Lelaki itu kemabali tersenyum padaku, dengan wajah yang sudah mulai menua. Ia telah banyak berubah dipermainkan oleh masa yang datang tiada berhenti. Namun, walau deretan keriput mulai menghisasi wajahnya. Dan hampir separuh dari rambut yang dulu hitam kini mulai memutih, ia tetap sama. Ia senantiasa tersenyum ikhlas dan bersyukur atas karunia Tuhan yang dilimpahkan-Nya pada diri lelaki itu. Aku tak kuasa menahan butir-butir embun yang mulai menetes di kelopak mataku, butir-butir embun yang senantiasa mengingatkanku pada sederet perjuangan dirinya untuk menyekolahkanku di salah satu sekolah terbaik di kota kecil ini. Aku sadar, gaji dirinya yang tak lebih dari satu juta telah mengajarkan kepada diriku sebuah arti kata “jangan menyerah”.
Memang terkadang putaran nasib ini tiada adil mengais mimpi-mimpi kita. Tiada jemu merampok setiap cita-cita yang pernah kita ucapkan atau lebih pragmatisnya kita janjikan. Orang tua itu senatiasa kerja keras berpeluh lumpur di perkebunan kelapa sawit, hanya untuk dapat menyaksikan diriku bercanda ria, bergembira tiada kenal waktu menuntut ilmu di bangunan yang kuanggap neraka. Padahal, betapa mahal harga yang harus ia keluarkan, berapa butir keringat air mata yang harus ia keluarkan ketika bekerja keras untuk masa depanku. Terkadang semua itu senantiasa menjadi semacam imajinasi bisu yang muncul di dalam benakku. Ayahku, seorang lelaki kumal, berbadan kurus kering, beriringan bersama para buruh perkebunan lainnya. Mereka ternyata memiliki sebuah indoktrinisasi mulia bagi anak-anaknya. Sebut saja ayahku, seorang buruh kasar kumal yang hanya lulusan sekolah rakyat. Ia tak pernah punya mimpi untuk lebih menjadi seorang pegawai negeri rendahan yang bekerja sebagai seorang guru. Ayahku hanya bermimpi menjadi seorang guru, namun daya dan kemampuan ekonomi Kakekku berkata lain. Ayah tak mampu melanjutkan sekolah, Ia hanya mampu mengeyam pendidikan rendahan dan bergumul dengan tanah berlumpur dan bau amis keringat para proletar.
***
“Semir, Semir!!”.
Kerumunan manusia di pasar tradisional di kotaku sangatlah menyesakkan. Ini adalah sebuah amoralisasi penggambaran antara mangsa dan pemangsa. Pasar, tempat berkumpulnya semua jenis manusia. Tempat terjadilah proses jual beli. Disinilah aku dapat melihat solidaritas pergumulan semua jenis manusia. Aku menyeret langkah rapuh kakiku dengan sebuah kotak semir usang yang setia menemaniku sejak bangku sekolah dasar, aku menyeret langkahku melompati beberapa kardus kosong milik para penjual perabotan rumah tangga yang sudah menggelar dagangannya sejak dini hari tadi.
“Semir, Pak, Bu, Semir,” suaraku berteriak sumbang beradu dan membaur bersama ratusan hulu lalang manusia yang saling berhimpit-himpitan mencari sesuap nasi.
Seluruh pasar ini mengenal siap diriku. Seorang anak remaja berkalung kotak semir sejak ibuku meninggal 2 tahun yang lalu. Ibuku adalah pedagang sayuran yang meninggal karena tertabrak truk kontainer yang melarikan diri dari kejaran polisi. Sebuah realitas kehidupan yang terkadang sulit untuk kupahami. Mungkin jika tidak ada semangat, aku sudah berlarian bersama anak-anak malang lain di kota ini utuk menjadi pegawai rendahan di luar negeri.
Pukul 12.00 WIB, suara azan memanggil mendayu-dayu mengiris-iris perasaanku. Sudah dua hari ini aku tidak sholad. Ya, aku malas meminta dan beribadah pada Tuhan. Aku ingin protes pada-Nya. Aku ingin mengadukan ketidakadilan yang senantiasa diberikan-Nya. Namun, ada dorongan perasaan yang membuatku segera berlari untuk berwudu dan sholad pada hari ini. Aku kurang tau, apakah setan yang mengerjaiku telah bosan menguji imanku.
“Tidak!”, bentakku.
“Tak ada setan di dunia ini, setan adalah kemiskinan, setan adalah ketidakadilan”, Teriak batinku.
Selesai sholad aku duduk termenung di tepi beranda masjid yang sudah tampak kumal ditinggalkan oleh penghuninya. Masjid ini adalah masjid yang paling besar di kota kecilku. Masjid yang diberi hiasan ornamen mahal dan paling indah. Bangunan ini diselesaikan dengan dana yang tidak kurang dari 1 milyar. Akan tetapi, tengoklah disini. Tiada penghuni, tiada jemaah yang melaksanakan ibadah pada Tuhan, hanya beberapa orang tua yang sudah sangat renta duduk mesra berzikir dan bertafakur pada Tuhan.
Sekali lagi jiwaku berontak, “Tuhan apakah engkau tak pernah berpikir mengapa engkau begitu baik pada diri kami manusia? Kami lupa pada-Mu, kami senantiasa datang mengadu ketika diri ini dirundung masalah, didatangi berbagai ujian. Namun, apa yang terjadi ketika kami sudah mendapatkan apa yang kami mau, mendapatkan apa yang sesuai dengan nafsu dan proritas diri kami. Semua hilang, semua hampa dan kosong. Kami pergi meninggalkan-mu, kami terlena dengan nikmat dan karunia yang Engkau berikan pada kami. Tuhan, haruskah semua ini menjadi kodrat kami manusia? Hidup dengan berbagai peluang hingga pandangan untuk berubah dan berbuat sekehendak hati kami?”
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh lengkingan orang-orang di sekelilingku. Bangunan ini bergetar. Dunia bergoyang keras, mengamuk tak terbendung oleh kami para manusia-manusia hina. Bangunan itu runtuh, satu persatu puing-puingnya ambruk menimpa tubuh kami. Mengubur diri kami dalam sebuah tanda tanya kebimbangan, kegundahan, dan protes beku kami pada ketidakadilan di dalam dunia ini.
***
0 komentar:
Posting Komentar