Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Gambar Kepala Daerah

Siang ini begitu panas dengan ratusan butir partikel debu yang terbang silih kemari. Namun, jalanan siang ini begitu hiruk-pikuknya dengan ratusan kendaraan bermotor yang mengepulkan asap hitam yang menyesakkan dada. Wuuush! Angin kemarau menerbangkan debu-debu di jalanan itu. Debu-debu itu kemudian menempel di poster-poster calon bupati di pinggiran jalan itu. Ya, sebentar lagi sebuah pesta demokrasi akan segera dilaksanakan dalam bentuk pilkada. Terhitung ada tiga poster di sana. Detik yang merambat, panas yang semakin menyengat mengisyaratkan bahwa waktu telah melampaui pukul satu lewat tengah hari. Panas dan keringnya udara di jalanan menjadi saksi, tiga poster peserta pilkada saling menghujat satu sama lain. Dimulai oleh poster cabub pertama dari Partai Kodok.


“Ah, bagaimana kalian mau menang pilkada, pasang poster kecil-kecil begitu. Contohlah aku!”, ujarnya pongah.

Ukuran posternya memang lebih besar dari yang lain. Posenya tampak berwibawa dengan setelan jas hitam.

“Kamu ini kan mantan bupati di daerah ini, lalu pendukung dibelakangmu juga partai besar, wajarlah jika danamu cukup untuk membuat poster sebesar itu”, komentar cabub dari Partai Ikan, cabub yang berpose dengan kepalan tangan ke atas bak seorang pejuang rakyat dengan mata yang penuh semangat membara.

“Iya, dananya besar, tapi perlu diragukan kehalalannya!”, sindir cabub dari Partai Bebek yang merupakan adik kelas cabub Partai Ikan sewaktu kuliah.


“Apa maksud ucapan kau, hah?! Jelaslah danaku halal, partaiku besar, akupun kepala daerah ini periode kemarin yang tanpa skandal. Sembarang kau punya mulut!”, cabup Partai Kodok geram.


Poster cabup Partai Bebek dengan senyum renyah serupa coverboy berkomentar.


“Alaaah! Munafik sekali kamu ini. Kamu memang kepala daerah ini tapi tak lebih profersional dari tukang becak. Tidur saja kerjamu, nyolong duit rakyat saja hobimu. Keluarga dekatmu kau berikan kedudukan dan jabatan agar mereka diam ketika melihat ulah kongkalikongmu dalam memanipulasi aliran uang rakyat. Kau berteriak seolah wakil rakyat yang jujur dan amanah, padahal wajahmu itu 1001 warna dalam berkata. Rakyat banyak yang tertipu oleh kebohongan dan busuknya mulut manismu ketika berkampanye. Jika tidak KKN tak mungkin kau bisa beli banyak rumah, empat mobil high class dan sekolahkan anak-anakmu ke luar negeri.”


“Kurang ajar! Lantas kau pikir kau lebih baik daripada aku? Memangnya aku tidak tahu, ijazah sarjanamu itu aspal, asli tapi palsu. Tak pantas kau jadi calon kepala daerah ini!


“Sudah! Sudah! Pusing aku lihat kalian saling hujat! Daerah ini tak akan maju jika para calon kepala daerahnya seperti kalian”, cabub Partai Ikan mencoba melerai.


Suasana pun kembali tenang. Namun, tidak jauh dari ketiga poster yang saling berdebat itu. Terdengarlah tangisan sebuah keluarga yang sudah tiga hari tidak makan karena kepala keluarganya baru saja meninggal dan mereka terpaksa menanggung biaya pengobatan di sebuah rumah sakit pemerintah yang berdiri dengan megahnya. Lalu, sebentar kemudian sebuah truk lewat. Menerbangkan debu-debu yang lantas menempel di poster calon-calon kepala daerah itu.

***

Reinkarnasikan Gie Pada Pemuda Indonesia

“Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan harus menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya. Kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah . . .”

(Soe Hoe Gie, Kompas 22 Desember 1969)


Soe Hoe Gie, itulah namanya. Nama yang senantiasa mengobarkan semangat saya sebagai sivitas akademika. Gie adalah seorang figur reformis idealis bagi saya. Ia senantiasa menjadi inspirasi dan pemacu semangat saya. Gie, jika dilihat secara fisik. Bukanlah orang yang gagah perkasa seperti Gatot Kaca, Ia juga bukanlah orang yang tampan dan sempurna bagai Arjuna. Gie adalah Gie, seorang pemuda idealis, serta activis yang main in action. Ia senantiasa gelisah dan terus-menggugat segala ketidakadilan yang ada di depan matanya. Gie adalah seorang aktivis jalanan yang senang meneriakkan keadilan sebagai seorang demonstran.


Lalu, apa hubungan saya dengan Gie? Gie tidaklah mengenal saya sedikit pun. Ia adalah seorang aktivis yang telah meninggal 40 tahun yang lalu. Ia meninggal dengan ketenangan di tengah pelukan dinginnya Gunung Semeru disergap racun bersama pendaki, dan juga sahabat karibnya Idhan Lubis. Gie adalah sesosok motivator bagi saya yang baru memasuki dunia kampus. Bagi saya, ia senantiasa hidup dan berteriak dengan lantang bersama semangat kami yang senantiasa meneriakkan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran untuk Indonesia.


Selain itu, Gie adalah seorang pemuda yang cinta akan kedamaian. Gie senantiasa mendaki gunung untuk mencari ketenangan. Ia merasa hanya dari puncak gunung lah, ia mampu merasakan sebuah ketenangan di dalam dirinya untuk melepas segala kepenatan politik yang memusingkan kepalanya. Gie, adalah figur yang luar biasa bagi saya. Memang jika dibandingkan dengan Gie, saya hanyalah anak kecil yang baru belajar bagaimana caranya meneriakkan kata-kata. Namun, sosok Gie yang saya kenal lewat catatan hariannya yang dibukukan oleh LP3ES yang berjudul “Catatan Seorang Demonstran”, telah otomatis menjadi sebuah mesin penggerak motivasi yang senantiasa membakar semangat saya sebagai pemuda.


Ya, mungkinkah saya suatu saat nanti mampu menjadi sesosok Gie yang meneriakkan ketidakadilan hukum, KKN, dan berbagai macam persoalan kehidupan yang ada di Indonesia? Mungkin sulit untuk menjawab pertanyaan ini. Jaman saya dan Gie berbeda. Gie angkatan-66 dan saya angkatan-09. Meskipun jaman kami berbeda kami tetaplah sebuah sosok yang akan senantiasa meneriakkan keadilan lewat segala tindakan. Entah itu tulisan, diskusi, analisis, maupun turun langsung kejalanan sebagai seorang demonstran. Gie adalah Gie. Sedangkan saya adalah saya. Namun, semangat, dedikasi, serta integritasnya kepada bangsa ini akan senantiasa mengalir ditubuh kami para pemuda Indonesia. Calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang. (*)

MAHASISWA

Dulu aku tak pernah sedikit pun memiliki bayangan mengenai kehidupan di dunia kampus. Aku hanya berpikir hanya satu tujuan untuk membanggakan orang tua ketika diriku berhasil diterima di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia. Hanya satu petuah yang senantiasa didoktrinkan oleh kedua orang tuaku ketika title kebanggaan “civitas academika” berhasil kusematkan pada diriku. Karena hanya petuah dan brain washing yang berbunyi, “sst!! Jangan ikut-ikutan demo!!!”, Hati-hati doktrinisasi ideologi serampangan!!”, dll. Tapi pada saatnya tiba aku menjadi mahasiswa, “Oh.. ini yang namanya kuliah??!!” Tiap hari berubah jadi sosok yang berintelek tinggi dan ngomongin politik sampai bibir sungging: Kuliah-kossan, kuliah-organisasi, kuliah-perpustakaan, kuliah-maen, demo, liburan, kerja, pacaran.. dll. Lalu, setelah hampir satu semester terlewati. Aku bertanya, “Ilmu apa saja yang aku dapatkan setelah menghabiskan jutaan uang ayah dan ibuku????”...


Hm, mungkin ini sebuah relativitas polemik yang menggumpal jadi sepiring kehampaan intelektual yang tak mungkin aku jawab sekarang. Mungkin jika seseorang bertanya kepada saya tentang politik, definisinya, sejarahnya, metodologinya, teorinya, sampai aplikasinya. Mungkin saya dapat menjawab semua hal itu di luar kepala. Tapi bukan itu semua yang saya harapkan. Teoritis memang telah saya kuasai, tapi implementasi dan praktiknyalah yang membuat sejuta kebimbangan dalam benak ini. Lalu, jika kalian bertanya tentang seluk-beluk organisasi kampus, dari organisasi A sampai Z. Mungkin saya akan hapal visi dan misinya, ya mungkin saya juga dapat menjawab dari pembuatan program rencana kegiatan, pembentukan struktur hingga pelaksanaan even-even besar. Tapi, justru semua itulah yang membuat saya semakin ragu.


Ada cita-cita, harapan, idealisme, dan apalah itu namanya yang jauh lebih besar yang harus didapat jika seandainya saya menghabiskan beberapa tahun untuk kuliah. (Kita tidak pernah tahu betapa berharganya kesempatan untuk berkuliah, karena kita tidak tahu betapa sulitnya orang-orang yang ingin berkuliah tapi tidak mampu mewujudkannya). Tentu masih segar dalam ingatan kita, bagaimana jika kita melihat beberapa orang teman kita yang tidak beruntung terpaksa bekerja setelah tamat SMA karena tidak adanya biaya untuk berkuliah dari orang tuanya? Dan tentang beberapa percakapan para remaja pascasekolah lanjutan tingkat atas yang lewat di gedung kampus tanpa pernah merasakan “nikmatnya” berkuliah?? Ya, kita adalah orang-orang yang beruntung dan berbahagia karena mampu “mereguk indahnya” menjadi seorang mahasiswa. Tapi kita termasuk orang yang paling merugi jika kita tidak memiliki harapan atau pencapaian!?


Kita tidak sedang membahas bahwa diantara kita ada yang terjebak, terkungkung, atau terdampar dalam suatu kampus yang tidak kita senangi atau kita nomerduakan. Karena apapun itu, yang pasti adalah saya, kamu, dan orang-orang lainnya adalah orang yang sudah menerima “paket hadiah” dari Tuhan dan kedua orang tua kita, jadi mau tidak mau kita harus memiliki sebuah harapan!

Saya akan senantiasa bersikap idealis dan jujur mengenai alasan saya mengapa saya rela membuang waktu dan umur saya selama 4 tahun untuk bermesraan dengan buku, makalah, hingga referensi yang menggunung jumlahnya. Saya ingin menjadi seorang pengamat politik (usai S1&S2), saya ingin skripsi saya menjadi buku reformis dalam disiplin ilmu saya, saya harus memiliki berbagai macam kemampuaan hidup (life skills) di atas rata-rata (Ex: literatur/publicspeaking//leadership), saya ingin menjadi sesosok mahasiswa tangguh yang menjadi panutan di kampus, dan saya butuh pengalaman hyperactif sebagai seorang mahasiswa (Ex: Mendaki gunung/menjadi demonstran/menjadi pembicara dalam forum seminar nasional) dll.


Sebagian besar cita-cita itu belumlah tercapai dan masih mengalami sebuah proses panjang yang senantiasa berjalan. Jikalah tidak tercapai saya akan tetap bangga karena saya memiliki harapan. Lalu, bolehkah saya tahu HARAPAN kawan-kawan????


Pada akhirnya, mau tidak mau kita harus menemukan harapan itu dimanapun dia berada. Kita harus menentukan pilihan membuang waktu cukup lama di kampus. Jika hanya berkuliah lalu menggeluti absen dan tugas di kelas selama 4 tahun, dan akhirnya bisa kerja karena memiliki gelar dari proses pembentukan gelar selam 4 tahun, rasanya semua orang juga bisa melakukan ini.


Ini tentang sebuah pencarian dan pemberiaan manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang lain, serta tentang menemukan makna. saya hanya khawatir dengan apa yang disebutkan oleh Iwan Fals sebagai “sarjana muda, dengan jaket lusuh dipundaknya”. Bimbang, bimbang, bimbang . . .



EKO INDRAYADI

Peneliti Laboratorium Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009