“Apakah
gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?”
(Sajak Sepotong
Jagung: Ws. Renra 12 Juli 1975)
Sepiring nasi jagung.
Makanan lezat yang kini mungkin sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian besar
penduduk Indonesia. Keberadaan nasi sebagai makanan pokok sudah terlalu
‘mendarah daging’ bagi kita masyarakat Indonesia. Mungkin jika dulu kita selalu
mendengar makanan khas berbagai penduduk Indonesia yang penuh dengan keberagaman
makanan. Masih ingat dalam pelajaran waktu saya SD dulu. Kita mendengar bahwa
setiap suku di Indonesia memiliki makanan khas yang berbeda satu sama lainnya.
Semisal, suku Madura dengan Jagung dan orang-orang Maluku yang makan dengan
Sagu. Tetapi sayangnya keberagaman itu berubah. Karena sebagian besar
masyarakat Indonesia mulai mengidolakan nasi sebagai satu-satunya makanan
pokok.
Meresapi sebuah
perjalanan yang penulis lakukan beberapa hari yang lalu menuju Garut. Ada
perasaan senang tak kala diberikan kesempatan untuk mengunjungi sebuah
Pesantren di wilayah ini. Pesantren yang selalu akan menjadi bagian dari
pemikiran penulis mengenai dramaturgi persaingan ‘masyarakat lokal vs
industrialisasi’ yang kini sudah mulai hilang dan dipandang sebelah mata.
Pesantren yang bernama At-Thoriq yang penulis dan teman-teman kunjungi jelas
sangat berbeda sekali dengan persfektif yang penulis lalui selama pernah
tinggal di Mahad di desa dulu, jauh di pedalaman Sumatera. Di sini, pesantren
tidak hanya mengajarkan nilai-nilai ke-ilaihian
semata yang sarat dengan nilai-nilai keislaman yang formalistik. Sebab,
sebagian besar dari santrinya diajarkan untuk menghargai pertanian. Ya, mereka
diajarkan untuk mengolah tanah; membajak sawah, menyemai benih, hingga kepada panen
dan bagaimana cara menghargai sepiring makanan.
Pesantren yang berdiri
‘kokoh’ di tengah persawahan di wilayah Tarogong, Garut ini. Secara langsung
mencoba untuk mengajarkan bagaimana kontrasnya kehidupan pertanian yang ada di
Indonesia. Komoditas pangan yang ditunjang oleh suburnya tanah di Indonesia
secara langsung tidak dapat memberikan kontribusi yang maksimal terhadap
kesejahteraan masyarakat. Ibarat analogi sudah di ujung tanduk. Keberadaan Desa
yang sepatutnya mampu menunjang kesejahteraan masyarakat. Kini hanya jadi
sebuah alat pemenuhan industri oleh wilayah perkotaan. Masyarakat sudah mulai
malas menjadi petani. Anak-anak muda merantau ke kota, enggan mengolah tanah.
Memilih jadi buruh di pabrik-pabrik. Sebab, mereka tak mau menjadi petani yang
tak jelas penghidupan kedepannya.
Keberadaan yang mulai
menjadi ‘duri dalam daging’ ini telah memaksa kami para pemuda mahasiswa yang
bersama-sama tergabung dalam Aliansi Desa Sejahtera untuk turun membasahi kaki
dengan lumpur, kembali menuju desa. Meskipun hanya 2 hari keberadaan kami di
Pesantren. Setidaknya pengalaman ini akan selalu berbekas dalam ingatan kami.
Bahwa hidup sebagai petani adalah sebuah pekerjaan mulia. Bukankah, negara ini
dulu juga besar dari kerajaan-kerajaan yang menjadikan pertanian sebagai sektor
krusial dalam penghidupannya. Salah satu hal yang mampu menjadi sebab hilangnya respon masyarakat terhadap
keberadaan wilayah pertanian di Indonesia adalah munculnya paradigma pangan
yang murah dan bisa didapatkan kapan saja melalui proses impor. Seumpama
menegakkan benang basah. Kondisi sulit berkepanjangan ini pun mulai menjadi
benalu yang sulit ditebas. Ketika petani hanya dijadikan sebuah obyek pemenuhan
kebutuhan oleh masyarakat perkotaan. Kecenderungan ini sangat jelas terlihat
sebagai sebuah ketimpangan. Apabila kita lihat pelbagai persoalan yang dihadapi
oleh petani hanya dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan pihak swasta yang
me-nuhankan perekonomian terhadap pasar.
Kondisi ini memang
sulit untuk diubah. Jika kita berpandangan pada beberapa filsuf seperti Marx,
mungkin dia akan memilih untuk melakukan revolusi saja. Sebagai proses untuk
meruntuhkan tatanan feodal yang terbentuk. Petani ibarat kelompok proletar yang
hanya bisa pasrah dihisap oleh keadaan yang penuh dengan ketidakkemungkinan.
Mereka dituntut untuk menyediakan pangan yang murah. Tetapi dipaksa untuk
bersaing dengan derasnya arus pasar bebas dengan komoditas industri dari
negara-negara lain.
Sebagai sebuah refleksi
mengenai keadaan. Cobalah kita renungi kembali beberapa waktu yang telah kita
semua habiskan sebagai seorang mahasiswa. Kaum civitas akademika yang
seharusnya punya amanah dan beban berat yang harus kita lakukan untuk kemajuan
bangsa. Mahasiswa jelaslah berbeda dengan seorang siswa yang hanya mendapatkan
pembelajaran secara langsung melalui seorang guru. Mereka dituntut untuk
berperan dan terjun ke dalam masyarakat dan berkontribusi untuk pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat. Jika mahasiswa sudah enggan untuk berbagi kepada
masyarakat. Lalu, bagaimanakah sebuah kelanjutan dari sebuah bangsa. Bukankah
kita semua tidak ingin keadaan ini berlarut-larut menjadi keadaan yang
menimbang rasa, menutup perihnya luka. Seruan dari Renra melalui puisi yang
penulis kutip di atas setidaknya menjadi introspeksi kita semua para pemuda. Belajar
dalam beragam teori dan lembaran buku ilmiah, tetapi memilih jadi layang-layang
di ibu kota. Dan bimbang harus berbuat apa ketika dituntut kembali ke desa. []
0 komentar:
Posting Komentar