Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Kritik Terhadap Feith dan Castles

I.Membaca pengantar dari buku yang berjudul Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Membuat penulis berkontemplasi panjang mengenai betapa keras dan peliknya fluktuasi dalam proses transisi politik yang terjadi di Indonesia. Kumpulan karya yang mencoba mendeskrifsikan secara analitis-kritis dan lugas dengan nilai subyektif apa adanya sangat sulit penulis temukan. Buku yang membahas beragam pemikiran politik Indonesia ini memang sangat tepat dengan menghadirkan Herbert Feith dan Lance Castles sebagai editornya. Mereka berdua memang secara akademis tidak perlu diragukan kepiawaiannya dalam melakukan berbagai macam riset yang berkaitan dengan kondisi sosial-politik di Indonesia, terlebih pada masa dekade pemerintahan Soekarno hingga Soeharto.

Dalam pandangan penulis, hadirnya pengantar untuk mengawali bagian pertama dalam buku ini, mampu menjadi sebuah refresentasi penting dalam proses dinamika politik di Indonesia. Terlebih, ketika mencoba untuk mencari keterwakilan secara jelas dan faktual dari beragam aliran politik yang memiliki pengaruh dalam dinamika politik di Indonesia. Memang, indikator yang digunakan untuk menilai kapasitas intelektual seorang pemikir politik, harus diukur dengan ukuran kesarjaaan (1988: hal. xii). Tetapi, dalam melihat pada konteks Indonesia, ukuran tersebut harus diubah dengan melihat bagaimana proses dan pemahaman diri yang mereka lakukan ketika berhadapan dengan kondisi politik di sekelilingnya. Meskipun, kesulitan dalam melakukan upaya selektif. Upaya keras yang dilakukan oleh editor mampu menjawab keraguan mereka ketika menilai, apakah kumpulan tulisan ini telah mampu memiliki sisi refresentatif terhadap beragam aliran politik yang timbul dan muncul dalam dinamika perkembangan pemikiran politik di Indonesia, khususnya pada kurun tahun 1945-1965.

Meskipun begitu, sebuah pertautan emosional dan ideologis tidak bisa dilepaskan dalam diri seorang. Seperti yang dinyatakan oleh editor. Tetapi, usaha untuk membuat kumpulan tulisan ini otentik dan bisa dipertanggungjwabkan secara akademis telah menjadikan karya ini patut dipilih sebagai referensi pokok dalam mengamati jalannya peta-peta pemikiran politik yang terjadi pada saat itu. Terlepas, dari nilai-nilai subyektifitas yang menekankan posisi relatif dari kelompok-kelompok yang cenderung menilai adanya kesukaan akademisi Barat untuk menekankan adanya keragaman dan pertentangan mengenai keadaan Indonesia, ketimbang adanya persatuan (1988: hal. xv).

Namun, bagi penulis disinilah keunikan dari pengantar yang mereka hadirkan. Memang jika diamati bagian pengantar ini lebih menekankan kepada analisis perbandingan dengan melihat dan mengamati secara mendalam keadaan yang terjadi dengan mengamati beragam tulisan yang dihasilkan oleh para pemikir politik dalam kurun 1945-1965. Memilih karya-karya secara selektif untuk masuk sebagai kumpulan dalam karya ini pun merupakan kerja keras yang patut dihargai dari seorang editor.

II.Secara kualitas, tulisan yang mencoba untuk membandingkan dua periode yang berbeda memiliki unsur kesulitan di atas tulisan yang hanya mencoba untuk menyoroti keadaan pada priode. Hal yang dilakukan oleh editor, menurut hemat penulis sudah tepat dengan melakukan proses pemilihan berdasarkan: priode politik, aliran ideologi yang muncul dan berperan penting terhadap periode tersebut, hingga kepada persoalan mendalam yang mengenai tipe-tipe kebijakan dan metode kepemimpinan yang dilakukan.

Pada bagian pengantar edisi Indonesia misalnya, penulis temukan bagaimana metodologi yang penulis lakukan untuk melihat secara jelas dan kritis mengenai dua perbedaan tipe kepemimpinan diantara dua priode, Soekarno-Hatta dan Soeharto. Pada perbandingan yang pertama. Ketika dihadapkan pada penilaian kedua rezim, Orde Lama dan Orde Baru (1988: hal. xvii). Editor dengan cepat melihat kepada kondisi sosial-politik yang terjadi pada tatanan konflik kebijakan. Walaupun begitu, editor lebih cenderung untuk memilih analisis dengan melihat kepada pendekatan prilaku dari pelaku politik. Ini jelas bagi penulis, apabila analisis yang editor tawarkan berpijak dari keadaan yang selalu berupaya mencari kejelasan dalam runtutan peristiwa secara kualitatif. Terlihat dari bagaimana usaha yang dilakukan oleh editor untuk memecah kembali persfektif pembaca mengenai masa pemerintahan Soekarno-Hatta dengan tidak terjebak kepada penggunaan istilah Orde Lama (1988: hal. xviii).

Bagi diri Feith dan Castles, tindakan dengan melihat tatanan pemerintah lebih jauh adalah sebuah upaya untuk tidak terjebak dalam satu sudut pandang yang terlalu menggeneralisasikan sesuatu. Mengingat, seringkali munculnya anggapan dari benak penulis bahwa seolah-olah pemerintahan Orde Lama berlangsung sejak dimulainya masa awal dari pemerintahan presiden Soekarno. Namun ternyata, anggapan ini menjadi berubah ketika penulis menyandingkan kedua pendapat, antara Feith yang menyatakan bahwa ada masa-masa yang menurutnya presiden Soekarno tidak mendominasi keputusan politik dalam pemerintahan (1988: hal. xviii). Serta pendapat dari Wiliam Liddle dalam buku Pemilu-Pemilu Orde Baru (1994: hal. 108) yang sependapat untuk menyatakan bahwa Orde Lama dimulai ketika Soekarno berupaya untuk membentuk otoriterisme pribadi, dari 1959 sampai 1965.

Berbeda dengan hal tersebut, penyebutan Orde Baru sebagai sebuah tatanan pemerintahan yang berupaya untuk menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Banyak disepakati oleh para ilmuwan, khususnya Miriam dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008: hal. 442) sejak dilakukannya pencabutan terhadap ketetapan MPRS NO. III/1963 tentang penetapan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Sedangkan Arswendo Atmowiloto, dalam Buku yang berjudul Pengkhianatan G30S/PKI, menilai bahwa kejatuhan Orde Lama dan dimulainya Orde Baru adalah ketika dimulainya peristiwa Coup berdarah pada dini hari menjelang 1 Oktober 1965 (1994: hal.75). Tindakan inilah, lebih lanjut menurutnya telah menuntut Presiden Soekarno, untuk segera mengeluarkan Supersemar yang notabenenya sebagai upaya stabilitasi negara pasca terjadinya kudeta. Namun, sayangnya inilah yang menjadi ‘pecahan kerikil’ yang menusuk dan menghentikan Orde Lama dibawah kepemimpinan Soekarno.

Hal selanjutnya yang menjadi fokus permasalahan dalam pengantar buku yang diedit oleh Feith dan Castles, adalah mengenai perbandingan pelaksanaan kegiatan politik partai, terlebih mengenai masalah ideologi. Setidaknya ada, ada 5 klasifikasi ideologi menurut mereka yang setidaknya berperan dalam politik sejak 1945-1965 (1988: hal. xxv). Aliran tersebut diantaranya: Nasionalisme Radikal, Tradisonalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokratis dan Komunisme. Meskipun, mengalami persaingan satu sama lainnya. Yang berakibat kepada hilangnya beberapa aliran dan menjadi subordinat yang termarginalkan. Bagi editor, aliran tersebut tidak satu pun yang hilang sama sekali pada priode politik berikutnya, namun dua atau tiga diantaranya lenyap atau menjadi marjinal dalam wacana politik penting.

Memang penulis akui, sebagaimana yang diungkapkan oleh editor bahwa ketika mencoba untuk membandingkan pemikiran politik pada dua periode, Orde Lama dan Orde Baru. Kita semua akan dikejutkan oleh satu kesamaan yang menarik dan beberapa perbedaan pokok (1988: hal xxi). Terlihat dari pendapat, Feith yang menyatakan bahwa akan semakin pentingnya peranan ideologi negara. Pada dekade demokrasi parlementer, perang ideologi secara nyata terlihat secara jelas ketika partai-partai saling berebut dan bertaruh kekuatan dalam merumuskan kebijakan dalam parlemen. Tindakan ini terus berlangsung hingga terjadinya polemik terhadap beberapa harian surat kabar yang notabenenya merupakan underbouw ideologi dari partai yang mereka anut.

Secara implisit, tindakan ini pada awalnya adalah upaya untuk melakukan tindakan penggalangan masa ideologis yang bersifat populisme dalam menentang sikap imperialisme dari kaum penjajah. Namun, semakin mengalami kristalisasi kepada arah persaingan mendapatkan pengaruh ketika pemilu pertama di gelar pada 1955 pada Kabinet Burhanudin Harahap. Tindakan yang memperbolehkan setiap ideologi mendirikan partai. Akhirnya setelah mengumumkan berakhirnya demokrasi parlementer melalui dekrit 1959, untuk menghindarkan perpecahan. Soekarno mencoba mengadu peruntungan dengan mengeluarkan pemikiran NASAKOM, dengan tujuan untuk berdiri di atas setiap golongan ideologis. Wadah ini dibentuk pada tahun 1960 dengan sebutan Front Nasional (Miriam, 2008: hal. 441).

Berbeda dengan upaya yang dilakukan Soekarno yang berupaya mengadu nasib dengan berdiri di atas semua golongan. Soeharto yang belajar dari peristiwa G30 S/PKI memulai dengan tindakan perintisan penggunaan asas tunggal (Astu) Pancasila sebagai ideologi yang mendapat platform ideologi negara. Perintisan ini bertujuan untuk memuluskan jalan pemerintah OrBa di bawah kepemimpinan Soeharto untuk dapat mempertahankan stabilitas negara dan mengejar ketertinggalan ekonomi (Lidle, 1992: hal. 32).

III. Dalam pandangan penulis, pengantar yang ditulis oleh editor mampu menampilkan sebuah penghayatan deskriftif yang luas dan mendalam mengenai proses dinamika perpolitikan di Indonesia dalam kurun 1945-1965. Pembagian melalui klasifikasi yang runtut dan analitis, dapat menjadi posisi tawar dari karya yang dihasilkan Feith dan Castles. Rangkuman yang memuat tiga aspek mendasar dari perbandingan dua periode, Orde Lama dan Orde Baru. Yang dimulai dari: membandingkan situasi dan kondisi sosial politik, perubahan politik dan ekonomi, dan sikap kedua pemerintah dalam menghadapi dunia luar dalam politik internasional. Mampu menjadi sebuah batu asahan analisis kritis bagi setiap pembaca untuk diajak merenung, sekaligus berdiskusi tentang keadaan paradoksal pemikiran para tokoh politik di Indonesia, terkhusus kepada sudut yang paling kecil sekali pun, seperti ideologi.

Bagi penulis pribadi, kekuatan klasifikasi Feith dalam mengkotomi bagian partai politik dan aliran pemikiran politik pada masa demokrasi liberal atau menjelang pemilu tahun 1955. Telah menjadi sebuah perenungan unik mengenai peta perpolitikan yang menggambarkan keadaan nyata dari proses perkembangan pemikiran politik di Indonesia. Klasifikasi ini secara detail mungkin bisa mengeksplorasi lebih jauh mengenai bagaimana sebuah ideologi mampu berperan dalam penentuan masa depan negara. Mengingat hal itu, penulis berpandangan bahwa nilai-nilai ideologis yang dinilai sebagai sistem ideal terkadang memiliki arti penting dalam usaha penentuan maju atau mundurnya sebuah negara. Ideologi terkadang memang bisa berkompetisi menjadi dan bahkan menciptakan keretakan yang cenderung berujung pada deharmonisasi. Tetapi, ideologi juga mampu menjadi ‘batu asahan’ pendewasaan proses berpikir politik. Melalui perantara apa ideologi itu nantinya dipilih oleh rakyat untuk membentuk dan ikut serta terlibat dalam menentukan masa depan negara dan pemerintahan (Ian Adams:2004, hal.x-xii).

Namun, sayang. Seyogyanya pengantar pada buku ini menjelaskan lebih lanjut proses dinamika perpolitikan yang tidak hanya mengambil sampel di ibu kota, Jakarta. Mungkin akan ditemukan realitas lain dari cara pandang terhadap kenyataan dari budaya berpolitik di Indonesia pada kurun waktu itu. Memang, secara gentle editor mengakui bahwa kekurangan karyanya terlalu sedikit mengupas peristiwa-peristiwa pemberontakan yang berlatar belakang ideologi. Seperti, yang dicontohkan pada peristiwa Madiun (Feith&Castles:1988, xxxiv). Selain itu, di dalam pengantar buku, Feith dan Castle, tidak menjelaskan secara rinci dan mendalam mengenai proses berlangsung pemilu yang pertama di wilayah lain di Indonesia. Terlihat, editor mencoba untuk membuat sampel keadaan persaingan dan peta ideologi dengan hanya mengamati wilayah politik di seputar tradisi berpolitik dan perkembangan ideologi pada masyarakat di wilayah Jawa.

IV. Terlepas dari semua hal di atas, penulis rasa patut untuk memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Herberth Feith dan Lance Castles. Pengantar yang ditulis oleh mereka dalam membuka kumpulan tulisan dari para pemikir politik Indonesia telah mampu menjadi langkah awal untuk mengajarkan berpikir kritis dalam melihat perbandingan dari hasil pemikiran politik dalam kurun waktu 1945-1965. Selain itu, ada dua hal yang dapat penulis simpulkan dari pengantar yang ditulis oleh kedua editor, yaitu: Pertama, usaha dari editor untuk melakukan klasifikasi serefresentatif mungkin terhadap peta ideologi yang berpengaruh dalam dinamika politik Indonesia telah cukup menjadi gambaran keadaan politik yang terjadi pada tahun 1945-1965. Proses perbandingan secara ideologi dan periode rezim pemerintahan dengan melihat tidak hanya secara internal, seperti aliran pemikiran dan tipe kepemimpinan (1988: hal. xxvi). Tetapi juga, melihat kepada sisi eksternal dari keadaan politik, seperti bentuk kebijakan politik (1988: hal. xxii). Telah menjadikan bagian pembuka (pengantar) mampu membuat pembaca secara perlahan dan sistematis dituntut berpikir kritis.

Kedua, Feith dan Castle berhasil menciptakan sebuah dokumentasi sistematis dengan melihat melalui pola-pola tingkah laku dari setiap pemikir politik. Sehingga dapat diketahui secara jelas dan tegas mengenai tipe-tipe aliran pemikiran politik di Indonesia. Yang tidak hanya terbatas pada priode awal pemerintahan Soekarno, tetapi hingga kepada masa transisi pemerintahan kepada Soeharto dengan senantiasa memperhatikan kepada aspek subyektifitas sebagai seorang akademisi (1988: hal xviii).

1 komentar:

firman mengatakan...

kritik yang anda berikan sangat cermat, tepat, dan padat. terima kasih telah memberikan saya pencerahan untuk memahami buku ini.
sukses terus, salam sejahtera..

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009