Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Qou Vadis Militer Indonesia?

Oleh Eko Indrayadi

Ada sebuah polemik panjang yang senantiasa menjadi sorotan bersama pada masa modern ini mengenai hubungan militer dan politik. Sebab, pola-pola hubungan yang dibentuk oleh keduanya cenderung memiliki perbedaan yang mendasar satu sama lainnya. Hal ini, dapat bersama kita amati berdasarkan supremasi yang dilegitimasi dan dilegalisasikan dalam struktur pemerintahan sebuah negara. Mengingat itu, adalah teramat krusial dan vital bagi seorang ilmuwan politik dalam melihat, sekaligus mengamati bagaimana pola-pola hubungan militer dan sipil di sebuah negara.

Sebagai sebuah ‘batu loncatan’ dalam menyingkapi permasalahan hubungan ini. UIN Jakarta melalui FISIP, dalam Lecture Series On Democracy, yang bertemakan Militer dan Demokrasi pada Rabu, 5 Oktober 2011 lalu mencoba untuk menyingkapi fenomena hubungan militer dan sipil dalam sebuah transisi demokrasi di Indonesia. Kuliah umum ini menghadirkan Prof. Dr. Salim Said, MA, MAIA sebagai seorang pembicara dan dimoderatori oleh Armein Daulay.

Dalam seminar tersebut, Salim mencoba mengeksplorasi dan mendeskripsikan hubungan militer dan sipil dengan menjabarkan kasus hubungan militer di Indonesia. Baginya, dulu hubungan militer dan sipil cenderung mengalami fluktasi satu sama lainnya. Mencontohkan bagaimana peranan militer dan sipil dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Pada mulanya, Indonesia sudah sepakat untuk menjadikan militer sebagai prajurit profesional yang hanya bertugas di barak saja. Tetapi, kondisi ini berubah dan mengalami transisi turun-naik senada dengan keadaan pemerintahan.

“Pemerintahan yang dipimpin oleh sipil, dalam hal ini dinotabenekan oleh kelompok yang terpilih. Harus mampu menjaga kestabilan dari basis kekuasaannya. Penting, bagi seorang pemimpin sipil untuk bersikap tegas. Agar tidak terjadi tarik-menarik kekuasaan yang mengakibatkan militer secara psiokologis dan emosional untuk masuk ke dalam lingkaran pemerintahan”, ujarnya.

Memang jika kita amati, menurut hemat penulis. Pola-pola hubungan militer dan sipil telah dianalisis oleh Samuel P. Huntington dalam karyanya yang berjudul Soldier and State, mencoba untuk mengklasifikasikan hubungan militer dan sipil kepada dua hal: Subyektif civilan contol dan Obyektif Civilian Control. Pada Obyektif Civilian Control, kondisi kekuasaan sipil lebih besar daripada militer, sehingga memberikan kesan adanya politisasi dalam tubuh militer. Sedangkan pada Obyektif Civilan Control kekuasaan profesional militer diminimalkan tetapi tidak dihilangkan.

Berkaca pada pendapat tersebut, penulis mencoba mengelaborasikan antara pemahaman penulis dan materi yang diberikan oleh Salim Said pada kuliah umum tersebut. Penulis menemukan, bahwa di dalam proses transisi dan dinamika politik di Indonesia. Ada kecenderungan militer untuk senantiasa menjadikan diri sebagai sebuah kekuatan politik. Meskipun, skala prioritas dan orientasi yang dilakukan militer dalam tiap-tiap rezim pemerintahan berbeda-beda.

Pada masa pemerintahan Dwi Tunggat, Soekarno-Hatta yang mengalami proses transisi demokrasi dari 1945-1959. Militer Indonesia diposisikan dirinya hanya sebagai kekuatan yang berada di bawah supremasi sipil. Pemilihan para Perwira dilakukan di bawah kontrol dan pengawasan partai-partai politik yang berada di dalam parlemen konstituante. Akibat dari supremasi sipil yang terlalu besar dan ditambah dengan keadaan stabilitas politik yang kurang stabil. Militer mencoba melakukan protes melalui sebuah peristiwa ’17 Oktober 1952’. Pada saat itu, militer melalui A.H. Nasution, mencoba memperotes dengan memberikan dukungan kepada kaum profesional, Bung Hatta dan PSI dalam melihat kebijakan ekonomi yang mereka tekankan. Tetapi, sayang peristiwa ini berakhir dengan keadaan menjauhnya posisi militer dari politik.

Selanjutnya, pada masa pemerintahan Orba. Posisi militer mendapat supremasi yang besar di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Konsepsi Dwi Fungsi ABRI yang menekankan militer sebagai kekuatan pertahanan dan sosial-politik benar-benar dijalankan secara maksimal. Memang, jika dilihat. Pada saat supremasi militer mendapatkan posisi yang kuat dalam sistem pemerintahan. Stabilitas perekonomian di Indonesia maju secara signifikan. Meskipun, tidak sejalan dengan mulusnya penjalanan roda-roda demokrasi yang terkesan kabur dan suram.

Namun, setelah 32 tahun militer mendapatkan posisi kekuasaan dalam politik. Keran demokrasi yang terbuka lebar pasca reformasi telah menyebabkan militer untuk bersikap profesional kembali dengan kembali menuju barak. Dihapuskannya konsep Dwi Fungsi ABRI dan menguatnya posisi supremasi sipil dengan pemilihan umum yang lebih demokratis telah menjadi sebuah wacana militer untuk menjadikan dirinya sebagai pasukan profesional yang hanya bertugas menjaga kedaulatan dan keutuhan negara di bawah naungan kekuasaan sipil yang terpilih. (*)


* Eko Indrayadi

Ketua Umum Forum Mahasiswa Ilmu Politik Indonesia (FORMAPI)

Tulisan Ini dibuat sebagai refleksi Peringatan Hari ABRI pada 5 Oktober 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009