Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Demokrasi Dan Keharusan Mendengarkan Aspirasi Masyarakat


Hilangnya kepercayaan publik masyarakat terhadap pejabat pemerintahan terpilih menimbulkan dilema baru dalam tatanan pemerintahan yang demokratis di Indonesia. Kepercayaan publik terhadap calon kandidat terpilih yang tersalurkan melalui pesta demokratis dalam pemilihan umum hanya menjustifikasikan bahwa kedaulatan dan kekuatan suara rakyat hanyalah sebatas pada saat proses pemungutan suara yang dilakukan di dalam kotak suara.

Kemenangan dari calon yang terpilih dalam proses perhelatan demokratis tersebut. Nyatanya terkadang membuat kebimbangan sistemik yang secara langsung membuat persoalan baru mengenai bagaimana mekanisme suara rakyat yang diberikan dalam Pemilu dapat tersampaikan secara langsung melalui proses timbal-balik dalam pemenuhan aspirasi mereka sebagai masyarakat. Untuk menghindari terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan wewenang kekuasaan dari penguasa yang terpilih dalam sebuah lembaga demokratis. Oleh sebab itu, keberadaan kelompok kepentingan yang berfungsi dalam mengawasi bagaimana prilaku politik penguasa adalah posisi tawar yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya dalam atmosfer pemerintahan demokrasi. Adanya prinsip keterbukaan dan kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat, terutama membahas mengenai persoalan Aspirasi politik tidak dapat dipungkiri sangat dibutuhkan dalam mengawasi bagaimana jalannya moda pemerintahan yang sedang dijalankan oleh pejabat pemerintahan yang ditetapkan secara elected officials.

Jika selama ini kebanyakan individu, kelompok, maupun masyarakat menyalurkan aspirasinya melalui media. Akibat sulit terdengar dan tersalurnya aspirasi melalui mekanisme yang konstitusional. Namun, seiring berlangsungnya waktu. Keberadaan media yang sudah mulai kehilangan fungsi idealis akibat pengaruh keberpihakan politik pada kelompok tertentu menjadikan media kehilangan arahnya dalam menyalurkan aspirasi dari kelompok masyarakat. Idealnya, fungsi dalam lembaga aspirasi masyarakat adalah mengagregasi bagaimana aspirasi itu didengar dan dilaksanakan oleh pihak pemerintah. Munculnya, apatisme masyarakat terhadap keberadaan lembaga aspirasi tidak lebih karena menjadikan aspirasi masyarakat hanya untuk didengar dan menjadi konsumsi isu politik dari pihak yang berkepentingan.

Keberadaan sebuah lembaga baru yang bersifat independen sangat dibutuhkan peran dan keikutsertaannya dalam membangun demokrasi politik negara. Mengingat bagaimana aspirasi politik masyarakat yang seringkali dilupakan oleh aparat pemerintahan yang sudah memegang kuasa. Fungsi ini harus dilaksanakan secara utuh tanpa adanya intervensi politik kepentingan dari kelompok kepentingan manapun. Sebab belajar dari pengalaman. Kebanyakan dari pemerintahan yang mengalami proses jatuh dan bangun, serta terancam stabilitas politiknya akibat lupa dan melupakan kepentingan rakyatnya. Keberadaan pemerintah yang bersifat tirani dalam demokrasi seringkali berujung kepada munculnya konflik vertikal yang meruncing kepada chaos-nya kekuasaan politik sebuah negara. Oleh karena itu keberadaan lembaga agregasi aspirasi politik dibutuhkan secara nyata di dalam keberlangsungan proses demokrasi di negara yang mau dan ingin benar-benar menjalankan kedaulatan rakyatnya secara amanah dan utuh dalam pemerintahan. []@ekobta

0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009