Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

MAHASISWA

Dulu aku tak pernah sedikit pun memiliki bayangan mengenai kehidupan di dunia kampus. Aku hanya berpikir hanya satu tujuan untuk membanggakan orang tua ketika diriku berhasil diterima di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia. Hanya satu petuah yang senantiasa didoktrinkan oleh kedua orang tuaku ketika title kebanggaan “civitas academika” berhasil kusematkan pada diriku. Karena hanya petuah dan brain washing yang berbunyi, “sst!! Jangan ikut-ikutan demo!!!”, Hati-hati doktrinisasi ideologi serampangan!!”, dll. Tapi pada saatnya tiba aku menjadi mahasiswa, “Oh.. ini yang namanya kuliah??!!” Tiap hari berubah jadi sosok yang berintelek tinggi dan ngomongin politik sampai bibir sungging: Kuliah-kossan, kuliah-organisasi, kuliah-perpustakaan, kuliah-maen, demo, liburan, kerja, pacaran.. dll. Lalu, setelah hampir satu semester terlewati. Aku bertanya, “Ilmu apa saja yang aku dapatkan setelah menghabiskan jutaan uang ayah dan ibuku????”...


Hm, mungkin ini sebuah relativitas polemik yang menggumpal jadi sepiring kehampaan intelektual yang tak mungkin aku jawab sekarang. Mungkin jika seseorang bertanya kepada saya tentang politik, definisinya, sejarahnya, metodologinya, teorinya, sampai aplikasinya. Mungkin saya dapat menjawab semua hal itu di luar kepala. Tapi bukan itu semua yang saya harapkan. Teoritis memang telah saya kuasai, tapi implementasi dan praktiknyalah yang membuat sejuta kebimbangan dalam benak ini. Lalu, jika kalian bertanya tentang seluk-beluk organisasi kampus, dari organisasi A sampai Z. Mungkin saya akan hapal visi dan misinya, ya mungkin saya juga dapat menjawab dari pembuatan program rencana kegiatan, pembentukan struktur hingga pelaksanaan even-even besar. Tapi, justru semua itulah yang membuat saya semakin ragu.


Ada cita-cita, harapan, idealisme, dan apalah itu namanya yang jauh lebih besar yang harus didapat jika seandainya saya menghabiskan beberapa tahun untuk kuliah. (Kita tidak pernah tahu betapa berharganya kesempatan untuk berkuliah, karena kita tidak tahu betapa sulitnya orang-orang yang ingin berkuliah tapi tidak mampu mewujudkannya). Tentu masih segar dalam ingatan kita, bagaimana jika kita melihat beberapa orang teman kita yang tidak beruntung terpaksa bekerja setelah tamat SMA karena tidak adanya biaya untuk berkuliah dari orang tuanya? Dan tentang beberapa percakapan para remaja pascasekolah lanjutan tingkat atas yang lewat di gedung kampus tanpa pernah merasakan “nikmatnya” berkuliah?? Ya, kita adalah orang-orang yang beruntung dan berbahagia karena mampu “mereguk indahnya” menjadi seorang mahasiswa. Tapi kita termasuk orang yang paling merugi jika kita tidak memiliki harapan atau pencapaian!?


Kita tidak sedang membahas bahwa diantara kita ada yang terjebak, terkungkung, atau terdampar dalam suatu kampus yang tidak kita senangi atau kita nomerduakan. Karena apapun itu, yang pasti adalah saya, kamu, dan orang-orang lainnya adalah orang yang sudah menerima “paket hadiah” dari Tuhan dan kedua orang tua kita, jadi mau tidak mau kita harus memiliki sebuah harapan!

Saya akan senantiasa bersikap idealis dan jujur mengenai alasan saya mengapa saya rela membuang waktu dan umur saya selama 4 tahun untuk bermesraan dengan buku, makalah, hingga referensi yang menggunung jumlahnya. Saya ingin menjadi seorang pengamat politik (usai S1&S2), saya ingin skripsi saya menjadi buku reformis dalam disiplin ilmu saya, saya harus memiliki berbagai macam kemampuaan hidup (life skills) di atas rata-rata (Ex: literatur/publicspeaking//leadership), saya ingin menjadi sesosok mahasiswa tangguh yang menjadi panutan di kampus, dan saya butuh pengalaman hyperactif sebagai seorang mahasiswa (Ex: Mendaki gunung/menjadi demonstran/menjadi pembicara dalam forum seminar nasional) dll.


Sebagian besar cita-cita itu belumlah tercapai dan masih mengalami sebuah proses panjang yang senantiasa berjalan. Jikalah tidak tercapai saya akan tetap bangga karena saya memiliki harapan. Lalu, bolehkah saya tahu HARAPAN kawan-kawan????


Pada akhirnya, mau tidak mau kita harus menemukan harapan itu dimanapun dia berada. Kita harus menentukan pilihan membuang waktu cukup lama di kampus. Jika hanya berkuliah lalu menggeluti absen dan tugas di kelas selama 4 tahun, dan akhirnya bisa kerja karena memiliki gelar dari proses pembentukan gelar selam 4 tahun, rasanya semua orang juga bisa melakukan ini.


Ini tentang sebuah pencarian dan pemberiaan manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang lain, serta tentang menemukan makna. saya hanya khawatir dengan apa yang disebutkan oleh Iwan Fals sebagai “sarjana muda, dengan jaket lusuh dipundaknya”. Bimbang, bimbang, bimbang . . .



EKO INDRAYADI

Peneliti Laboratorium Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009