupakan sebuah bentuk antipati terhadap mereka, namun apabila dibiarkan terus-menerus dan tanpa adanya tindakan pencegahan, kegiatan ini akan menjadi sebuah bibit penyakit sosial yang berakibat timbulnya penyakit malas yang menghinggapi anak bangsa.


Selama tinggal di Cakung saya akrab dengan lingkungan dan orang-orangnya. Salah satu contoh yang dapat saya deskrifsikan mengenai kehidupan pengemis adalah Paijo (35 tahun), laki-laki setengah baya yang terpaksa mengemis akibat dari PHK. Sebelumnya laki-laki asal Jawa Timur yang sering saya temui di dalam Bus Kopaja 512 jurusan Pulo Gadung ini bekerja sebagai buruh serabutan di salah satu pabrik yang berada di kawasan Cakung. Ia merantau ke Jakarta pada tahun 2000 karena tergiur atas ajakan teman satu kampungnya untuk mengadu nasib di Jakarta. Pada awalnya memang nasib berpihak pada Paijo, ia diterima bekerja dengan gaji yang cukup lumayan untuk hidup di ibu kota. Namun, semuanya pupus ketika terjadi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di pabrik tempatnya bekerja pada tahun 2005.


Saya akrab dengan dengan dia karena selalu menaiki bus tersebut. Biasanya ketika saya pulang kuliah senantiasa saya berjumpa dengan Paijo yang memang tinggal satu daerah dengan saya. Paijo biasa memulai pekerjaan mengemis pada pukul 05.30 wib dan pulang pada pukul 22.00 wib. Paijo dan kawan-kawannya biasa mengemis di daerah Pasar Senen hingga ke daerah Monas, Jakarta Pusat.


Paijo terpaksa mengemis karena sulitnya mencari pekerjaan, sebelum mengemis Paijo telah mencoba berbagai upaya dan usaha. Mulai dari berwirausaha dengan berdagang kelontongan hingga berdagang buah-buahan di Pasar Ular, Cakung. Namun, ironisnya ketika tabungannya yang dipakai untuk modal habis, ia tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, Paijo memutuskan untuk menjadi pengemis.


Menurut Paijo, tidak semua pengemis adalah korban pemutusan hubungan kerja. Ada juga diantara mereka yang memang merantau dari desa untuk menjadi pengemis karena terpaksa tidak punya pekerjaan. Paijo juga menambahkan bahwa para pengemis baru biasanya muncul pada saat menjelang bulan puasa. Biasanya pengemis-pengemis ini datang ketika puasa belum dilaksanakan. Paijo juga mengakui, bahwa pada bulan puasa hasil yang didapatkan dari mengemis lebih banyak daripada bulan-bulan biasa.


“Hasil yang didapatkan dari mengemis biasanya berkisar antara Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 50.000,-. Tergantung dari keberuntungan dan keuletan masing-masing pengemis”, ujarnya.


Selain itu, Paijo juga menuturkan bahwa daerah-daerah objek wisata merupakan lahan mengemis yang kondusif dan strategis. karena biasanya para pengunjung sangat antusias untuk memberi. Salah satu tempat lainnya yang sering dia datangi adalah masjid-masjid. Paijo mengaku bahwa umumnya jema’ah masjid legowo dalam memberikan sedekah kepada para pengemis. Akan tetapi, semenjak dikeluarkannya fatwa haram oleh MUI Jawa Timur, jema’ah masjid sudah mulai sedikit yang mau bersedekah secara langsung kepada pengemis. Mereka cenderung memberikan kepada masjid untuk langsung diberikan kepada panti asuhan atau yayasan sosial.


Mengemis jelas merupakan persoalan untung-untungan, terkadang Paijo dan teman-temannya pulang kerumah dengan tangan hampa karena hasil yang mereka dapatkan dipalak secara paksa oleh preman-preman yang biasa mangkal di terminal Pulo Gadung. Mereka biasanya meminta setoran kepada para pengemis sebagai kontribusi kawasan yang dijadikan lahan untuk mengemis. Seperti halnya Paijo, yang sering mangkal di kawasan Pasar Senen. Biasanya preman-preman inilah yang membuat sebuah pengorganisasian terhadap pengemis. Preman ini bertindak sebagai pimpinan dari pengemis yang menyediakan lahan dan pengemislah yang bertugas untuk menggarapnya.


Ketika saya bertanya mengenai apakah dirinya malu menjadi seorang pengemis, Paijo hanya menunduk seraya lirih mengatakan bahwa ia sebenarnya malu, namun tuntutan yang membuatnya berlaku seperti itu. Paijo sebenarnya ingin segera berhenti menjadi seorang pengemis. Ia malu kepada kedua orang tuanya yang berada di kampung. Akan tetapi, Paijo hanya mampu pasrah pada nasibnya. Mengemis adalah satu-satunya cara bagi Paijo dan teman-temannya untuk menyambung hidup di kota metropolitan yang kejam ini.


Paijo pastilah memiliki harapan dan cita-cita, bukan keinginan dari dirinya untuk menjadi pengemis di Jakarta. Paijo berharap suatu hari nanti ia dapat mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga ia mampu menyekolahkan kembali ketiga adiknya hingga ke jenjang sarjana.


Terlepas dari semua permasalahan di atas, tentu apabila kita semua berpikir sistematis dalam menanggapi persoalan yang dihadapi oleh Paijo. Keberadaan pengemis ini merupakan sebuah hubungan kausatif dengan kemiskinan dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia. Pemerintah sudah selayaknya melakukan penanganan serius dalam menanggapi fenomena sosial ini agar tidak terbentuknya sebuah penyakit sosial. Selain itu, peran serta institusi agama juga sangatlah penting di dalam menanamkan sugesti etos kerja di dalam kehidupan. Bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan yang berada di bawah. (*)

B-Pol

(Sebuah Kisah Petualangan Di Jakarta)

“Pemerintah, Mahasiswa, Dan Kesehatan Masyarakat”


“Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat!”. Begitulah kata-kata sebuah slogan yang tidak asing lagi di telinga kita para generasi muda. Kesehatan merupakan sebuah keabsolutan yang menjadi harapan dan tujuan setiap manusia. Bagaimana pun caranya, pasti setiap manusia menginginkan dirinya sehat. Sehat adalah harta yang tak ternilai harganya, sebab dengan kesehatanlah kita semua mampu beraktivitas dengan lancar tanpa hambatan. Sudah sepatutnya jika kita sebagai mahluk yang berpikir untuk senantiasa bersyukur terhadap karunia kesehatan yang diberikan oleh Allah SWT.


Hal inilah yang menjadi sebuah landasan seminar kesehatan pada hari Selasa, 06 April 2010 di Aula Syahida Inn UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Seminar yang dihadiri oleh Menteri Kesehatan RI, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DRPH dan dimoderatori oleh Rektor UIN Jakarta, Prof Dr. Komarudin Hidayat, dan dihadiri oleh sebagian besar mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIP) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.


Seminar yang senada dengan peringatan Hari Kesehatan Sedunia (HKS) ke-62 yang jatuh pada hari Rabu, 7 April 2010. Mengangkat tema kontemporer dan krusial mengenai “Kupas Tuntas Upaya Menciptakan Generasi Yang Sehat Dan Islami”. Di dalam seminar ini, Ibu Endang banyak berbicara mengenai berbagai upaya yang akan ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam menciptakan Indonesia sehat ke depan.


“Pemerintah memiliki visi dan misi yang harus ditempuh di dalam memanifestasikan kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Diantaranya, meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan pemberdayaan di dalam masyarakat untuk senantiasa membiasakan diri hidup sehat, serta mengajak seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk ikut serta dan berpartisipasi di dalam mewujudkan Indonesia sehat”, tutur beliau.


Beliau juga mensosialisasikan mengenai beberapa program dari pemerintah untuk senantiasa pro terhadap rakyat di dalam bidang kesehatan. Diantaranya, revitalisasi puskesmas, reformasi birokrasi yang bebas dari KKN, pemberian bantuan dalam bentuk subsidi obat-obatan, bidan siaga, desa siaga, posyandu balita dan lansia, serta pemberian Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) kepada puskesmas-puskesmas yang berada di daerah dan wilayah terpencil.


Senada dengan hal tersebut, beliau juga menambahkan adanya beberapa kendala yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Pertama, adanya disparitas sosial yang menyangkut tingkat pendidikan masyarakat di dalam menciptakan lingkungan yang sehat. Tingkat pendidikan merupakan faktor utama yang mendukung adanya upaya kesadaran di dalam masyarakat untuk hidup sehat.


Kedua, kurangnya jumlah tenaga kesehatan, khususnya di daerah-daerah terpencil. Seperti tenaga dokter spesialis, ahli farmasi, bidan, dan perawat. Beliau sangat menyayangkan akan adanya sentralisasi kesehatan yang hanya terpusat di kota-kota besar, khususnya di Pulau Jawa. Selain itu, beliau juga menghimbau kepada para calon-calon tenaga kesehatan agar mau dan ikhlas untuk menyumbangkan kemampuaannya di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia.


Ketiga, masih minimnya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan fasilitas kesehatan yang ada di daerah. Menurut beliau, masih banyak daerah-daerah tingkat II di seluruh Indonesia yang belum memiliki rumah sakit sendiri. Beliau berharap kepada pemerintah daerah setempat untuk cepat tanggap di dalam menyelesaikan permasalahan ini.


Keempat, kurangnya kepercayaan dari masyarakat terhadap tenaga kesehatan Indonesia. beliau menyatakan bahwa masih banyaknya orang Indonesia yang berobat ke luar negeri. Padahal dokter-dokter yang berada di luar negeri adalah dokter Indonesia. Harapan beliau ke depan, agar kedepan, masyarakat dapat mengubah sugesti tersebut dan mau mempercayakan pengobatan kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan yang ada di Indonesia.


Terlepas dari semua permasalahan tersebut, beliau juga menghimbau serta berharap adanya keikutsertaan rekan-rekan “Civitas Akademika” sebagai duta kesehatan di dalam masyarakat. Mahasiswa sebagai agen perubahan sosial, diharapkan mampu untuk ambil bagian di dalam upaya penciptaan “Green City”, dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan sosialisasi mengenai pentingnya upaya hidup sehat di dalam masyarakat. Selain itu, mahasiswa juga diharapkan mampu untuk ikut berpartisipasi dalam upaya “screening” tehadap penyakit-penyakit menular di dalam masyarakat. (**)



B-Pol

(Pemerhati Masalah Sosial)

Score TOEFL Fakultas Ushuludin dan Filsafat 2009

DAFTAR SCORE TOEFL MAHASISWA
(Fakultas Ushuludin dan Filsafat 2009)

109034000064 NURHIDAYAT SEPTIAWAN TAFSIR-HADITS 490
109033200042 S. FADHIL ABUBAKAR PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 477
109033100008 YUYUN NOVIA AQIDAH-FILSAFAT 473
109033100024 QIDSY CIKAL RENJANA AQIDAH-FILSAFAT 473
109034000034 YATIMURRAHMI TAFSIR-HADITS 473
109033200006 EKO INDRAYADI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 467
109034000058 MIA FITRIATUNNISA TAFSIR-HADITS 467
109032100018 JULI AHSANI PERBANDINGAN AGAMA 450
109034000094 YAYAH SUMAIYAH TAFSIR-HADITS 450
109034000096 LA ODE SYAHRIL TAFSIR-HADITS 447
109034000073 SAHLAN SHOHRI BADAWI TAFSIR-HADITS 443
109032100003 IPAN FAHMI FAUZILLAH PERBANDINGAN AGAMA 440
109033100030 ACHYI TRI MAHATHIR AQIDAH-FILSAFAT 440
109034000010 DWI HARYANTO TAFSIR-HADITS 440
109034000021 FARIHAH JADWA IZZATY TAFSIR-HADITS 440
109032200008 ISWAH YUDI SOSIOLOGI AGAMA 437
109032200013 IBRAHIM SOSIOLOGI AGAMA 437
109034000050 HERLIANA NUR PRATIWI TAFSIR-HADITS 437
109034000102 MISBAK TAFSIR-HADITS 437
109032100029 ANTON NURYANTONO PERBANDINGAN AGAMA 433
109032200020 AMBARINA ENKA PUTRI SOSIOLOGI AGAMA 433
109033100011 MUTHMAINNAH MUSAKKAR AQIDAH-FILSAFAT 433
109033200016 ELVA FARHI QOLBINA PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 433
109034000062 NIDAA ULKHUSNA TAFSIR-HADITS 433
109034000099 DIMAS YEDIYA SATRIA ADIGUNA TAFSIR-HADITS 433
109032100004 SEPTIAN DARWIS PERBANDINGAN AGAMA 430
109033100012 DEDI SUTIADI AQIDAH-FILSAFAT 430
109033100019 MULYADI AQIDAH-FILSAFAT 430
109033100022 NASRUDDIN AQIDAH-FILSAFAT 430
109034000071 MHD REZA FADIL TAFSIR-HADITS 430
109034000097 ZAINAL MUID TAFSIR-HADITS 430
109032100002 SHALIHING PERBANDINGAN AGAMA 423
109032100022 SITI ROHMAH PERBANDINGAN AGAMA 423
109033100007 MUHANNIMAH AQIDAH-FILSAFAT 423
109033200007 RIZA ABIWINATA PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 423
109034000030 FAUZI AZIZ TAFSIR-HADITS 423
109034000035 TAUFIK ABDUL AZIZ TAFSIR-HADITS 423
109034000051 MAJDUD NURUL HUDA TAFSIR-HADITS 423
109034000056 FATKHUL MUBIN TAFSIR-HADITS 423
109034000078 ACHMAD SYARIF HIDAYATULLAH TAFSIR-HADITS 423
109034000081 MAHFUDOH TAFSIR-HADITS 423
109034000082 AZIZATUL IFFAH TAFSIR-HADITS 423
109034000098 WIJAYA KUSUMA TAFSIR-HADITS 423
109032200016 IHSAN FAJRI SOSIOLOGI AGAMA 420
109032200019 RIFQI SOSIOLOGI AGAMA 420
109033200015 ACHMAD ARIF WITANTO PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 420
109033200024 MUHAMMAD AFIF AMRULLAH PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 420
109034000104 AHMAD DAMANHURY AR TAFSIR-HADITS 420
109032100008 HABIBURRAHMAN PERBANDINGAN AGAMA 417
109032100019 BISRIL HADI PERBANDINGAN AGAMA 417
109032200034 SUPRIYADI SOSIOLOGI AGAMA 417
109034000049 MAKHMUDAH TAFSIR-HADITS 417
109032100023 ABDURROHMAN PERBANDINGAN AGAMA 410
109032200006 SLAMET HERI WIBOWO SOSIOLOGI AGAMA 410
109032200023 M AL FATIH SOSIOLOGI AGAMA 410
109033100003 ABDUL HARITS HAMMAM AQIDAH-FILSAFAT 410
109033100016 SITI SALEHA AQIDAH-FILSAFAT 410
109033200010 MUHAMMAD RIDWAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 410
109033200019 RIZQI RAMADHANI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 410
109033200027 ARIF RAHMAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 410
109034000053 NURUL HASANAH TAFSIR-HADITS 410
109034000065 FASJUD SYUKRONI TAFSIR-HADITS 410
109034000087 UMMI HANNIK TAFSIR-HADITS 410
109033100050 ABDUL GHOFUR KAFI AQIDAH-FILSAFAT 407
109034000093 AAN NURJANAH TAFSIR-HADITS 407
109033100005 HILMA NURHAYATI AQIDAH-FILSAFAT 403
109033200014 AHMAD BAIHAQI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 403
109034000009 RISTYA FITRA FESTIANA TAFSIR-HADITS 403
109034000015 M IMADUDDIN AL-HAQ TAFSIR-HADITS 403
109034000018 AHMAD AMIRUDIN MUKHLAS TAFSIR-HADITS 403
109034000036 MUHAMMAD KHOIRUL ANAM TAFSIR-HADITS 403
109032100016 FAZILLAH APRIANA PERBANDINGAN AGAMA 400
109032100027 SUARTINIH PERBANDINGAN AGAMA 400
109032100028 RIFKY FIRDAUS PERBANDINGAN AGAMA 400
109032200004 NUR AZIZAH SOSIOLOGI AGAMA 400
109032200025 NURSANDI GALIH SAHRONI SOSIOLOGI AGAMA 400
109033100015 DESIANA AQIDAH-FILSAFAT 400
109033100021 PUPUT AGUS PRASETYO AQIDAH-FILSAFAT 400
109033200008 ABDUL FIKRI WISUDAWAN SIREGAR PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 400
109034000013 AHMAD ZAKI YUSRON TAFSIR-HADITS 400
109034000023 KHODIJATUS SHOLIHAH TAFSIR-HADITS 400
109034000024 RIZKI NURHIDAYATI TAFSIR-HADITS 400
109034000095 NASROH TAFSIR-HADITS 400
109032200024 M. KHUSOY ULUMUDIN SOSIOLOGI AGAMA 397
109033200031 NOVITA SARI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 397
109034000012 AHMAD FUAD TAFSIR-HADITS 397
109034000020 ZAKIAH M BANDJAR TAFSIR-HADITS 397
109034000037 ALI HAMZAH AL HUSAINY TAFSIR-HADITS 397
109034000084 AHMAD GUNAWAN TAFSIR-HADITS 397
109032100001 DIMAS SIGIT CAHYOKUSUMO PERBANDINGAN AGAMA 393
109032100005 AZIS ZAINURI PERBANDINGAN AGAMA 393
109032100020 ABDUL AZIZ PERBANDINGAN AGAMA 393
109032100025 RENI ROSITA PERBANDINGAN AGAMA 393
109032200014 ANISUL WARO SOSIOLOGI AGAMA 393
109032200021 ACHMAD FARUK SOSIOLOGI AGAMA 393
109033200028 MUHDLARI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 393
109034000027 REZA WAHYUDI TAFSIR-HADITS 393
109034000091 NURUL WATI TAFSIR-HADITS 393
109033100010 RIFQIRIZALDY AQIDAH-FILSAFAT 390
109033200046 ISMA HAMDANI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 390
109034000080 ARI NUR HAYATI TAFSIR-HADITS 390
109032100012 ACHMAD RIZAL PERBANDINGAN AGAMA 387
109032100014 NIRMATULLOH EFENDI PERBANDINGAN AGAMA 387
109032200007 RESTI EKA JAYANTI SOSIOLOGI AGAMA 387
109033100014 DITA AITI YENI AQIDAH-FILSAFAT 387
109033200021 SELAMET PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 387
109033200038 HAFIZ SATRIA PUTRA PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 387
109033200040 DYKHALFATH PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 387
109034000045 AGUNG SYAFIULLAH TAFSIR-HADITS 387
109034000046 MA'MUN TAFSIR-HADITS 387
109032200026 UDIN SYARIFUDIN SOSIOLOGI AGAMA 383
109032200027 AHMAD SYAH MAS'UD SOSIOLOGI AGAMA 383
109032200030 RISWAN SOSIOLOGI AGAMA 383
109033100009 M LAILI AQIDAH-FILSAFAT 383
109033100017 SITI KHOIRIYAH AQIDAH-FILSAFAT 383
109033100020 MUHAMMAD FANSHOBI AQIDAH-FILSAFAT 383
109033100025 DWI ABDULLAH AQIDAH-FILSAFAT 383
109033100026 DANI RAMDANI AQIDAH-FILSAFAT 383
109033200017 RANGGA EKA SAPUTRA PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 383
109033200023 WIRA GUSPONO PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 383
109034000014 HELRAHMI YUSMAN TAFSIR-HADITS 383
109034000017 ZAKIYYAH TAFSIR-HADITS 383
109034000041 NUR LAILA TAFSIR-HADITS 383
109034000060 FARIDAH TAFSIR-HADITS 383
109032100024 ASIYAH PERBANDINGAN AGAMA 380
109032200029 ADAM PAMUNGKAS SOSIOLOGI AGAMA 380
109034000008 BAHARUDIN TAFSIR-HADITS 380
109034000016 ACH. BAIQUNI TAFSIR-HADITS 380
109034000026 MUHAMMADA NABIEL TAFSIR-HADITS 380
109034000059 M ZAM ZAMI TAFSIR-HADITS 380
109034000063 RORO ESTRI MELATI TAFSIR-HADITS 380
109034000074 HARRY LUKMAN TAFSIR-HADITS 380
109034000088 FARHAN AL MUSTOFA TAFSIR-HADITS 380
109033100029 NURHASANAH AQIDAH-FILSAFAT 377
109034000029 ARFIAN TAFSIR-HADITS 377
109034000066 NURLAILA SYAHIDAH TAFSIR-HADITS 377
109034000077 TAUFIK AKBAR TAFSIR-HADITS 377
109034000092 SUSI ERNAWATI TAFSIR-HADITS 377
109032100017 SYAMSUL BAHRI PERBANDINGAN AGAMA 373
109032200011 AGIL SHAFI SOSIOLOGI AGAMA 373
109032200012 MUHAMMAD ABDUL AZIS SOSIOLOGI AGAMA 373
109032200080 MUHAMMAD RIYAN REZA PAHLEVI SOSIOLOGI AGAMA 373
109033200037 ALGI GUMILAR SETIA PUTRA PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 373
109033200039 LENI MARLINA PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 370
109033200047 AHMAD GARAUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 370
109034000032 M MORA GANTI ARITONANG TAFSIR-HADITS 370
109034000044 M KHOIRUL HUDA TAFSIR-HADITS 370
109034000052 MASRUKIN TAFSIR-HADITS 370
109034000054 ILHAM ABDURRAHMAN TAFSIR-HADITS 370
109034000089 ZAENUDDIN TAFSIR-HADITS 370
109034000100 MUHAMMADUN TAFSIR-HADITS 370
109032200010 NURUL TAUFIK SOSIOLOGI AGAMA 367
109032200045 ASEP AS'ARY SOSIOLOGI AGAMA 367
109033200025 ABD ROSIQIN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 367
109033200049 MUHAMMAD FERDIANSYAH ZIDNI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 367
109034000057 HARISMAN TAFSIR-HADITS 367
109034000090 AI ELI LATIPAH TAFSIR-HADITS 367
109034000101 LIA HERLIATI TAFSIR-HADITS 367
109033200032 SAMAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 363
109032100015 SYAHRUL RAMAZI PERBANDINGAN AGAMA 360
109032200022 PURNOMO TAHAJUDIN SOSIOLOGI AGAMA 360
109033100028 ARIF RAHMAN AQIDAH-FILSAFAT 360
109033200026 ALI WAFA PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 360
109034000083 AHMAD HERI TAFSIR-HADITS 360
109032200018 MUHAMMAD RIZAL RINJANI SOSIOLOGI AGAMA 357
109033100013 ABDUL WAKID AQIDAH-FILSAFAT 357
109034000025 SOLEHUDIN AL-AYUBI TAFSIR-HADITS 357
109034000072 MOH SYAMAN TAFSIR-HADITS 357
109034000079 MAHDI TAFSIR-HADITS 357
109032200017 ROSIHAN ANWAR L SOSIOLOGI AGAMA 353
109032200028 FATIMATUZ ZAHROH SOSIOLOGI AGAMA 353
109033100018 RABUMAN AQIDAH-FILSAFAT 353
109034000055 MUHAMMAD MUSLIH TAFSIR-HADITS 353
109034000076 MU'MIN MULYANA TAFSIR-HADITS 353
109032100026 ELINA ALFIANI PERBANDINGAN AGAMA 350
109033200035 AMIZAR ISMA PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 350
109034000042 ZULFIKLI NATONIS TAFSIR-HADITS 350
109032200031 AAN RAMDANI SOSIOLOGI AGAMA 347
109033100004 ZIYADATUL ILMY AQIDAH-FILSAFAT 347
109033100023 AHMAD SAYUTHI AQIDAH-FILSAFAT 347
109033200009 IMRON ROZALI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 347
109034000011 EVAN ARSWANDI TAFSIR-HADITS 347
109032200005 HARSIN SOSIOLOGI AGAMA 343
109033200041 FILLY NUGRAHA PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 340
109032100021 ALMAM FALUKI PERBANDINGAN AGAMA 337
109032200015 FARUQ MAKAWI SOSIOLOGI AGAMA 337
109033200029 AMIEN TOHARI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 337
109034000040 AMIRUDDIN NATONIS TAFSIR-HADITS 337
109034000048 NAELATUS SA'ADAH TAFSIR-HADITS 337
109032100007 RODIAH ADAWIAH PERBANDINGAN AGAMA 333
109033200036 MUHAMMAD IQBAL BILLAWAL PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 333
109034000039 MOH THAMRIN SAU TAFSIR-HADITS 333
109034000061 SALINA TAFSIR-HADITS 333
109033100027 ARSYAD AQIDAH-FILSAFAT 327
109033200020 MUH. AGUS SALIM MUHARROM PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 320
109033200018 LINA SUMAYA PEMIKIRAN POLITIK ISLAM 300

~Semoga Dapat Ditingkatkan Lebih Baik Lagi Di Masa Yang Akan Datang~

^_^ ^_^ ^_^ ^_^ ^_^ ^_^ ^_^ ^_^ ^_^ ^_^ ^_^ ^_^ ^_^ ^_^ ^_^ ^_^ ^_^ ^_^

Dan Malam, Bersenandung

Malam begitu hening kurasa, rintihan air hujan tak berhenti menyapa keheningan ini. Menatapku dengan mesra dan khitmat melalui jendela buram kamar kontrakanku. Semua seakan menyapaku dikeheningan yang membisu ini. Suara burung malam dan katak sahut-menyahut menjadikan sebuah simponi keagungan Tuhan yang tiada mampu digoreskan dalam sebuah mozaik kehidupan. Namun, semuanya tidak berarti bagi diriku. Di dalam kehampaan ini kucoba menerawang sebuah perjalanan panjang seorang anak desa seperti diriku. Ya, sebuah perjalanan yang sangatlah melelahkan kawan. Perjalanan yang telah membuatku mengerti sebuah makna tentang cinta dan pengorbanan. Pikiranku melayang bersama hembusan angin malam yang sejuk menerpa-nerpa wajahku. Dan terbenam kembali ke masa aku SMA dulu. Kemasa pertama kalinya diriku mengenal sebuah kata yang sangat memusingkan diriku. Ya, itulah cinta. Sebuah kata yang memiliki berjuta interpretasi jika kita artikan. Namun, cintaku ini bukanlah sebuah cinta yang mampu berjalan dengan mulusnya kawan. Cintaku ini hanyalah cinta “Si bungkuk yang merindukan rembulan”. Masih ingat dan terlelap dalam sel-sel kelabuku. Bagaimana kejadian hari itu menjadi sepotong karunia Tuhan.

Hari itu adalah hari pertama aku masuk Sekolah Menengah Atas. Semua hari petualangan dalam pencarian sebuah arti dari kedewasaan. Hari pertama masuk sekolah ini bagiku, tiada jauh berbeda dengan hari-hari yang kulalui. Berlalu, berlalu, dan berlalu. Namun, sebuah pristiwa telah merubah sugesti teoritis dalam benakku. Hari itu kini menjadi seberkas prasasti yang hidup yang senantiasa mengalir bersama setiap hembusan napasku. Sesosok rupawan dan sederhana telah menjadi motivasiku. Ia, tidak begitu sempurna jika kita hanya mampu memandang berdasarkan sebuah pendekatan yang fisiologis. Ia sama dengan setiap perempuan yang ada di bumi ini. Lalu, apakah yang membuatnya begitu berbeda? Ya, pertanyaan yang terkadang kurenungkan untuk mencari jawabannya.
“Namaku Ica”, ucapnya singkat.

“Aku adalah siswa yang berasal dari SMP unggulan di kota ini. Motivasi saya menjadi siswa disini adalah saya ingin menjadi seorang siswa yang unggul dalam bidang imtaq dan iptek. Saya bersyukur dapat diterima menjadi siswa baru di SMA unggulan ini. Saya harap saya mampu mewujudkan cita-cita saya menjadi seorang dokter dengan bersekolah disini”, tambahnya dengan penuh semangat.
Aku hanya mampu menghela napas panjang hari itu. Jujur, aku merasakan sebuah perasaan yang asing merangsang hormon adrenalinku. Jantungkku berdetak lebih cepat setiap kali aku menatap wajahnya. Ia begitu sempurna, dengan sepasang mata tajam dan otak yang cerdas. Perkenalannya di depan kelas pada hari itu telah membuat berjuta bintang jatuh di dalam imajinasiku.

Waktu bergulir dengan cepatnya, ketika detik berganti menit, ketika menit berganti jam. Semuanya mutlak terjadi, semua adalah sebuah kekekalan yang tak mampu dibendung oleh siapapun. Semua kata-kata yang diucapkannya seolah telah dicatat oleh sang takdir. Ia memang siswa yang sempurna, hampir setiap mata pelajaran eksak mampu dilahapnya seperti makanan pokok. Sementara aku, bagaikan seorang kakek tua yang tersok-seok mengejar ketinggalanku dari dirinya. Aku dulu tak pernah menganggapnya sebagai orang yang berharga bagi diriku. Ia tak lebih adalah seorang rival yang harus kusingkirkan dalam setiap bidang akademis. Namun, rahasia Tuhan siapa yang tahu. Kompetisi yang senantiasa kualami, kini berbuah menjadi seribu perasaan galau di hati. Wajahnya senantiasa menghiasi setiap kata, prasa, kalimat, paragraf, hingga rima dalam karya-karyaku. Aku begitu bersemangat untuk menggorekan kata-kata pada selembar kertas ketika aku mengingat senyuman di wajahnya.
Pada suatu hari yang sudah kucoba untuk kulupakan. Kurangkai sebait sajak tentang cinta dengan maksud hati menyatakan cinta. Tetapi, apa daya bukankah cinta adalah zat yang universal dan fleksibel. Cinta bukanlah udara yang mampu bereaksi dengan terpaksa dan dipaksa. Sejujurnya, ia menolakku. Sebuah kata-kata yang sulit diterima dan diresapi oleh manusia yang pertama kali mengalami cinta. Dan cinta itu pada saat menjelang sebuah masa yang paling berharga dalam stratifikasi kehidupan manusia. Biarlah semuanya hanya kisah lalu pilu, sebuah kisah yang mengharu biru.

Namun, semuanya tak kuasa kulupakan hingga saat ini. Semua adalah cat pewarna kehidupan bagiku. Haruskah aku melupakan kenangan itu, ketika semuanya telah menumpuk menjadi tumpukan sedimentasi kenangan masa indah antara aku dan dirimu. Suatu kenangan yang mungkin akan kau lupakan suatu saat nanti, akan kau buang jauh-jauh ke dasar relung hatimu. Akan tetapi, bagiku kisah ini adalah mimpi di masa lalu. Kisah yang suatu saat nanti tak akan terulang dan kutemui kembali dimanapun aku berjalan menapaki tangga-tangga petualanganku mengintari kehidupan ini.

. . .

Gerimis Di Atas Sajadahku

Waktu,

tak inginkah engkau menungguku?

Berbenah di setiap kesempatan yang t’lah lalu.

Ulang-ulang setiap kesempatan terputus.

Sesal-sesal pada diri lalu.

(aya brasela, Ciputat 18 Maret 2010)


Akhir-akhir ini kita sering lupa mengenai hakekat kehidupan kita sebagai manusia. Kita sering lalai dan terpengaruh ke dalam kefanaan dunia. Sering kita tak pernah melakukan sebuah perenungan yang mendalam mengenai seberapa banyak waktu yang telah kita foya-foyakan dalam kehampaan?. Ironis, jika kita hanya mampu menghabiskaan waktu yang diberikan tanpa mampu menggunakan semaksimal mungkin.


Pernahkan kita membayangkan kembali ketika kita masih menginjak waktu Sekolah Dasar? Mungkin kita mampu untuk mengingatnya dengan baik, bahkan ada yang mampu mengingat kejadian secara detail dan mendalam mengenai beberapa pengalaman yang mengesankan pada waktu itu. Namun, pertanyaan sesungguhnya bukanlah mengenai seberapa mampu kita mengingat. pertanyaannya adalah apakah kita semua mampu kembali pada saat itu? Pasti seluruh manusia pasti sepakat bahwa semua itu adalah hal yang mustahil. Hal yang berada di luar batas penalaran kita sebagai mahluk yang berpikir.


Di sinilah permasalahannya, berapa banyak kesempatan yang telah kita hilangkan begitu saja di masa lalu? Usia yang bertambah, hingga waktu yang berlalu merupakan sebuah keharusan dalam teori kehidupan. Kita sebagai manusia tentu pernah merasakan menyesal dan bersalah pada diri kita ketika kesempatan yang berharga lepas dan hilang begitu saja. Mungkin semua itu tak dapat kita perbaiki kembali untuk mengulang keadaan yang sama di masa lalu. Tapi akankah kita senantiasa mengalami sebuah repetisi dalam setiap konteks kehidupan kita? Berleha-lehaan, hingga menganggap waktu dapat kita habiskan seperti sebatang coklat karamel yang nikmat?


Tentu saja tidak, kita pasti menginginkan sebuah perubahan dalam kehidupan kita. Kita manusia, mahluk yang dikaruniakan berbagai macam kelebihan dari Sang pencipta. Kita bukan mahluk yang mau terjebak kedua kalinya dalam lubang yang sama. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya. Berubah dan meluruskan konsepsi kita terhadap masa, serta menghargai waktu yang kita miliki. Sebelum semuanya berakhir, sebelum “nasi berubah menjadi kerak”.


(Renungan 19 Tahun Usiaku)

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009