Qou Vadis Militer Indonesia?
Oleh Eko Indrayadi
Ada sebuah polemik panjang yang senantiasa menjadi sorotan bersama pada masa modern ini mengenai hubungan militer dan politik. Sebab, pola-pola hubungan yang dibentuk oleh keduanya cenderung memiliki perbedaan yang mendasar satu sama lainnya. Hal ini, dapat bersama kita amati berdasarkan supremasi yang dilegitimasi dan dilegalisasikan dalam struktur pemerintahan sebuah negara. Mengingat itu, adalah teramat krusial dan vital bagi seorang ilmuwan politik dalam melihat, sekaligus mengamati bagaimana pola-pola hubungan militer dan sipil di sebuah negara.
Sebagai sebuah ‘batu loncatan’ dalam menyingkapi permasalahan hubungan ini. UIN Jakarta melalui FISIP, dalam Lecture Series On Democracy, yang bertemakan Militer dan Demokrasi pada Rabu, 5 Oktober 2011 lalu mencoba untuk menyingkapi fenomena hubungan militer dan sipil dalam sebuah transisi demokrasi di Indonesia. Kuliah umum ini menghadirkan Prof. Dr. Salim Said, MA, MAIA sebagai seorang pembicara dan dimoderatori oleh Armein Daulay.
Dalam seminar tersebut, Salim mencoba mengeksplorasi dan mendeskripsikan hubungan militer dan sipil dengan menjabarkan kasus hubungan militer di Indonesia. Baginya, dulu hubungan militer dan sipil cenderung mengalami fluktasi satu sama lainnya. Mencontohkan bagaimana peranan militer dan sipil dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Pada mulanya, Indonesia sudah sepakat untuk menjadikan militer sebagai prajurit profesional yang hanya bertugas di barak saja. Tetapi, kondisi ini berubah dan mengalami transisi turun-naik senada dengan keadaan pemerintahan.
“Pemerintahan yang dipimpin oleh sipil, dalam hal ini dinotabenekan oleh kelompok yang terpilih. Harus mampu menjaga kestabilan dari basis kekuasaannya. Penting, bagi seorang pemimpin sipil untuk bersikap tegas. Agar tidak terjadi tarik-menarik kekuasaan yang mengakibatkan militer secara psiokologis dan emosional untuk masuk ke dalam lingkaran pemerintahan”, ujarnya.
Memang jika kita amati, menurut hemat penulis. Pola-pola hubungan militer dan sipil telah dianalisis oleh Samuel P. Huntington dalam karyanya yang berjudul Soldier and State, mencoba untuk mengklasifikasikan hubungan militer dan sipil kepada dua hal: Subyektif civilan contol dan Obyektif Civilian Control. Pada Obyektif Civilian Control, kondisi kekuasaan sipil lebih besar daripada militer, sehingga memberikan kesan adanya politisasi dalam tubuh militer. Sedangkan pada Obyektif Civilan Control kekuasaan profesional militer diminimalkan tetapi tidak dihilangkan.
Berkaca pada pendapat tersebut, penulis mencoba mengelaborasikan antara pemahaman penulis dan materi yang diberikan oleh Salim Said pada kuliah umum tersebut. Penulis menemukan, bahwa di dalam proses transisi dan dinamika politik di Indonesia. Ada kecenderungan militer untuk senantiasa menjadikan diri sebagai sebuah kekuatan politik. Meskipun, skala prioritas dan orientasi yang dilakukan militer dalam tiap-tiap rezim pemerintahan berbeda-beda.
Pada masa pemerintahan Dwi Tunggat, Soekarno-Hatta yang mengalami proses transisi demokrasi dari 1945-1959. Militer Indonesia diposisikan dirinya hanya sebagai kekuatan yang berada di bawah supremasi sipil. Pemilihan para Perwira dilakukan di bawah kontrol dan pengawasan partai-partai politik yang berada di dalam parlemen konstituante. Akibat dari supremasi sipil yang terlalu besar dan ditambah dengan keadaan stabilitas politik yang kurang stabil. Militer mencoba melakukan protes melalui sebuah peristiwa ’17 Oktober 1952’. Pada saat itu, militer melalui A.H. Nasution, mencoba memperotes dengan memberikan dukungan kepada kaum profesional, Bung Hatta dan PSI dalam melihat kebijakan ekonomi yang mereka tekankan. Tetapi, sayang peristiwa ini berakhir dengan keadaan menjauhnya posisi militer dari politik.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Orba. Posisi militer mendapat supremasi yang besar di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Konsepsi Dwi Fungsi ABRI yang menekankan militer sebagai kekuatan pertahanan dan sosial-politik benar-benar dijalankan secara maksimal. Memang, jika dilihat. Pada saat supremasi militer mendapatkan posisi yang kuat dalam sistem pemerintahan. Stabilitas perekonomian di Indonesia maju secara signifikan. Meskipun, tidak sejalan dengan mulusnya penjalanan roda-roda demokrasi yang terkesan kabur dan suram.
Namun, setelah 32 tahun militer mendapatkan posisi kekuasaan dalam politik. Keran demokrasi yang terbuka lebar pasca reformasi telah menyebabkan militer untuk bersikap profesional kembali dengan kembali menuju barak. Dihapuskannya konsep Dwi Fungsi ABRI dan menguatnya posisi supremasi sipil dengan pemilihan umum yang lebih demokratis telah menjadi sebuah wacana militer untuk menjadikan dirinya sebagai pasukan profesional yang hanya bertugas menjaga kedaulatan dan keutuhan negara di bawah naungan kekuasaan sipil yang terpilih. (*)
0 komentar:
Posting Komentar