Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi



Malam begitu hening kurasa, rintihan air hujan tak berhenti menyapa keheningan ini. Menatapku dengan mesra dan khitmat melalui jendela buram kamar kontrakanku. Semua seakan menyapaku dikeheningan yang membisu ini. Suara burung malam dan katak sahut-menyahut menjadikan sebuah simponi keagungan Tuhan yang tiada mampu digoreskan dalam sebuah mozaik kehidupan. Namun, semuanya tidak berarti bagi diriku. Di dalam kehampaan ini kucoba menerawang sebuah perjalanan panjang seorang anak desa seperti diriku. Ya, sebuah perjalanan yang sangatlah melelahkan kawan. Perjalanan yang telah membuatku mengerti sebuah makna tentang cinta dan pengorbanan. Pikiranku melayang bersama hembusan angin malam yang sejuk menerpa-nerpa wajahku. Dan terbenam kembali ke masa aku SMA dulu. Kemasa pertama kalinya diriku mengenal sebuah kata yang sangat memusingkan diriku. Ya, itulah cinta. Sebuah kata yang memiliki berjuta interpretasi jika kita artikan. Namun, cintaku ini bukanlah sebuah cinta yang mampu berjalan dengan mulusnya kawan. Cintaku ini hanyalah cinta “Si bungkuk yang merindukan rembulan”. Masih ingat dan terlelap dalam sel-sel kelabuku. Bagaimana kejadian hari itu menjadi sepotong karunia Tuhan.

Hari itu adalah hari pertama aku masuk Sekolah Menengah Atas. Semua hari petualangan dalam pencarian sebuah arti dari kedewasaan. Hari pertama masuk sekolah ini bagiku, tiada jauh berbeda dengan hari-hari yang kulalui. Berlalu, berlalu, dan berlalu. Namun, sebuah pristiwa telah merubah sugesti teoritis dalam benakku. Hari itu kini menjadi seberkas prasasti yang hidup yang senantiasa mengalir bersama setiap hembusan napasku. Sesosok rupawan dan sederhana telah menjadi motivasiku. Ia, tidak begitu sempurna jika kita hanya mampu memandang berdasarkan sebuah pendekatan yang fisiologis. Ia sama dengan setiap perempuan yang ada di bumi ini. Lalu, apakah yang membuatnya begitu berbeda? Ya, pertanyaan yang terkadang kurenungkan untuk mencari jawabannya.
“Namaku Ica”, ucapnya singkat.

“Aku adalah siswa yang berasal dari SMP unggulan di kota ini. Motivasi saya menjadi siswa disini adalah saya ingin menjadi seorang siswa yang unggul dalam bidang imtaq dan iptek. Saya bersyukur dapat diterima menjadi siswa baru di SMA unggulan ini. Saya harap saya mampu mewujudkan cita-cita saya menjadi seorang dokter dengan bersekolah disini”, tambahnya dengan penuh semangat.
Aku hanya mampu menghela napas panjang hari itu. Jujur, aku merasakan sebuah perasaan yang asing merangsang hormon adrenalinku. Jantungkku berdetak lebih cepat setiap kali aku menatap wajahnya. Ia begitu sempurna, dengan sepasang mata tajam dan otak yang cerdas. Perkenalannya di depan kelas pada hari itu telah membuat berjuta bintang jatuh di dalam imajinasiku.

Waktu bergulir dengan cepatnya, ketika detik berganti menit, ketika menit berganti jam. Semuanya mutlak terjadi, semua adalah sebuah kekekalan yang tak mampu dibendung oleh siapapun. Semua kata-kata yang diucapkannya seolah telah dicatat oleh sang takdir. Ia memang siswa yang sempurna, hampir setiap mata pelajaran eksak mampu dilahapnya seperti makanan pokok. Sementara aku, bagaikan seorang kakek tua yang tersok-seok mengejar ketinggalanku dari dirinya. Aku dulu tak pernah menganggapnya sebagai orang yang berharga bagi diriku. Ia tak lebih adalah seorang rival yang harus kusingkirkan dalam setiap bidang akademis. Namun, rahasia Tuhan siapa yang tahu. Kompetisi yang senantiasa kualami, kini berbuah menjadi seribu perasaan galau di hati. Wajahnya senantiasa menghiasi setiap kata, prasa, kalimat, paragraf, hingga rima dalam karya-karyaku. Aku begitu bersemangat untuk menggorekan kata-kata pada selembar kertas ketika aku mengingat senyuman di wajahnya.
Pada suatu hari yang sudah kucoba untuk kulupakan. Kurangkai sebait sajak tentang cinta dengan maksud hati menyatakan cinta. Tetapi, apa daya bukankah cinta adalah zat yang universal dan fleksibel. Cinta bukanlah udara yang mampu bereaksi dengan terpaksa dan dipaksa. Sejujurnya, ia menolakku. Sebuah kata-kata yang sulit diterima dan diresapi oleh manusia yang pertama kali mengalami cinta. Dan cinta itu pada saat menjelang sebuah masa yang paling berharga dalam stratifikasi kehidupan manusia. Biarlah semuanya hanya kisah lalu pilu, sebuah kisah yang mengharu biru.

Namun, semuanya tak kuasa kulupakan hingga saat ini. Semua adalah cat pewarna kehidupan bagiku. Haruskah aku melupakan kenangan itu, ketika semuanya telah menumpuk menjadi tumpukan sedimentasi kenangan masa indah antara aku dan dirimu. Suatu kenangan yang mungkin akan kau lupakan suatu saat nanti, akan kau buang jauh-jauh ke dasar relung hatimu. Akan tetapi, bagiku kisah ini adalah mimpi di masa lalu. Kisah yang suatu saat nanti tak akan terulang dan kutemui kembali dimanapun aku berjalan menapaki tangga-tangga petualanganku mengintari kehidupan ini.

. . .

Protes . . .



Lelaki itu kembali tersenyum padaku, dengan wajah yang sudah mulai menua. Ia telah banyak berubah dipermainkan oleh masa yang datang tiada berhenti. Namun, walau deretan keriput mulai menghisasi wajahnya. Dan hampir separuh dari rambut yang dulu hitam kini mulai memutih, ia tetap sama. Ia senantiasa tersenyum ikhlas dan bersyukur atas karunia Tuhan yang dilimpahkan-Nya pada diri lelaki itu. Aku tak kuasa menahan butir-butir embun yang mulai menetes di kelopak mataku, butir-butir embun yang senantiasa mengingatkanku pada sederet perjuangan dirinya untuk menyekolahkanku di salah satu sekolah terbaik di kota kecil ini. Aku sadar, gaji dirinya yang tak lebih dari satu juta telah mengajarkan kepada diriku sebuah arti kata “jangan menyerah”.

Memang terkadang putaran nasib ini tiada adil mengais mimpi-mimpi kita. Tiada jemu merampok setiap cita-cita yang pernah kita ucapkan atau lebih pragmatisnya kita janjikan. Orang tua itu senatiasa kerja keras berpeluh lumpur di perkebunan kelapa sawit, hanya untuk dapat menyaksikan diriku bercanda ria, bergembira tiada kenal waktu menuntut ilmu di bangunan yang kuanggap neraka. Padahal, betapa mahal harga yang harus ia keluarkan, berapa butir keringat air mata yang harus ia keluarkan ketika bekerja keras untuk masa depanku. Terkadang semua itu senantiasa menjadi semacam imajinasi bisu yang muncul di dalam benakku. Ayahku, seorang lelaki kumal, berbadan kurus kering, beriringan bersama para buruh perkebunan lainnya. Mereka ternyata memiliki sebuah indoktrinisasi mulia bagi anak-anaknya. Sebut saja ayahku, seorang buruh kasar kumal yang hanya lulusan sekolah rakyat. Ia tak pernah punya mimpi untuk lebih menjadi seorang pegawai negeri rendahan yang bekerja sebagai seorang guru. Ayahku hanya bermimpi menjadi seorang guru, namun daya dan kemampuan ekonomi Kakekku berkata lain. Ayah tak mampu melanjutkan sekolah, Ia hanya mampu mengeyam pendidikan rendahan dan bergumul dengan tanah berlumpur dan bau amis keringat para proletar.

***
“Semir, Semir!!”.
Kerumunan manusia di pasar tradisional di kotaku sangatlah menyesakkan. Ini adalah sebuah amoralisasi penggambaran antara mangsa dan pemangsa. Pasar, tempat berkumpulnya semua jenis manusia. Tempat terjadilah proses jual beli. Disinilah aku dapat melihat solidaritas pergumulan semua jenis manusia. Aku menyeret langkah rapuh kakiku dengan sebuah kotak semir usang yang setia menemaniku sejak bangku sekolah dasar, aku menyeret langkahku melompati beberapa kardus kosong milik para penjual perabotan rumah tangga yang sudah menggelar dagangannya sejak dini hari tadi.

“Semir, Pak, Bu, Semir,” suaraku berteriak sumbang beradu dan membaur bersama ratusan hulu lalang manusia yang saling berhimpit-himpitan mencari sesuap nasi.

Seluruh pasar ini mengenal siap diriku. Seorang anak remaja berkalung kotak semir sejak ibuku meninggal 2 tahun yang lalu. Ibuku adalah pedagang sayuran yang meninggal karena tertabrak truk kontainer yang melarikan diri dari kejaran polisi. Sebuah realitas kehidupan yang terkadang sulit untuk kupahami. Mungkin jika tidak ada semangat, aku sudah berlarian bersama anak-anak malang lain di kota ini utuk menjadi pegawai rendahan di luar negeri.

Pukul 12.00 WIB, suara azan memanggil mendayu-dayu mengiris-iris perasaanku. Sudah dua hari ini aku tidak sholad. Ya, aku malas meminta dan beribadah pada Tuhan. Aku ingin protes pada-Nya. Aku ingin mengadukan ketidakadilan yang senantiasa diberikan-Nya. Namun, ada dorongan perasaan yang membuatku segera berlari untuk berwudu dan sholad pada hari ini. Aku kurang tau, apakah setan yang mengerjaiku telah bosan menguji imanku.

“Tidak!”, bentakku.
“Tak ada setan di dunia ini, setan adalah kemiskinan, setan adalah ketidakadilan”, Teriak batinku.

Selesai sholad aku duduk termenung di tepi beranda masjid yang sudah tampak kumal ditinggalkan oleh penghuninya. Masjid ini adalah masjid yang paling besar di kota kecilku. Masjid yang diberi hiasan ornamen mahal dan paling indah. Bangunan ini diselesaikan dengan dana yang tidak kurang dari 1 milyar. Akan tetapi, tengoklah disini. Tiada penghuni, tiada jemaah yang melaksanakan ibadah pada Tuhan, hanya beberapa orang tua yang sudah sangat renta duduk mesra berzikir dan bertafakur pada Tuhan.

Sekali lagi jiwaku berontak, “Tuhan apakah engkau tak pernah berpikir mengapa engkau begitu baik pada diri kami manusia? Kami lupa pada-Mu, kami senantiasa datang mengadu ketika diri ini dirundung masalah, didatangi berbagai ujian. Namun, apa yang terjadi ketika kami sudah mendapatkan apa yang kami mau, mendapatkan apa yang sesuai dengan nafsu dan proritas diri kami. Semua hilang, semua hampa dan kosong. Kami pergi meninggalkan-mu, kami terlena dengan nikmat dan karunia yang Engkau berikan pada kami. Tuhan, haruskah semua ini menjadi kodrat kami manusia? Hidup dengan berbagai peluang hingga pandangan untuk berubah dan berbuat sekehendak hati kami?”

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh lengkingan orang-orang di sekelilingku. Bangunan ini bergetar. Dunia bergoyang keras, mengamuk tak terbendung oleh kami para manusia-manusia hina. Bangunan itu runtuh, satu persatu puing-puingnya ambruk menimpa tubuh kami. Mengubur diri kami dalam sebuah tanda tanya kebimbangan, kegundahan, dan protes beku kami pada ketidakadilan di dalam dunia ini.

***

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009