Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Cerminan Manusia Indonesia Dalam Bingkai Kehidupan

Memperhatikan dinamika sosiologis perkembangan bangsa Indonesia dalam bingkai sebuah persepsi psikologis, secara serta-merta membuat penulis teringat kembali untuk menghayati isi ceramah dari almarhum Mochtar Lubis pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ceramah yang sedikit nakal, namun tetap kritis dan sopan. Mencoba mengajak kita semua untuk merenung bersama mengenai bagaimana cikal-bakal bangsa ini hidup: lahir dan berjalan dari sekelompok manusia yang mendiami wilayahnya. Manusia itu bernama Manusia Indonesia. Sebagaimana menjadi judul pidato yang kini dibukukan oleh Yayasan Obor Indonesia. Sebuah usaha yang patut kita berikan applous, terhadap semangat mereka untuk menyebarkan sikap intropeksi dan lapang dada bagi kita semua, manusia Indonesia. Sebagai seorang generasi muda, penulis merasa cukup dijewer oleh almarhum Mochtar Lubis yang pemikiran dan pandangannya penulis anggap sudah melampaui masa kehidupannya. Beliau berhasil menghadirkan kritik sekaligus strereotip yang bisa dijadikan sebuah perenungan panjang bagi penduduk negeri ini, terlebih generasi muda yang merasa ‘peduli’ dengan keadaan masa depan bangsa yang bernama Indonesia.

Dalam ceramah tersebut, setidaknya ada enam sifat manusia Indonesia yang secara umum digambarkan secara jelas oleh almarhum Mochtar Lubis. Ciri tersebut adalah munafik, enggan bertanggung jawab, bersikap dan berprilaku feodal, percaya tahayul, artisitik, dan lemah watak dan karakternya. Memang, dalam satu sisi terlihat sedikit memojokkan bangsa Indonesia dengan watak manusianya yang berkesan memiliki banyak perangai buruk. Tetapi di sisi lain, Mochtar mencoba untuk menyeimbangkan aspek positif dan negatif yang terdapat dalam karakter manusia Indonesia. Setidaknya ini bisa teramati dari bagaimana ia sendiri mencoba untuk menyandingkan bagaimana proses dinamika perkembangan manusia Indonesia sejak masa penjajahan pada pembuka ceramahnya.

Mochtar menyatakan (Manusia Indonesia: 2008, hal. 3), “ Orang Belanda di zaman VOC menganggap manusia Indonesia itu amat khianat, tidak mau memegang teguh perjanjian, amat suka membunuh, mau berperang saja, tidak jujur, seperti binatang, beestachtig, maha kejam.” Namun, itu diperjelas oleh Mochtar mengenai bagaimana persepsi itu muncul ketika orang-orang Belanda senantiasa berperang dengan manusia Indonesia. Yang pada saat itu merasa dirugikan oleh sikap kongsi dagang milik mereka, VOC. Pandangan tersebut akhirnya berubah kembali seiring dengan bagaimana Belanda berhasil melakukan penjajahan terhadap manusia Indonesia. Anggapan umum tersebut mengalami pergeseran ke arah yang lebih positif, dalam artian menganggap manusia Indonesia sebagai kelompok individu yang memiliki sikap beragama (religius), memiliki etos kerja yang tinggi, jujur, dan memiliki rasa solidaritas yang tinggi.

Kembali pada keenam ciri utama yang dijelaskan oleh Mochtar dalam ceramahnya yang berjudul ‘Manusia Indonesia”. Penulis cenderung berpikir dan menyarankan kepada kita semua untuk bersikap open minded dengan hal tersebut. Sebab, tidak selamanya anggapan yang dilabelkan oleh Mochtar Lubis memiliki kebenaran yang mutlak dalam mengklaim pola-pola prilaku dan karakteristik manusia Indonesia. Namun, penulis memilih bersikap netral dengan bersikap lapang dada dengan melihat apakah anggapan Mochtar memang itu memang relevan dengan keadaan yang sesungguhnya dengan prilaku manusia Indonesia dalam situasi sosial-politik yang terjadi pada saat ini.

Pada ciri pertama yang membahas mengenai sikap manusia Indonesia yang cenderung hipokrit atau munafik. Cenderung masih dapat teramati. Meskipun hal ini hanya terdapat pada individu-individu ataupun kelompok manusia Indonesia. Tidak secara mayoritas, tetapi patut dijadikan sebuah intropeksi. Penulis mengambil contoh sikap hipokrit ini dengan tingkah laku wakil rakyat di negara ini. Cenderung terdapat perbedaan mutlak antara sikap mereka yang pada saat melakukan kampanye sebelum terpilih dan ketika mereka terpilih. Mereka cenderung lebih senang berprilaku hedonisme dengan menuntut beragam fasilitas mewah ketika rakyat yang seharusnya mereka wakilkan hanya tertidur dengan selimut kumal di atas emperan toko. Mereka sibuk beradu argumentasi saat melakukan perancangan RUU yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat, tetapi dengan hasil yang nihil atau bahkan tidak produktif RUU tersebut hanyalah menjadi lemparan wacana untuk meraup pencitraan. Sikap ini memang tidak dimiliki oleh semua wakil rakyat kita. Masih banyak wakil rakyat yang peduli dan tidak mau ‘main mata’ dengan menipu rakyat. Tetapi, apakah sebagian kecil dari mereka mampu bertahan dengan keadaan terasing akibat keadaan? Penulis pikir, mungkin waktu saja yang bisa menjawab.

Pada ciri kedua, manusia Indonesia enggan untuk bertanggung jawab. Ciri ini memang masih cenderung melekat dalam watak manusia Indonesia. Ini dapat kita lihat dari bagaimana kesukaan manusia Indonesia untuk mencari ‘kambing hitam’ ketika ia berada dalam kesalahan. Kata ‘bukan saya yang melakukan’ seringkali terdengar ketika mereka dituntut untuk mempertanggungjawabkan kesalahan dalam pekerjaan yang mereka lakukan. Manusia Indonesia memiliki sikap yang anti terhadap permasalahan yang menyangkut kesalahan pribadi mereka. Kata-kata galau dan curahan hati dikeluarkan sebagai ‘air mata buaya’ agar mendapat belas kasihan dari orang dengan harapan kesalahan tersebut dimaafkan dan mereka bebas dari tanggung jawab.

Dalam situasi politik saat ini, penulis dapat menemukan sikap ini dari kasus Bank Century dengan pemberian dana talangan sebesar 6,7 triliun. Kasus yang kini seakan mati suri, dengan penegakan hukum yang lambat akibat terbentur kekuasaan sang penguasa. Tidak hanya sampai pada kasus Century, keberadaan kasus-kasus lainnya: Nunun Nurbaeti, Nazarudin dan Angelina Sondakh, Gayus Tambunan hingga kasus yang mengenai hajat hidup masyarakat daerah seperti yang terjadi di Mesuji dan Bima. Seakan-akan hanya menjadi penghias media televisi dan media cetak. Kita bisa melihat bagaimana ketegasan sang pemimpin negara ini, ia lebih senang lepas tangan dengan memberikan komentar-komentar pepesan kosong dengan wajah yang dibuat melankolis agar dikasihani.

Berbeda seratus delapan puluh derajat. Ketika mereka dihadapkan dengan pujian atas keberhasilan yang mereka dapatkan. Meskipun bukan dari hasil jerih payah, keringat dan air mata miliki mereka. Manusia Indonesia tidak akan sungkan-sungkan untuk maju dan tampil ke depan. Pamor dan pencitraan adalah segalanya. Sangat ironis dan menyedihkan jika bagaimana dapat kita lihat seorang pembesar yang kerjanya hanya duduk manis saja. Menerima penghargaan sebagai seorang pegawai teladan atau bahkan reward dari atasannya. Sangat berbeda dengan para pegawai rendahan. Semisal guru-guru atau tenaga kesehatan di daerah terpencil. Yang jarang sekali atau bahkan tidak pernah sekalipun menerima penghargaan yang seharusnya mereka terima.

Ciri ketiga dari manusia Indonesia adalah berjiwa feodal. Sikap ini secara jelas tergambar dari bagaimana sikap manusia Indonesia yang cenderung selalu mengharapkan penghormatan dari bawahannya. Dalam penelusuran historis dan budaya yang penulis lakukan. Terdapat kekaburan mengenai asal-muasal sikap feodal ini. Ada beberapa ahli yang menyatakan bahwa sikap ini merupakan murni dari sikap budaya masyarakat Indonesia yang cenderung menekankan penghormatan kepada para penguasa. Tetapi, dari beberapa ahli yang lain menyatakan bahwa sikap ini muncul dan berkembang sebagai warisan dari penjajahan yang melakukan asimilasi dengan budaya lokal manusia Indonesia. Mengamati hal ini, penulis teringat dengan kuliah umum yang pernah diberikan oleh Prof. Dr. Amien Rais beberapa pekan yang lalu. Beliau pun merasa sangat prihatin dengan keadaan mental feodal (irlander) yang tertanam kuat dan mengakar dalam watak bangsa Indonesia.

Dalam situasi pada saat ini, mungkin sikap ini dapat tergambar dengan jelas dalam sistem birokrasi pemerintahan yang ada di Indonesia. Posisi hirarkis atasan yang cenderung lebih senang mendengarkan yang baik-baik saja. Telah menimbukan sikan ABS atau asal bapak senang dalam sistem birokrasi manusia Indonesia. Akibatnya, birokrasi cenderung tidak berjalan sesuai dengan rencana. Sangat jauh dengan nilai-nilai efisien dan efektifvitas yang menjadi visi dan misi utama dari yang mereka canangkan. Manusia Indonesia Indonesia yang berada di dalam birokrasi, ibarat kerbau yang ditusuk hidungnya. Mereka hanya dilatih bicara nggeh kepada atasan. Sikap ini pun semakin berkembang dengan munculnya sebuah perumpaan yang berisi dua kemungkinan jika anda adalah seorang bawahan. Pasal satu pimpinan selalu benar. Pasal dua, jika pimpinan salah maka kembali kepada pasal yang pertama.

Sayangnya, sikap ini tidak perlahan-lahan hilang sebagaimana teramati oleh penulis. Manusia-manusia Indonesia ternyata tidak terlalu pintar untuk melakukan mawas diri. Ia hanya bisa melakukan perubahan dengan produk yang sama. Lihatlah bagaimana seorang anak, istri, atau keponakan dari seorang pejabat dapat dengan mudahnya melewati setiap hambatan dan halangan. Mereka bisa saja diterima menjadi seorang pegawai atau diangkat menjadi seorang pembesar di sebuah instansi pemerintahan tanpa harus memperhatikan kualitas yang dimiliki. Sementara mereka yang benar-benar pantas mendapatkan pekerjaan tersebut, malah dimarginalkan dan dianggap tidak mampu untuk mendapatkannya.

Ciri keempat dari manusia Indonesia adalah percaya tahayul. Sikap ini selalu muncul dan menjadi nilai tersendiri dalam kehidupan manusia Indonesia. Penulis menemukan bahwa dimanapun manusia Indonesia itu lahir dan besar. Nilai-nilai mistis dan tahayul selalu menyertai pertumbuhannya. Sebut saja, di tempat kelahiran penulis di daerah Sumatera Selatan. Masyarakat di sana lebih senang tidur semalam suntuk di daerah-daerah yang dianggap keramat dan mendatangkan rizki daripada membanting tulang bekerja di ladang. Masyarakat disana juga percaya bahwa di dalam kehidupan ada larangan atau tindakan pamali yang dapat mendatangkan balak atau musibah ketika pantangan tersebut dilanggar. Hal-hal seperti memotong kuku di malam hari, duduk di bawah pintu, atau bersiul di malam hari dianggap perbuatan yang diharamkan untuk dilakukan.

Tidak hanya sampai disana. Penulis juga menemukan, adanya keanehan dalam prilaku manusia Indonesia yang lebih percaya ramalan seorang dukun atau pawang daripada mendengarkan penjelasan ilmiah dari seorang dokter mengenai wabah penyakit pagebluk yang menyerang desa. Manusia Indonesia memang unik, mereka sekolah tinggi-tinggi bahkan sampai keluar negeri tetapi di dalam saku celana atau ikat pinggang milik mereka terselip gulungan jimat pelindung dari marabahaya. Menurut hemat penulis, sudah seharusnya sikap ini diminimalisir atau bahkan dirasionalkan. Kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap bertuah, semisal keris dan sebagainya patutlah kita kritisi bersama.

Dalam pendekatan sosiologis, penulis menemukan bahwa nilai-nilai mistis dan kepercayaan manusia Indonesia terhadap tahayul tidak bisa dipisahkan dari budaya masyarakat setempat. Kebudayaan yang membentuk karakter manusia Indonesia yang memiliki nilai-nilai kepercayaan terhadap tahayul. Mengambil contoh mengenai keberadaan Nyai Roro Kidul, yang ada di wilayah di sekitar Pantai Selatan, Pulau Jawa. Pramoedya Ananta Toer mengemukakan secara tersirat mengenai budaya mistis dan kepercayaan terhadap tahayul manusia Indonesia dalam salah satu buku tetralogi Pulau Buru, Anak Semua Bangsa. Ia mengemukakan, “Tetapi Eropa kolonial tidak berhenti sampai disitu. Setelah Pribumi jatuh dalam kehinaan dan tak mampu lagi membela dirinya sendiri, dilemparkannya hinaan yang sebodoh-bodohnya. Mereka menertawakan penguasa-penguasa pribumi di Jawa yang menggunakan tahayul untuk menguasai rakyatnya sendiri, dan dengan demikian tak mengeluarkan biaya untuk menyewa tenaga-tenaga kepolisian untuk mempertahankan kepentingannya. Nyai Roro Kidul adalah kreasi Jawa yang gemilang untuk mempertahankan kepentingan Raja-Raja Pribumi Jawa.” (Anak Semua Bangsa: 1977, hal 77).

Secara jelas dalam menanggapi permasalahan manusia Indonesia yang percaya tahayul. Penulis, lebih senang untuk melakukan perombakan paradigma masyarakat melalui apa yang diajarkan oleh soko guru, pemikiran Islam liberal dan modernis di Indonesia, Prof Dr. Harun Nasution. Bagi beliau hal-hal yang menyangkut budaya harus dijernihkan melalui teologi yang berbasiskan pada rasionalitas manusia. Akal adalah segalanya dalam menuntun manusia dalam berprilaku berbeda dengan makhluk lainnya. Dan sebagai mahluk yang berakal dan cerdas, sudah sepantasnya bagi manusia Indonesia meninggalkan matera, menjadi karya ilmiah untuk kemajuan diri mereka.

Ciri manusia Indonesia yang kelima adalah artistik. Manusia Indonesia hidup dengan menghargai keindahan. Ini sudah jadi watak dan karakteristik dari manusia Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dan amati dari bagaimana karya-karya yang dihasilkan oleh manusia Indonesia. Ia hidup dari naluri dengan mencintai unsur-unsur estetika alam yang dikembangkan oleh perasaan manusia Indonesia. Mereka sudah terkenal sejak berabad-abad silam dengan hasil karya yang luar biasa. Terlihat dari bagaimana banyaknya penemuan artefak dan prasasti yang menggambarkan keagungan dan keluhuran budaya kesenian. Manusia Indonesia, sudah mulai belajar untuk mengekspresikan keindahan sejak masa prasejarah. Ditemukannya berbagai macam patung, lukisan, tembikar, dan tulisan di atas daun lontar merupakan bukti nyata mengenai sikap manusia Indonesia dalam mengekpresikan keindahan dalam sebuah benda atau objek tertentu.

Manusia Indonesia menurut penulis adalah manusia yang memiliki kemampuan untuk membangkitkan nilai-nilai seni dari hasil karya yang dihasilkannya. Tetapi, sayangnya manusia Indonesia belum mampu secara maksimal untuk lebih menjaga dan menghargai karya seni tersebut. Melihat dari bagaimana banyaknya pembajakan terhadap berbagai macam hasil karya mereka. Manusia Indonesia, memang bisa menghargai seni, tetapi hanya sedikit sekali dari mereka yang mampu untuk mempertahankan hasil karyanya sebagai karya agung yang dapat diakui hak-haknya.

Ciri manusia Indonesia yang keenam adalah punya watak yang lemah dan karakter yang kurang kuat. Ini terdapat pada kecenderungan manusia Indonesia untuk berubah-ubah keyakinannya terhadap pandangan hidupnya. Manusia Indonesia, cenderung memiliki watak yang goyah dan ikut-ikutan terhadap kaum mayoritas. Sifat ini akan cenderung muncul ketika manusia Indonesia berada pada pengaruh orang yang dianggap kuat dan dituahkan dalam lingkungan hidupnya. Manusia Indonesia, terkadang bersikap plin-plan terhadap keputusan yang harus mereka ambil dalam sebuah keadaan. Mereka lebih senang, mendengarkan dan mengikuti arus. Sehingga berkesan konservatif pada keadaan. Memang dalam pengamatan penulis, tidak semua manusia Indonesia berlaku demikian. Tetapi umumnya sifat ini masih dapat kita temukan sampai pada masa sekarang.

Meskipun keenam sifat yang dijelaskan oleh Mochtar Lubis tersebut seakan terlalu umum dan universal. Beliau juga menambahkan ciri-ciri manusia Indonesia yang lebih bervariasi dari keenam sifat tersebut. Ciri tersebut antara lain tidak hemat, tidak mau bekerja keras kecuali dipaksa, kurang sabar, memiliki sifat cemburu dan dengki terhadap keberhasilan sesamanya. Tetapi, dibalik semua sifat negatif tersebut. Mochtar juga menambahkan bahwa manusia Indonesia juga memiliki sisi positif, seperti ramah, saling toleransi satu sama lain, memiliki rasa humor yang tinggi, mau belajar, serta memiliki solidaritas antar sesamanya.*

*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Politik UIN Jakarta.

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009