Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Raden Mas Tirtoadhisoerjo


"Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik."[1]

Begitulah kata–kata Ki Hajar Dewantara dalam buku kenang-kenangannya yang ditulis pada tahun 1952 tentang diri Tirtohadisoerjo atau yang lebih sering dikenal dengan singkatan T.A.S. Ia adalah seorang tokoh kebangkitan nasional, sekaligus perintis dan pelopor gerakan pers dan persuratkabaran di Indonesia.

RM Tirto Adhi Soerjo yang nama kecilnya Djokomono adalah anak kesembilan dari 11 bersaudara. Dia lahir di Blora tahun 1875. Ayahnya seorang pegawai kantor pajak pada masa pemerintah Hindia Belanda bernama Raden Ngabehi Tirtodhipoero. Setelah orangtuanya meninggal, TAS kemudian ikut neneknya Raden Ayu Tirtonoto. Dari neneknya inilah TAS diajarkan untuk menjadi manusia yang mandiri


Didikan kedisiplinan sedari kecil yang dialami oleh Tirto, telah menjadikan dirinya sebagai seorang pribumi cerdas dan bermental baja. Jiwa kepenulisan yang tumbuh sebagai bakat alamiah yang dimilikinya telah menjadi sebuah senjata pamungkas yang mampu menjadi alat organisir massa melalui media bahasa tertulis di dalam pergerakan kebangkitan nasional Indonesia. Ini terbukti dengan mulai terasahnya jiwa jurnalistik yang dimilikinya sejak berumur sembilan belas tahun. Berawal dari pembantu untuk Koran Hindia Olanda, ia pindah ke Pemberita Betawi sampai menjadi pemimpin redaksinya.

Seperti kebanyakan pemuda lain pada masanya, Tirto mulai merasa resah terhadap prilaku sewenang-wenang pemerintah kolonial. Ia mulai memutar laju penanya untuk terjun ke arah revolusi. Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga secara terang-terangan menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.

Ada beberapa surat kabar yang diterbitkan oleh Tirto selama hidupnya: Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Selain itu, Tirto juga mendirikan organisasi Sarikat Dagang Islam yang merupakan cikal bakal dari sebuah organisasi massa terbesar pada saat itu. Surat kabar Medan Prijaji yang diterbitkan olehnya dikenal sebagai harian nasional pertama yang menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia). Dimana seluruh pekerja yang berada di surat kabar ini merupakan orang pribumi asli.[2]

Karena dianggap menerbitkan harian yang berisi tulisan-tulisan propagandis dan mengancam kestabilan pemerintahan kolonial. Akhirnya Tirto ditangkap dan diasingkan dari pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918.

Tirto dikenal sebagai pribadi luhur yang rela berkorban penuh keikhlasan demi kemerdekaan bangsanya. Sifat senantiasa tanpa pamrih dalam menolong sesama tanpa memandang kepada unsur kefeodalan yang terletak pada rasa sensitifisme kesukuan merupakan landasan penting dalam menciptakan persatuan dan kesatuan Indonesia. Oleh karena itu, berdasarkan jasa dan pengorbanannya kepada bangsa ini, dia dianugerahi sebagai Perintis Pers Indonesia pada tahun 1973. Di masa pemerintahan SBY sekarang ini, selain gelar pahlawan nasional, TAS juga memperoleh tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana yang diserahkan kepada keluarganya pada 3 November 2006.[3]



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Tirto_Adhi_Soerjo(Diakses pada Minggu, 7 Maret 2011 pukul 14..15 wib)

[2] Aning, Floriberta. S, 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia, (Yogyakarta: NARASI, 2006), hlm. 244. Cetakan ke 2.

[3] Ibid. (Diakses pada Minggu, 7 Maret 2011 pukul 14.20 wib)

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009