Siang ini begitu panas dengan ratusan butir partikel debu yang terbang silih kemari. Namun, jalanan siang ini begitu hiruk-pikuknya dengan ratusan kendaraan bermotor yang mengepulkan asap hitam yang menyesakkan dada. Wuuush! Angin kemarau menerbangkan debu-debu di jalanan itu. Debu-debu itu kemudian menempel di poster-poster calon bupati di pinggiran jalan itu. Ya, sebentar lagi sebuah pesta demokrasi akan segera dilaksanakan dalam bentuk pilkada. Terhitung ada tiga poster di sana. Detik yang merambat, panas yang semakin menyengat mengisyaratkan bahwa waktu telah melampaui pukul satu lewat tengah hari. Panas dan keringnya udara di jalanan menjadi saksi, tiga poster peserta pilkada saling menghujat satu sama lain. Dimulai oleh poster cabub pertama dari Partai Kodok.
“Ah, bagaimana kalian mau menang pilkada, pasang poster kecil-kecil begitu. Contohlah aku!”, ujarnya pongah.
Ukuran posternya memang lebih besar dari yang lain. Posenya tampak berwibawa dengan setelan jas hitam.
“Kamu ini kan mantan bupati di daerah ini, lalu pendukung dibelakangmu juga partai besar, wajarlah jika danamu cukup untuk membuat poster sebesar itu”, komentar cabub dari Partai Ikan, cabub yang berpose dengan kepalan tangan ke atas bak seorang pejuang rakyat dengan mata yang penuh semangat membara.
“Iya, dananya besar, tapi perlu diragukan kehalalannya!”, sindir cabub dari Partai Bebek yang merupakan adik kelas cabub Partai Ikan sewaktu kuliah.
“Apa maksud ucapan kau, hah?! Jelaslah danaku halal, partaiku besar, akupun kepala daerah ini periode kemarin yang tanpa skandal. Sembarang kau punya mulut!”, cabup Partai Kodok geram.
Poster cabup Partai Bebek dengan senyum renyah serupa coverboy berkomentar.
“Alaaah! Munafik sekali kamu ini. Kamu memang kepala daerah ini tapi tak lebih profersional dari tukang becak. Tidur saja kerjamu, nyolong duit rakyat saja hobimu. Keluarga dekatmu kau berikan kedudukan dan jabatan agar mereka diam ketika melihat ulah kongkalikongmu dalam memanipulasi aliran uang rakyat. Kau berteriak seolah wakil rakyat yang jujur dan amanah, padahal wajahmu itu 1001 warna dalam berkata. Rakyat banyak yang tertipu oleh kebohongan dan busuknya mulut manismu ketika berkampanye. Jika tidak KKN tak mungkin kau bisa beli banyak rumah, empat mobil high class dan sekolahkan anak-anakmu ke luar negeri.”
“Kurang ajar! Lantas kau pikir kau lebih baik daripada aku? Memangnya aku tidak tahu, ijazah sarjanamu itu aspal, asli tapi palsu. Tak pantas kau jadi calon kepala daerah ini!
“Sudah! Sudah! Pusing aku lihat kalian saling hujat! Daerah ini tak akan maju jika para calon kepala daerahnya seperti kalian”, cabub Partai Ikan mencoba melerai.
Suasana pun kembali tenang. Namun, tidak jauh dari ketiga poster yang saling berdebat itu. Terdengarlah tangisan sebuah keluarga yang sudah tiga hari tidak makan karena kepala keluarganya baru saja meninggal dan mereka terpaksa menanggung biaya pengobatan di sebuah rumah sakit pemerintah yang berdiri dengan megahnya. Lalu, sebentar kemudian sebuah truk lewat. Menerbangkan debu-debu yang lantas menempel di poster calon-calon kepala daerah itu.
***