Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Dari Desa . . .



“Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?”
(Sajak Sepotong Jagung: Ws. Renra 12 Juli 1975) 

Sepiring nasi jagung. Makanan lezat yang kini mungkin sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Keberadaan nasi sebagai makanan pokok sudah terlalu ‘mendarah daging’ bagi kita masyarakat Indonesia. Mungkin jika dulu kita selalu mendengar makanan khas berbagai penduduk Indonesia yang penuh dengan keberagaman makanan. Masih ingat dalam pelajaran waktu saya SD dulu. Kita mendengar bahwa setiap suku di Indonesia memiliki makanan khas yang berbeda satu sama lainnya. Semisal, suku Madura dengan Jagung dan orang-orang Maluku yang makan dengan Sagu. Tetapi sayangnya keberagaman itu berubah. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia mulai mengidolakan nasi sebagai satu-satunya makanan pokok.

Meresapi sebuah perjalanan yang penulis lakukan beberapa hari yang lalu menuju Garut. Ada perasaan senang tak kala diberikan kesempatan untuk mengunjungi sebuah Pesantren di wilayah ini. Pesantren yang selalu akan menjadi bagian dari pemikiran penulis mengenai dramaturgi persaingan ‘masyarakat lokal vs industrialisasi’ yang kini sudah mulai hilang dan dipandang sebelah mata. Pesantren yang bernama At-Thoriq yang penulis dan teman-teman kunjungi jelas sangat berbeda sekali dengan persfektif yang penulis lalui selama pernah tinggal di Mahad di desa dulu, jauh di pedalaman Sumatera. Di sini, pesantren tidak hanya mengajarkan nilai-nilai ke-ilaihian semata yang sarat dengan nilai-nilai keislaman yang formalistik. Sebab, sebagian besar dari santrinya diajarkan untuk menghargai pertanian. Ya, mereka diajarkan untuk mengolah tanah; membajak sawah, menyemai benih, hingga kepada panen dan bagaimana cara menghargai sepiring makanan.

Pesantren yang berdiri ‘kokoh’ di tengah persawahan di wilayah Tarogong, Garut ini. Secara langsung mencoba untuk mengajarkan bagaimana kontrasnya kehidupan pertanian yang ada di Indonesia. Komoditas pangan yang ditunjang oleh suburnya tanah di Indonesia secara langsung tidak dapat memberikan kontribusi yang maksimal terhadap kesejahteraan masyarakat. Ibarat analogi sudah di ujung tanduk. Keberadaan Desa yang sepatutnya mampu menunjang kesejahteraan masyarakat. Kini hanya jadi sebuah alat pemenuhan industri oleh wilayah perkotaan. Masyarakat sudah mulai malas menjadi petani. Anak-anak muda merantau ke kota, enggan mengolah tanah. Memilih jadi buruh di pabrik-pabrik. Sebab, mereka tak mau menjadi petani yang tak jelas penghidupan kedepannya.

Keberadaan yang mulai menjadi ‘duri dalam daging’ ini telah memaksa kami para pemuda mahasiswa yang bersama-sama tergabung dalam Aliansi Desa Sejahtera untuk turun membasahi kaki dengan lumpur, kembali menuju desa. Meskipun hanya 2 hari keberadaan kami di Pesantren. Setidaknya pengalaman ini akan selalu berbekas dalam ingatan kami. Bahwa hidup sebagai petani adalah sebuah pekerjaan mulia. Bukankah, negara ini dulu juga besar dari kerajaan-kerajaan yang menjadikan pertanian sebagai sektor krusial dalam penghidupannya. Salah satu hal yang mampu menjadi sebab  hilangnya respon masyarakat terhadap keberadaan wilayah pertanian di Indonesia adalah munculnya paradigma pangan yang murah dan bisa didapatkan kapan saja melalui proses impor. Seumpama menegakkan benang basah. Kondisi sulit berkepanjangan ini pun mulai menjadi benalu yang sulit ditebas. Ketika petani hanya dijadikan sebuah obyek pemenuhan kebutuhan oleh masyarakat perkotaan. Kecenderungan ini sangat jelas terlihat sebagai sebuah ketimpangan. Apabila kita lihat pelbagai persoalan yang dihadapi oleh petani hanya dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan pihak swasta yang me-nuhankan perekonomian terhadap pasar.

Kondisi ini memang sulit untuk diubah. Jika kita berpandangan pada beberapa filsuf seperti Marx, mungkin dia akan memilih untuk melakukan revolusi saja. Sebagai proses untuk meruntuhkan tatanan feodal yang terbentuk. Petani ibarat kelompok proletar yang hanya bisa pasrah dihisap oleh keadaan yang penuh dengan ketidakkemungkinan. Mereka dituntut untuk menyediakan pangan yang murah. Tetapi dipaksa untuk bersaing dengan derasnya arus pasar bebas dengan komoditas industri dari negara-negara lain.  

Sebagai sebuah refleksi mengenai keadaan. Cobalah kita renungi kembali beberapa waktu yang telah kita semua habiskan sebagai seorang mahasiswa. Kaum civitas akademika yang seharusnya punya amanah dan beban berat yang harus kita lakukan untuk kemajuan bangsa. Mahasiswa jelaslah berbeda dengan seorang siswa yang hanya mendapatkan pembelajaran secara langsung melalui seorang guru. Mereka dituntut untuk berperan dan terjun ke dalam masyarakat dan berkontribusi untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Jika mahasiswa sudah enggan untuk berbagi kepada masyarakat. Lalu, bagaimanakah sebuah kelanjutan dari sebuah bangsa. Bukankah kita semua tidak ingin keadaan ini berlarut-larut menjadi keadaan yang menimbang rasa, menutup perihnya luka. Seruan dari Renra melalui puisi yang penulis kutip di atas setidaknya menjadi introspeksi kita semua para pemuda. Belajar dalam beragam teori dan lembaran buku ilmiah, tetapi memilih jadi layang-layang di ibu kota. Dan bimbang harus berbuat apa ketika dituntut kembali ke desa. []



0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009