Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

“Dilema Birokrasi Pada Masa Orde Lama: Birokrasi Politik Aliran” (Perbandingan Dua Masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin)




ABSTRAK
Fenomena politik aliran yang berlangsung pasca kemerdekaan Indonesia dan berdirinya demokrasi parlementer secara umum memiliki pemgaruh yang sangat besar di dalam setiap dimensi kehidupan berpolitik dan bernegara. Birokrasi yang notabenenya adalah sebuah alat pemerintahan di dalam sistem politik, mengutip Almond mengalami ketersinggungan yang begitu erat dalam iklim politik yang dinamis. Birokrasi pada masa demokrasi parlementer cenderung menjadi perpanjangan dari ideologi parta-partai. Sehingga seringkali muncul klaim-klaim wilayah politik tertentu terhadap institusi birokrasi pada masa demokrasi parlementer. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin, birokrasi tetap tidak mampu menjaga netralitasnya sebagai sebuah lembaga administratif karena ikut terlibat dalam tarik-menarik 3 kekuatan politik –Soekarno, Militer dan PKI. Tidak boleh abainya birokrasi terhadap political religion: NASAKOM telah memaksa intitusi ini menjadi wilayah di balik layar tempat persaingan sekaligus saling menjatuhkan kedua kekuatan pendukung Presiden Soekarno di bawah dua kekuatan besar Militer dan PKI. Pasca dibrendelnya kebebasan partai politik melalui dekrit presiden 1959. Kerangka konsep yang penulis gunakan untuk menganalisis kondisi birokrasi di Indonesia pada masa tersebut adalah konsep Weber terkait birokrasi rasional, pandangan Lucian W. Pye antara hubungan birokrasi dan pembangunan politik, serta Marle Fainsod tentang model hubungan antara birokrasi dan politik yang terbentuk dalam konteks pembangunan politik. Temuan yang penulis dapatkan sebagai kesimpulan paper ini adalah bahwa birokrasi secara rasional di negara yang masih berproses demokrasinya belum dapat bersikap netral sepenuhnya dari kekuatan-kekuatan politik. Karena, cenderung di dalam birokrasi-lah sebuah persaingan politik sebagai sebuah ideologi maupun kelompok berlangsung secara dinamis dan menarik.

Kata Kunci:
Politik Aliran, Birokrasi, Political Religion.





I.PENDAHULUAN
I.1.Latar Belakang
Birokrasi sangat erat hubungannya dengan proses administrasi di dalam pemerintahan. Proses ini berhubungan dengan pelayanan (service) dan kerja pengelolaan (administratif). Birokrasi bukanlah sebuah fenomena baru di dalam masyarakat modern. Melainkan sudah diletakkan sebagai dasar dan syarat pemerintahan sejak masa Romawi dan masa Mesir kuno. Namun, kecenderungannya mengalami perubahan mendasar dan signifikan sejak seratus tahun terakhir. Dalam masyarakat kontemporer, birokrasi telah menjadi suatu lembaga yang dominan, sesungguhnya, birokrasi lebih sebagai satu lembaga yang melahirkan jaman modern.[1]
Birokrasi pada dasarnya dimaknai sebagai produk dari sebuah proses sosial yang panjang dan kompleks, yaitu dari serangkaian prosedur yang berliku dan menyangkut kontekstualitas sosial yang universal. Manusia sebagai individu sekaligus sebagai makhluk sosial jelas tidak mungkin bisa hidup sendiri. Dia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan juga agar bisa tetap eksis. Ketika individu-individu tersebut ternyata mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang sama, maka mereka berkomitmen untuk membentuk sebuah komunitas sosial yang selanjutnya komunitas sosial ini disebut sebagai negara. Sehingga Negara (Pemerintah) dibentuk berdasar pada kontrak sosial[2], dimana pada kontrak ini negara diberi kuasa untuk mempunyai beberapa fungsi antara lain fungsi keamanan, ketertiban, keadilan, pekerjaan umum, kesejahteraan, dan pemeliharaan Sumber Daya Alam dan lingkungan.
Dalam perjalanannya, ternyata terjadi perbedaan keinginan, kebutuhan, dan pendapat antar individu-individu tersebut bahkan perbedaan pendapat, kebutuhan dan keinginan tersebut mengarah kepada terjadinya konflik. Untuk mengatasi konflik yang terjadi, maka negara membuat peraturan-peraturan yang wajib dipatuhi oleh seluruh individu (masyarakat) tersebut. Menjamin agar peraturan terlaksana, dibutuhkan pemimpin dan aparaturnya. Peminpin dan aparaturnya ini berfungsi mengatur konflik, menegakkan peraturan dan mencapai tujuan. Untuk menjamin terlaksananya fungsi-fungsi itu pemerintahan negara memerlukan organ pelaksana yang mengoperasionalkan fungsi tersebut secara riil. Disinilah organisasi birokrasi muncul[3].
Jadi birokrasi adalah mesin negara (state michenary)[4], karena jika tidak ada negara maka birokrasipun juga tidak pernah ada, dan sebaliknya juga tidak mungkin ada negara tanpa ditopang oleh orgasasi birokrasi. Peran birokrasi menentukan hitam putihnya kehidupan masyarakat dan negara. Jika birokrasi baik, maka negara dan masyarakat akan baik. Begitu juga sebaliknya, jika birokrasi buruk maka masyarakat juga akan buruk. Jadi birokrasi memiliki akibat ganda yang saling bertolak belakang bagi masyarakat, yaitu menjadi lembaga yang sangat bermanfaat atau lembaga yang menyengsarakan bagi masyarakatnya.
Secara umum dapat dimaknai bahwa birokrasi merupakan suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik maupun yang buruk karena birokrasi merupakan instrumen administrasi rasional yang netral pada skala besar. Namun, sayangnya. Pada proses perkembangannya, birokrasi seringkali dilabelkan dengan pelbagai persoalan yang inefisiensi akibat ketidaksesuaian yang muncul dengan tujuan dan cita-cita dari prinsip birokrasi dalam rangka memperbaiki efisiensi administratif. Tidak netralnya birokrasi dan pergesaran nilai yang terbentuk tentang tugas administrasi negara sebagai abdi masyarakat menjadi abdi pemerintah dan pihak penguasa merupakan fenomena dan pilihan dilematis dari birokrasi sebagai alat pemerintah dan sekaligus perpanjangan tangan penguasa politik di negara-negara yang masih bertaruh pada kondisi sosial demokrasi dan sistem politiknya. 
I.2.Rumusan Permasalahan
Netralitas birokrasi di negara yang baru merdeka merupakan ketidakmungkinan yang mustahil. Kebebasan berdemokrasi yang baru tumbuh dalam keberagaman dan pluralnya kondisi sosiologis Indonesia pada masa awal mengalami ujian pertama dengan diselenggarakannya Pemilu 1955. Terpecahnya masyarakat dalam beberapa kelompok pendukung aliran ideologi-politik pada masa ini menimbulkan dampak yang lebih luas dalam perebutan kekuasaan politik di dalam parlemen oleh partai politik –mau tidak mau menyeret birokrasi sebagai institusi administrasi yang mapan dan mampu menjangkau semua lapisan masyarakat sebagai salah satu infrastruktur kelengkapan kekuasaan.
Hiruk-pikuk euforia politik yang berlangsung pasca dilaksanakan Pemilu 55 berdampak secara langsung dalam terbentuknya politik aliran –refresentasi dari keberagaman masyarakat dan ideologi yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Jika pada awal kemerdekaan sentimen ini dapat diredam dan diminimalkan karena kuatnya ikatan politik kebangsaan untuk menghadapi tantangan disintegrasi kemerdekaan karena tantangan dari pihak kolonialisme lama yang ingin bangkit kembali menjajah. Pada periode selanjutnya pasca pesta demokrasi pada menjelang dan sesudah Pemilu 1955. Sentimen-sentimen ini muncul kembali sebagai sebuah keniscayaan dalam sebuah Old Societies and New State[5] yang menimbulkan perbedaaan dan persaingan sengit secara politik dalam lima aliran politik dalam konstestasi demokrasi: Nasionalisme Radikal (PNI), Tradisionalisme Jawa, Islam (NU dan Masyumi), Sosialisme Demokratik (PSI), dan Komunisme (PKI).[6]
Pada masa selanjutnya hilangnya kekuasaan partai politik dalam demokrasi liberal dengan diganti dengan konsepsi Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 1959. Melahirkan koalisi partai yang sentralistik di bawah kendali eksekutif. Akibatnya, persaingan terlihat lebih tertutup di dalam lembaga eksekutif. Di mana tiga kekuatan Soekarno, tentara dan PKI saling berebut pengaruh  di dalam departemen pemerintahan (birokrasi). Paper singkat ini penulis buat sebagai hasil riset singkat dari beragam literatur  untuk menjawab dan menjelaskan apa saja yang menjadi faktor penyebab tertariknya birokrasi ke dalam kondisi-sosial politik pada dua masa orde lama: demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.
I.3.Pertanyaan Penelitian
1.      Bagaimana model persinggungan birokrasi dan politik pada masa pemerintahan Orde Lama?
2.      Bagaimana hubungan antara terbentuknya politik aliran dan netralitas birokrasi di Indonesia pada masa Orde Lama?
II.Pembahasan
II.1Kerangka Konsep
Secara definisi etimologis birokrasi berasal dari kata biro (berau) yang berarti kantor ataupun dinas, dan kata krasi (cracy, kratie) yang berarti pemerintahan. Dengan demikian birokrasi secara umum memiliki pengertian sebagai dinas pemerintahan[7]. Menurut Weber, secara karakteristik birokrasi memiliki definisi berdasarkan enam tipologi (tipe ideal), diantaranya:[8] Pertama, di dalam organisasi ini terdapat pembagian kerja dengan spesialisasi peranan yang jelas. Pembagian kerja dan terperinci ini akan membuka perekrutan tenaga yang ahli dalam bidangnya dan memungkinkan masing-masing pegawai bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugasnya. Kedua, organisasi jabatan ini mengikuti prinsip hirarki. Artinya jabatan yang lebih rendah berada dalam kontrol dan pengawasan jabatan yang lebih tinggi. Setiap jabatan dalam hirarki administrasi ini mempertanggungjawabkan kepada atasannya, tidak hanya terhadap keputusan dan tindakan yang diambilnya sendiri, tetapi juga setiap keputusan dan tindakan yang diambil oleh bawahannya. Ketiga, kegiatan organisasi jabatan ini dilakukan berdasarkan sistem aturan yang abstak yang konsisten dan terdiri dari penerapan aturan-aturan ini ke dalam kasus-kasus yang khusus. Sistem standar ini dirancang untuk menjamin keseragaman tidak hanya dalam pelaksanaan setiap tugas, terlepas dari berapa pun personil yang terlibat di dalamnya, tetapi juga dalam koordinasi berbagai tugas. Aturan dan pengaturan secara eksplisit membatasi kewajiban masing-masing anggota organisasi dan hubungan-hubungan diantara mereka. Keempat, setiap pejabat melaksanakan tugasnya dalam semangat dan hubungan yang formal dan impersonal, yakni tanpa perasaan benci atau simpati, dan karena itu tanpa afeksi atau antusiasme. Perilaku diskriminatif dan ketidakefisienan hanya dapat dihilangkan apabila pertimbangan-pertimbangan pribadi tidak dilibatkan dalam pelaksanaan tugas organisasi. Dalam hal ini terdapat kritik terhadap Weber, yaitu hubungan-hubungan informal yang berlangsung di antara anggotanya justru mendorong pelaksanaan kegiatan organisasi formal.
Kelima, setiap pegawai dalam organisasi ini direkrut menurut prinsip kualifikasi teknis (merit systems), digaji, dan dipensiunkan menurut pangkat dan kemampuan, atau keduanya. Prinsip-prinsip ini akan mendorong pengembangan kesetiaan kepada organisasi dan pengembangan semangat korps di antara para anggotanya. Keenam, organisasi administrasi yang bertipe birokratis dari segi pandangan teknis munrni cenderung lebih mampu mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, birokrasi mengatasi masalah unik organisasi. Artinya meminimalkan koordinasi dan pengendalian sehingga akan tercapai tidak hanya efisiensi organisasi, tetapi juga efisiensi produktif setiap pegawai.
Menurut Weber, keenam tipologi-ideal di atas akan menghasilkan suatu birokrasi yang tidak hanya superior dalam efektivitas, yaitu skala yang besar tetapi juga superior dalam efisiensi. Lebih lanjut, menurut David Beetham (1975)[9], Weber memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep birokrasinya. Tiga elemen itu antara lain: Pertama, birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis (technical instrumen). Kedua, birokrasi dipandang sebagai kekuatan yang independen dalam masyarakat, sepanjang birokrasi birokrasi mempunyai mempunyai kecenderungan yang melekat (inheren tendency) pada penerapan fungsi sebagai insrumen teknis tersebut. Ketiga, pengembangan dari sikap ini karena para birokrat tidak mampu memisahkan prilaku mereka dari kepentingannya sebagai suatu kelompok yang partikular. Dengan demikian birokrasi bisa keluar dari fungsinya yang tepat karena anggotanya cenderung datang dari kelas sosial yang partikular tersebut.
Elemen kedua dan ketiga dari birokrasi Weberian di atas, mengandung pandangan Weber terhadap politik dalam birokrasi. Ada faktor politik yang mampu mempengaruhi terhadap tipe ideal birokrasi. Kehidupan birokrasi tampaknya sudah diperhitungkan tidak bisa dipisahkan dari politik. Pandangan ini selama ini kurang diperhitungkan oleh sebagian besar ahli administrasi publik yang lebih banyak memberikan perhatian kepada elemen pertama. Inilah yang mendistorsi teori birokrasi Weberian. Ada kalangan ahli yang menekankan bahwa bahwa orientasi birokrasi Weberian hanya terbatas pada bagaimana ke dalam sistem administrasi dan organisasi diatur secara rasional. Oleh karena itu, syarat-syarat yang ditetapkan oleh Weber berkisar melihat hal-hal di dalam organisasi itu sendiri (in world looking) bukannya melihat faktor-faktor di luar (our world looking) yang bisa memperngaruhi sistem birokrasi.[10]
Perluasan pengaruh dan pembesaran peran politik seringkali dianggap sebagai aspek kajian yang sifatnya lebih kepada efek negatif dalam perkembangan birokrasi. Padahal hubungan yang terbentuk tersebut tidak hanya sebatas membahas belenggu negatif yang muncul sebagai dampak politisasi birokrasi: aristokrasi, feodalisme, dan arogansi kekuasaan. Karl W Deutch (1974), menjelaskan bahwa manusia pada abad ini hidup pada kondisi yang ia sebut sebagai politicizization. Suatu dunia yang yang sedang mengalami proses politisasi yang luas, sehingga banyak hal di masa lampau yang mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan politik, atau sekurang-kurangnya tidak berkaitan langsung, justru sekarang harus dipandang sebagai political issues.[11]
Masuk dan semakin besarnya peran birokrasi di dalam hajat hidup masyarakat luas membawa sebuah dampak besar dalam kehidupan bernegara. Deutch menyatakan bahwa dalam masyarakat yang modern tidak akan dapat dihindari efek dari suatu keputusan politik, atau sebuah keputusan administratif yang mempunyai dampak psikologi politik. Sebab keputusan ini tidak hanya berkenaan dengan segi-segi esensial dari quality of life. Peranan sentral yang dibawa oleh birokrasi di dalam pembangunan nasional telah membawa sebuah proses manejerial yang dilakukan oleh pemerintah terhadap penguasaan sumber-sumber daya yang terbatas jumlahnya, kemampuan-kemampuan manejerial untuk memobilisasi dana dan daya, serta kapasitas organisasi yang dimiliki, adalah alasan yang cukup kuat untuk memberikan peranan dalam bertindak sebagai penggerak pembangunan nasional.
B. Guy Petters[12] mengemukakan bahwa beraucratic empire building tidak semata-mata berhubungan dengan keinginan dari birokrasi itu sendiri untuk survive, tetapi berkaitan juga dengan pengembangan fungsi-fungsi yang dipandang sebagai esensial bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Bahkan birokrasi juga mempunyai resource yang sulit diimbangi oleh oleh institusi-institusi lain, termasuk institusi politik. Kenyataan bahwa jaringan birokrasi negara cenderung menguasai disposal information yang terpusat pada pemerintah, adanya political supporter yang menyertai keberadaannya, cara kerjanya yang lebih efisien dibanding institusi politik, serta posisinya yang bersifat permanen dan stabil merupakan segi-segi realistis yang harus pula diperhitungkan.
Strategisnya posisi dan peran birokrasi di dalam pemerintahan seringkali menjadikannya sebagai bangunan penting dalam proses pembangunan politik di negara-negara pasca kolonial. Mengutip pendapat Lucian W. Pye (1966)[13], bahwa ada tiga prasyarat yang harus dicapai oleh birokrasi dalam pembangunan politik, yaitu persamaan, kapasitas dan deferensiasi. Dalam ciri pokok yang pertama kesederajatan atau persamaan (equality), pengerahan tenaga-tenaga di dalam pemerintahan harus dapat mencerminkan ukuran-ukuran kemampuan atas dasar prestasi, bukan atas dasar ikatan kekeluargaan dan status yang berdasarkan sistem sosial yang tradisional. Ciri pokok yang dikemukakan selanjutnya, kapasitas sistem politik yang menghasilkan output secara langsung berhubungan dengan prestasi pemerintah dan keadaan-keadaan yang mempengaruhi prestasi. Ciri ketiga merupakan hal terpenting karena terkait diferensiasi dan spesialisasi. Ciri ini berlaku dalam analisa tentang lembaga dan struktur. Jabatan-jabatan pemerintah masing-masing memiliki fungsi tersendiri dan terbatas, dan ada persamaan pembagian kerja di dalam pemerintahan.
Merle Fainsod dalam konteks pembangunan politik dan peranan birokrasi mengamati hubungan antara birokrasi dengan flow of political authority dan memetakannya menjadi lima model sebagai analisis perbandingan, diantaranya[14]:
Pertama, model representative bureaucracy dimana birokrasi bersikap responsif terhadap para pemimpin politik dan tentu saja terhadap kemauan politik setiap masyarakat. Setiap prakarsa yang diambil oleh birokrasi senantiasa didasarkan atas kesadaran terhadap konsensus-konsensus yang berlaku. Perubahan hanya dapat terbentuk melalui kompetensi partai-partai politik, sebagaimana yang berlaku di negara-negara barat.
Kedua, A Party-State Bureaucracy, yang terbentuk di dalam negara yang menganut sistem partai tunggal. Birokrasi negara didominasi atau dikontrol oleh aparatur partai. Atau seperti yang pernah berlaku di Soviet pada masa Stalin, baik partai maupun birokrasi ditetapkan di bawah otoritas seorang penguasa diktatorial.
Ketiga, The Military-Dominated Bureaucracy yang tumbuh di negara-negara yang angkatan bersenjatanya mendominasi jabatan-jabatan politik di bidang eksekutif. Di lingkungan seperti ini, pemantapan kekuatan militer dan penerapan karakteristik militer di dalam mewujudkan disipilin dan kewenangan-kewenangan merupakan hal yang biasa. Keadaan semacam itu kadang-kadang diperlukan bagi perubahan dan pembaharuan sosial.
Keempat, A Personal Instrument of the Authoratic, yaitu suatu kondisi hubungan yang menempatkan para birokrat semata-mata sebagai dari alat dari penguasa otokratis atau diktator. Pengaruh yang dimiliki oleh birokrat secara individual akan sangat tergantung pada kualitas yang dibutuhkan oleh sang penguasa.
Kelima, Colonial Administrations or Nominal Ruling Person or Groups, dalam hubungan ini dijelaskan bahwa birokrasi dapat memerintah, baik secara langsung sebagai administrator kolonial atau secara tidak langsung atas nama seseorang atau sekelompok penguasa.
II.2.Analisis
Mengawali bahasan mengenai birokrasi dan politik aliran di Indonesia. Penulis ingin menjelaskan dua polemik dasar yang seringkali terjadi di negara-negara berkembang yang baru melakukan eksperimen besar dalam sistem pemerintahan politiknya. Bergerak dan tarik menariknya dua kekuasaan dalam konsep trias politika –Eksekutif dan Legislatif. Menimbulkan sebuah konflik politik yang terus berlangsung terus-menerus dan berdampak pada proses demokrasi di negara-negara berkembang pasca kolonialisasi yang berlangsung. Paradigma kekuasaan yang seringkali mengalami tarik-menarik di kedua lokus tersebut memiliki kekhasan dengan ikutnya peran militer dan partai politik di dalamnya. Pada satu waktu, kekuasaan terpusat di lembaga eksekutif. Pemerintah menunjukkan supremasi kekuatan dibandingkan lembaga-lembaga yang ada. Sehingga penggunaan kekuasaan fokusnya diarahkan agar sentralisasi kekuasaan berasal dan bermuara dari satu tempat. Pada kurun waktu yang lain, kekuasaan berada di lembaga legislatif. Partai politik di lembaga legislatif memainkan peranan penting dalam fokus kekuasaan. Pemerintah bisa mengalami kondisi pasang-surut akibat instabilitas politik dikarenakan konflik kepentingan yang sulit disatukan.
Di Indonesia atau kebanyakan negara berkembang di Asia, baik karena kelemahan kelas menengah yang produktif atau preferensi ideologi kanan maupun kiti, biroktasi menjadi alat pembangunan utama. Sebagai alat utama pembangunan, birokrasi memiliki posisi dan peran yang sangat strategis karena menguasai berbagai aspek hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, usaha, hingga urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari urusan birokrasi.
Birokrasi menguasai akses ke sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahauna dan infomasi yang tidak dimiliki pihak lain. Birokrasi juga memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, termasuk evaluasi kinerjanya. Adalah logis apabila pada setiap perkembangan politik, selalu terdapat upaya untuk menarik birokrasi pada area permainan politik. Birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, dan atau memperkuat kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak pemegang kekuasaan.
Hal ini dapat diamati pada masa dinamika dan transisi demokrasi di Indonesia. Pada masa demokrasi parlementer 1950-an di mana partai politik menjadi aktor sentral dalam sistem politik menjadi aktor sentral dalam sistem politik di Indonesia. Pemelihan umum pertama secara demokratis berhasil dilaksanakan pada periode ini. Dan birokrasi, secara massif, telah menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena perlombaan pengaruh oleh partai politik, sehingga menimbulkan polarisasi dan fragmentasi birokrasi.
Sementara peralihan ke masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) tidak menghasilkan perubahan mendasar dalam birokrasi, kecuali perubahan peta kekuatan politik. Pergeseran politik ke arah otoritarianisme saat itu menyebabkan peran partai mulai termarjinalkan. Semua kehidupan politik yang sudah berkembang sebelumnya terhenti dan dihentikan dengan menempatkan Presiden Soekarno sebagai patron kekuasaan (guided). Saat itu, satu-satunya partai yang secara dinamis mampu menarik keuntungan karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menurut Thoha[15], dalam membagi periodisasi proses birokratisasi dan politik di Indonesia pasca kemerdekaan yang berlangsung tahun 1945. Dapat dilihat dari tiga periode atau masa pemerintahan yang berlangsung pasca kemerdekaan Indonesia. Periode tersebut ialah, 1945-1950, 1950-1959, dan 1959-1965. Masing-masing periode memiliki keterkaitan tersendiri antara birokrasi dan kondisi politik yang berlangsung di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat di bawah ini:
a.Periode 1945-1950
Pada periode pertama antara tahun 1945-1950, semangat perjuangan masih mewarnai penyelenggaraan pemerintahan kita. Primordial sentimen yang membuat masyarakat Indonesia terbelah pada masa penjajahan dikesampingkan dengan semangat persatuan dan kesatuan. Bahkan munculnya kekuatan oleh kelompok mayoritas untuk menekan kepentingannya dalam menghargai kelompok minoritas. Contohnya adalah penyimpangan pertama Bung Karno yang dilakukan terhadap UUD 1945 dengan diterimanya usulan Sjahrir untuk menggunakan Kabinet Parlementer. Pilihan ini dipilih sebagai upaya untuk menjaga persatuan dan kesatuan pada masa awal kemerdekaan.
Semangat primordial, walaupun ada, untuk sementara waktu kalah oleh semangat nasional. Satu-satunya organisasi politik primordial adalah PKI yang melakukan pemberontakan dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara. Pada awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan bahwa  lembaga pemerintahan merupakan lembaga politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Angggapan ini beralasan karena lembaga politik memiliki birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Namun dalam perjalanan selanjutnya, menguatnya aspirasi primordial dalam lembaga birokrasi pemerintah menjadikan birokrasi sebagai incaran dari partai politik untuk menguasai pemerintahan.
b.Periode 1950-1959
Pada periode kedua antara tahun 1950-1959, gejala politik yang semakin menguat mengincar lembaga birokrasi pemerintah semakin dapat dirasakan. Pada tahun 1950 saat diberlakukannya UUD Sementara, menimbulkan efek kausalitas terhadap demokrasi parlementer yang memunculkan beragamnya partai politik yang merupakan konsekuensi kebebasan masyarakat untuk mendirikan partai berdasarkan aspirasinya. Pada periode ini terselenggaranya Pemilu pertama pada tahun 1955 yang mendapatkan label Pemilu paling demokratis dan dinamis di Indonesia. Ketika itu semua partai politik yang memenangkan suara berkeinginan untuk menguasai beberapa kementerian. Bahkan tidak jarang kabinet mengalami jatuh-bangun, demisioner akibat pembagian kementerian yang tidak sesuai dengan tuntutan partai politik. Mosi tidak percaya merupaka  awal dari runtuhnya kabinet yang memimpin lembaga pemerintah. Pemerintah di bawah kepemimpinan partai politik yang mendominasi DPR. Kedudukan DPR kuat, dan kedudukan pemerintah lemah. Netralitas birokrasi ikut terpengaruh oleh kondisi sosial-politik pada saat itu.
c.Periode 1960-1965
Pada periode ketiga antara tahun 1960-1965, lembaga pemerintah semakin jelas diincar oleh kekuatan politik. Tiga kekuatan partai politik yang dibungkus dalam Nasakom berusaha membagi kamplingan pengaruhnya di beberapa departemen pemerintah (they are building a block in the goverment bureaucracy). Di bawah label demokrasi terpimpin, tiga partai politik membangun akses ke lembaga pemerintah. Tiga kekuatan partai politik Nasakom berambisi menggunakan jabatan birokrasi dalam lembaga pemerintah sebagai building block untuk membangun organisasi partainya.
Pada masa ini lembaga pemerintah sudah mulai memihak kepada kekuatan politik yang ada. Atau lebih tepatnya lembaga pemerintah kita yang sudah terperangkap ke dalam jaring yang dipasang oleh kekuatan politik Nasakom. Hal ini terbukti ketika terjadi tragedi politik G30/S PKI pada 1965. Dari data yang diungkap ternyata kekuatan politik PKI telah menyusup ke hampir semua departemen pemerintah. Sementara itu, kekuatan agama dan nasionalis mendominasi kampling departemennya masing-masing. Pada periode ini dengan upaya PKI untuk menguasai lembaga pemerintahan, dan peran partai politik yang semakin bersaing satu dengan lainnya kurang mampu menghasilkan profesionalitas pemerintahan sipil yang netral dan kompeten. Akibatnya militer masuk ke dalam pemerintahan untuk menggantikan pemerintahan sipil yang telah kandas oleh konflik dan perpecahan akibat kepentingan pragmatis tiap-tiap kelompok partai politik di dalam pemerintahan.
Melalui tiga periode yang digambarkan oleh Thoha di atas. Penulis berpendapat bahwa pada masa awal kemerdekaan birokrasi (pamong praja) merupakan warisan dari pihak penjajah yang mengalami perubahan fungsi[16].  Jika pada masa kolonial sifatnya hanya sebagai alat administrasid dan pelayan pemerintah kolonial. Pada masa awal pemerintahan birokrasi menjadi salah satu alat untuk mencapai integrasi nasional dan mengkesampingkan sentimen kelompok minoritas terhadap mayoritas dan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dalam sentimen primordial. Rekrutmen lebih didasarkan kepada askriftif (berdasarkan kelas, agama, ideologi, dan kelompok-kelompok tertentu).[17]
Namun, situasi ini berubah pada saat berlangsungnya demokrasi parlementer. Secara penuh bentuk persaingan politik dan berdampak kepada bentuk politisasi terbuka sejak masa pemerintahan Ali Sastroamidjoyo departemen menjadi terlabelkan terhadap ideologi dan partai politik tertentu, yaitu: Depdagri dan Deptan oleh PNI, Depag oleh NU dan Masyumi, Deplu oleh PNI dan PSI, serta Dehub dan Dephan oleh PKI. Aibatnya pada para pemimpin partai politik bersaing untuk memperebutkan posisi menteri yang langsung memimpin sebuah kementerian. Setelah menduduki kursi menteri, maka sang menteri akan berusaha sekuat tenaga memperlihatkan kepemimpinannya dan kebijakan yang ditempuhnya sehingga para pegawai di kementerian tersebut tertarik untuk masuk dan menjadi anggota ke dalam partai sang menteri. Dengan kondisi seperti itu maka akhirnya didapati beberapa kementerian menjadi basis atau didominasi oleh partai politik.[18]
Pada masa demokrasi terpimpin birokrasi cenderung dijadikan sebuah alat mobilisasi polical religion[19] Nasakom yang merupakan representasi dari kekuatan politik pada masa demokrasi terpimpin. Bentuk politisasi pada masa ini bersifat setengah terbuka karena politisasi birokrasi tidak sebebas pada masa demokrasi parlementer. Meskipun terlihat lebih halus, politisasi birokrasi tetap berjalan dengan terbentuknya blok-blok di departemen birokrasi pemerintahan. Dikatakan setengah terbuka karena politisasi birokrasi hanya diperuntukkan bagi parpol-parpol yang mewakili golongan-golongan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Namun golongan yang terakhir ini di satu pihak secara formal memiliki hak untuk menempatkan beberapa pemimpin atau tokohnya ke dalam kabinet dan kemudian melakukan politisasi birokrasi. Tetapi di lain pihak, golongan Komunis tidak pernah menikmati hak tersebut karena masuknya PKI ke dalam kabinet selalu ditentang oleh dua golongan yang lain (nasionalis & agama). Selain itu juga ditentang pihak militer. Tampaknya Sukarno juga tidak bisa berbuat apa pun terhadap penolakan itu. Bahkan dalam banyak hal, Sukarno mengikuti sikap golongan nonkomunis. Sebagai jalan tengah, Sukarno menempatkan pemimpin atau tokoh organisasi satelit PKI, misalnya Baperki, untuk memimpin sebuah kementerian dan kemudian melakukan politisasi. Dengan demikian secara tidak langsung PKI dapat melakukan politisasi birokrasi melalui Baperki.
III.Kesimpulan
Model persinggungan antara birokrasi pada masa orde lama jika penulis kembalikan kepada konsep Merle Fainsod mengenai  hubungan antara birokrasi dengan flow of political authority pada masa demokrasi terpimpin model hubungan yang ingin dibentuk oleh birokrasi adalah model representative bureaucracy dimana birokrasi bersikap responsif terhadap para pemimpin politik dan tentu saja terhadap kemauan politik setiap masyarakat. Setiap prakarsa yang diambil oleh birokrasi senantiasa didasarkan atas kesadaran terhadap konsensus-konsensus yang berlaku. Perubahan hanya dapat terbentuk melalui kompetensi partai-partai politik, sebagaimana yang berlaku di negara-negara barat. Kondisi ini terlihat dari peran besar dari partai politik yang ikut menentukan fokus dan arah birokrasi pada departemen-departemen pemerintahan yang ada di negara. Namun, kondisi ini mengalami perubahan pasca keluarnya dekrit oleh Presiden Soekarno dan diberlakukannya ideologi Nasakom. Hubungan birokrasi dan politik bersifat A Personal Instrument of the Autocratic, yaitu suatu kondisi hubungan yang menempatkan para birokrat semata-mata sebagai alat dari penguasa otokratis atau diktator. Pengaruh yang dimiliki oleh para birokrat secara individual akan sangat bergantung pada kualitas yang dibutuhkan oleh sang penguasa.
Di satu sisi fenomena politik aliran yang berkembang sebagai konsekuensi terhadap konstestasi demokrasi dalam Pemilu 1955. Merupakan kondisi yang tidak dapat dihindarkan dalam proses politisasi birokrasi di Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer. Hubungan ini bersifat kausalitas dimana politik aliran bertindak sebagai penyebab dan politisasi birokrasi adalah akibatnya. Karena minimal melalui politisasi, sebuah birokrasi dapat digiring untuk dijadikan basis pendukung bagi partai sang menteri (merangkap pengurus partai) di dalam pemilihan umum yang akan datang. Akibatnya politisasi birokrasi menjadi hambatan bagi tumbuhnya proses profesionalisasi di dalam birokrasi.  Temuan yang penulis dapatkan sebagai kesimpulan paper sebagai pertanyaan penelitian selanjutnya adalah bahwa birokrasi secara rasional di negara yang masih berproses demokrasinya belum dapat bersikap netral sepenuhnya dari kekuatan-kekuatan politik. Karena, cenderung di dalam birokrasi-lah sebuah persaingan politik sebagai sebuah ideologi maupun kelompok berlangsung secara dinamis dan menarik.[]




Daftar Pustaka
Apter, David E. Politik Modernisasi. Jakarta: Gramedia, 1987.
Feith, Herbeth dan Lance Castle (ed). Pemikiran Politik Indonesia 1945-1966. Jakarta: LP3ES, 1988.
Geertz, Clifford (ed). Old Societies and New State. London: Free Press of Glencoe, 1963.
Hoesen, Djenal Koesoemahatmadja. Fungsi dan Struktur Pamongpraja. Bandung: Penerbit Alumni, 1978.
M. Blau, Peter dan Marshall W. Meyer.  Birokrasi dalam Masyarakat Modern . Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000.
Mansyur, Ahmad Suryanegara. Api Sejarah 2. Bandung:Salamadani Pustaka Semesta, 2010.
Peters , B. Guy. The Politics of Bureucracy. London: Routledge, 2001.
Ryass , Muhammad Rasyid. Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru. Jakarta: MIPI, 1997.
Stuart, John Mill. On Libert. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Sudarsono,  Juwono. Pembangunan Politik dan Perubahan Politik . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Surbakti, Ramlan . Memahami Ilmu Politik . Jakarta: Gramedia, 1992.
Thoha, Mifta. Birokrasi dan Politik di Indonesia . Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Wiliam, T. Gormley Jr and Steven J. Balla.  Bureaucracy and Democracy. Washinton DC: CQ. Press, 2004.



[1] Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000), hal. 12-13.
[2] John Stuart Mill, On Liberty (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 143-144.
[3] Wiliam T. Gormley Jr and Steven J. Balla, Bureaucracy and Democracy (Washinton DC: CQ. Press, 2004), hal. 4.
[4] Ibid, hal. 6.
[5] Clifford Geertz (ed), Old Societies and New State (London: Free Press of Glencoe, 1963), hal. 105.
[6] Herbeth Feith dan Lance Castle (ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1966 (Jakarta: LP3ES, 1988), hal. liii.
[7] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1992), hal. 183.
[8] Ibid, hal. 183.
[9] Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 19.
[10] Ibid, hal. 20.
[11] Muhammad Ryass Rasyid, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru (Jakarta: MIPI, 1997), hal. 42-44.
[12] B. Guy Peters, The Politics of Bureucracy (London: Routledge, 2001), pp. 221-222
[13]Lucian W. Pye “Pengertian Pembangunan Politik” dalam Juwono Sudarsono, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), hal. 21-22.
[14] Muhammad Ryass Rasyid, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, hal. 51-52.
[15] Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 135-140.
[16] Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Fungsi dan Struktur Pamongpraja (Bandung: Penerbit Alumni, 1978), hal. 23-25.
[17] Clifford Geertz (ed), Old Societies and New State, hal. 105.
[18] Bisa dilihat dalam tulisan berjudul “Kabinet PNI, PKI, dan NU” Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah 2 (Bandung:Salamadani Pustaka Semesta, 2010), hal. 340-342.
[19] Konsep Political Religion dapat dilihat dalam tulisan David E. Apter, Politik Modernisasi (Jakarta: Gramedia, 1987), hal. 392.

0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009