Memahami perkembangan kondisi Islam di Asia Tenggara, khususnya di negara Filipina, Thailand, serta Malaysia. Umumnya tidak bisa kita lepaskan dari bagaimana proses pertautan dan hubungan Islam di negara tersebut. Perbedaan budaya, sistem politik, hingga kepada aktualisasi permasalahan yang berbeda, telah menjadikan perbedaan perjuangan yang mengkristal kepada munculnya hambatan-hambatan mengenai peranan eksistensi Islam di ketiga negara itu. Perbedaan itu akan tampak semakin jelas ketika kita mencoba untuk mengamati beragam persoalan yang muncul dan berkembang.
Dalam konteks sosial-politik, permasalahan tersebut memang pada nyatanya sangat berkaitan dengan persoalan hubungan Islam yang terbentuk di negara-negara tersebut. Memang, pada dasarnya Islam hanyalah sebuah agama yang bersifat teologis yang secara substantif diakui oleh negara sebagai sebuah sistem kepercayaan masyarakat. Tetapi, jika kita tela’ah lebih jauh. Islam memiliki posisi tawar sebagai kekuatan politik yang mampu dan selayaknya mempunyai peranan yang krusial terhadap negara. Mengingat itu, kemunculan permasalahan Islam dan politik dalam hubungannya dengan negara memiliki variabel yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Di negara Filipina misalnya, Islam memiliki problematika yang khas dalam kaitan permasalahannya dengan perjuangan memperoleh pengakuan atau ‘eksistensi’ secara nasional. Pada sisi ini, Islam di Filipina mencoba berupaya untuk mendapatkan legitimasi dari pemerintah dalam usaha memperoleh keadilan. Pemerintah Filipina yang terkesan memarginalkan kelompok Islam di Mindano atau yang lebih dikenal dengan Bangsa Moro, telah menjadikan sebuah un-trust dari kelompok ini kepada pemerintah.
Memang sejujurnya penulis akui, permasalahan utama yang muncul di Filipina pada dasarnya adalah mengenai pengakuan dan lunturnya kepercayaan kelompok-kelompok muslim yang ada di negara ini. Bangsa Moro yang dianggap lebih dekat kepada identitas masyarakat Melayu yang identik dengan roh keislaman daripada kelompok etnis lainnya seperti Indios apalagi Spinard yang juga merupakan suku bangsa Filipina, namun menganut agama mayoritas Katolik. Memang, hal ini tidak bisa disalahkan. Secara kuantitatif dari jumlah keseluruhan penduduk Filipina sebesar 101.833.938 jiwa, mayoritas penduduk filipina memeluk agama kristiani dengan presentase 80%, dan agama-agama lain seperti animisme, islam dan budha dengan presentase 10% dari total jumlah penduduk di filipina[1]. Pada awal mulanya mayoritas penduduk filipina merupakan pemeluk agama islam akan tetapi setelah kolonialisme masuk yang di tandai dengan datangnya bangsa spanyol dan adanya kristenisasi di filipina presentase jumlah umat islam pun drastis menurun.
Jumlah kelompok Islam yang minoritas inilah yang menjadi penyebab utama persoalan konflik hubungan antara Bangsa Moro yang mendiami wilayah Filipina. Problem ini, semakin meruncing dengan adanya keingininan dari Bangsa Moro untuk menentukan nasibnya sendiri (right to self-determination). Masalah, yang juga disebabkan oleh persoalan kemiskinan, ketertinggalan pembangunan, rendahnya pendidikan, minimnya pekerjaan, diskriminasi, hingga permasalahan stigma dianggap sebagai terorir telah menjadikan konflik ini semakin besar[2].
Tidak salah, jika penulis mengatakan bahwa sebagai umat Islam yang minoritas di Filipina. Bangsa Moro selalu berada dalam tirani keterasingan yang diakibatkan oleh penjajahan. Lepas dari penjajahan yang diakibatkan oleh Spanyol selama lebih dari tiga abad (1521-1898), Bangsa Moro berada dalam kekuasaan Amerika Serikat hampir selama lima dekade (1898-1942). Berikutnya Jepang menguasai mereka selama tiga tahun sampai akhirnya berada dalam kekuasaan Republic of Philippines, pada 4 Juli 1946[3].
Perjuangan untuk memperoleh pengakuan, sekaligus kemerdekaan bagi diri Bangsa Moro telah berlangsung sejak lama hingga masa saat ini. Dimulai dari munculnya Moro National Liberation Front (MNLF) pada akhir tahun 1960-an yang dipimpin oleh Nur Misuari, Moro Islamic Liberation Front (MILF) tahun 1981 pimpinan Salamat Haasyim. Lahirnya MILF adalah respon dari ketidakpuasan terhadap MNLF yang dianggap kurang tegas dalam memperjuangkan hak-hak Bangsa Moro dan terlalu akomodatif dengan pemerintah Filipina[4].
Belakangan, aksi yang pada mulanya bersifat soft dan kooperatif berubah sejak kemunculan Abu Sayyaf Group pada awal tahun 1990-an yang dipimpin oleh Abdulrazak Janjani. Namun, secara gerakan kelompok ASG sangat berbeda dengan kedua kelompok pendahulunya. Dalam melakukan aksi, ASG cenderung bersifat non-kooperatif sehingga digolongkan sebagai foreign terrorist organization oleh pemerintah Amerika Serikat, karena disinyalir acapkali menimbulkan teror di Filipina. Hal inilah yang mendasarkan kedua organisasi, MNLF dan MILF memiliki keterkaitan dengan Abu Sayyaf Group. Memang, gerakan revolusioner ini di satu sisi mampu membuat pemerintah Filipina kembali memikirkan keadaan Bangsa Moro yang teralenasi. Tetapi di sisi lain, keberadaan segelintir pihak yang menempuh jalan radikal ini sangat merugikan Bangsa Moro. Akibat krusialnya adalah terjadinya generalisasi dan stigmatisasi bahwa Bangsa Moro identik dengan teroris[5].
Negoisasi dalam menyelesaikan permasalahan Bangsa Moro dan pemerintah Filipina sendiri sudah lama dilaksanakan. Baik dalam skala internal melalui usaha nasional, maupun secara eksternal melalui usaha internasional, dengan proses skala regional dan global. Salah satunya melalui perantara OKI (Organisasi Konferensi Islam) yang sering mengikutsertakan negara Libya, Indonesia, dan Malaysia sebagai fasilitator. Pencapaian terakhir dari hasil perundingan Bangsa Moro dan pemerintah Filipina adalah dicapainya status otonomi khusus dengan nama ARMM (Autonomous Region of Muslim Mindanao) pada 1 Agustus 1989, buah perjanjian antara pemerintah Filipina dan MNLF, menghasilkan kesepakatan bahwa ARMM terdiri dari enam provinsi yaitu tiga di daratan Mindanao: Maguindanao, Lanao del Sur, Shariff Kabunsuan dan tiga di kepulauan Sulu: Sulu, Basilan, Tawi-Tawi. Jumlah penduduk di enam provinsi mayoritas Muslim tersebut mencapai hampir tiga juta jiwa[6].
Di samping ARMM, bentuk akomodasi lain terhadap bangsa Moro oleh pemerintah Filipina adalah pemberlakuan Code of Muslim Personal Laws of the Philippines pada tahun 1977[7] yang mengatur urusan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, dan kewarisan) masyarakat Muslim Filipina. Selanjutnya, beberapa mahkamah syariah dibentuk dan hakim-hakim syariah ditunjuk. Di bidang ekonomi Islam, Philippine Amanah Bank, yang beroperasi di kalangan Muslim, dibentuk pada tahun 1974 oleh mantan Presiden Ferdinand Marcos.
Namun, terlepas dari permasalahan agama. Bangsa Moro juga memiliki masalah lain, yakni masalah kemiskinan. Kemiskinan di ARMM adalah yang paling buruk di Filipina. Pendapatan per kapitanya hanya PhP (Philippina Peso) 3.433 pada tahun 2005. Pada saat yang sama, rata-rata pendapatan per kapita di 16 region yang lain adalah PhP 14.186[8]. Sungguh ironis, jika kita amati. Sementara, region termiskin kedua di Filipina, pendapatan per kapitanya masih dua kali lebih baik daripada ARMM.
Kesulitan dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi masyarakat Muslim Moro ada hubungannya dengan deskriminasi secara agama yang diberlakukan. Setidaknya sebagaimana yang diungkapkan oleh Evelyn dalam Heru Susatyo (2005) bahwa, “Penduduk Muslim sukar mendapatkan pekerjaan di kantor-kantor pemerintah maupun di pertanian umum, hanya karena mereka muslim.”[9]
Meskipun secara nyata tidak ada kebijakan pemerintah Filipina yang secara terang-terangan mendiskriminasikan penduduk Muslim. Namun, berhubung karena mayoritas penduduk Filipina adalah Kristen (Katolik dan Protestan), maka banyak kebijakan yang memang dirumuskan sesuai dengan kehendak mayoritas dan akhirnya merugikan minoritas. Sebagai contoh, kebijakan memindahkan penduduk Filipina non-muslim ke Mindanao atas nama pembangunan akhirnya cenderung meminggirkan kaum minoritas di Mindanao, yaitu Bangsa Moro.
Keadaan yang tidak singkron yang terjadi pada Bangsa Moro. Antara keberadaan ruhnya sebagai Islam Melayu, sementara fisiknya adalah Pinoy telah memaksa bangsa ini untuk terus tanpa henti bernegoisasi. Menegoisasikan hak-haknya untuk menentukan nasib sendiri di tengah mayoritas Pinoy yang bersamaan ras, bahasa, dan warna kulitnya tetapi berbeda secara kultur, agama, maupu ideologi. Karena selain, dihinggapi oleh beragam persoalan mengenai kemiskinan, pengangguran, dan rendahnya pendidikan, serta stigma sebagai teroris yang melekat sebagai lebel atas mereka.
Hampir sama permasalahannya dengan keadaan kelompok Muslim yang menjadi kelompok minoritas di Filipina. Keadaan kelompok muslim yang ada di Thailand juga tidak jauh berbeda. Sangat berbeda jauh dengan paradoks predikat yang disandang oleh Thailand sebagai the land of smile. Konflik politik di Thailand seringkali terjadi. Kudeta yang silih berganti tanpa henti, telah menjadikan negeri ini cenderung sarat konflik. Sejak tahun 1932, awal mula monarki konstitusional diperkenalkan untuk membatasi hak-hak dan otoritas kerajaan tak kurang dari 59 kali pergantian kekuasaan dan 18 kali kudeta dengan cara damai maupun melalui kekerasan[10].
Perdana Menteri Thailand bahkan telah berganti sebanyak 29 kali. Namun, uniknya, dalam transisi tersebut sejak tahun 1932, baru empat kali saja pergantian raja. Raja Bhumibol Adulyadej, yang kini berkuasa, bahkan telah berkuasa sejak tahun 1946 tanpa putus. Memang, pengaruh seorang raja dalam politik mendapatkan posisi yang istimewa di Thailand. Lepas, dari faktor sejarah tersebut. Peristiwa yang paling fenomenal acapkali menjadi ‘duri dalam daging’ mengenai pergolakan perpolitikan di Thailand. Salah satunya adalah pada tahun 2008, dimana dalam jangka priode satu tahun Perdana Menteri Thailand berganti tiga kali[11].
Tahun 2008 juga ditandai dengan semakin peliknya konflik antar masyarakat Thailand yang memiliki anspirasi dan ideologi politik yang berbeda-beda. Salah satu puncaknya adalah pemblokiran dan penutupan Bandara Suvarnabhumi, bandara keempat tersibuk di Asia dan kedelapan belas terbaik di dunia, oleh massa pendukung People’s Aliliance for Democracy (PAD) selama delapan hari. Aksi PAD menutup bandara ini adalah untuk mendongkel pemerintahan yang berkuasa sejak tahun 2005[12].
Hal lain yang menarik dari dinamika politik Thailand adalah penggunaan cara pembangkangan sipil (civil disobedience), sebagai alat untuk menekan penguasa dan ketidakberdayaan negara memberangus pembangkangan tersebut. Gerakan masssa untuk menentang penguasa ini telah terjadi berulang kali. Beberapa yang bersejarah adalah gerakan mahasiswa 14 Oktober 1973 sebagai reaksi terhadap pemerintahan otoriter Field Marshall Thanom Kittikachon. Kemudian gerakan mahasiswa 6 Oktober 1976 yang dimotori mahasiswa Thammasat University dalam rangka menentang kembalinya Field Marshall Thanom dari tempat pengasingannya. Lalu gerakan rakyat Mei 1992 yang populer dengan nama Black May dan menelan korban 52 orang tewas[13].
Dan akhirnya, gerakan massa pada tahun 2005 hingga sekarang yang dimotori People’s Alliance for Democracy (PAD) dan lawannya The Nation United Front of Democracy Against Dictatorship (UUD) atau Democratic Alliance Against Dictatorship (DAAD). Aliansi pro pemerintah yang didirikan pada tahun 2006 untuk mendukung mantan PM Thaksin dan menentang junta militer[14].
Setelah melihat bagaimana mobilisasi politik di Thailand. Dalam perkembangan selanjutnya, timbul pertanyaan mendasar di benak penulis mengenai posisi minoritas muslim Thailand di tengah hiruk pikuk konflik sipil ini? Sejatinya banyak muslim di Thailand memilih bersikap netral dan tidak mengambil posisi pada satu kubu. Walaupun banyak juga Muslim yang mendukung PAD. Ini terlihat dari beberapa pendukung PAD yang terlihat menggunakan jilbab dan tetap menggunakan kaos kuning. Alasan mereka memilih PAD tidak lain adalah karena keberadaan Partai Demokrat yang manyoritas pendukungnya berada di Thailand Selatan, tempat di mana banyak Muslim Thailand berada.
Ibarat buah simalakama, posisi minoritas Muslim yang ada di Thailand nyaris tidak pernah diutungkan dari adanya konflik horizontal yang muncul tersebut. Kedua kelompok amat jarang membawa isu yang mengakomodasi kelompok Muslim. Kalaupun membawa isu konflik di Thailand Selatan, yang menimbulkan penderitaan bagi Muslim, lebih untuk kepentingan sesaat.
Namun, di balik faktor tersebut. Rasa enggan yang muncul dan timbul dari kelompok minoritas Muslim untuk berpihak kepada salah satu kubu lebih kepada masalah ideologi. Banyak Muslim yang ada di Thailand merasa bukan menjadi bagian dari negara ini. Utamanya Muslim di selatan Thailand yang secara kultur dan geografis lebih dekat kepada Melayu. Bergabungnya tiga provinsi di Selatan Thailand: Pattani, Yala, Narathiwat adalah kehendak dari Inggris dan Thailand melalui perjanjian tahun 1909. Sama sekali tidak melibatkan atau mendengar suara dari rakyat di tiga provinsi tersebut. Di samping itu, pemujaan yang secara berlebihan terhadap raja Thailand menimbulkan resistensi lain. Akidah Islam melarang adanya pemujaan yang secara berlebihan terhadap sosok pemimpin karena akan menimbulkan sikap syirik terhadap Tuhan. Posisi raja yang berkuasa lebih dari 62 tahun ini begitu sakral dan istimewa di mata rakyat non Muslim Thailand.
Secara historis, Muslim di Thailand Selatan memang tidak berakar secara kultural maupun genealogis dengan penduduk Thai yang lain. Dahulu, mereka merupakan bagian dari warga kerajaan Muslim Pattani yang kemudian dianeksasi oleh kerajaan Siam pada abad ke 18. Proses pemaksaan aneksasi secara politik ini telah menyebabkan kelompok Muslim di Thailand hidup sebagai kaum minoritas di tengah mayoritas Budhist. Kendati berpenampilan fisik sama, namun perbedaan agama, bahasa, dan budaya telah membuat benturan dua kekuatan di Thailand, Muslim dan Budhis. Meskipun keduanya saling tolerensi satu sama lain. Tetapi, perasaan termarginalkan juga muncul sebagai gerakan separatis, sebagai usaha untuk memperoleh pengakuan dari Thailand, meskipun seringkali dianggap tindakan pemberontakan yang menentang simbol-simbol kerajaan di Thailand.
Berbeda dengan keadaan Thailand dan Filipina. Permasalahan yang dihadadapi oleh Muslim di Malaysia tidak menyangkut hak-hak mereka sebagai kaum minoritas yang termarginalkan oleh negara. Melainkan lebih kepada tekanan yang diberikan oleh etnis Cina dan India yang merasa dijadikan sebagai warga kelas dua akibat kebijakan pemerintah Malaysia melalui kebijakan NEP (New Economic Polucy). Tekanan yang diberikan oleh kelompok India dan Cina, seakan mulai menggerus keistimewaan masyarakat Melayu yang banyak mendapatkan keistimewaan sebagai etnis dominan di Malaysia.
Pacca kerusuhan etnis pada 13 Mei 1969, kontroversi Kebijakan Ekonomi Baru dikeluarkan oleh Perdana Menteri Tun Abdul Razak. Dari kebijakan ekonomi baru Malaysia menjaga keseimbangan politik-etnis yang lunak, dan mengembangkan peraturan yang unik menggabungkan pertumbuhan ekonomi dan aturan politik yang menguntungkan bumiputera (sebuah grup yang terdiri dari etnis Melayu dan kaum pribumi) dan warganegara Malaysia yang menganut agama Islam[15].
Antara 1980-an hingga awal 1990-an, Malaysia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat di bawah pimpinan Dr. Mahathir bin Mohammad, perdana menteri keempat Malaysia. Dalam periode ini terjadi peralihan dari ekonomi berdasarkan agrikultur menjadi produksi dan industri dalam bidang komputer dan barang elektronika rumahan[16].
Pada akhir 1990-an, Malaysia diguncang krisis finansial Asia. Oposisi ke beberapa aspek dalam sistem yang ada membawa jatuh pemerintah. Oposisi dari sosialis dan reformis sampai partai yang mengadvokasikan pembentukan negara Islam. Pada 2003, Dr. Mahathir, perdana menteri yang menjabat terlama di Malaysia, mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan kepada Abdullah Ahmad Badawi. Pemerintahan baru mengadvokasikan pandangan moderat negara Islam yang didefinisikan oleh Islam Hadhari[17].
Kelahiran NEP sebagai inisiatif penting pacsa kerusuhan merupakan ujung tombak dari pemerintahan kebijakan Malaysia dalam memperjuangkan apa yang mereka sebut dengan kesetaraan antara etnis Melayu dengan etnis lain, khususnya Cina, serta sebagai solusi yang dianggap tepat oleh pemerintah untuk mengatasi ketimpangan ekonomi yang berlarut antara antara etnis Melayu yang tertinggal kemampuan ekonominya. Kemudahan melalui pemeberian keistimewaan untuk mendongkrak perekonomian masyarakat Melayu, melalui NEP cukup berhasil dengan banyaknya pengusaha-pengusaha dari kelompok Melayu yang mulai bangkit di Malaysia.
Selain, terlepas dari kebijakan NEP tersebut. Dalam konteks Malaysia, Melayu dan Islam sering dilihat sebagai satu komponen yang sangat sulit untuk dipisahkan. Bila individu tertentu berasal dari etnis Melayu maka secara langsung akan diidentifikasikan beragama Islam. Dalam kondisi yang lebih ekstrim, etnis selain Melayuyang memeluk Islam akan dikatakan "Masuk Melayu" dan akan meninggalkan identitas asal etnis mereka. Pandangan ini diperkuat dengan Konstitusi Federasi yang mengatakan, "Melayu artinya seseorang yang menganut agama Islam, Fasih berbicara bahasa Melayu, menurut adat istiadat Melayu[18]".
Dalam politik Malaysia, Melayu dan Islam ini, sering disandingkan secara bersama. Ia dijadikan sebagai ideologi partai. Tidak jarang sebagian orang menilai bahwa ini keliru karena Secara umum terdapat perbedaan yang jelas antara Melayu dan Islam. Melayu adalah etnis dan perjuangan yang berbasis etnis dicap sebagai nasionalisme.
Dalam konteks perpolitikan Malaysia, UMNO dan PAS dilihat sebagai dua partai terbesar yang mendukung ideologi Melayu-Islam dalam perjuangan politik mereka. Kedua partai sering bersaing dalam pemilihan umum demi mempertahankan ideologi masing-masing. UMNO lebih dilihat memperjuangkan nasionalisme Melayu. Untuk PAS pula, ideologi yang diperjuangkan adalah Islam. Namun dalam kondisi tertentu, PAS juga seolah-olah dilihat lebih mementingkan Melayu dalam tindakan politik mereka. Ini membawa pada persepsi PAS hampir sama dengan UMNO yang memperjuangkan kepentingan Melayu dan pada waktu yang sama membantah kepentingan etnis lain[19]. Atas persepsi ini maka muncul saran agar PAS dan UMNO membentuk gagasan ‘untuk mempersatukan mereka' demi kesejahteraan rakyat. Gagasan ini mendapat tidak disetujui oleh kelompok internal PAS sendiri, tetapi disambut dengan tangan terbuka oleh pihak UMNO. Sehingga hari ini, ide mempersatukan mereka masih tidak menentu, tetapi tidak pernah dilupakan kedua pihak ini.
Akan tetapi, terlepas dari permalahan tersebut. Keberadaan Islam di Malaysia lebih cenderung dilekatkan kepada permasalahan etnisitas yang bersaing dalam sektor-sektor perkonomian. Meskipun, keberadaan etnis Melayu di dalam tatanan politik mendapatkan posisi terhormat, tetapi dalam sektor perkonomian. Masyarakat etnis Melayu yang ada di Malaysia harus bersaing secara kompetitif dengan masyarakat Cina dan India. Meskipun mendapatkan perlakuan yang istimewa melalui NEP, etnis Melayu mengalami ketertinggalan dari etnis lain yang ada di Malaysia.
Sementara itu, kembali kepada permasalahan awal mengenai permasalahan Islam dan hubungannya dengan negara yang ada di Filipina, Thailand, dan Malaysia. Penulis menemukan bahwa permasalahan utamanya terletak pada masalah etnis, meskipun memiliki paradigma yang berbeda. Masalah hubungan Islam dan negara di Filipina dan Thailand, lebih kepada permasalahan Islam sebagai kelompok minoritas yang seringkali termarginalkan akibat kebijakan-kebijakan yang merugikan komunitas Muslim di negara tersebut. Sedangkan, di Malaysia. Permasalahan etnis lebih kepada persaingan secara ekonomi yang mempengaruhi hajat hidup masyarakat. Keberadaan kelompok etnis Melayu yang identik dengan keislaman yang mengalami marginalisasi akibat ketidakmampuan mereka mengendalikan sektor ekonomi, serta pemberlakuan NEP telah menjadi pisau bermata dua di Malaysia. Meskipun di satu sisi, ini mampu mendongkrak perekonomian masyarakat Melayu. Tetapi di sisi lain, tindakan ‘pemanjaan’ ini dapat berakibat kepada menurunnya kualitas dari masyarakat Melayu untuk berkompetisi secara bebas dari etnis Cina yang ada di Malaysia.
Sebagai sesama anggota ASEAN, sekaligus sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di Asia Tenggara. Posisi Indonesia, amatlah berpengaruh dalam hal menentukan masa depan ketiga negara tersebut[20]. Khususnya, mengenai konflik yang terjadi terhadap minoritas Muslim yang ada di Filipina dan Thailand. Indonesia selama ini, mungkin telah berperan aktif sebagai negara fasilitator yang berperan untuk memediasi konflik di negara tersebut. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan melalui ASEAN. Selama empat dekade keberadaannya, ASEAN telah mengalami banyak perubahan serta perkembangan positif dan signifikan yang mengarah pada pendewasaan ASEAN.
Kerjasama dan penyelesaian permasalahan konflik Islam sebagai minoritas di negara Thailand dan Filipina, setidaknya mampu mendapat titik terang mengingat akan dibentuknya Komunitas ASEAN (ASEAN Community) pada tahun 2015. Tujuan dari pembentukan Komunitas ASEAN ingin lebih mempererat integrasi ASEAN dalam menghadapi perkembangan konstelasi politik internasional. Setidaknya akan membuka peluang baru bagi Indonesia untuk menciptakan perdamaian antara kelompok Muslim yang ada di Thailand dan Filipina.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menjadi juru negoisator untuk negara yang sedang berkonflik tersebut. Indonesia mampu memberikan resolusi penyelesiaan permasalahan yang menyangkut soal internal negara tersebut dengan ikut mengawasi dan terlibat secara aktif memberikan solusi penyelesaian. Tetapi, sayangnya. Permasalahan tersebut tidaklah mudah untuk diselesaikan mengingat masalah Islam yang ada di Filipina dan Thailand senantiasa mendapat ‘cap’ sebagai kelompok terorisme yang bersifat separatis dan mengancam kedaulatan sebuah negara.
Tetapi, dalam benak penulis. Konsep terbaik yang dapat dilakukan Indonesia melalui ASEAN adalah melakukan kerja sama dengan negara tersebut dalam menuntut pemberian otonomi khusus, meskipun seringkali terbentur permasalahan kepentingan politik di masing-masing kelompok diinternal negara. Hal ini lebih baik daripada harus memutuskan sebuah referendum ‘kemerdekaan diri’ seperti yang terjadi pada Bangsa Moro di Filipina, dan provinsi Pattani, di Thailand Selatan. Di samping itu, Indonesia juga harus mampu memberikan penjelasan kepada pemerintah negara tersebut untuk lebih bersikap adil dan tidak mendiskriminasikan kelompok minoritas Muslim yang ada di negaranya. Namun, hal yang paling krusial adalah Indonesia harus mampu melakukan pendekatan budaya dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Sebelum mencoba memutuskan bagaimana usaha maksimal yang harus dicapai dalam menyelesaikan konflik yang ada di Thailand dan Filipina melalui Komunitas ASEAN.[]
Daftar Referensi
Anang, Chai Samudavanija. Old Soldier Never Die, They are just bypassed. ANU Press, 2007.
Jafar, Kamarudin. Islam Dan Kebangsaan Melayu. Prentice-Hall Inc, Edisi Indonesia 2004.
Mohammad, Mahathir. The Early Years 1947-1972. Berita Publishing, Kuala Lumpur: 1995.
Rudolf, YF. Gerakan Militansi Islam Di Asia Tenggara. LIPI, Jakarta: 2003.
Susatyo, Heru. The Jurnal Of Muslim Traveller. Lingkar Pena, Jakarta 2009.
Zaini, Fadilah. Hubungan Etnik Di Malaysia. Universiti Teknologi Malaysia Press, Johor Baru: 2005.
Website Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Filipina (Diakses pada Rabu, 11 Januari 2012 pukul 20.00 wib)
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=68382 Diakses pada Rabu, 11 Januari 2012 pukul 20.00 wib)
http://www.antaranews.com/berita/284477/pengamat-kepemimpinan-indonesia-sangat-diharapkan Diakses pada Rabu, 11 Januari 2012 pukul 20.00 wib)
[2] Heru Susatyo, The Jurnal Of Muslim Traveller, (Jakarta: Lingkar Pena, 2009), hal. 13.
[3] YF. Rudolf, Gerakan Militansi Islam Di Asia Tenggara, (Jakarta: LIPI, 2003), hal. 21.
[4] Ibid, hal. 25.
[5] Ibid, hal. 25.
[6] Ibid, hal. 27.
[7] Ibid, hal. 27.
[8] Heru Susatyo, The Jurnal Of Muslim Traveller, (Jakarta: Lingkar Pena, 2009), hal. 15.
[9] Ibid, hal. 16
[10] Chai-Anang Samudavanija, Reading Break: Old Soldier Never Die, They are just bypassed, (ANU Press: 2007), hal. 2-3.
[15] Kamaruddin Jafar, Islam dan Kebangsaan Melayu, (Kuala Lumpur: Yayasan Anda, 1980), hal. 31.
[16] Dr. Mahathir Mohamad, The Early Years 1947-1972, (Kuala Lumpur: Berita Publishing, 1995), hal. 65
[17] Ibid, hal. 75.
[18] Fadilah bt Zaini dan Kassim b Thukiman, Hubungan Etnik Di Malaysia, (Johor Bharu: Universiti Teknologi Malaysia, 2005), hal. 30.
[19] Ibid, hal. 33.
[20] http://www.antaranews.com/berita/284477/pengamat-kepemimpinan-indonesia-sangat-diharapkan
*Ditulis Sebagai Makalah Tugas Akhir Politik Asia Tenggara