Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Pers Dan Kontrol Penegakan Hukum Di Indonesia

Informatif dan persuasif setidaknya merupakan dua hal yang sangat berpengaruh dalam sebuah opini publik. Kedua sisi ini merupakan syarat simultan dalam proses pembentukan opini dalam arus demokratisasi di sebuah negara yang menganut asas pers yang bebas dan transparan. Keberadaan pers yang bebas, memang memiliki pengaruh ini jelas memiliki efek yang saling bertolak belakang. Pada satu bagian informasi mampu diterima dengan bebas tanpa hambatan, namun pada bagian lainnya. Pers yang terlampau bebas juga akan memaksa hubungan antara negara dan media akan sedikit mengalami pergeseran. Baik ke arah yang lebih harmonis dengan dibawahinya lembaga-lembaga pers oleh negara. Atau justru sebaliknya, pers akan mendapat tantangan dari pemerintah.

Mengamati hubungan tersebut, bagi penulis sendiri akan sangat penting untuk mengamati bagaimana pola-pola hubungan tersebut saling terhubung dan membentuk satu sama lainnya. Pada negara yang masih mengalami transisi demokrasi menuju demokrasi yang terkonsolidasi. Keberadaan pers justru mendapatkan posisi strategis, sebagai pondasi awal membentuk opini publik yang cerdas dan aktual dalam membentuk sikap kritisme dari masyarakat. Oleh karena itu, dalam proses inilah terkadang fungsi pers amat vital peranannya. Agar, terciptanya informasi yang jelas dan berimbang dalam memberitakan berita berita yang transparan tanpa adanya intervensi dari pihak-pihak yang merasa ‘diungkap’ atau diberitakan.

Dalam mengamati bagaimana peran serta pers dalam upaya pembentukan opini publik. Ada baiknya menurut hemat penulis, kita mengamati bagaimana pola-pola ‘tingkah laku’ yang dibentuk pers dalam memberitakan tiga kasus nomer wahid yang memiliki posisi penting pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2. Kasus tersebut adalah kasus yang menjerat Bendahara DPP Partai Demokrat yang notabenya merupakan partai tempat Presiden Yudhoyono berasal, M. Nazaruddin. Kasus cek lawat yang menjerat Nunun Nurbaiti dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia, hingga kepada kasus teraktual. Pemberontakkan atas keadaan yang sudah kian tak menentu oleh Sondang Hutagalung dengan aksi bakar diri, yang merupakan mahasiswa Universitas Bung Karno.

Pada kasus pertama yang mengangkat nama Nazaruddin, pers terlihat memiliki pola prilaku yang berbeda-beda dalam memberitakan. Memang hal ini sangat berkaitan dengan paradigma yang mempengaruhi pers tersebut masing-masing. Tetapi, hal tersebut seakan berubah ketika kita mengamati bagaimana setiap pers mencoba berusaha saling bersaing antara satu sama lainnya dalam memberitakan. Ibarat kata, kasus Nazaruddin adalah tumpukkan gula yang mampu mendongkrak pandangan pers terhadap masyarakat, khususnya bagi pers yang diisi oleh orang-orang yang kontra terhadap pemerintahan.

Namun, melepaskan pada posisi tersebut. Penulis menemukan bahwa perbedaan opini yang dibentuk oleh tiap-tiap pers tidak menyurutkan arus partisipasi dan kritisisme dalam diri masyarakat. Ini terlihat dari bagaimana aktifnya kelompok masyarakat dalam mengikuti perkembangan warta berita yang dibawa oleh pers dalam membentuk opini dari masing-masing mereka. Kembali kepada kasus Nazaruddin, masyarakat terlihat sangat antusias dan pro aktif dalam mengamati bagaimana proses pengadilan yang terjadi di negeri ini. Nazaruddin yang menjadi terdakwa dalam dugaan penyelewengan dana Wisma Atlet. Tepat pada hari senin, 8 Agustus 2011 mantan bendahara partai demokrat nazarudin ditangkap ketika berusaha ingin kabur dari Kolumbia.

Perjalanan nazaruddin yang dimulai semenjak 23 Mei lalu menuju Singapura, Malaysia, Vietnam, Argentina, Madrid, dan Kolumbia memang merupakan petualangan yang begitu panjang. Dalam waktu kurang dari 2 bulan kemudian Interpol bersama dukungan KPK, Polri, dan Kedutaan berhasil mewujudkan cita-cita 250 juta jiwa di Indonesia untuk memulangkan nazaruddin. Ketika senin malam kemudian dilakukan pengujian DNA dan sidik jari untuk memastikan bahwa orang yang ditangkap memang benar-benar nazaruddin, akhirnya tidak berselang lama kemudian hasil itu merujuk positif bahwa memang dia orang yang sedang dicari-cari oleh Indonesia. Nama nazaruddin memang sebenarnya sudah berkeliaran semenjak bulan Februari 2011. Akan tetapi media mulai mempublikasikan di bulan Mei karena terkait kasus suap wisma atlet SEA Games Palembang yang menelan milliaran rupiah. Yang menjadi kesalahan dasar pada bulan Mei adalah, ketika KPK baru memberikan surat pencekalan satu hari setelah nazaruddin melancong ke Singapura.. Dan semenjak itulah perburuan internasional dilakukan banyak pihak.

Apabila kita lihat modus operandi yang digunakan oleh nazaruddin terkesan mirip dengan apa yang dilakukan oleh terdakwa Gayus T. Gayus T ketika tercium bermasalah dalam kasus pengemplangan pajak beberapa perusahaan besar kemudian mulai bernyanyi di beberapa negara. Tindak pidana yang dilakukannya pun juga mirip yakni tindak pidana pencucian uang, suap, korupsi, dan pemalsuan paspor. Apabila sudah ada dua orang yang memiliki identitas sama dalam kisah tindak pidananya. Maka bisa jadi otak dari mereka berdua adalah sama. Inilah yang harus kita telisik bersama sehingga tansil dan nunun pun dapat ditangkap dalam tempo dekat ini. Hal yang lebih menakutkannya lagi adalah nazaruddin jangan-jangan memiliki bakat juga untuk menghancurkan sistem hukum di Indonesia seperti yang sudah dilakukan oleh Gayus T ketika berhasil kabur dari Rutan dan menyuap oknum kepolisian, kejaksaan, sampai dengan kehakiman. Perkara ini yang akan menjadi phobia bagi masyarakat Indonesia. Sidang Gayus T di akhir bulan Juli 2011 saja masih menemui kebuntuan ketika pengadilan Tipikor sudah melakukan pembuktian terbalik murni dengan 4 dakwaan. Oleh karena itu kita perlu mencermati modus operandi ini agar tidak jatuh pada masalah yang sama.

Memang, jika kita amati. Ada sedikit kejenuhan yang dialami oleh masyarakat yang sudah mulai merasa bosan terhadap kasus tersebut. Publik sudah mulai cenderung ke arah apatis dan pesimis terhadap kasus ini. Tetapi, kembali kepada permasalahan utama, peran pers dalam membongkar kasus Nazaruddin masih terlihat sangat diperlukan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, yang saya kutip dari okezone.com Sabtu (6/8/2011). "Kayaknya harapan yang paling realistis menyelesaikan kasus Nazar adalah pers, karena penegak hukum tidak meyakinkan lagi dan pemerintah tidak tegas. Jangan-jangan pers yang mampu, melalui pemberitaan," ujar Agus dalam diskusi Polemik Trijaya di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Dari pernyataan tersebut, terlihat secara jelas bahwa pers memang masih diperlukan dalam pemecahan kasus dan penggiringan opini publik untuk membongkar kasus-kasus yang terselubung atau bahkan mustahil untuk diungkap oleh tangan hukum yang sudah mulai mengalami kebisuan. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajaran apabila pers masih relevan dan vital dalam proses demokrasi, karena meskipun tidak termasuk ke dalam lembaga vital pemerintahan dalam trias politica. Pers merupakan salah satu unsur bagian dari kelompok kepentingan yang punya posisi penting dalam mengawal dan melaksanakan tujuan reformasi di Indonesia.

Pada kasus kedua, yang menyangkut kepada masalah penyuapan dalam pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia. Kasus Nunun, sepertinya berada di atas kasus Nazaruddin, jika kasus Nazaruddin hanya berkutat pada wilayah pembagian dana hasil korupsi, maka kasus Nunun terlihat lebih kompleks dan rumit. Nunun, yang merupakan istri dari mantan Wakapolri Adang Dorodjatun terlihat kebal dari hukum. Anggota DPR RI dari Fraksi PKS ini, sangat berbeda dari DPR RI lainnya yang satu persatu mulai masuk ‘kursi pesakitan’ untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum. Tetapi, sayangnya hal tersebut seakan tidak berdampak apa-apa jika berhadapan dengan Nunun Nurbaiti. Penegakkan hukum, ibarat tangan kosong yang tidak mampu berbuat apa-apa. Meskipun paspornya dicekal, bahkan menjadi buronan polisi internasional Nunun Nurbaiti masih mampu dengan pongahnya pergi melancong ke seluruh negara untuk menyembunyikan diri.

Pada kasus kedua ini, selain berkutat pada masalah penegakan hukum yang terkesan tebang-pilih. Kasus ini juga melibatkan nepotisme dalam hukum yang dilakukan oleh aparat penegakan hukum, sangat berbeda sekali dengan kenyaatan yang diungkapkan oleh pemerintah yang ingin bersikap adil secara hukum, serta menindak tegas setiap tindakan pidana korupsi hingga ke akarnya. Sekali lagi, peran pers dalam mengungkap kasus Nunun kembali dibutuhkan. Pers dibutuhkan peranannya untuk membantu, sekaligus mengawal aparat hukum negara dan KPK dalam hal mengungkap aliran dana suap yang tentu sangat penting dan ingin diketahui publik, siapa yang memberikan uang untuk menyogok para anggota DPR dalam kaitannya pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Gultom? Adakah uang itu milik Nunun Nurbaiti pribadi? Atau uang yang digunakan menyogok para anggota DPR dari pihak lain? Untuk mengungkap hal tersebut, peran pers dalam hal melakukan kontrol terhadap penegakan hukum sangat dibutuhkan terlebih dalam mengungkap kasus Nunun Nurbaiti yang mungkin saja merupakan seorang kurir dari mavia hukum di Indonesia.

Sedangkan pada kasus yang ketiga, penulis melihat. Adanya sikap pesimis yang diperlihatkan sang pelaku sekaligus korban Sondang Hutagalung terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia. Ada beragam versi yang diberitakan oleh pers mengenai tindakan Sondang melakukan bakar diri, atau bisa kita sebut bunuh diri. Banyak yang mencaci dan menyanyangkan, tetapi banyak juga yang menilai tindakannya sebagai tindakan heroik sebagai simbol keputusasaan atas penegakkan hukum serta ketidakadilan yang terjadi di Indonesia. Seperti yang penulis kutip dalam Voanews.com yang berjudul SBY Sampaikan Belasungkawa untuk Keluarga Korban Tewas Aksi Bakar Diri. Dalam berita tersebut SBY menyampaikan belasungkawa mendalam untuk keluarga pelaku bakar diri, Sondang Hutagalung. SBY berharap kasus ini tidak terulang di masa yang akan datang.

Namun, setidaknya. Terlepas dari permasalahan tersebut. Ada beberapa hal yang dapat kita semua cermati dari ketiga kasus di atas. Pertama, peran pers dalam menggiring wacana pada proses demokratisasi masih sangat penting. Mengingat betapa besar peran pers dalam membentuk kondisi budaya kritik dan tanggap terhadap situasi dan kondisi sosial-politik yang ada di dalam sebuah negara, khususnya Indonesia. Kedua, mencari pers yang benar-benar independen dan tidak berpihak pada suatu pihak sangat sulit sebab pers, pada masa sekarang lebih terfokus kepada kelompok kepentingan yang lebih kepada dua pilihan, pro atau kontra terhadap pemerintah. Ketiga, pers merupakan kekuatan kontrol yang memiliki peran sebagai media penggring opini. Penggerak gerakan moral sosial dalam mengawasi jalannya proses pemerintahan.[]

0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009