Pelayaran Panjang Bahtera Demokrasi Di Indonesia
Oleh Eko Indrayadi
FISIP/IP/05/UIN Jakarta
Apa yang terbersit dalam benak kita ketika kita dihadapkan sebuah keadaan sistem yang menghendaki keadaan demokratis dan transparan? Mungkin akan muncul beragam persfektif pandangan yang bisa tiba-tiba muncul sebagai tanggapan dari pertanyaan ini. Keadaan transisi (demokrasi) dimana pun di seluruh bagian dunia pasti menginginkan keadaan tersebut. Tidak dapat dipungkiri, demokrasi dan kedaulatan rakyat merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah satu sama lain.
Berdasarkan hal inilah, FISIP UIN Jakarta melalui serangkaian Lecture Series on Democracy mencoba untuk mencari, sekaligus memahami titik refleksi dari demokrasi melalui beragam paradigma. Melanjutkan tur ini, pada pekan lalu (Rabu, 21 September 2011). FISIP UIN Jakarta mengundang H. Jusuf Kalla (JK) untuk mengisi kuliah umum dengan tajuk yang berjudul ‘Demokrasi dan Kepemimpinan’.
Pada kesempatan ini, JK menjelaskan mengenai urgen-nya hubungan antara pemimpin dan demokrasi. Baginya, dalam proses berdemokrasi. Demokrasi adalah cara yang digunakan untuk mencapai kemakmuran rakyat. Bukan, sebuah tujuan akhir yang ingin menciptakan Indonesia yang demokrasi. Ini, jelas terlihat. Sebab baginya, manifestasi demokrasi di Indonesia bukan sebuah upaya yang instan.
“Pelaksanaan demokrasi di Indonesia telah diwujudkan dan dilaksanakan sejak lama. Bahkan, telah dimulai sejak masa awal kemerdekaan Indonesia. Sejak masa Presiden Soekarno demokrasi telah diterapkan. Namun, dengan bentuk yang berbeda-beda”, ujarnya.
Lebih jauh, JK mencoba membandingkan mengenai keadaan demokrasi di Indonesia dengan wilayah lainnya di Asia Tenggara. Mengambil contoh Malaysia. JK menjelaskan bahwa demokrasi di negara jiran itu hanyalah sebuah demokrasi yang dibuat-buat. “Di Malaysia, tidak ada yang namanya mekanisme oposisi seperti di negara kita. Di sana hanya ada satu partai UMNO (United Malays National Organizations) dan partai tersebut yang punya posisi kuat untuk menentukan arah kebijakan”, jelasnya.
Mengenai kepemimpinan demokrasi, JK menjelaskan bahwa pemimpin adalah orang yang mendapatkan legitimasi untuk menjalankan otoritas yang diamanahkan kepada mereka. Sehingga, pemimpin harus mampu mempengaruhi orang lain untuk patuh terhadap perintahnya, tidak hanya menuntut sikap loyal kepada bawahannya. Tetapi juga, harus senantiasa tampil mengayomi dengan penuh dedikasi. Sebab, menurut analogi JK, pemimpin itu harus punya dua sikap. Pertama, seperti universitas yang berorientasi kepada masa depan.
Pada sikap pertama, pemimpin harus punya visi yang revolusioner yang mampu menciptakan beragam konsep yang jelas. Tidak, hanya cerdas beretorika tetapi juga pintar untuk mengimplimentasikan konsepsi yang dia visikan. Sedangkan yang kedua, pemimpin harus bersikap seperti museum. Belajar dari sejarah untuk melakukan refleksi terhadap beragam tindakan yang dia lakukan. Pada sisi yang kedua, JK mengemukakan pentingnya sikap untuk belajar dari pemimpin terdahulu. Karena, dalam pandangannya. Pemimpin bukan orang yang cepat berpuas diri dengan melihat dan mendengar yang baik-baik saja. Tetapi, melupakan keadaan yang menurutnya tidak baik dan patut dilupakan.
Di akhir acara, JK berpesan bahwa untuk jadi seorang pemimpin mesti memiliki kemauan untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak populer, tidak hanya pekerjaan yang populer. Sebab, pemimpin baginya tidak hanya sebuah legalisasi yang diberikan. Pemimpin adalah mereka yang dipercaya untuk mengemudikan sebuah kapal demokrasi dan membawanya ke arah kesejahteraan. Bukan, ke arah badai dan kelamnya keadaan. Dan, disinilah ketegasan diperlukan sebagai pondasi keukeh menentukan kemudi arah. (*)
*Eko Indrayadi
NIM. 109033200006
IP/05/ FISIP UIN Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar