Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Gerimis Di Atas Sajadahku

Waktu,

tak inginkah engkau menungguku?

Berbenah di setiap kesempatan yang t’lah lalu.

Ulang-ulang setiap kesempatan terputus.

Sesal-sesal pada diri lalu.

(aya brasela, Ciputat 18 Maret 2010)


Akhir-akhir ini kita sering lupa mengenai hakekat kehidupan kita sebagai manusia. Kita sering lalai dan terpengaruh ke dalam kefanaan dunia. Sering kita tak pernah melakukan sebuah perenungan yang mendalam mengenai seberapa banyak waktu yang telah kita foya-foyakan dalam kehampaan?. Ironis, jika kita hanya mampu menghabiskaan waktu yang diberikan tanpa mampu menggunakan semaksimal mungkin.


Pernahkan kita membayangkan kembali ketika kita masih menginjak waktu Sekolah Dasar? Mungkin kita mampu untuk mengingatnya dengan baik, bahkan ada yang mampu mengingat kejadian secara detail dan mendalam mengenai beberapa pengalaman yang mengesankan pada waktu itu. Namun, pertanyaan sesungguhnya bukanlah mengenai seberapa mampu kita mengingat. pertanyaannya adalah apakah kita semua mampu kembali pada saat itu? Pasti seluruh manusia pasti sepakat bahwa semua itu adalah hal yang mustahil. Hal yang berada di luar batas penalaran kita sebagai mahluk yang berpikir.


Di sinilah permasalahannya, berapa banyak kesempatan yang telah kita hilangkan begitu saja di masa lalu? Usia yang bertambah, hingga waktu yang berlalu merupakan sebuah keharusan dalam teori kehidupan. Kita sebagai manusia tentu pernah merasakan menyesal dan bersalah pada diri kita ketika kesempatan yang berharga lepas dan hilang begitu saja. Mungkin semua itu tak dapat kita perbaiki kembali untuk mengulang keadaan yang sama di masa lalu. Tapi akankah kita senantiasa mengalami sebuah repetisi dalam setiap konteks kehidupan kita? Berleha-lehaan, hingga menganggap waktu dapat kita habiskan seperti sebatang coklat karamel yang nikmat?


Tentu saja tidak, kita pasti menginginkan sebuah perubahan dalam kehidupan kita. Kita manusia, mahluk yang dikaruniakan berbagai macam kelebihan dari Sang pencipta. Kita bukan mahluk yang mau terjebak kedua kalinya dalam lubang yang sama. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya. Berubah dan meluruskan konsepsi kita terhadap masa, serta menghargai waktu yang kita miliki. Sebelum semuanya berakhir, sebelum “nasi berubah menjadi kerak”.


(Renungan 19 Tahun Usiaku)

0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009