Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Reuni 1 Tahun Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2

Setahun sudah perjalanan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid (KIB) 2 dalam mengarungi kehidupan rezim SBY-Boediono. Memang, jika ditinjau dari umurnya kabinet ini sudah cukup kita anggap dewasa dalam dua priode pemerintahannya. Namun, kedewasaan tersebut seolah terlihat absurd ketika kabinet ini tak mampu merealisasikan visi dan misinya pada saat ia diproklamirkan. Adalah tugas SBY, sebagai orang nomer satu di tatanan eksekutif kabinet untuk senantiasa melakukan pengawasan serta mengambil berbagai macam tindakan strategis dalam menuntun kinerja maju atau mundurnya sistem pemerintahan pada masa kabinet ini berjalan. Akan tetapi, sikap dan tindakan beliau yang penuh kehati-hatian atau bahkan terlalu skeptis telah ikut menjadi bagian dari kepribadian kabinet.

Di lihat dari berbagai macam dimensi, ada banyak sekali permasalahan-permasalahan yang dapat kita saksikan dan amati dari sebuah priodisasi sejak kabinet jilid 2 ini dilahirkan, dimulai dari permasalahan lumpur lapindo di porong, sidoarjo yang penanganannya belum juga terselesaikan, raibnya kasus century dari ranah hukum, penegakan hukum yang masih samar-samar, hingga terganggunya stabilitas keamanan nasioanal dengan munculnya berbagai macam aksi kekerasan dan terorisme.

Semua permasalahan di atas senantiasa membuat kita bingung, sebenarnya apa yang terjadi di negeri ini? Apakah pemerintah benar-benar telah bekerja keras untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat yang dilayaninya? Terlalu normatif, apabila pemerintah negeri ini hanya mampu beretorika untuk mengaburkan semua realitas yang terjadi selama ini. Pemerintah harus segera sadar untuk cepat tanggap dalam menyelesaikan berbagai permasalahan itu, bukan sebaliknya berupaya menjaga citra dan menebarkan pesona dengan satu atau dua keberhasilan yang diperoleh untuk menutupi berbagai macam kegagalan yang tak tampak secara sistematis.

Secara makro, permasalahan tersebut sangat erat kaitannya dengan kinerja dan pola pikir dari pemerintah kita. Tindakan yang cenderung skeptis dalam menyelesaikan sesuatu dan ketergantungan yang semakin tinggi terhadap asing dalam bidang ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat kita jadikan pisau analisis dalam menanggapi kecenderungan permasalahan dalam KIB 2 saat ini. Keterlenaan pemerintah terhadap surplusnya devisa hingga terlalu besarnya intervensi swasta dalam panggung politik telah ikut menjadi “benalu terselubung” yang menggerogoti tubuh bangsa ini. Selain, kegagalan sistem perekonomian neolib yang samar-samar diadopsi oleh pemerintah, turut pula ambil bagian di dalam merongrong negeri ini.

Sementara itu, di sisi lain tindakan penegakkan hukum yang masih samar-samar dan bahkan cenderung dimanipulasi, telah menjadi faktor sebab-akibat dalam meningkatnya berbagai macam tindakan dan prilaku kriminalitas beberapa pekan terakhir. Aksi terorisme yang pernah merebak dan meresahkan, bisa dijadikan sebuah pembelajaran terhadap pemerintah yang terkadang terkesan ogah-ogahan dalam bertindak.

Oleh kerena itu, sudah sewajibnya di hari ulang tahun pertama KIB II atau keenam tahun rezim pemerintahan SBY. Pemerintah dan semua jajarannya melakukan sebuah perenungan panjang dalam upaya mewujudkan amanah rakyat yang senantiasa menunggu dan menanti uluran tangan pemerintah untuk segera cepat dan tepat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul di negeri ini, dan bukan berupaya seoptimal mungkin untuk beretorika menyamarkan permasalahan tersebut demi terjaganya popularitas pencitraan pemerintah di media. (*)


Eko Indrayadi

*Penulis adalah mahasiswa jurusan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Ketua Divisi Litbang pada Forum Mahasiswa Ilmu Politik (FORMAPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Otonomi Daerah Bukan Alat Cari Kuasa

Adalah kewajiban dan cita-cita otonomi daerah untuk mewujudkan suatu bentuk pemerintahan yang adil dan demokratis, sebagai cita-cita reformasi yang telah dilaksanakan dalam kurun lebih dari satu dasawarsa. Salah satu upaya di dalam perwujudan dari proses tersebut adalah Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PILKADA) langsung, baik di dalam memilih Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota. Proses pemilihan yang merupakan refleksi dari visi dan misi otonomi daerah yang bertujuan dalam memberikan kebebasan secara demokratis kepada rakyat untuk memilih pemimpin daerah secara langsung, rahasia, dan otonom. Sebagaimana yang telah tertuang secara jelas dalam ketentuan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan hasil revisi dari UU No. 22 tahun 1999. Layaknya, di dalam memilih badan eksekutif dan legislatif, pelaksanaan PILKADA memiliki andil yang besar di dalam upaya penciptaan legitimasi politik dari rakyat dalam rangka mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma yang berdimensi hukum, moral dan sosial.

Di dalam proses penyelenggaraan otonomi daerah, ada beberapa buah prinsip yang senantiasa dijadikan pedoman dalam upaya pelaksanaannya, yaitu: 1) Penyelenggaraan otonomi daerah dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah, 2) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab, 3) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten/kota, sedangkan pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas, 4) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antar daerah, 5) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah yang otonom, 6) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legeslatif daera, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan, maupun fungsi angggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah, 7) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi, 8) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah Kepala Daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkkannya.[1]

Sebagai transformasi dan manifestasi dari prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah, PILKADA langsung ditinjau dari segi kegunaannya, memiliki fungsi yang sangat penting di dalam membentuk suatu sistem mekanisme demokratis dalam rangka rekruitmen calon-calon pemimpin di daerah. Dimana, rakyat secara bebas, menyeluruh dan tanpa tekanan memiliki hak dan kewajiban untuk memilih calon-calon yang didukungnya. Menurut Tim Indonesia Center for Civic Education (ICCE), UIN Syarif Hidayatullah[2], “Pilkada langsung dapat disebut pemilu apabila memenuhi dua hal utama sebagai prasyarat yaitu, keterbukaan (transparant) dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable)”.

Secara teknis peraturan pelaksanaan PILKADA tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005[3] tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah. Ditinjau secara ilmu politik, PILKADA sangat erat hubungannya di dalam proses penciptaan legitimasi kepala daerah melalui prosedur dan tata cara sesuai dengan peraturan perundang-undangan, melalui proses kampanye dan pemilihan yang bebas, fair dan adil sesuai dengan norma dan etika politik, didukung oleh suara terbanyak dari seluruh pemilih secara objektif, serta menjalankan fungsi sesuai dengan komitmen pada saat kampanye dan pemilihan kepala daerah.

Berdasarkan studi permasalahan yang penulis amati dalam penyelenggaraan PILKADA di Indonesia maka, dapat kita simak bersama mengenai beberapa problematika yang identik dengan proses PILKADA langsung di Indonesia. Pertama, tidak adanya sebuah pendewasaan dalam berpolitik dari setiap calon-calon pemimpin di daerah. Umumnya, para calon hanya menjadikan PILKADA sebagai ladang permainan untung-untungan untuk dapat terpilih sebagai kepala daerah sehingga memunculkan perasaan tidak puas atau tidak dapat menerima kekalahan yang terjadi. Selain itu, munculnya konflik politik juga terkadang mengarahkan kepada tindakan anarkis yang turut menjadi faktor kausal dan berakibat kepada disintegrasi nilai-nilai pokok tujuan otonomi daerah.

Kedua, munculnya paradigma money power di dalam proses kampanye PILKADA yang bersifat pada sumber instrumental yang berupa kekayaan. Hal ini merupakan bagian dari tindakan argumentum ad populum[4], yang berupa sofistikasi untuk mendapatkan persetujuan rakyat dengan membangkitkan antusiasme dan kefanatikan orang banyak terhadap salah seorang calon. Tindakan money power akan melahirkan sebuah asumsi bahwa uang adalah instrumen kuasa utama untuk membeli suara rakyat. Sebagai tindakan untuk memerangi politik uang atau money politics, pentingnya pengawasan dari pihak independen, LSM, dan media sangat dibutuhkan dalam upaya pengawalan terhadap jalannya proses PILKADA.

Ketiga, masih banyak permasalahan mengenai daftar pemilih tetap (DPT) dan penggelembungan suara. DPT dan penggelembungan suara merupakan salah satu masalah yang hingga kini masih saja dapat ditemukan dalam setiap penyelenggaraan PILKADA. Kurangnya komunikasi antara pihak KPUD dan kantor kelurahan pada tiap desa juga dapat menjadi awal dari permasalahan ini. Perbaikan sistem komunikasi antara KPUD dan kantor kelurahan/kepala desa sangat dibutuhkan dalam melakukan penyesuaian data DPT. Keempat, masih kurangnya tingkat sosialisasi mengenai proses PILKADA oleh KPUD kepada masyarakat yang tinggal di daerah terpencil untuk ikut berpartisipasi dalam PILKADA.

Keempat permasalahan di atas seakan senantiasa menjadi agenda dalam pelaksanaan PILKADA langsung pada otonomi daerah. Namun, sulitnya penyelesaian permasalahan tersebut ditambah oleh berbagai masalah lainnya, khususnya karena kurangnya bentuk komunikasi antara daerah dan pusat dalam bentuk elit-elit politik. Peran serta DPD sebagai wakil daerah, senantiasa terasa vakum dan hampa tanpa adanya proses timbal-balik yang signifikan guna mengelaborasikan daerah-daerah yang diwakili. Kurangnya distribusi elit-elit politik daerah dan DPD partai politik yang senantiasa bersifat mikro politik telah ikut menjadi faktor asimetrisnya pelaksanaan otonomi daerah.

Sebagai solusi terhadap semua permasalahan tersebut perbaikan sistem sangatlah dibutuhkan, khususnya dalam hal pendistribusian kekuasaan antar elit-elit politik di daerah, peran serta DPD serta pengajaran logika dan etika berpolitik dalam lingkup daerah perlu digiatkan oleh pemerintah pusat guna untuk menciptakan pendewasaan berpolitik dan memerangi money politics. Di samping peran aktif mahasiswa dan masyarakat sebagai juri dalam memberikan penilaian terhadap hasil kinerja pemerintah daerah sebagai tindakan awal agar terciptanya hubungan sinergis pemerintah dan rakyat dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi dan mengawal jalannya reformasi otonomi daerah di Indonesia.

Eko Indrayadi

Penulis adalah Ketua Divisi Litbang Forum Mahasiswa Ilmu Politik (FORMAPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktif diberbagai kajian politik, filsafat, dan sosial di kawasan Ciputat dan Ibu Kota.



[1] ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), hlm. 191.

[2] Ibid., hlm. 204.

[3] Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu Yang Lebih Berkualitas,(Jakarta: Rajawali Press, 2009).

[4] Rafael Raga Maran, Pengantar Logika, (Jakarta: PT Grasindo, 2007), hlm. 197.

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009