Mari kita Renungkan
by Iwan Fals
Kata kata berbisa
Mulut mulut berbusa
Janji janji bertebaran
Seperti biasa dari atas panggung
Atas nama bangsa
Yang mendengar terpesona
Bahkan ada yang terkesima
Aku pun tergoda
Untuk mengikuti apa yang terjadi
Apakah memang janji hanya janji
Buktikan buktikan
Itu yang di nanti nanti
Buktikan buktikan
Kalau hanya omong
Burung beo pun bisa
Kita hidup sering terancam
Tak ada jaminan keselamatan
Kamu ngomong tentang keamanan
Tapi makin banyak penggusuran
Kita hidup sering terancam
Tak ada jaminan keselamatan
Kamu ngomong tentang kemakmuran
Tapi makin banyak pengangguran
Buktikan buktikan
Itu yang di nanti nanti
Buktikan buktikan
Kalau hanya omong
Burung beo pun bisa
Kata kata berbisa
Mulut mulut berbusa
Janji janji berhamburan
Seolah olah kami ini bodoh
Tak mengerti apa apa
Seolah olah kami ini anak kecil
Yang bisa kau bohongi sesuka hatimu
Buktikan buktikan
Itu yang di nanti nanti
Buktikan buktikan
Kalau hanya omong
Burung beo pun bisa
Buktikan buktikan
Buktikan buktikan
Buktikan buktikan
Buktikan buktikan
* * *
Sebagian besar kita pasti pernah mendengar lagu ini. Sebuah lagu yang ditulis dan dinyayikan oleh sang maestro musik Indonesia, Virgiawan Listanto. Atau yang lebih populernya dikenal dengan nama Iwan Fals. Lagu ini sangat artistik, berisi berbagai macam kegundahan masyarakat yang merasa tertipu atau dibohongi oleh "pembawa amanah". Ya, semua orang pasti akan mengamini jika berbicara mengenai iklim demokrasi abal-abal di negara kita.
Pada saat masa kampanye, atu lebih tepatnya masa-masa tebar pesona. Banyak dari figur pemimpin-pemimpin kita berjanji, bersugesti, atau mungkin mengatasnamakan dirinya wakil rakyat. Suatu hal yang sangat manis, atau terkesan bikin phobia jika kita bayangkan. Seribu satu janji mulai ditebar-tebar, bermuka manis penuh keramahan.
Satu hal yang tak mampu kita bayangkan sedikit pun ketika hirarki telah mereka dapatkan. Mereka berubah seolah rahwana-rahwana yang haus akan kekuasaan. Berubah menjadi begundal-begundal pragmatis yang hedonis akan harta. Lalu, bagaimana dengan rakyat? Ya, dengan terpaksa mereka kembali disingkirkan laksana kaum pinggiran yang terbuang. Terkotomi!, atau lebih ekstremnya kita sebut "anak tiri". Namun, seiring waktu berjalan rakyat mulai menjadi hewan-hewan perkasa, laksana singa-singa di padang pasir. Mereka beringas dan tak mampu lagi dibohongi, mereka jadi liar. Tetapi terkadang, mereka diperdaya dengan "bom politik" yang bernama uang. Ironis memang, di kala kita merindukan demokrasi dengan figur-figur pemimpin yang kharismatik, kebapak-an, serta transparan, dan demokratis. Harus terperdaya karena keluguan kita. Keluguan yang telah mengaklamasikan demokrasi menjadi tirani.
Rakyat harus bangkit dan melakukan "resufling" pada diri mereka. Jangan karena uang, jangan karena diberikan sedikit sembako atau bahkan rokok kretek dan nasi bungkus untuk mengorbankan hati nurani dan suara mereka yang idah oleh kejamnya politik. Ataukah inilah pembuktian yang dikatakan oleh Machiovelli, bahwa politik tidak mengenal kawan sejati, tak mengenal lawan abadi, dan yang ada hanyalah kepentingan.
Hidup yang "gemah rifah loh jenawi" atau terkadang lebih pragmatis dengan menyebutkan "Baldatun Warrabbun Tayyibatun Ghofur", harus menjadi normatif karena tergerus oleh kepentingan politik-politik kotor yang telah menjadi momok menakutkan bagi bangsa kita sejak jaman penjajahan. Mungkin secara perlahan-lahan suasana ini akan berubah, ke arah positifkah, atau justru menjadi makin runyam di tengah kegilaan setiap indivindu untuk berebut kuasa mencari tahta.
Indonesiaku,
haruskah menjadi korban yang tak pernah terselamatkan. Setelah sekian lama proklamasi kemerdekaan diteriakkan. Setelah sekian lama kita mendengungkan kata "merdeka, merdeka, dan merdeka!". Namun rakyat masih sengsara, rakyat masih kelaparan, rakyat masih pengangguran, dan beberapa dari mereka tak mampu untuk sekolah atau bahkan punya mimpi untuk kuliah.
Keadaan yang abnormal atau seakan mengiris-ngiris hati para pejuang kita dulu. Membuat rintihan para proklamator kita. Seharusnya negeri ini jadi lebih makmur, seharusnya lebih sejahtera dengan segala macam kekayaan yang dimilikinya. Negeri yang teramat kaya ini harus terseok-seok oleh segelintir orang yang mengatasnamakan kemakmuran untuk pribadinya.
Polemik panjang akan terus terjadi apabila kita hanya mampu berkata, berretorika panjang tanpa menghasilkan apa-apa. "Talk less, do more", itulah seharusnya tindakan yang kita lakukan. Tindakan yang bukan karena adanya bayaran atau mengharapkan serupiah, dua rupiah masuk ke dalam saku baju kita. Apakah setiap orang di negeri ini harus dibayar terlebih dahulu untuk menyumbangkan ilmunya, menyumbangkan dedikasinya. Ya, kembali kepada persoalan pertama uang dan harta. Suatu siklus lingkaran setan yang sulit diputuskan.
Dan kemudian, lahirlah otonomi daerah. Sebuah desentralisasi kekuasaan yang memiliki visi mengejar ketinggalan. Sebuah refleksi dan proyeksi terhadap impelementasi kemakmuran. Sebuah indoktrinisasi yang teramat manis jika kita pahami secara normatif. Namun, setelah sekian lama terjadi. Ada berbagai macam proses tersirat di dalamnya. Otonomi daerah semakin membuka peluang KKN di ranah-ranah daerah. Radikalisasi rakyat untuk diperas dan diambil hasil buminya. Semua pemimpin memang berasal dari daerah asalnya. Namun, waktu telah membuat mutasi-mutasi yang menakutkan pada diri mereka. Mutasi yang menyebabkan munculnya para "belalang-belalang baru" yang lebih rakus daripada belalang-belalang sebelumnya. Ironis, dan sangat menyedihkan. Sekali lagi rakyat harus menanggung bebannya.
Lalu sebagai akhir, aku mengimajinasikan sesosok pemimpin yang serupa dengan Imam Mahdi yang mampu membawa kemakmuran, sesosok Gadhi yang membawa perdamaian, atau mungkin sesosok Khulafaur Rasyidin yang mengayomi rakyatnya hingga akhir hayatnya. Mungkin imajinasiku ini terlalu tinggi. Imajinasi dari seorang indivindu anggota dari beratus juta, atau bahkan lebih dari rakyat Indonesia yang merindukan sesosok pemimpin. Haruskah semua ini menjadi butiran-butiran debu yang hilang dihembus oleh angin, mimpi-mimpi indah yang tak sampai di atas negeri ini
* * *
EKO INDRAYADI
MAHASISWA FISIP Universitas Islam Negeri Jakarta dan Peneliti Sosial&Politik UIN Jakarta.
(30 Februari 2010)
Masa & Air Mata
(Ciputat,18 November 2009)
Kulalui masa . . .
Mengepung keinginan dalam pelita
Menyesak di dalam rintihan air mata
Melambai bersama angin senja
Bergerak perlahan, bebas dan bergerak
Berubah-ubah bersama sunyi
Sembilu perih menggores hati
Mendayu-dayu menjadi satu
Relakan aku membuang waktu
Kubuang sauh,
kemudi diri yang mulai lalu
Berlari setapak demi setapak hadapi hidup
Dari masa, menjadi rasa.
Rasa air mata.
OPTIMIS
(Ciputat, 4 November 2009)
Diantara sunyi,
Meniti bait-bait nada tiada henti
Berjalan jajaki setiap misteri
Dalam sanubari
Terbenam kelam
Pagi tak kembali
Rembulan berlari,
Kukejar mentari
Semua adalah pragmatis tanpa idealis
Dramatis tanpa argumentasi
Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi
Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti
Kulangkah, dan pasti terlewati
Ya. . .Ya . . .Ya
Ya
Aku tulis sebuah testimoni
Antara hati nurani, konsensus-sugesti.
Ketika parade kedilan negeri.
Mati suri oleh suatu institusi.
Lembaga-lembaga rakyat.
Berkarat dan berbau lumpur akherat.
Membusuk!, berulat.
Kemanakah lagi kami harus mencari?
Keadilan!
Kesejahteraan!
Ataukah semua telah diobral?
Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.
Aku bertanya,
Apakah nasib baik sudah tiada?
Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.
Terikat erat tak mampu dilepaskan.
Atau,
Nasib baik bisa diperdagangkan?
Menjadi kepingan keberuntungan,
Menggunung tersimpan,
Menggunung dipestakan.
Namun hambar.
Ya . . . Ya
Semua telah dipintal jadi satu.
Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.
Indah, indah dan mencengangkan.
Tapi,
Mataku, mataku buta tak mampu melihat.
Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.
Ya . . .Ya . . .Ya
Biarkan saja,
Aku
buta,
Tuli,
bisu.
Semua kau yang atur.
Untuk maju atau mundur.
Asal semua teratur.
Bagianmu bisa kuatur.
Atur, atur, atur,
Yang penting akur
Ciputat, 9 Desember 2009
0 komentar:
Posting Komentar