Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Tan Malaka: Gagasan Pendidikan Dan Kesadaran Revolusioner

Salah satu pahlawan Indonesia yang namanya mungkin lebih sering hilang dan sulit untuk ditelusuri jejak rekam perjuangannya. Tan Malaka ibarat seorang legenda yang akan selalu hidup dalam setiap perputaran roda sejarah berdirinya Republik Indonesia. Namanya yang sering diagung-agungkan oleh para aktifis pergerakan sebagai soko guru gerakan revolusioner-nasionalis-radikal. Senantiasa menjadi percik semangat dalam perjuangan. Tidak hanya pada generasi-generasi yang berada pada masa lintas kehidupannya seperti Soekarno. Karya-karya Tan Malaka memang sangat fenomenal dan sulit untuk dilepaskan dari setiap kata: Perjuangan!
Riwayat hidupnya yang kosmopolitan dan penuh ketegangan menjadikan sejarah sulit sekali untuk melakukan reka ulang terhadap setiap tindak-tanduk Tan di setiap kegiatan politik yang dilakukan olehnya. Tan Malaka pada awalnya hanyalah seorang guru yang berputus asa melihat geliat pendidikan di bawah kolonial. Ia adalah seorang pemikir politik sekaligus pendidik yang brilian. Gagasan pendidikan yang dicetuskan olehnya melalui sekolah khusus untuk anak-anak buruh dan anggota SI di Semarang. Menjadikannya tokoh panutan yang ide-idenya banyak diikuti oleh beragam tokoh. Meski jarang disebutkan bahwa Tan adalah penggerak pendidikan bagi golongan kelas bawah di Indonesia.
Tan Malaka punya visi yang jauh ke depan soal pendidikan. Sebab dalam pandangannya, pendidikan adalah senjata sekaligus modal bagi rakyat untuk merebut kekuasaan dari tangan pemilik modal. Pendidikan kerakyatan akan menumbuhkan kesadaran kelas dari anak-anak jelata bahwa bangsanya sedang dijajah. Tan melihat bahwa dalam proses belajarlah seorang individu dianggap sama  rata dan memiliki kemampuan yang sama tanpa adanya pembedaan secara feodal.
Pendidikan memang haruslah menjadi pondasi mendasar dari sebuah pergerakan. Sebagaimana ide tersebut, Tan Malaka mengerti benar bagaimana pentingnya gerakan pendidikan dalam mendukung gerakan revolusi. Dalam brosur SI Semarang dan Onderwijs (1921) ia mengemukakan bahwa tujuan diadakan pendidikan rakyat; 1. Memberikan senjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dan sebagainya), 2. Memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (vereeniging), 3. Menujukkan kewajiban kelak terhadap pada berjuta-juta kaum kromo.
Dalam brosur SI tersebut Tan Malaka menulis, “Nah, kalau bangsa Eropa meninggikan betul kepintaran menggambar itu, lebih-lebih bangsa Belanda, kenapa tidak dikeluarkan kepandaian yang memang tersembunyi pada bangsa Jawa itu? Jawabnya: barangkali sebab pabrik gula atau kantor pos lebih suka sama yang panda menyalin kopi, atau menghitung uang masuk dan keluar, dari pada sama orang, yang panda menggambar Doso Moko”.

Oleh karena itu Tan Malaka sangat menekankan pentingnya proses pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Karena dengan halan itu rakyat bisa berpikir rasional dan membebaskan dirinya sendiri dari keterbelakangannya. Upaya itu kembali ditunjukkannya lewat magnum opusnya: Matrialisme, Dialektika dan Logika (Madilog). Sebuah karya fenomenalnya yang ditulis di tempat persembunyian di Rawajati, Kalibata. Tan Malaka mencoba untuk membumikan sosialisme ilmiah sebagai epistimologi matrialis dengan tujuan untuk mengikis alam pikiran mistis dan takhayul yang terdapat pada sebagian besar alam pikiran masyarakat Indonesia. Sebab dalam benak Tan Malaka, sebuah proses dan tujuan pendidikan adalah membebaskan manusia dari keterbelakangan dan ketertinggalan melalui kesadaran revolusioner yang diikuti oleh alam pemikiran masyarakat Indonesia dari logika mistika ke cara berpikir rasional yang mengandalkan ilmu bukti.***@ekobta

0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009