- Pendahuluan
Mengamati hubungan agama dan negara merupakan keharusan mutlak bagi setiap ilmuwan politik. Kedua hubungan yang diciptakan oleh keduanya seringkali menimbulkan multi interpretasi yang berbeda-beda dari setiap ilmuwan politik. Hal ini tentu dipengaruhi oleh beragam faktor yang mendasari paham pemikiran tersebut. Mulai dari faktor sosiologis-antropologis masyarakat yang mendiami negara tersebut (rakyat). Hingga kepada faktor konstitusional yang menjadi pondasi dasar dari hubungan tersebut.
Menyimak itu, perbedaan perspektif cenderung memiliki doktrin ideologi tersendiri dari para ilmuwan untuk mengemukakan pandangannya dalam mengamati hubungan antara agama dan negara. Secara spesifik, dalam Islam sendiri pun, ini telah menjadi sebuah perdebatan panjang yang menghasilkan tiga aliran utama yang mendasari hubungan antara agama dan negara. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata sebuah agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Beberapa tokoh utama pendukung aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan yang paling vocal adalah Maulana Al-Maududi.[1]
Berbeda dengan aliran yang pertama yang cenderung menganggap Islam secara holistik sebagai agama yang paripurna. Kelompok kedua, cenderung memiliki pendirian sebagaimana pemahaman Barat, bahwa Islam hanyalah sebuah agama yang tidak memiliki hubungan dengan persoalan ketatanegaraan. Kelompok ini cenderung menginginkan sebuah pemisahan dalam ruang agama dan negara. Baginya, agama adalah urusan indivindu yang sifatnya privat. Negara tidak memiliki hak untuk ikut mencampuri urusan agama. Dan begitu pula sebaliknya. Tokoh terkemuka dalam aliran ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Dr. Thaha Husein.[2]
Sedangkan pada aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat nilai etika bagi kehidupan bernegara. Diantara tokoh-tokoh yang mendukung aliran ini adalah Dr. Muhammad Husein Haikal.[3]
Berdasarkan trikotomi yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa dalam hubungan agama dan negara, khususnya Islam secara garis besar memiliki tiga aliran besar yang cenderung memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam meletakkan posisi hubungan agama dan negara. Ketiga aliran tersebut memiliki pandangan yang kuat sebagai fundamen dari idealisasinya terhadap integrasi agama dan negara. Sebagai alasan mendasar, dalam menulis makalah. Penulis, ingin mencopa mengeksplorasi lebih jauh dan mendalam mengenai pola-pola hubungan tersebut dengan mencoba memahami melalui pendekatan teoritis.
B.Isi
1.Definisi
a.Definisi Agama Dan Negara
Sebelum memahami sebuah konsep secara menyeluruh. Ada baiknya bagi kita untuk mengetahui definisi awal dari permasalahan yang akan kita bahas dan kaji. Agama secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta[4], yang berarti peraturan tradisional, ajaran, kumpulan peraturan atau ajaran. Akar kata agama adalah gam yang berarti pergi, sedangkan awalan a berarti tidak, sehingga agama memiliki arti yang tetap atau yang tidak berubah. Sedangkan secara terminologis, agama berarti seperangkat keyakinan yang dipahami ataupun diikuti oleh seorang indivindu dan kelompok sebagai pandangan hidupnya.[5]
Sedangkan definisi negara menurut Marbun, “1. Organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat, 2. Kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik, dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.”[6]
C.Hubungan Agama Dan Negara
Dalam pandangan Bachtiar Efendy dalam bukunya Islam Dan Negara dinyatakan bahwa kompelsitas berdebatan antara agama dan negara tidak hanya berhenti pada ranah praktis, tetapi juga akan merambah ke ranah akademis. Baginya, agama, terkhusus Islam tidak mungkin dapat diperas menjadi bentuk yang tunggal. Pokok utama dari perdebatan dari hubungan ini senantiasa mengkotomi Islam menjadi dua bagian. Satu sisi sebagai agama (din) dan disisi lain sebagai (Dawlah).
Kembali kepada konsep awal, sebagaimana dikemukakan oleh Munawir mengenai cara pandang ketiga aliran Islam dalam melihat bagaimana hubungan agama dan negara. Perdebatan mengenai hubungan ini akan senantiasa berlanjut. Sebagaimana dikemukakan oleh Adi dalam Azyumardi Azra, “Bahwa ketegangan antara perdebatan antara hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan-hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai negara di lain pihak.”[7]
Kembali menjelaskan permasalahan ini, Munawir Sjadzali, membagi tiga aliran utama dalam Islam dalam mengamati peran hubungan antara Islam sebagai agama, maupun Islam sebagai negara. Pada Kelompok pertama, kecenderungan memandang Islam secara holistik dan kafah’ telah menjadikan bentuk rasio implementasi bahwasanya bentuk keparipurnaan Islam harus menyentuh segala aspek. Tidak hanya menawarkan bentuk atau cikal-bakal negara itu dibentuk secara teokratis, tetapi juga mengatur bagaimana sebuah pelaksanaan institusi yang bernama negara berjalan dengan semestinya. [8]
Namun, dalam proses perwujudannya melalui implimentasi yang luas. Menurut Adi, akan berdampak kepada sebuah kecenderungan untuk memahami Islam hanya sebatas pada sudut literal yang hanya menekankan dimensi luarnya saja. Dalam contoh yang lebih ekstrim, ia mengungkapkan bahwa kecenderungan ini telah menghalangi kaum muslimin untuk lebih jernih memahami al-Qur’an sebagai nilai-nilai instrument ilahiah yang dapat memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia.[9]
Pada kelompok yang kedua, ide sekuleriasi yang menginginkan pemisahan mengenai ketidakmampuan Islam sebagai agama untuk mengatur tata kelola pemerintahan. Menurut mereka, Islam cukup sebagai sebuah agama yang menyimbolkan hubungan antara manusia kepada Sang Khalik. Nabi Muhammad hanyalah sebatas pembawa wahyu yang tugas utamanya menyerukan kepada manusia untuk kembali kepada kehidupan yang dimuliakan Allah. [10]Dalam aliran ini, proses hubungan antara agama dan negara mungkin akan cenderung terkotak antara wilayah privat dan publik. Agama mungkin hanya sebatas sebuah sistem kepercayaan yang tidak dapat menyentuh wilayah kebijakan-kebijakan yang sikapnya politis.
Sedangkan pada kelompok ketiga yang mencoba untuk mendamaikan dengan mengambil jalan tengah. Mereka menolak pandangan bahwa Islam merupakan agama yang serba lengkap dalam mengatur hubungan agama dan negara. Tetapi juga tidak menyetujui anggapan bahwa Islam tidak mengatur hubungan ketatanegaraan. Menurut mereka, memang Islam tidak menyediakan sebuah sistem ketatanegaraan. Namun, memiliki seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.[11]
Dari ketika pemahaman mengenai cara pandang mengenai Islam dan negara di atas. Maka dapat kita simpulkan bahwa, hubungan antara agama dan negara cenderung memiliki perbedaan ditarik dari beberapa faktor. Secara internal misalnya. Sosiologis-antropologis antara satu masyarakat yang mendiami wilayah satu negara dengan negara lainnya cenderung berbeda. Seperangkat nilai-nilai budaya cenderung memiliki posisi yang penting dalam menentukan pola-pola kebijakan atau kontrak sosial mengenai hubungan agama dan negara.
Mengambil beberapa contoh kasus, seperti di Indonesia. Mungkin akan kita temui bagaimana proses akomodasi Islam sebagai kekuatan politik, meskipun secara tekstual tidak memprolamirkan diri sebagai negara Islam. Ini, mungkin didasari oleh mayoritas penduduk Indonesia yang cenderung tidak terlalu fanatik dalam memanifestasikan agama secara tekstual. Percampuran antara Islam sebagai agama dan budaya masyarakat cenderung erat pada Islam tradisionil yang berada di wilayah pedesaan. Selain, tidak adanya keinginan dari kaum modernis yang berada di wilayah perkotaan untuk melakukan pengimplimentasian secara penuh dalam membentuk negara Islam.
Munculnya sisi moderat ini. Bagi penulis juga tidak bisa dilepaskan dari sense of pluralilsm atau ke-bhinekaan yang begitu kental. Terlepas dari hal itu, kecenderungan agama untuk ikut campur ke dalam ranah politik mungkin bisa kita amati dalam sebuah kontrak umat dengan berdirinya Departemen Agama (Depag) yang berada di bawah naungan Kementrian Agama. Selain itu, hadirnya MUI, sebagai wujud eksistensi keagamaan, khususnya Islam dalam negara Indonesia masih memberikan ruang luas kepada agama untuk ikut berpartisipasi secara aktif bahkan cenderung pro aktif untuk mempengaruhi negara. Dalam hal perumusan dan pembuatan kebijakan yang berkenaan dengan masalah sosial keagamaan.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis melihat bagaimana pola hubungan agama dan negara di dunia. Ada tiga tipologi yang dapat penulis temukan: Pertama, hubungan yang bersifat integrative. Kedua, hubungan yang sifatnya simbiosis mutualisme, dan Ketiga hubungan yang bersifat separatisme. Dari ketiga hubungan ini, maka penulis menyimpulkan bahwa pola-pola hubungan antara agama dan negara memiliki hubungan yang urgent mengenai bagaimana proses negara tersebut dibentuk pada mulanya.
DAFTAR PUSTAKA
Elposito, John. L. “Islam Dan Politik”. PT. Bulan Bintang. 1990
Budiardjo, Miriam“Dasar-Dasar Ilmu Politik”, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hendarsah, Amir. “Buku Pintar Politik: Sejarah Pemerintahan dan Ketatanegaraan”. Jogja Great Publisher,
Marbun, B.N. “Kamus Politik”. Pustaka Sinar Harapan.
Marijan, Kacung. “Sistem Politik
Jurnal
Rahardjo, Dawam, “Islam Dan Demokrasi”, Titik Temu, vol. 3, no. 2 (Januari-Juli 2011), h. 42-58.
Webside
http://paramadina.wordpress.com/2008/04/18/meredefinisi-hubungan-agama-dan negara/ (Diakses pada 20 September 2011, pukul 10.15 WIB).
[1]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 2008), h. 1.
[2] Ibid, h. 1.
[3] Ibid, h. 3.
[4] B.N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta:Sinar Harapan, 2005), h. 9.
[5] Ibid, h. 9.
[6] Ibid, h. 331.
[7] Adi Prayitno, Politik Akomodasi Islam:Percikan Pemikiran Politik Bachtiar Efendy, (Jakarta: UIN Press, 2009), h. 37.
[8] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 1.
[9] Adi Prayitno, Politik Akomodasi Islam:Percikan Pemikiran Politik Bachtiar Efendy, h. 38
[10] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 1.
[11] Ibid, h. 3.
0 komentar:
Posting Komentar