Dan Malam, Bersenandung
Hari itu adalah hari pertama aku masuk Sekolah Menengah Atas. Semua hari petualangan dalam pencarian sebuah arti dari kedewasaan. Hari pertama masuk sekolah ini bagiku, tiada jauh berbeda dengan hari-hari yang kulalui. Berlalu, berlalu, dan berlalu. Namun, sebuah pristiwa telah merubah sugesti teoritis dalam benakku. Hari itu kini menjadi seberkas prasasti yang hidup yang senantiasa mengalir bersama setiap hembusan napasku. Sesosok rupawan dan sederhana telah menjadi motivasiku. Ia, tidak begitu sempurna jika kita hanya mampu memandang berdasarkan sebuah pendekatan yang fisiologis. Ia sama dengan setiap perempuan yang ada di bumi ini. Lalu, apakah yang membuatnya begitu berbeda? Ya, pertanyaan yang terkadang kurenungkan untuk mencari jawabannya.
“Namaku Ica”, ucapnya singkat.
“Aku adalah siswa yang berasal dari SMP unggulan di kota ini. Motivasi saya menjadi siswa disini adalah saya ingin menjadi seorang siswa yang unggul dalam bidang imtaq dan iptek. Saya bersyukur dapat diterima menjadi siswa baru di SMA unggulan ini. Saya harap saya mampu mewujudkan cita-cita saya menjadi seorang dokter dengan bersekolah disini”, tambahnya dengan penuh semangat.
Aku hanya mampu menghela napas panjang hari itu. Jujur, aku merasakan sebuah perasaan yang asing merangsang hormon adrenalinku. Jantungkku berdetak lebih cepat setiap kali aku menatap wajahnya. Ia begitu sempurna, dengan sepasang mata tajam dan otak yang cerdas. Perkenalannya di depan kelas pada hari itu telah membuat berjuta bintang jatuh di dalam imajinasiku.
Waktu bergulir dengan cepatnya, ketika detik berganti menit, ketika menit berganti jam. Semuanya mutlak terjadi, semua adalah sebuah kekekalan yang tak mampu dibendung oleh siapapun. Semua kata-kata yang diucapkannya seolah telah dicatat oleh sang takdir. Ia memang siswa yang sempurna, hampir setiap mata pelajaran eksak mampu dilahapnya seperti makanan pokok. Sementara aku, bagaikan seorang kakek tua yang tersok-seok mengejar ketinggalanku dari dirinya. Aku dulu tak pernah menganggapnya sebagai orang yang berharga bagi diriku. Ia tak lebih adalah seorang rival yang harus kusingkirkan dalam setiap bidang akademis. Namun, rahasia Tuhan siapa yang tahu. Kompetisi yang senantiasa kualami, kini berbuah menjadi seribu perasaan galau di hati. Wajahnya senantiasa menghiasi setiap kata, prasa, kalimat, paragraf, hingga rima dalam karya-karyaku. Aku begitu bersemangat untuk menggorekan kata-kata pada selembar kertas ketika aku mengingat senyuman di wajahnya.
Pada suatu hari yang sudah kucoba untuk kulupakan. Kurangkai sebait sajak tentang cinta dengan maksud hati menyatakan cinta. Tetapi, apa daya bukankah cinta adalah zat yang universal dan fleksibel. Cinta bukanlah udara yang mampu bereaksi dengan terpaksa dan dipaksa. Sejujurnya, ia menolakku. Sebuah kata-kata yang sulit diterima dan diresapi oleh manusia yang pertama kali mengalami cinta. Dan cinta itu pada saat menjelang sebuah masa yang paling berharga dalam stratifikasi kehidupan manusia. Biarlah semuanya hanya kisah lalu pilu, sebuah kisah yang mengharu biru.
Namun, semuanya tak kuasa kulupakan hingga saat ini. Semua adalah cat pewarna kehidupan bagiku. Haruskah aku melupakan kenangan itu, ketika semuanya telah menumpuk menjadi tumpukan sedimentasi kenangan masa indah antara aku dan dirimu. Suatu kenangan yang mungkin akan kau lupakan suatu saat nanti, akan kau buang jauh-jauh ke dasar relung hatimu. Akan tetapi, bagiku kisah ini adalah mimpi di masa lalu. Kisah yang suatu saat nanti tak akan terulang dan kutemui kembali dimanapun aku berjalan menapaki tangga-tangga petualanganku mengintari kehidupan ini.
. . .
Masa & Air Mata
(Ciputat,18 November 2009)
Kulalui masa . . .
Mengepung keinginan dalam pelita
Menyesak di dalam rintihan air mata
Melambai bersama angin senja
Bergerak perlahan, bebas dan bergerak
Berubah-ubah bersama sunyi
Sembilu perih menggores hati
Mendayu-dayu menjadi satu
Relakan aku membuang waktu
Kubuang sauh,
kemudi diri yang mulai lalu
Berlari setapak demi setapak hadapi hidup
Dari masa, menjadi rasa.
Rasa air mata.
OPTIMIS
(Ciputat, 4 November 2009)
Diantara sunyi,
Meniti bait-bait nada tiada henti
Berjalan jajaki setiap misteri
Dalam sanubari
Terbenam kelam
Pagi tak kembali
Rembulan berlari,
Kukejar mentari
Semua adalah pragmatis tanpa idealis
Dramatis tanpa argumentasi
Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi
Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti
Kulangkah, dan pasti terlewati
Ya. . .Ya . . .Ya
Ya
Aku tulis sebuah testimoni
Antara hati nurani, konsensus-sugesti.
Ketika parade kedilan negeri.
Mati suri oleh suatu institusi.
Lembaga-lembaga rakyat.
Berkarat dan berbau lumpur akherat.
Membusuk!, berulat.
Kemanakah lagi kami harus mencari?
Keadilan!
Kesejahteraan!
Ataukah semua telah diobral?
Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.
Aku bertanya,
Apakah nasib baik sudah tiada?
Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.
Terikat erat tak mampu dilepaskan.
Atau,
Nasib baik bisa diperdagangkan?
Menjadi kepingan keberuntungan,
Menggunung tersimpan,
Menggunung dipestakan.
Namun hambar.
Ya . . . Ya
Semua telah dipintal jadi satu.
Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.
Indah, indah dan mencengangkan.
Tapi,
Mataku, mataku buta tak mampu melihat.
Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.
Ya . . .Ya . . .Ya
Biarkan saja,
Aku
buta,
Tuli,
bisu.
Semua kau yang atur.
Untuk maju atau mundur.
Asal semua teratur.
Bagianmu bisa kuatur.
Atur, atur, atur,
Yang penting akur
Ciputat, 9 Desember 2009
0 komentar:
Posting Komentar