Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Pengadu Nasib Jalanan Kota Jakarta

Jakarta, ibu kota Negara Republik Indonesia yang menyimpan berbagai macam pernak-perniknya. Semua persoalan seolah menjadi kompleks di kota metropolitan ini. Perkembangannya senantiasa dijadikan sebuah manifestasi kebijakan oleh elit-elit penguasa, yang menjadikan ibu kota berbeda dari kota manapun di Indonesia dengan menciptakan sebuah superkultur metropolitan. Ada banyak persoalan realita sosial yang mampu saya tangkap di kota besar ini, mulai dari persoalan kemiskinan yang menghasilkan berbagai macam permasalahan hingga permasalahan kepadatan penduduk dan polusi udara yang kerap memusingkan kepala.


Jakarta secara sosial maupun spasial terbagi secara jelas, dengan kawasan kampung kelas bawah dicirikan oleh kepadatan penduduk yang luar biasa dan kegiatan-kegiatan sektor informal. Salah satu permasalahan penyebab hal ini adalah tingginya urbanisasi yang sering kali melanda kota ini setiap tahunnya. Jakarta bagaikan sebuah magnet yang mampu menarik setiap masyarakat yang berada di seluruh Indonesia untuk bermukim dan mengadu nasib di dalam wilayahnya.


Berdasarkan pengamatan saya, kebanyakan dari para pengadu nasib tidak memiliki kemampuan hidup apa-apa alias modal nekat. Sebagian besar dari pengadu nasib umumnya bekerja di pabrik-pabrik sebagai buruh kasar. Mereka bekerja hanya sebagai tenaga-tenaga pengganti yang suatu saat bisa di-PHK oleh majikannya. Sebagian dari buruh pabrik yang di-PHK terpaksa menganggur dan menjadi salah satu faktor pembentuk berbagai kendala sosial di Jakarta.


Salah satu kendala yang mudah kita jumpai di kota Jakarta adalah pengemis, yang biasanya sering terlihat di seputaran lampu merah. Pengemis merupakan sebuah fenomena sosial. Berdasarkan penelitian sebuah LSM di Jakarta belum lama ini, pendapatan bruto mereka antara Rp. 50.000,- s.d Rp. 100.000,-, dan uang receh yang beredar di tangan para pengemis ini hampir mencapai Rp. 1 milyar perhari.


Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengantisipasi kegiatan mengemis yang semakin marak, salah satunya adalah fatwa haram mengemis yang dikeluarkan oleh MUI Jawa Timur. Dan langkah MUI Jawa Timur ini telah mendapatkan sambutan yang positif dari MUI Pusat. Sedangkan di Jakarta sendiri sebenarnya telah lama dikeluarkan larangan untuk mengemis yang dimuat melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.


Pelarangan terhadap kegiatan mengemis bukan merupakan sebuah bentuk antipati terhadap mereka, namun apabila dibiarkan terus-menerus dan tanpa adanya tindakan pencegahan, kegiatan ini akan menjadi sebuah bibit penyakit sosial yang berakibat timbulnya penyakit malas yang menghinggapi anak bangsa.


Selama tinggal di Cakung saya akrab dengan lingkungan dan orang-orangnya. Salah satu contoh yang dapat saya deskrifsikan mengenai kehidupan pengemis adalah Paijo (35 tahun), laki-laki setengah baya yang terpaksa mengemis akibat dari PHK. Sebelumnya laki-laki asal Jawa Timur yang sering saya temui di dalam Bus Kopaja 512 jurusan Pulo Gadung ini bekerja sebagai buruh serabutan di salah satu pabrik yang berada di kawasan Cakung. Ia merantau ke Jakarta pada tahun 2000 karena tergiur atas ajakan teman satu kampungnya untuk mengadu nasib di Jakarta. Pada awalnya memang nasib berpihak pada Paijo, ia diterima bekerja dengan gaji yang cukup lumayan untuk hidup di ibu kota. Namun, semuanya pupus ketika terjadi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di pabrik tempatnya bekerja pada tahun 2005.


Saya akrab dengan dengan dia karena selalu menaiki bus tersebut. Biasanya ketika saya pulang kuliah senantiasa saya berjumpa dengan Paijo yang memang tinggal satu daerah dengan saya. Paijo biasa memulai pekerjaan mengemis pada pukul 05.30 wib dan pulang pada pukul 22.00 wib. Paijo dan kawan-kawannya biasa mengemis di daerah Pasar Senen hingga ke daerah Monas, Jakarta Pusat.


Paijo terpaksa mengemis karena sulitnya mencari pekerjaan, sebelum mengemis Paijo telah mencoba berbagai upaya dan usaha. Mulai dari berwirausaha dengan berdagang kelontongan hingga berdagang buah-buahan di Pasar Ular, Cakung. Namun, ironisnya ketika tabungannya yang dipakai untuk modal habis, ia tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, Paijo memutuskan untuk menjadi pengemis.


Menurut Paijo, tidak semua pengemis adalah korban pemutusan hubungan kerja. Ada juga diantara mereka yang memang merantau dari desa untuk menjadi pengemis karena terpaksa tidak punya pekerjaan. Paijo juga menambahkan bahwa para pengemis baru biasanya muncul pada saat menjelang bulan puasa. Biasanya pengemis-pengemis ini datang ketika puasa belum dilaksanakan. Paijo juga mengakui, bahwa pada bulan puasa hasil yang didapatkan dari mengemis lebih banyak daripada bulan-bulan biasa.


“Hasil yang didapatkan dari mengemis biasanya berkisar antara Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 50.000,-. Tergantung dari keberuntungan dan keuletan masing-masing pengemis”, ujarnya.


Selain itu, Paijo juga menuturkan bahwa daerah-daerah objek wisata merupakan lahan mengemis yang kondusif dan strategis. karena biasanya para pengunjung sangat antusias untuk memberi. Salah satu tempat lainnya yang sering dia datangi adalah masjid-masjid. Paijo mengaku bahwa umumnya jema’ah masjid legowo dalam memberikan sedekah kepada para pengemis. Akan tetapi, semenjak dikeluarkannya fatwa haram oleh MUI Jawa Timur, jema’ah masjid sudah mulai sedikit yang mau bersedekah secara langsung kepada pengemis. Mereka cenderung memberikan kepada masjid untuk langsung diberikan kepada panti asuhan atau yayasan sosial.


Mengemis jelas merupakan persoalan untung-untungan, terkadang Paijo dan teman-temannya pulang kerumah dengan tangan hampa karena hasil yang mereka dapatkan dipalak secara paksa oleh preman-preman yang biasa mangkal di terminal Pulo Gadung. Mereka biasanya meminta setoran kepada para pengemis sebagai kontribusi kawasan yang dijadikan lahan untuk mengemis. Seperti halnya Paijo, yang sering mangkal di kawasan Pasar Senen. Biasanya preman-preman inilah yang membuat sebuah pengorganisasian terhadap pengemis. Preman ini bertindak sebagai pimpinan dari pengemis yang menyediakan lahan dan pengemislah yang bertugas untuk menggarapnya.


Ketika saya bertanya mengenai apakah dirinya malu menjadi seorang pengemis, Paijo hanya menunduk seraya lirih mengatakan bahwa ia sebenarnya malu, namun tuntutan yang membuatnya berlaku seperti itu. Paijo sebenarnya ingin segera berhenti menjadi seorang pengemis. Ia malu kepada kedua orang tuanya yang berada di kampung. Akan tetapi, Paijo hanya mampu pasrah pada nasibnya. Mengemis adalah satu-satunya cara bagi Paijo dan teman-temannya untuk menyambung hidup di kota metropolitan yang kejam ini.


Paijo pastilah memiliki harapan dan cita-cita, bukan keinginan dari dirinya untuk menjadi pengemis di Jakarta. Paijo berharap suatu hari nanti ia dapat mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga ia mampu menyekolahkan kembali ketiga adiknya hingga ke jenjang sarjana.


Terlepas dari semua permasalahan di atas, tentu apabila kita semua berpikir sistematis dalam menanggapi persoalan yang dihadapi oleh Paijo. Keberadaan pengemis ini merupakan sebuah hubungan kausatif dengan kemiskinan dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia. Pemerintah sudah selayaknya melakukan penanganan serius dalam menanggapi fenomena sosial ini agar tidak terbentuknya sebuah penyakit sosial. Selain itu, peran serta institusi agama juga sangatlah penting di dalam menanamkan sugesti etos kerja di dalam kehidupan. Bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan yang berada di bawah. (*)

B-Pol

(Sebuah Kisah Petualangan Di Jakarta)

0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009