Waktu,
tak inginkah engkau menungguku?
Berbenah di setiap kesempatan yang t’lah lalu.
Ulang-ulang setiap kesempatan terputus.
Sesal-sesal pada diri lalu.
(aya brasela, Ciputat 18 Maret 2010)
Akhir-akhir ini kita sering lupa mengenai hakekat kehidupan kita sebagai manusia. Kita sering lalai dan terpengaruh ke dalam kefanaan dunia. Sering kita tak pernah melakukan sebuah perenungan yang mendalam mengenai seberapa banyak waktu yang telah kita foya-foyakan dalam kehampaan?. Ironis, jika kita hanya mampu menghabiskaan waktu yang diberikan tanpa mampu menggunakan semaksimal mungkin.
Pernahkan kita membayangkan kembali ketika kita masih menginjak waktu Sekolah Dasar? Mungkin kita mampu untuk mengingatnya dengan baik, bahkan ada yang mampu mengingat kejadian secara detail dan mendalam mengenai beberapa pengalaman yang mengesankan pada waktu itu. Namun, pertanyaan sesungguhnya bukanlah mengenai seberapa mampu kita mengingat. pertanyaannya adalah apakah kita semua mampu kembali pada saat itu? Pasti seluruh manusia pasti sepakat bahwa semua itu adalah hal yang mustahil. Hal yang berada di luar batas penalaran kita sebagai mahluk yang berpikir.
Di sinilah permasalahannya, berapa banyak kesempatan yang telah kita hilangkan begitu saja di masa lalu? Usia yang bertambah, hingga waktu yang berlalu merupakan sebuah keharusan dalam teori kehidupan. Kita sebagai manusia tentu pernah merasakan menyesal dan bersalah pada diri kita ketika kesempatan yang berharga lepas dan hilang begitu saja. Mungkin semua itu tak dapat kita perbaiki kembali untuk mengulang keadaan yang sama di masa lalu. Tapi akankah kita senantiasa mengalami sebuah repetisi dalam setiap konteks kehidupan kita? Berleha-lehaan, hingga menganggap waktu dapat kita habiskan seperti sebatang coklat karamel yang nikmat?
Tentu saja tidak, kita pasti menginginkan sebuah perubahan dalam kehidupan kita. Kita manusia, mahluk yang dikaruniakan berbagai macam kelebihan dari Sang pencipta. Kita bukan mahluk yang mau terjebak kedua kalinya dalam lubang yang sama. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya. Berubah dan meluruskan konsepsi kita terhadap masa, serta menghargai waktu yang kita miliki. Sebelum semuanya berakhir, sebelum “nasi berubah menjadi kerak”.
(Renungan 19 Tahun Usiaku)
0 komentar:
Posting Komentar