Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

FPI Dan Ketegasan Pemerintah Dalam Demokrasi

Anggapan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap Front Pembela Islam (FPI) mungkin memiliki perbedaan satu sama lainnya. Banyak yang pro, tetapi tidak sedikit juga dari masyarakat yang yang kontra terhadap ormas Islam ini. Kemunculan FPI yang terlahir dari proses berdemokrasi setidaknya memiliki beberapa aspek yang mampu kita amati. Dalam satu sisi FPI bisa dilabelkan sebagai kelompok anarkis, anti perbedaan, ataupun menolak nilai-nilai yang dianggap memiliki interpretasi berbeda dengan paham yang mereka anut. Sedangkan disisi lain, FPI adalah ormas yang keberadaannya berusaha menegakkan dan menyelaraskan nilai-nilai keislaman di dalam masyarakat.

Puncak dari keadaan ini adalah aksi penolakan oleh sekelompok masyarakat etnis Dayak yang mencoba untuk mencegah masuknya kelompok ini ke wilayah mereka di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Tindakan yang mencoba untuk memblokade penyebaran dari FPI ini setidaknya membuka babak baru mengenai pilihan dari masyarakat dalam menyingkapi sebuah organisasi kemasyarakatan dalam proses berdemokrasi di Indonesia.

Adanya FPI yang merupakan konsekuensi dari kehidupan berdemokrasi pada nyatanya memiliki keharusan untuk saling mengerti. Tindakan dan aksi yang sering mereka lakukan setidaknya akan membuat keberagaman persepsi dari masyarakat. Di pandang dalam pendekatan Islam, memang menegakkan Amar Makruf Nahi Munkar, adalah kewajiban bagi setiap muslim. Tetapi, bukankan kita diajarkan untuk mendakwahi seserorang dengan tutur kata yang lemah lembut dan sopan. Bukan sebaliknya, dengan tindakan dan aksi keras.

Melihat hal ini, pemerintah setidaknya harus turun tangan melalui cara lain terlepas dengan cara memperingatkan. Kegiatan dari ormas-ormas yang mengganggu ketertiban harus mendapatkan perhatian yang serius dan seksama dari pemerintah. Bila diperlukan, pemerintah perlu untuk mencabut izin dari ormas tersebut.

Namun dalam sistem demokrasi kemunculan FPI merupakan sebuah keunikan tersendiri. Keberagaman masyarakat yang terlahir dari multi etnis, sangatlah membutuhkan peran serta dari ormas-oramas yang muncul. Meskipun, dalam hal ini peran penting dari perintah untuk terlibat dalam mengawasi keberadaan ormas tersebut sangat ditekankan, terutama terhadap tindakan ormas-ormas yang bersifat anarkis dan mengganggu ketentraman masyarakat.

Di dalam demokrasi keberadaan ormas, hendaklah mengutamakan nilai-nilai kolektivisme kebersamaan untuk menyatukan perbedaan yang timbul di dalam masyarakat. Bukankah Indonesia adalah bangsa yang terlahir dari kesatuan suku-suku bangsa yang saling menghormati satu sama lainnya. Perbedaan dalam satu hal memang merupakan karunia tersendiri bagi bangsa Indonesia. Sebab dengan keberagaman inilah Indonesia dibangun dan dideklarasikan sebagai negara kebangsaan.

Secara implisit tertuang dalam Pancasila secara jelas bahwa perbedaan yang terlahir dari masyarakat Indonesia bukanlah sebuah faktor penghambat. Baik perbedaan secara agama, suku, budaya, bahasa, maupun pemahaman. Adanya semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu jua. Merupakan salah satu harapan dari para pendiri bangsa ini, bahwa perbedaan pemahaman bukanlah sebuah landasan untuk menciptakan perpecahan, tetapi dengan perbedaanlah kita semua diajarkan untuk paham bagaimana nilai-nilai keberagaman menciptakan harmonisasi sosial di Indonesia.[]

Eko Indrayadi

Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009