ABSTRAK
Fenomena
politik aliran yang berlangsung pasca kemerdekaan Indonesia dan berdirinya
demokrasi parlementer secara umum memiliki pemgaruh yang sangat besar di dalam
setiap dimensi kehidupan berpolitik dan bernegara. Birokrasi yang notabenenya
adalah sebuah alat pemerintahan di dalam sistem politik, mengutip Almond
mengalami ketersinggungan yang begitu erat dalam iklim politik yang dinamis.
Birokrasi pada masa demokrasi parlementer cenderung menjadi perpanjangan dari
ideologi parta-partai. Sehingga seringkali muncul klaim-klaim wilayah politik
tertentu terhadap institusi birokrasi pada masa demokrasi parlementer.
Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin, birokrasi tetap tidak mampu menjaga
netralitasnya sebagai sebuah lembaga administratif karena ikut terlibat dalam
tarik-menarik 3 kekuatan politik –Soekarno, Militer dan PKI. Tidak boleh
abainya birokrasi terhadap political
religion: NASAKOM telah memaksa intitusi ini menjadi wilayah di balik layar
tempat persaingan sekaligus saling menjatuhkan kedua kekuatan pendukung
Presiden Soekarno di bawah dua kekuatan besar Militer dan PKI. Pasca
dibrendelnya kebebasan partai politik melalui dekrit presiden 1959. Kerangka
konsep yang penulis gunakan untuk menganalisis kondisi birokrasi di Indonesia
pada masa tersebut adalah konsep Weber terkait birokrasi rasional, pandangan
Lucian W. Pye antara hubungan birokrasi dan pembangunan politik, serta Marle
Fainsod tentang model hubungan antara birokrasi dan politik yang terbentuk
dalam konteks pembangunan politik. Temuan yang penulis dapatkan sebagai
kesimpulan paper ini adalah bahwa birokrasi secara rasional di negara yang
masih berproses demokrasinya belum dapat bersikap netral sepenuhnya dari
kekuatan-kekuatan politik. Karena, cenderung di dalam birokrasi-lah sebuah
persaingan politik sebagai sebuah ideologi maupun kelompok berlangsung secara
dinamis dan menarik.
Kata Kunci:
Politik
Aliran, Birokrasi, Political Religion.
I.PENDAHULUAN
I.1.Latar Belakang
Birokrasi sangat erat hubungannya
dengan proses administrasi di dalam pemerintahan. Proses ini berhubungan dengan
pelayanan (service) dan kerja pengelolaan (administratif). Birokrasi bukanlah
sebuah fenomena baru di dalam masyarakat modern. Melainkan sudah diletakkan
sebagai dasar dan syarat pemerintahan sejak masa Romawi dan masa Mesir kuno.
Namun, kecenderungannya mengalami perubahan mendasar dan signifikan sejak
seratus tahun terakhir. Dalam masyarakat kontemporer, birokrasi telah menjadi
suatu lembaga yang dominan, sesungguhnya, birokrasi lebih sebagai satu lembaga
yang melahirkan jaman modern.
Birokrasi pada dasarnya dimaknai
sebagai produk dari sebuah proses sosial yang panjang dan kompleks, yaitu dari
serangkaian prosedur yang berliku dan menyangkut kontekstualitas sosial yang
universal. Manusia sebagai individu sekaligus sebagai makhluk sosial jelas
tidak mungkin bisa hidup sendiri. Dia membutuhkan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya dan juga agar bisa tetap eksis. Ketika individu-individu
tersebut ternyata mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang sama, maka mereka
berkomitmen untuk membentuk sebuah komunitas sosial yang selanjutnya komunitas
sosial ini disebut sebagai negara. Sehingga Negara (Pemerintah) dibentuk
berdasar pada kontrak sosial,
dimana pada kontrak ini negara diberi kuasa untuk mempunyai beberapa fungsi antara
lain fungsi keamanan, ketertiban, keadilan, pekerjaan umum, kesejahteraan, dan
pemeliharaan Sumber Daya Alam dan lingkungan.
Dalam perjalanannya, ternyata
terjadi perbedaan keinginan, kebutuhan, dan pendapat antar individu-individu
tersebut bahkan perbedaan pendapat, kebutuhan dan keinginan tersebut mengarah
kepada terjadinya konflik. Untuk mengatasi konflik yang terjadi, maka negara membuat
peraturan-peraturan yang wajib dipatuhi oleh seluruh individu (masyarakat)
tersebut. Menjamin agar peraturan terlaksana, dibutuhkan pemimpin dan
aparaturnya. Peminpin dan aparaturnya ini berfungsi mengatur konflik,
menegakkan peraturan dan mencapai tujuan. Untuk menjamin terlaksananya
fungsi-fungsi itu pemerintahan negara memerlukan organ pelaksana yang
mengoperasionalkan fungsi tersebut secara riil. Disinilah organisasi birokrasi muncul.
Jadi birokrasi adalah mesin negara
(state michenary),
karena jika tidak ada negara maka birokrasipun juga tidak pernah ada, dan
sebaliknya juga tidak mungkin ada negara tanpa ditopang oleh orgasasi
birokrasi. Peran birokrasi menentukan hitam putihnya kehidupan masyarakat dan
negara. Jika birokrasi baik, maka negara dan masyarakat akan baik. Begitu juga
sebaliknya, jika birokrasi buruk maka masyarakat juga akan buruk. Jadi
birokrasi memiliki akibat ganda yang saling bertolak belakang bagi masyarakat,
yaitu menjadi lembaga yang sangat bermanfaat atau lembaga yang menyengsarakan
bagi masyarakatnya.
Secara umum dapat dimaknai bahwa
birokrasi merupakan suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk
meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik maupun
yang buruk karena birokrasi merupakan instrumen administrasi rasional yang
netral pada skala besar. Namun, sayangnya. Pada proses perkembangannya,
birokrasi seringkali dilabelkan dengan pelbagai persoalan yang inefisiensi akibat
ketidaksesuaian yang muncul dengan tujuan dan cita-cita dari prinsip birokrasi
dalam rangka memperbaiki efisiensi administratif. Tidak netralnya birokrasi dan
pergesaran nilai yang terbentuk tentang tugas administrasi negara sebagai abdi
masyarakat menjadi abdi pemerintah dan pihak penguasa merupakan fenomena dan
pilihan dilematis dari birokrasi sebagai alat pemerintah dan sekaligus
perpanjangan tangan penguasa politik di negara-negara yang masih bertaruh pada
kondisi sosial demokrasi dan sistem politiknya.
I.2.Rumusan Permasalahan
Netralitas birokrasi di negara yang
baru merdeka merupakan ketidakmungkinan yang mustahil. Kebebasan berdemokrasi
yang baru tumbuh dalam keberagaman dan pluralnya kondisi sosiologis Indonesia
pada masa awal mengalami ujian pertama dengan diselenggarakannya Pemilu 1955.
Terpecahnya masyarakat dalam beberapa kelompok pendukung aliran
ideologi-politik pada masa ini menimbulkan dampak yang lebih luas dalam
perebutan kekuasaan politik di dalam parlemen oleh partai politik –mau tidak
mau menyeret birokrasi sebagai institusi administrasi yang mapan dan mampu
menjangkau semua lapisan masyarakat sebagai salah satu infrastruktur
kelengkapan kekuasaan.
Hiruk-pikuk euforia politik yang
berlangsung pasca dilaksanakan Pemilu 55 berdampak secara langsung dalam
terbentuknya politik aliran –refresentasi dari keberagaman masyarakat dan
ideologi yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Jika pada awal kemerdekaan
sentimen ini dapat diredam dan diminimalkan karena kuatnya ikatan politik
kebangsaan untuk menghadapi tantangan disintegrasi kemerdekaan karena tantangan
dari pihak kolonialisme lama yang ingin bangkit kembali menjajah. Pada periode
selanjutnya pasca pesta demokrasi pada menjelang dan sesudah Pemilu 1955.
Sentimen-sentimen ini muncul kembali sebagai sebuah keniscayaan dalam sebuah Old Societies and New State
yang menimbulkan perbedaaan dan persaingan sengit secara politik dalam lima
aliran politik dalam konstestasi demokrasi: Nasionalisme Radikal (PNI),
Tradisionalisme Jawa, Islam (NU dan Masyumi), Sosialisme Demokratik (PSI), dan
Komunisme (PKI).
Pada masa selanjutnya hilangnya
kekuasaan partai politik dalam demokrasi liberal dengan diganti dengan konsepsi
Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 1959. Melahirkan koalisi partai yang
sentralistik di bawah kendali eksekutif. Akibatnya, persaingan terlihat lebih
tertutup di dalam lembaga eksekutif. Di mana tiga kekuatan Soekarno, tentara
dan PKI saling berebut pengaruh di dalam
departemen pemerintahan (birokrasi). Paper singkat ini penulis buat sebagai
hasil riset singkat dari beragam literatur
untuk menjawab dan menjelaskan apa saja yang menjadi faktor penyebab
tertariknya birokrasi ke dalam kondisi-sosial politik pada dua masa orde lama:
demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.
I.3.Pertanyaan
Penelitian
1. Bagaimana
model persinggungan birokrasi dan politik pada masa pemerintahan Orde Lama?
2. Bagaimana
hubungan antara terbentuknya politik aliran dan netralitas birokrasi di
Indonesia pada masa Orde Lama?
II.Pembahasan
II.1Kerangka Konsep
Secara definisi etimologis
birokrasi berasal dari kata biro (berau)
yang berarti kantor ataupun dinas, dan kata krasi (cracy, kratie) yang berarti pemerintahan. Dengan demikian birokrasi
secara umum memiliki pengertian sebagai dinas pemerintahan.
Menurut Weber, secara karakteristik birokrasi memiliki definisi berdasarkan enam
tipologi (tipe ideal), diantaranya: Pertama, di dalam organisasi ini
terdapat pembagian kerja dengan spesialisasi peranan yang jelas. Pembagian
kerja dan terperinci ini akan membuka perekrutan tenaga yang ahli dalam
bidangnya dan memungkinkan masing-masing pegawai bertanggung jawab dalam
pelaksanaan tugasnya. Kedua, organisasi
jabatan ini mengikuti prinsip hirarki. Artinya jabatan yang lebih rendah berada
dalam kontrol dan pengawasan jabatan yang lebih tinggi. Setiap jabatan dalam
hirarki administrasi ini mempertanggungjawabkan kepada atasannya, tidak hanya
terhadap keputusan dan tindakan yang diambilnya sendiri, tetapi juga setiap
keputusan dan tindakan yang diambil oleh bawahannya. Ketiga, kegiatan organisasi jabatan ini dilakukan berdasarkan
sistem aturan yang abstak yang konsisten dan terdiri dari penerapan
aturan-aturan ini ke dalam kasus-kasus yang khusus. Sistem standar ini
dirancang untuk menjamin keseragaman tidak hanya dalam pelaksanaan setiap
tugas, terlepas dari berapa pun personil yang terlibat di dalamnya, tetapi juga
dalam koordinasi berbagai tugas. Aturan dan pengaturan secara eksplisit
membatasi kewajiban masing-masing anggota organisasi dan hubungan-hubungan
diantara mereka. Keempat, setiap
pejabat melaksanakan tugasnya dalam semangat dan hubungan yang formal dan
impersonal, yakni tanpa perasaan benci atau simpati, dan karena itu tanpa
afeksi atau antusiasme. Perilaku diskriminatif dan ketidakefisienan hanya dapat
dihilangkan apabila pertimbangan-pertimbangan pribadi tidak dilibatkan dalam
pelaksanaan tugas organisasi. Dalam hal ini terdapat kritik terhadap Weber,
yaitu hubungan-hubungan informal yang berlangsung di antara anggotanya justru
mendorong pelaksanaan kegiatan organisasi formal.
Kelima,
setiap
pegawai dalam organisasi ini direkrut menurut prinsip kualifikasi teknis (merit systems), digaji, dan dipensiunkan
menurut pangkat dan kemampuan, atau keduanya. Prinsip-prinsip ini akan
mendorong pengembangan kesetiaan kepada organisasi dan pengembangan semangat
korps di antara para anggotanya. Keenam, organisasi
administrasi yang bertipe birokratis dari segi pandangan teknis munrni
cenderung lebih mampu mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Oleh karena
itu, birokrasi mengatasi masalah unik organisasi. Artinya meminimalkan
koordinasi dan pengendalian sehingga akan tercapai tidak hanya efisiensi
organisasi, tetapi juga efisiensi produktif setiap pegawai.
Menurut Weber, keenam
tipologi-ideal di atas akan menghasilkan suatu birokrasi yang tidak hanya
superior dalam efektivitas, yaitu skala yang besar tetapi juga superior dalam
efisiensi. Lebih lanjut, menurut David Beetham (1975),
Weber memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep birokrasinya. Tiga elemen
itu antara lain: Pertama, birokrasi
dipandang sebagai instrumen teknis (technical
instrumen). Kedua, birokrasi
dipandang sebagai kekuatan yang independen dalam masyarakat, sepanjang
birokrasi birokrasi mempunyai mempunyai kecenderungan yang melekat (inheren tendency) pada penerapan fungsi
sebagai insrumen teknis tersebut. Ketiga,
pengembangan dari sikap ini karena para birokrat tidak mampu memisahkan
prilaku mereka dari kepentingannya sebagai suatu kelompok yang partikular.
Dengan demikian birokrasi bisa keluar dari fungsinya yang tepat karena
anggotanya cenderung datang dari kelas sosial yang partikular tersebut.
Elemen kedua dan ketiga dari
birokrasi Weberian di atas, mengandung pandangan Weber terhadap politik dalam
birokrasi. Ada faktor politik yang mampu mempengaruhi terhadap tipe ideal
birokrasi. Kehidupan birokrasi tampaknya sudah diperhitungkan tidak bisa
dipisahkan dari politik. Pandangan ini selama ini kurang diperhitungkan oleh
sebagian besar ahli administrasi publik yang lebih banyak memberikan perhatian
kepada elemen pertama. Inilah yang mendistorsi teori birokrasi Weberian. Ada
kalangan ahli yang menekankan bahwa bahwa orientasi birokrasi Weberian hanya
terbatas pada bagaimana ke dalam sistem administrasi dan organisasi diatur
secara rasional. Oleh karena itu, syarat-syarat yang ditetapkan oleh Weber
berkisar melihat hal-hal di dalam organisasi itu sendiri (in world looking) bukannya melihat faktor-faktor di luar (our world looking) yang bisa
memperngaruhi sistem birokrasi.
Perluasan pengaruh dan pembesaran
peran politik seringkali dianggap sebagai aspek kajian yang sifatnya lebih
kepada efek negatif dalam perkembangan birokrasi. Padahal hubungan yang
terbentuk tersebut tidak hanya sebatas membahas belenggu negatif yang muncul
sebagai dampak politisasi birokrasi: aristokrasi, feodalisme, dan arogansi
kekuasaan. Karl W Deutch (1974), menjelaskan bahwa manusia pada abad ini hidup
pada kondisi yang ia sebut sebagai politicizization.
Suatu dunia yang yang sedang mengalami proses politisasi yang luas, sehingga
banyak hal di masa lampau yang mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan
politik, atau sekurang-kurangnya tidak berkaitan langsung, justru sekarang
harus dipandang sebagai political issues.
Masuk dan semakin besarnya peran
birokrasi di dalam hajat hidup masyarakat luas membawa sebuah dampak besar
dalam kehidupan bernegara. Deutch menyatakan bahwa dalam masyarakat yang modern
tidak akan dapat dihindari efek dari suatu keputusan politik, atau sebuah
keputusan administratif yang mempunyai dampak psikologi politik. Sebab
keputusan ini tidak hanya berkenaan dengan segi-segi esensial dari quality of life. Peranan sentral yang
dibawa oleh birokrasi di dalam pembangunan nasional telah membawa sebuah proses
manejerial yang dilakukan oleh pemerintah terhadap penguasaan sumber-sumber
daya yang terbatas jumlahnya, kemampuan-kemampuan manejerial untuk memobilisasi
dana dan daya, serta kapasitas organisasi yang dimiliki, adalah alasan yang
cukup kuat untuk memberikan peranan dalam bertindak sebagai penggerak
pembangunan nasional.
B. Guy Petters
mengemukakan bahwa beraucratic empire
building tidak semata-mata berhubungan dengan keinginan dari birokrasi itu
sendiri untuk survive, tetapi berkaitan juga dengan pengembangan fungsi-fungsi
yang dipandang sebagai esensial bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Bahkan birokrasi juga mempunyai resource yang
sulit diimbangi oleh oleh institusi-institusi lain, termasuk institusi politik.
Kenyataan bahwa jaringan birokrasi negara cenderung menguasai disposal information yang terpusat pada
pemerintah, adanya political supporter yang
menyertai keberadaannya, cara kerjanya yang lebih efisien dibanding institusi
politik, serta posisinya yang bersifat permanen dan stabil merupakan segi-segi
realistis yang harus pula diperhitungkan.
Strategisnya posisi dan peran
birokrasi di dalam pemerintahan seringkali menjadikannya sebagai bangunan
penting dalam proses pembangunan politik di negara-negara pasca kolonial.
Mengutip pendapat Lucian W. Pye (1966),
bahwa ada tiga prasyarat yang harus dicapai oleh birokrasi dalam pembangunan
politik, yaitu persamaan, kapasitas dan deferensiasi. Dalam ciri pokok yang
pertama kesederajatan atau persamaan (equality),
pengerahan tenaga-tenaga di dalam pemerintahan harus dapat mencerminkan
ukuran-ukuran kemampuan atas dasar prestasi, bukan atas dasar ikatan
kekeluargaan dan status yang berdasarkan sistem sosial yang tradisional. Ciri
pokok yang dikemukakan selanjutnya, kapasitas sistem politik yang menghasilkan
output secara langsung berhubungan dengan prestasi pemerintah dan
keadaan-keadaan yang mempengaruhi prestasi. Ciri ketiga merupakan hal
terpenting karena terkait diferensiasi dan spesialisasi. Ciri ini berlaku dalam
analisa tentang lembaga dan struktur. Jabatan-jabatan pemerintah masing-masing
memiliki fungsi tersendiri dan terbatas, dan ada persamaan pembagian kerja di
dalam pemerintahan.
Merle Fainsod dalam konteks
pembangunan politik dan peranan birokrasi mengamati hubungan antara birokrasi
dengan flow of political authority
dan memetakannya menjadi lima model sebagai analisis perbandingan, diantaranya:
Pertama,
model
representative bureaucracy dimana
birokrasi bersikap responsif terhadap para pemimpin politik dan tentu saja
terhadap kemauan politik setiap masyarakat. Setiap prakarsa yang diambil oleh
birokrasi senantiasa didasarkan atas kesadaran terhadap konsensus-konsensus
yang berlaku. Perubahan hanya dapat terbentuk melalui kompetensi partai-partai
politik, sebagaimana yang berlaku di negara-negara barat.
Kedua,
A Party-State Bureaucracy, yang terbentuk di dalam negara
yang menganut sistem partai tunggal. Birokrasi negara didominasi atau dikontrol
oleh aparatur partai. Atau seperti yang pernah berlaku di Soviet pada masa
Stalin, baik partai maupun birokrasi ditetapkan di bawah otoritas seorang
penguasa diktatorial.
Ketiga,
The Military-Dominated Bureaucracy yang tumbuh di
negara-negara yang angkatan bersenjatanya mendominasi jabatan-jabatan politik
di bidang eksekutif. Di lingkungan seperti ini, pemantapan kekuatan militer dan
penerapan karakteristik militer di dalam mewujudkan disipilin dan
kewenangan-kewenangan merupakan hal yang biasa. Keadaan semacam itu
kadang-kadang diperlukan bagi perubahan dan pembaharuan sosial.
Keempat,
A Personal Instrument of the Authoratic, yaitu suatu
kondisi hubungan yang menempatkan para birokrat semata-mata sebagai dari alat
dari penguasa otokratis atau diktator. Pengaruh yang dimiliki oleh birokrat
secara individual akan sangat tergantung pada kualitas yang dibutuhkan oleh
sang penguasa.
Kelima,
Colonial
Administrations or Nominal Ruling Person or Groups, dalam hubungan ini
dijelaskan bahwa birokrasi dapat memerintah, baik secara langsung sebagai
administrator kolonial atau secara tidak langsung atas nama seseorang atau
sekelompok penguasa.
II.2.Analisis
Mengawali bahasan mengenai
birokrasi dan politik aliran di Indonesia. Penulis ingin menjelaskan dua
polemik dasar yang seringkali terjadi di negara-negara berkembang yang baru
melakukan eksperimen besar dalam sistem pemerintahan politiknya. Bergerak dan
tarik menariknya dua kekuasaan dalam konsep trias politika –Eksekutif dan
Legislatif. Menimbulkan sebuah konflik politik yang terus berlangsung
terus-menerus dan berdampak pada proses demokrasi di negara-negara berkembang
pasca kolonialisasi yang berlangsung. Paradigma kekuasaan yang seringkali
mengalami tarik-menarik di kedua lokus tersebut memiliki kekhasan dengan
ikutnya peran militer dan partai politik di dalamnya. Pada satu waktu,
kekuasaan terpusat di lembaga eksekutif. Pemerintah menunjukkan supremasi kekuatan
dibandingkan lembaga-lembaga yang ada. Sehingga penggunaan kekuasaan fokusnya
diarahkan agar sentralisasi kekuasaan berasal dan bermuara dari satu tempat.
Pada kurun waktu yang lain, kekuasaan berada di lembaga legislatif. Partai
politik di lembaga legislatif memainkan peranan penting dalam fokus kekuasaan.
Pemerintah bisa mengalami kondisi pasang-surut akibat instabilitas politik
dikarenakan konflik kepentingan yang sulit disatukan.
Di Indonesia atau kebanyakan negara
berkembang di Asia, baik karena kelemahan kelas menengah yang produktif atau
preferensi ideologi kanan maupun kiti, biroktasi menjadi alat pembangunan
utama. Sebagai alat utama pembangunan, birokrasi memiliki posisi dan peran yang
sangat strategis karena menguasai berbagai aspek hajat hidup masyarakat. Mulai
dari urusan kelahiran, pernikahan, usaha, hingga urusan kematian, masyarakat
tidak bisa menghindar dari urusan birokrasi.
Birokrasi menguasai akses ke sumber
daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahauna
dan infomasi yang tidak dimiliki pihak lain. Birokrasi juga memegang peranan
penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik,
termasuk evaluasi kinerjanya. Adalah logis apabila pada setiap perkembangan
politik, selalu terdapat upaya untuk menarik birokrasi pada area permainan
politik. Birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, dan atau
memperkuat kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak pemegang kekuasaan.
Hal ini dapat diamati pada masa
dinamika dan transisi demokrasi di Indonesia. Pada masa demokrasi parlementer
1950-an di mana partai politik menjadi aktor sentral dalam sistem politik
menjadi aktor sentral dalam sistem politik di Indonesia. Pemelihan umum pertama
secara demokratis berhasil dilaksanakan pada periode ini. Dan birokrasi, secara
massif, telah menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena perlombaan
pengaruh oleh partai politik, sehingga menimbulkan polarisasi dan fragmentasi
birokrasi.
Sementara peralihan ke masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1966) tidak menghasilkan perubahan mendasar dalam
birokrasi, kecuali perubahan peta kekuatan politik. Pergeseran politik ke arah
otoritarianisme saat itu menyebabkan peran partai mulai termarjinalkan. Semua kehidupan
politik yang sudah berkembang sebelumnya terhenti dan dihentikan dengan
menempatkan Presiden Soekarno sebagai patron kekuasaan (guided). Saat itu, satu-satunya partai yang secara dinamis mampu
menarik keuntungan karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno adalah Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Menurut Thoha,
dalam membagi periodisasi proses birokratisasi dan politik di Indonesia pasca
kemerdekaan yang berlangsung tahun 1945. Dapat dilihat dari tiga periode atau
masa pemerintahan yang berlangsung pasca kemerdekaan Indonesia. Periode
tersebut ialah, 1945-1950, 1950-1959, dan 1959-1965. Masing-masing periode
memiliki keterkaitan tersendiri antara birokrasi dan kondisi politik yang
berlangsung di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat di bawah ini:
a.Periode 1945-1950
Pada periode pertama antara tahun
1945-1950, semangat perjuangan masih mewarnai penyelenggaraan pemerintahan
kita. Primordial sentimen yang membuat masyarakat Indonesia terbelah pada masa
penjajahan dikesampingkan dengan semangat persatuan dan kesatuan. Bahkan
munculnya kekuatan oleh kelompok mayoritas untuk menekan kepentingannya dalam
menghargai kelompok minoritas. Contohnya adalah penyimpangan pertama Bung Karno
yang dilakukan terhadap UUD 1945 dengan diterimanya usulan Sjahrir untuk
menggunakan Kabinet Parlementer. Pilihan ini dipilih sebagai upaya untuk
menjaga persatuan dan kesatuan pada masa awal kemerdekaan.
Semangat primordial, walaupun ada,
untuk sementara waktu kalah oleh semangat nasional. Satu-satunya organisasi
politik primordial adalah PKI yang melakukan pemberontakan dalam rangka
menguasai pemerintahan dan negara. Pada awal kemerdekaan ada semacam
kesepakatan bahwa lembaga pemerintahan
merupakan lembaga politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Angggapan ini
beralasan karena lembaga politik memiliki birokrasi yang mampu menjangkau
rakyat sampai ke desa-desa. Namun dalam perjalanan selanjutnya, menguatnya
aspirasi primordial dalam lembaga birokrasi pemerintah menjadikan birokrasi
sebagai incaran dari partai politik untuk menguasai pemerintahan.
b.Periode 1950-1959
Pada periode kedua antara tahun
1950-1959, gejala politik yang semakin menguat mengincar lembaga birokrasi
pemerintah semakin dapat dirasakan. Pada tahun 1950 saat diberlakukannya UUD
Sementara, menimbulkan efek kausalitas terhadap demokrasi parlementer yang memunculkan
beragamnya partai politik yang merupakan konsekuensi kebebasan masyarakat untuk
mendirikan partai berdasarkan aspirasinya. Pada periode ini terselenggaranya
Pemilu pertama pada tahun 1955 yang mendapatkan label Pemilu paling demokratis
dan dinamis di Indonesia. Ketika itu semua partai politik yang memenangkan
suara berkeinginan untuk menguasai beberapa kementerian. Bahkan tidak jarang
kabinet mengalami jatuh-bangun, demisioner akibat pembagian kementerian yang
tidak sesuai dengan tuntutan partai politik. Mosi tidak percaya merupaka awal dari runtuhnya kabinet yang memimpin
lembaga pemerintah. Pemerintah di bawah kepemimpinan partai politik yang
mendominasi DPR. Kedudukan DPR kuat, dan kedudukan pemerintah lemah. Netralitas
birokrasi ikut terpengaruh oleh kondisi sosial-politik pada saat itu.
c.Periode 1960-1965
Pada periode ketiga antara tahun
1960-1965, lembaga pemerintah semakin jelas diincar oleh kekuatan politik. Tiga
kekuatan partai politik yang dibungkus dalam Nasakom berusaha membagi
kamplingan pengaruhnya di beberapa departemen pemerintah (they are building a block in the goverment bureaucracy). Di bawah
label demokrasi terpimpin, tiga partai politik membangun akses ke lembaga
pemerintah. Tiga kekuatan partai politik Nasakom berambisi menggunakan jabatan
birokrasi dalam lembaga pemerintah sebagai building
block untuk membangun organisasi partainya.
Pada masa ini lembaga pemerintah
sudah mulai memihak kepada kekuatan politik yang ada. Atau lebih tepatnya
lembaga pemerintah kita yang sudah terperangkap ke dalam jaring yang dipasang
oleh kekuatan politik Nasakom. Hal ini terbukti ketika terjadi tragedi politik
G30/S PKI pada 1965. Dari data yang diungkap ternyata kekuatan politik PKI telah
menyusup ke hampir semua departemen pemerintah. Sementara itu, kekuatan agama
dan nasionalis mendominasi kampling departemennya masing-masing. Pada periode
ini dengan upaya PKI untuk menguasai lembaga pemerintahan, dan peran partai
politik yang semakin bersaing satu dengan lainnya kurang mampu menghasilkan
profesionalitas pemerintahan sipil yang netral dan kompeten. Akibatnya militer
masuk ke dalam pemerintahan untuk menggantikan pemerintahan sipil yang telah
kandas oleh konflik dan perpecahan akibat kepentingan pragmatis tiap-tiap
kelompok partai politik di dalam pemerintahan.
Melalui tiga periode yang
digambarkan oleh Thoha di atas. Penulis berpendapat bahwa pada masa awal
kemerdekaan birokrasi (pamong praja) merupakan warisan dari pihak penjajah yang
mengalami perubahan fungsi. Jika pada masa kolonial sifatnya hanya sebagai
alat administrasid dan pelayan pemerintah kolonial. Pada masa awal pemerintahan
birokrasi menjadi salah satu alat untuk mencapai integrasi nasional dan
mengkesampingkan sentimen kelompok minoritas terhadap mayoritas dan kelompok
mayoritas terhadap kelompok minoritas dalam sentimen primordial. Rekrutmen
lebih didasarkan kepada askriftif (berdasarkan kelas, agama, ideologi, dan
kelompok-kelompok tertentu).
Namun, situasi ini berubah pada
saat berlangsungnya demokrasi parlementer. Secara penuh bentuk persaingan
politik dan berdampak kepada bentuk politisasi terbuka sejak masa pemerintahan
Ali Sastroamidjoyo departemen menjadi terlabelkan terhadap ideologi dan partai
politik tertentu, yaitu: Depdagri dan Deptan oleh PNI, Depag oleh NU dan
Masyumi, Deplu oleh PNI dan PSI, serta Dehub dan Dephan oleh PKI. Aibatnya pada
para pemimpin partai politik bersaing untuk memperebutkan posisi menteri yang
langsung memimpin sebuah kementerian. Setelah menduduki kursi menteri, maka
sang menteri akan berusaha sekuat tenaga memperlihatkan kepemimpinannya dan
kebijakan yang ditempuhnya sehingga para pegawai di kementerian tersebut tertarik
untuk masuk dan menjadi anggota ke dalam partai sang menteri. Dengan kondisi
seperti itu maka akhirnya didapati beberapa kementerian menjadi basis atau
didominasi oleh partai politik.
Pada masa demokrasi terpimpin
birokrasi cenderung dijadikan sebuah alat mobilisasi polical religion
Nasakom yang merupakan representasi dari kekuatan politik pada masa
demokrasi terpimpin. Bentuk politisasi pada masa ini bersifat setengah terbuka
karena politisasi birokrasi tidak sebebas pada masa demokrasi parlementer.
Meskipun terlihat lebih halus, politisasi birokrasi tetap berjalan dengan
terbentuknya blok-blok di departemen birokrasi pemerintahan. Dikatakan setengah
terbuka karena politisasi birokrasi hanya diperuntukkan bagi parpol-parpol yang
mewakili golongan-golongan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Namun
golongan yang terakhir ini di satu pihak secara formal memiliki hak untuk
menempatkan beberapa pemimpin atau tokohnya ke dalam kabinet dan kemudian
melakukan politisasi birokrasi. Tetapi di lain pihak, golongan Komunis tidak
pernah menikmati hak tersebut karena masuknya PKI ke dalam kabinet selalu
ditentang oleh dua golongan yang lain (nasionalis & agama). Selain itu juga
ditentang pihak militer. Tampaknya Sukarno juga tidak bisa berbuat apa pun
terhadap penolakan itu. Bahkan dalam banyak hal, Sukarno mengikuti sikap
golongan nonkomunis. Sebagai jalan tengah, Sukarno menempatkan pemimpin atau
tokoh organisasi satelit PKI, misalnya Baperki, untuk memimpin sebuah
kementerian dan kemudian melakukan politisasi. Dengan demikian secara tidak
langsung PKI dapat melakukan politisasi birokrasi melalui Baperki.
III.Kesimpulan
Model persinggungan antara
birokrasi pada masa orde lama jika penulis kembalikan kepada konsep Merle
Fainsod mengenai hubungan antara
birokrasi dengan flow of political
authority pada masa demokrasi terpimpin model hubungan yang ingin dibentuk
oleh birokrasi adalah model representative
bureaucracy dimana birokrasi bersikap responsif terhadap para pemimpin
politik dan tentu saja terhadap kemauan politik setiap masyarakat. Setiap prakarsa
yang diambil oleh birokrasi senantiasa didasarkan atas kesadaran terhadap
konsensus-konsensus yang berlaku. Perubahan hanya dapat terbentuk melalui
kompetensi partai-partai politik, sebagaimana yang berlaku di negara-negara
barat. Kondisi ini terlihat dari peran besar dari partai politik yang ikut
menentukan fokus dan arah birokrasi pada departemen-departemen pemerintahan
yang ada di negara. Namun, kondisi ini mengalami perubahan pasca keluarnya
dekrit oleh Presiden Soekarno dan diberlakukannya ideologi Nasakom. Hubungan
birokrasi dan politik bersifat A Personal
Instrument of the Autocratic, yaitu suatu kondisi hubungan yang menempatkan
para birokrat semata-mata sebagai alat dari penguasa otokratis atau diktator.
Pengaruh yang dimiliki oleh para birokrat secara individual akan sangat
bergantung pada kualitas yang dibutuhkan oleh sang penguasa.
Di
satu sisi fenomena politik aliran yang berkembang sebagai konsekuensi terhadap
konstestasi demokrasi dalam Pemilu 1955. Merupakan kondisi yang tidak dapat dihindarkan
dalam proses politisasi birokrasi di Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer.
Hubungan ini bersifat kausalitas dimana politik aliran bertindak sebagai
penyebab dan politisasi birokrasi adalah akibatnya. Karena minimal melalui
politisasi, sebuah birokrasi dapat digiring untuk dijadikan basis pendukung
bagi partai sang menteri (merangkap pengurus partai) di dalam pemilihan umum
yang akan datang. Akibatnya politisasi birokrasi menjadi hambatan bagi
tumbuhnya proses profesionalisasi di dalam birokrasi. Temuan yang penulis dapatkan
sebagai kesimpulan paper sebagai pertanyaan penelitian selanjutnya adalah bahwa
birokrasi secara rasional di negara yang masih berproses demokrasinya belum
dapat bersikap netral sepenuhnya dari kekuatan-kekuatan politik. Karena,
cenderung di dalam birokrasi-lah sebuah persaingan politik sebagai sebuah
ideologi maupun kelompok berlangsung secara dinamis dan menarik.[]
Daftar
Pustaka
Apter, David E. Politik
Modernisasi. Jakarta: Gramedia, 1987.
Feith, Herbeth dan Lance Castle (ed). Pemikiran Politik Indonesia 1945-1966.
Jakarta: LP3ES, 1988.
Geertz, Clifford (ed). Old Societies and New State. London: Free Press of Glencoe, 1963.
Hoesen,
Djenal Koesoemahatmadja. Fungsi dan
Struktur Pamongpraja. Bandung: Penerbit Alumni, 1978.
M.
Blau, Peter dan Marshall W. Meyer. Birokrasi dalam Masyarakat Modern .
Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000.
Mansyur, Ahmad Suryanegara. Api Sejarah 2. Bandung:Salamadani Pustaka Semesta, 2010.
Peters , B. Guy. The
Politics of Bureucracy. London: Routledge, 2001.
Ryass
, Muhammad Rasyid. Kajian Awal Birokrasi
Pemerintahan dan Politik Orde Baru. Jakarta: MIPI, 1997.
Stuart, John Mill. On Libert. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Sudarsono, Juwono. Pembangunan
Politik dan Perubahan Politik . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Surbakti, Ramlan
. Memahami Ilmu Politik . Jakarta: Gramedia, 1992.
Thoha, Mifta. Birokrasi
dan Politik di Indonesia . Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Wiliam,
T. Gormley Jr and Steven J. Balla. Bureaucracy and Democracy. Washinton DC:
CQ. Press, 2004.
0 komentar:
Posting Komentar