The First Lady, itulah julukan yang sering terdengar ketika kita membicarakan Ibu Fatmawati. Seorang Srikandi Indonesia yang juga merupakan Ibu Negara Pertama Indonesia. Peran sertanya sebagai seorang istri sekaligus pendamping dari Ir. Soekarno telah menjadikannya sebagai seorang perempuan yang memiliki pengaruh besar dalam proses pemerintahan Indonesia pada masa awal kemerdekaan.
Fatmawati lahir di Bengkulu pada hari Senin tanggal 15 Februari 1923 di Kampung Pasar Malabero. Ia lahir pada saat iklim pergerakan mulai menghangat di persada bumi pertiwi dalam upaya merebut kemerdekaan dari cengkeraman penjajahan kaum kolonial. Fatmawati memiliki arti bunga teratai yang mungkin dimaksudkan agar beliau kelak menjadi sosok tegar dan kuat dalam menghadapi kerasnya perjuangan. Ayahnya bernama Hassan Din dan ibunya bernama Siti Chadidjah. Sebetulnya ayahnya telah menyiapkan dua nama untuk anaknya yang akan lahir, yaitu Fatmawati dan Siti Djubaidah. Namun kemudian nama Fatmawati itulah yang diambilnya.[1]
Ayahnya, Hassan Din adalah seorang Pengurus (pemimpin) organisasi Muhammadiyah cabang Bengkulu. Di samping, juga bekerja di Borsumij (Borneo - Sumatra Maatschappij), yaitu sebuah perusahaan swasta milik orang Belanda. Akan tetapi, ketika Hassan Din dihadapkan pada salah satu alternatif pilihan, beliau memilih keluar dari Borsumij, dan lebih memusatkan diri pada Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sepasang suami-istri ini selanjutnya terlibat aktif dalam perserikatan Muhammadiyah.[2]
Dibesarkan dalam keluarga yang memiliki pondamen Islam yang kuat telah menjadikan dirinya sebagai perempuan yang mandiri dan memiliki prinsip yang kuat. Sikap ini tertanam erat mengikuti didikan keluarga yang senantiasa menanamkan ajaran Islam yang dimulai sejak Fatmawati kanak-kanak. Sebelum ia memasuki usia sekolah, Fatmawati kecil sudah menempa diri dengan mempelajari (mengaji) al-Qur’an kepada kakeknya, maupun kepada para ulama-ulama agama. Fatmawati kecil adalah seorang gadis yang cerdas dan rajin, hal ini dibuktikan dirinya dengan senantiasa mengaji tepat waktu setiap harinya. Selain menyibukkan diri dengan mempelajari berbagai pengetahuan agama Islam, Fatmawati kecil tidak pernah melalaikan kewajibannya untuk membantu kedua orang tuanya dalam bekerja untuk menjaga warung.[3]
Setelah mencukupi umur untuk belajar di sekolah, Fatmawati dimasukkan oleh orang tuanya ke HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930. Namun, semangat belajarnya yang tiada pernah padam telah mengantarkan dirinya untuk bersekolah dan menuntut ilmu agama secara ekstra di Sekolah Standar Muhammadiyah. Jadwal pelajaran yang padat dengan beragamnya ilmu pengetahuan yang diperoleh Fatmawati pada masa kecil hingga masa remaja telah menjadikan diri Fatmawati sebagai seorang gadis yang tidak hanya mapan dalam pengetahuan umum, tetapi juga mengerti secara mendalam tentang pengetahuan agama Islam. Karena itu, wajarlah pada diri Fatmawati yang masih remaja telah mengalami perkembangan yang melebihi kapasitas seorang remaja pada saat itu.[4]
Saat masa kecil hingga remaja, Fatmawati seringkali harus berpindah-pindah tempat. Dari satu tempat ketempat lain, dari satu rumah ke rumah lain, dari satu se kolah ke sekolah lain, mengikuti jejak langkah Ayahnya sebagai seorang pimpinan Syarikat Muhammadiyah di Bengkulu. Pengalaman inilah yang senantiasa menjadi batu asahan dalam menempa mental dan sikap Fatmawati mengenai makna perjuangan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia. Terlebih lagi ketika dirinya bertemu dengan Bung Karno yang pada saat itu mengalami pembuangan oleh pemerintah kolonial di Bengkulu. Fatmawati yang baru menginjak usia 15 tahun, telah mampu diajak dalam perbincangan dan diskusi mengenai filsafat Islam, hukum-hukum Islam, termasuk masalah gender dalam pandangan hukum Islam. Bahkan Bung Karno sendiri sebagai gurunya telah mengakui kecerdasan Fatmawati. [5]
Karena jiwa, semangat, dan ketajaman berpikir terhadap ajaran agama Islam yang telah menempanya, serta ketajaman menyikapi fenomena sosio-kulturalnya, beliau mampu mengoperasionalisasikan fungsi rasionalitasnya sebagai pengendali dari unsur-unsur emosi yang selalu merangsang dalam setiap detik kehidupan manusia. Maka, ketika Bung Karno menyatakan keinginannya untuk memperistri beliau, meskipun secara emosional beliau juga terpikat kuat oleh Bung Karno, tetapi beliau tidaklah mudah untuk menerimanya begitu saja.
Penolakan tersebut, di samping alasan-alasan yang mendasar, juga didasari sikap empati terhadap sesama kaum feminis. Dan disinilah seorang Fatmawati telah matang jiwanya, meneguhkan prinsipnya untuk menolak sebuah tradisi yang bernama poligami, yang dianggap sangat tidak menguntungkan bagi kedudukan dan peranan wanita dalam kehidupan sosialnya. Bahkan kalau boleh dibilang, sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia khususnya, bagi pegawai negeri, seorang Fatmawati telah mendahului masanya dengan tekad, sikap, dan prinsip anti poligami. Oleh karenanya, sudah sangat patutlah bagi generasi muda sekarang, khususnya kaum wanita, untuk mensyukuri, menghormati, serta meneladani, nilai-nilai perjuangan Ibu Fatmawati terutama terhadap harkat dan maratabat kaum wanita Indonesia.[6]
Sikap konsisten untuk anti berpoligami ini terus melekat di dalam diri Fatmawati, hingga pada saat beliau menjadi First Lady Indonesia. Perjuangannya dalam merintis, merebut, hingga mempertahankan kemerdekaan Indonesia telah menjadikan sikap tersebut sebagai prasasti keyakinan yang melekat erat pada diri Fatmawati. Ketika Bung Karno berkeinginan menikah lagi tepatnya pada tanggal 15 Januari 1953 dua hari setelah beliau melahirkan Guruh. Tindakan ini ditanggapi dengan sabar dan tegar oleh Fatmawati dengan menyatakan bahwa ia tetap konsisten terhadap sikapnya yang menentang poligami. Beliau bahkan dengan tegar meninggalkan istana negara ketika tahu dirinya sudah dipoligami. Prinsip ini tetap dipegangnya meski ia harus berpisah dari suami dan anak-anaknya. Walaupun Bung Karno tidak mengizinkan dirinya untuk pergi dari istana.[7]
Tindakan ini terus berlanjut hingga Bung Karno meninggal, Fatmawati tetap tidak mau mengunjungi Bung Karno, terkecuali jasad Bung Karno dibawa ke rumahnya yang ada di Kebayoran Baru. Memang jika dipahami, sikap dari Fatmawati merupakan cerminan dari keteguhan hati seorang perempuan yang dengan konsisten memegang prinsip-prinsip kehidupan. Baginya perempuan bukan hanya sekedar pendamping seorang lelaki yang suatu saat kelak menjadi suami, menjadi seorang pemimpin yang berhak menjadi pengatur sekaligus juga pembimbing rumah tangga yang dibentuk diatas sumpah dan ikatan setia dalam pernikahan. Perempuan lebih dari semua itu, perempuan haruslah memiliki jati diri dan prinsip yang menjadi pegangannya dalam kehidupan. Perempuan bukan mahkluk lemah yang mampu diintimidasi atau bahkan dipoligami atas nama cinta dan kasih sayang.
Perjalanan kehidupan Fatmawati sebagai First Lady Indonesia yang dengan teguh dan konsisten memperjuangkan nilai-nilai anti poligami yang dianut dan dipegang erat olehnya merupakan tauladan dan contoh kepada semua perempuan Indonesia. Sebagai seorang istri, Fatmawati adalah perempuan yang patuh terhadap suaminya, namun sebagai seorang perempuan Fatmawati adalah orang yang memiliki perasaan yang tidak mau dibelah dan dibagi-bagi kedudukannya.