“Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan harus menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya. Kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah . . .”
(Soe Hoe Gie, Kompas 22 Desember 1969)
Soe Hoe Gie, itulah namanya. Nama yang senantiasa mengobarkan semangat saya sebagai sivitas akademika. Gie adalah seorang figur reformis idealis bagi saya. Ia senantiasa menjadi inspirasi dan pemacu semangat saya. Gie, jika dilihat secara fisik. Bukanlah orang yang gagah perkasa seperti Gatot Kaca, Ia juga bukanlah orang yang tampan dan sempurna bagai Arjuna. Gie adalah Gie, seorang pemuda idealis, serta activis yang main in action. Ia senantiasa gelisah dan terus-menggugat segala ketidakadilan yang ada di depan matanya. Gie adalah seorang aktivis jalanan yang senang meneriakkan keadilan sebagai seorang demonstran.
Lalu, apa hubungan saya dengan Gie? Gie tidaklah mengenal saya sedikit pun. Ia adalah seorang aktivis yang telah meninggal 40 tahun yang lalu. Ia meninggal dengan ketenangan di tengah pelukan dinginnya Gunung Semeru disergap racun bersama pendaki, dan juga sahabat karibnya Idhan Lubis. Gie adalah sesosok motivator bagi saya yang baru memasuki dunia kampus. Bagi saya, ia senantiasa hidup dan berteriak dengan lantang bersama semangat kami yang senantiasa meneriakkan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran untuk Indonesia.
Selain itu, Gie adalah seorang pemuda yang cinta akan kedamaian. Gie senantiasa mendaki gunung untuk mencari ketenangan. Ia merasa hanya dari puncak gunung lah, ia mampu merasakan sebuah ketenangan di dalam dirinya untuk melepas segala kepenatan politik yang memusingkan kepalanya. Gie, adalah figur yang luar biasa bagi saya. Memang jika dibandingkan dengan Gie, saya hanyalah anak kecil yang baru belajar bagaimana caranya meneriakkan kata-kata. Namun, sosok Gie yang saya kenal lewat catatan hariannya yang dibukukan oleh LP3ES yang berjudul “Catatan Seorang Demonstran”, telah otomatis menjadi sebuah mesin penggerak motivasi yang senantiasa membakar semangat saya sebagai pemuda.
Ya, mungkinkah saya suatu saat nanti mampu menjadi sesosok Gie yang meneriakkan ketidakadilan hukum, KKN, dan berbagai macam persoalan kehidupan yang ada di Indonesia? Mungkin sulit untuk menjawab pertanyaan ini. Jaman saya dan Gie berbeda. Gie angkatan-66 dan saya angkatan-09. Meskipun jaman kami berbeda kami tetaplah sebuah sosok yang akan senantiasa meneriakkan keadilan lewat segala tindakan. Entah itu tulisan, diskusi, analisis, maupun turun langsung kejalanan sebagai seorang demonstran. Gie adalah Gie. Sedangkan saya adalah saya. Namun, semangat, dedikasi, serta integritasnya kepada bangsa ini akan senantiasa mengalir ditubuh kami para pemuda Indonesia. Calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang. (*)
0 komentar:
Posting Komentar