Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Komunikasi Politik 3 Presiden Indonesia: Antara Gus Dur, Mega, Hingga SBY

Sebelum kita membahas mengenai bagaimana implementasi dari komunikasi politik pada beberapa presiden, yang dimulai sejak masa pemerintahan Gus Dur (1999-2001), Megawati (2001-2004), hingga masa sekarang pada pemerintahan SBY (2004-sekarang). Penulis perlu bagi kita semua untuk memahami beberapa teori komunikasi politik sebagai alat analisis dalam melihat lebih jelas mengenai bagaimana proses implementasi tersebut dilaksanakan dalam tiap-tiap periode pemerintahan yang berbeda-beda.

Secara khusus, dalam melihat proses komunikasi politik seseorang. Perlu adanya 3 hal yang harus kita pahami, sebagaimana yang diungkapkan oleh Tjipta Lesmana (2009), ketiga hal tersebut ialah: pertama,karakteristik komunikasi politik yang dilakukan. Kedua, konsistensinya dalam menjalankan komunikasi tersebut, dan ketiga, bentuk implementasi dari komunikasi politik yang dijalankan.[1]

Pada aspek karakteristik menurut Tjipta, ada beberapa indikator yang perlu dilihat dan diamati, diantaranya: dalam konteksnya (konteks tinggi atau rendah), tingkat emosinya (cepat marah atau cool), sikap terhadap kritik (alergi terhadap kritik atau menghargai kritik), dan kecepatannya dalam mengambil sebuah keputusan. Pada aspek konsistensi, kita melihat apakah ucapan dan pernyataan pemimpin (presiden) biasanya konsisten atau justru cenderung berubah-ubah. Pada aspek implimentasi, kita harus mengamati apakah terdapat konsistensi antara pernyataan/ucapan dengan kebijakan yang dikeluarkan olehnya.

Pola komunikasi seorang pemimpin diakui tidak bisa dilepaskan dari tipe kepemimpinan orang itu: apakah dia termasuk pemimpin otoriter, democratik, atau laissez-faire (membebaskan)[2]. Pada pemimpin otoriter, menurut Rivai (2003), kepemimpinan otoriter adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga kekuasaanlah yang paling diuntungkan dalam negara. Robbins dan Coulter (2002) menyatakan gaya kepemimpinan otoriter mendeskripsikan pemimpin yang cenderung memusatkan kekuasaan kepada dirinya sendiri, mendikte bagaimana tugas harus diselesaikan, membuat keputusan secara sepihak, dan meminimalisasi partisipasi bawahannya. Lebih lanjut Sukanto (1987) menyebutkan ciri-ciri gaya kepemimpinan otoriter, adalah sebagai berikut: 1.Semua kebijakan ditentukan oleh pemimpin, 2. Teknik dan langkah-langkah kegiatannya didikte oleh atasan setiap waktu, sehingga langkah-langkah yang akan datang selalu tidak pasti untuk tingkatan yang luas,
3.Pemimpin biasanya membagi tugas kerja bagian dan kerjasama setiap anggota.
Sedangkan menurut Handoko dan Reksohadiprodjo (1997), ciri-ciri gaya kepemimpinan otoriter; 1. Pemimpin kurang memperhatikan kebutuhan bawahan.
2.Komunikasi hanya satu arah yaitu kebawah saja, 3. Pemimpin cenderung menjadi pribadi dalam pujian dan kecamannya terhadap kerja setiap anggota, 4.Pemimpin mengambil jarak dari partisipasi kelompok aktif kecuali bila menunjukan keahliannya.[3]

Sedangkan pada pemimpin yang demokratis, ditandai dengan adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Dibawah kepemimpinan demokratis bawahan cenderung bermoral tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri. Menurut Robbins dan Coulter (2002), gaya kepemimpinan demokratis mendeskripsikan pemimpin yang cenderung mengikutsertakan bawahannya dalam pengambilan keputusan, mendelegasikan kekuasaan, mendorong partisipasi karyawan dalam menentukan bagaimana metode kerja dan tujuan yang ingin dicapai, dan memandang umpan balik sebagai suatu kesempatan untuk melatih bawahannya. Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis menurut Sukamto: 1. Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan dari pemimpin, 2. Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk tujuan kelompok dibuat, dan jika dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih, 3. Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan pembagian tugas ditentukan oleh kelompok. Lebih lanjut ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Handoko dan Reksohadiprodjo, 1997):1. Lebih memperhatikan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi, 2. Menekankan dua hal yaitu bawahan dan tugas, 3. Pemimpin adalah obyektif atau fact-minded dalam pujian dan kecamannya dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam jiwa dan semangat tanpa melakukan banyak pekerjaan.[4]

Pada pemimpin dengan tipe laissez-faire (kendali bebas), mendeskripsikan pemimpin yang secara keseluruhan memberikan karyawannya atau kelompok kebebasan dalam pembuatan keputusan dan menyelesaikan pekerjaan menurut cara yang menurut karyawannya paling sesuai (Robbins dan Coulter, 2002). Menurut Sukanto (1987) ciri-ciri gaya kepemimpinan kendali bebas adalah : 1. Kebebasan penuh bagi keputusan kelompok atau individu dengan partisipasi minimal dari pemimpin, 2. Bahan-bahan yang bermacam-macam disediakan oleh pemimpin yang membuat orang selalu siap bila dia akan memberi informasi pada saat ditanya, 3. Sama sekali tidak ada partisipasi dari pemimpin dalam penentuan tugas, 4. Kadang-kadang memberi komentar spontan terhadap kegiatan anggota atau pertanyaan dan tidak bermaksud menilai atau mengatur suatu kejadian.[5]

Dalam hubungannya dengan pengambilan keputusan, ketiga tipe kepemimpinan di atas memiliki karakteristik dan perbedaan tersendiri. Pada pemimpin otoritarian, keputusan cenderung bersifat satu arah dengan keputusan mutlak berada di tangan pemimpin. Kecenderungan memutuskan permasalahan tanpa masukan dari bawahan, serta memiliki sifat memaksa adalah ciri khas dari bentuk kebijakan dari kepemimpinan ini.

Pada kepemimpinan demokratis, pemimpin cenderung lebih bersifat terbuka dan fleksibel terhadap masukan dari bawahannya. Ia cenderung lebih nyaman memutuskan sebuah persoalan melalui beragam masukan dari bawahan. Meskipun pada akhirnya keputusan berada di tangannya.

Sedangkan pada kepemimpinan laissez-faire, pemimpin lebih bersifat terbuka. Ia bahkan memberikan kebebasan penuh kepada para bawahannya untuk membuat keputusan dalam mewakili wewenangnya. Hal ini, karena pada tipe kepemimpinan laissez-faire, pemimpin telah mendelegasikan sebagian dari wewenangnya untuk digunakan dan dilaksanakan oleh bawahannya. Namun, ia tetap bertanggung jawab terhadap atas pelaksanaan keputusan.

Perbedaan tersebut juga memiliki kecenderungan berpengaruh terhadap sikap mereka terhadap kritik, apalagi dikecam. Pemimpin otoriter nisalnya, ia sangat anti terhadap kritik, ia selalu memiliki anggapan bahwa dirinya lah yang paling benar, paling tahu, dan bijak. Oleh karena itu, ia sangat tidak mentoleransi adanya perbedaan pendapat di dalam pemerintahan.

Sebaliknya, pemimpin demokratis selalu melibatkan staf/pembantunya dalam mengambi keputusan. Ia berusaha mendengar berbagai pendapat, menghimpun, dan menganalisis pendapat-pendapat tersebut untuk kemudian diambil pilihan yang paling dipandang tepat. Ia kadang tidak firmed ketika melaksanakan keputusan karena ia kadang goyah memperoleh begitu banyak masukan dalam proses implementasi kebijakan. Secara teoritis, ia bisa menerima kritik. Kritik dibalas pula dengan kontra-kritik. Ia percaya bahwa kebenaran bisa diperoleh dengan hadirnya wacana publik yang melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat.

Pemimpin laissez-faire tidak terlalu pusing dengan jalannya pemerintahan. Ia memberikan full delegation of authority kepada para pembantu di bidangnya masing-masing. Perannya terbatas kepada pengatur. Perbedaan lain antara ketiga tipe kepemimpinan ini adalah pada aspek orientasi yang mereka tuju. Pada pemimpin otoriter, orientasi yang dituju umumnya pada tugas atau task-oriented. Pada tipe demokratis, orientasi yang dituju adalah pada orang, apresiasi tinggi pada staf dan sumbangan pemikiran dari mana pun. Sedang yang laissze-faire, orientasinya terkesan kabur. Ia seperti terlampau serius menangani permasalahan sebab dianggap sudah ada pembantunya yang bekerja untuk itu. Ia pun tidak terlampau apresiatif terhadap individu-individu pembantunya. Kalau mereka dinilai tidak bagus kinerjanya, setiap saat bisa dicopot.

Sebagai bentuk analisis dari teori yang penulis jabarkan di atas, ada baiknya kita mulai proses pengamatan mengenai bagaimana proses komunikasi politik ketiga presiden Indonesia, yaitu: Gus Dur, Megawati, dan SBY. Untuk lebih jelasnya akan penulis jelaskan di bawah ini:

  1. Komunikasi Politik Pada Masa Gus Dur

Secara umum komunikasi Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan dalam dirinya yang cenderung terbuka dan sosok yang humoris. Ini diungkap oleh Mohammad Sobari dalam Tjipta Lesmana[6], yang mengungkap bahwa Gusdur merupakan sosok yang bisa diakses dengan mudah, bahkan oleh orang yang baru dikenal olehnya. Sikap ini merupakan pembawaan dari kultur pesantren yang dimiliki oleh diri Gus Dur yang memiliki kecenderungan untuk bersifat terbuka kepada siapa saja, bahkan menyangkut persoalan pribadinya sekali pun.

Namun, tidak selamanya Gus Dur cenderung terbuka. Dinyatakan juga oleh Sobari dalam Tjipta (2009), bahwa terkadang apabila diajak bicara mengenai permasalahan politik. Gus Dur memiliki sikap yang berhati-hati dan kadang tidak secara langsung mengutarakan pendapatnya.

Secara langsung dalam komunikasi politiknya, Gus Dur seringkali menggunakan guyonan sebagai bagian dari komunikasi politiknya. Meskipun, berkesan tidak serius. Sikap ini tidak bisa dilepaskan dari pola komunikasi Gus Dur, hingga menjabat sebagai Presiden Indonesia pada tahun 1999. Memang, secara komunikasi politik. Gus Dur cenderung memiliki komunikasi yang bersifat aktif dengan konteks low. Kebiasaan Gus Dur menggunakan bahasa yang ‘merakyat’ membuat setiap komunikasi yang dikeluarkan olehnya mudah diterima dan dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat.

Kelebihan dan kekurangan

Komunikasi politik Gus Dur cenderung bersifat dua arah, ia tidak berkesan mendikte siapa pun dalam memberikan keputusan maupun perintah. Gus Dur juga memiliki sikap yang terbuka terhadap bawahannya dalam mengeluarkan dan menciptakan perbedaan pendapat maupun pandangan dalam menilai sebuah jalan penyelesaian dalam sebuah persoalan politik.

Hal ini dinyatakan Ryas Rasjid[7], yang menyatakan bahwa Gus Dur secara komunikasi sangat terbuka sekali. Bahkan terhadap orang yang baru dikenalnya sekalipun. Sebagai pribadi yang demokratis, Gus Dur juga sangat menghargai perbedaan diantara para bawahannya. Namun, kelebihan yang dimiliki Gus Dur dalam berkomunikasi. Senantiasa menimbulkan kelemahan dalam dirinya. Ia cenderung senang sekali berkomunikasi tanpa memikirkan dampak dan akibatnya. Selain itu, Gus Dur juga seringkali hanya bersifat mendengarkan tanpa menguji terlebih dahulu beragam informasi yang disampaikan kepada dirinya. Akibatnya, terdapat kecenderungan munculnya wacana yang kontroversial yang muncul dihadapan publik akibat dari ketidakjelasan informasi tersebut.

Ini terlihat dari dari tanggapan Gus Dur yang secara langsung terhadap munculnya isu makar terhadap kepemimpinannya oleh kelompok TNI, tanpa menilai apakah isu itu benar-benar obyektif. Padahal isu tersebut hanyalah sejumlah perbincangan kosong diantara para menteri pada saat makan malam dalam rombongan presiden. Pertemuan antara beberapa Jenderal dengan Hariman Siregar di Jalan Lautze dianggap Gus Dur sebagai upaya pemakzulan dirinya selaku presiden. Padahal, itu hanyalah pertemuan anggota LSM yang sifatnya sosial semata.

Tidak hanya lepas pada persoalan tersebut. Harian Rakyat Merdeka edisi 19 Maret 2001 (hlm 16)[8] menulis bahwa hingga Maret 2001 Presiden Gus Dur paling sedikit sudah melemparkan 11 kali tuduhan yang termasuk kategori ‘ngibul’. Tuduhan-tuduhan tersebut diantaranya:

ü Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan, Soeripto, melarikan Tommy Soeharto dengan menggunakan helikopter Gatari.

ü Laksamana Sukardi, Menteri Negara BUMN, memasukkan maling-maling ke kantor BUMN.

ü Jusuf Kalla (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat) terlibat KKN dalam proyek listrik.

ü Tommy Winata terlibat dalam praktik perjudian di Kepulauan Seribu.

ü Pengakuan Aryani disertai bukti-bukti pakaian Gus Dur dianggap fitnah.

ü Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, melakukan KKN di Derektorat Jenderal Imigrasi.

ü Pengakuan Rusdihardjo mengenai dugaan keterlibatan Gus Dur dalam kasus Buloggate di depan Panitia Khusus Buloggate-Brunei Gate (DPR) dinilai menyebarkan fitnah.

ü Tiga Pangdam mbalelo dan mau menjatuhkan pemerintahannya.

ü Ada 10 anggota MPR yang menjadi biang kerok masalah nasional.

ü Ginandjar Kartasasmita, mantan Menteri Pertambangan dan Energi, mendalangi aksi-aksi mahasiswa yang menuntut pengunduran diri Gus Dur.

ü Akbar Tandjung menangis tersedu-sedu di pangkuan Gus Dur.

Pers Pada Masa Pemerintahan Gus Dur

Akan tetapi, terlepas dari hal tersebut. Gus Dur selama menjabat sebagai presiden sangat harmonis. Meskipun sering dikritik secara tajam. Gus Dur tetap, berkesan sebagai pribadi demokrat yang setia mendengarkan beragam keluhan masyarakat terhadap kepemimpinannya. Ketika Gus Dur terpilih menjadi presiden, suhu politik mereda jauh sekali dibandingkan tahap liberalisasi pers sebelumnya. Masa pemerintahan RI di bawah Gus Presiden Dur inilah yang merupakan tahap kedua liberalisasi pers. Tahap yang diwarnai oleh kejenuhan publik akan proses politik dan harapan yang semakin kuat akan pulihnya perekonomian nasional, dan terutama, ekonomi rakyat. Titik jenuh telah terlampaui, dan minat publik terhadap informasi politik pun semakin berkurang pula. di zaman Gus Dur, kebebasan pers mengalami kejayaan; puncaknya pembubaran Departemen Penerangan[9].

  1. Komunikasi Politik Pada Masa Megawati

Pada masa pemerintahan Megawati, bentuk komunikasi politik yang terbentuk cenderung bersifat tertutup dan pasif. Ia lebih banyak menunggu daripada menanggapi sesuatu yang sifatnya publik. Senada dengan hal ini, Laksaman Sukardi dalam Tjipta Lesmana[10] menyatakan, bahwa dalam kategori pemimpin bangsa kita, dapat dilihat dari tiga tipe; pertama, pemimpin yang pintar sekali dan memahami masalah. Kedua, pemimpin yang tidak memahami masalah sama sekali. Kalau yang pertama decesive orangnya karena dia tahu masalahnya. Pemimpin yang tidak memimiliki eksposur dan kapasitas, cenderung menyerahkan masalah kepada para pembantunya. Kategori yang ketiga, pemimpin yang setengah-setengah. Di satu sisi, ia percaya kepada pembantunya. Di sisi lainnya, seringkali ia merasa ragu-ragu dalam menghadapi permasalahan.[11]

Megawati, menurutnya termasuk ke dalam tipe yang kedua. Pemimpin yang tidak memahami masalah. Mungkin kalau masalah keamanan dan intelejen ia cukup tahu. Tapi, kalau masalah ekonomi ia sangat kurang. Bahkan cenderung sedikit sekali terfokus, kecuali menyerahkan kepada para pembantunya. Sedang dalam karakteristik komunikasi politiknya, Mega cenderung hanya terbuka terhadap orang yang dirasakan olehnya memiliki kedekatan khusus. Ia bisa berbicara berbicara berjam-jam lamanya, dan pembicaraan bisa menjadi sangat tidak informal. Ini pun berlanjut kepada proses pengambilan keputusan. Mega, cenderung memberikan kebebasan kepada para pembantu yang memiliki kedekatan emosional dengannya untuk mengambil keputusan.[12]

Kelemahan Dan Kelebihan

Umumya semua informan dalam pengamatan Tjipta Lesmana[13] mengungkapkan bahwa pola komunikasi politik yang dilaksanakan oleh Megawati cenderung bersifat tidak efektif. Mega lebih suka diam, atau menebar senyum daripada berbicara. Senyum yang hanya dia sendiri yang paham apa maksudnya. Pidatonya pun terasa hambar dengan sangat terpaku pada teks bacaan. Tidak ada body language yang mampu ditampilkan oleh dirinya. Selain itu ia juga tidak responsif dalam berbicara dalam arti sulit diajak. Dia cenderung lebih senang diajak berbicara mengenai hal-hal yang terkait dengan kewanitaan, seperti masakan, belanja, dan berkebun. Mungkin ini wajar, jika dilihat dari kapasitas intelektual seorang Mega yang cenderung ‘kurang’. Sehingga ia sangat sulit memahami persoalan yang bersifat teoritis dan taktis, meskipun ia secara langsung sadar dan mengerti secara substansi.

Pers Pada Masa Megawati

Kebebasaan pers kembali pasang surut, tarik ulur kebebasan pers pada masa pemerintahan Megawati. Perjalanan pers kembali mandek, kasus yang menimpa Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka, Supratman didakwa menghina presiden Megawati Soekarno Putri kala itu presiden RI. Supratman dijerat pasal 134 jo pasal 65 ayat 1 KUHP) dengan ancaman hukuman penjara selama 6 tahun. Supratman bertanggungjawab atas judul “Mulut Mega Bau Solar”, berita tanggal 8 Januari 2003 yang berjudul “Mega Lintah Darat” dan edisi 30 Januari 2003 yang berjudul “Mega Lebih Ganas Dari Sumanto“ Mega Cuma Sekelas Bupati”.

Salah satu yang perlu disoroti adalah mengenai persoalan interaksi antara pers dan presiden. Jika pada masa Gus Dur, interaksi ini cukup luas dan harmonis. Pada masa Mega, pers cenderung lebih dikekang dengan adanya aturan protokoler yang hanya memperbolehkan kelompok wartawan untuk wewawancarai pada waktu-waktu yang telah ditentukan saja.

  1. Komunikasi Politik SBY (Jilid 1 dan 2)

Sebagai seorang yang sangat mengerti arti kesempurnaan dalam segala tindakan. SBY senantiasa mempersiapkan segala hal yang terkait dengan dirinya dengan matang dan seksama. Tidak berbeda kaitannya dengan masalah komunikasi yang dilaksanakan oleh dirinya. Tetapi sayangnya, komunikasi politik pada pemerintahan SBY cenderung bersifat lambat dan penuh pertimbangan. Memang, sejak masa pemerintahannya pada masa yang pertama. SBY sudah menunjukkan sikap ini sebagai keraguannya dalam mengambil keputusan, meskipun terkadang sikap ini merupakan pembawaan dari tipe kepemimpinannya yang cenderung perfectionist dalam menghasilkan keputusan[14].

Sebagai sosok yang perfectionist, SBY selalu berbicara dengan ekstra hati-hati. Bahkan kata yang keluar dari bibirnya seolah diartikulasikan secara cermat. Bahasanya jelas dan sangat konseptual. Tentu hal ini sangat menyulitkan beberapa menterinya untuk segera paham apa maksud yang ingin disampaikan oleh SBY. Dari segi komunikasi, menurut Tjipta (2009), SBY tampaknya merupakan perpaduan antara cara berkomunikasi Soeharto dan Habibie. Dikatakan low context, ya sebab seperti yang dikatakan oleh Juwono, SBY jarang menggunakan bahasa bersayap.[15]

Namun, jika pernyataan-pernyataan SBY dianalisis secara cermat, kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa SBY juga sering berbicara dengan konteks tinggi. Mungkin lebih tepat jika komunikasi politik SBY dikategorikan lower high context. Dua faktor yang mungkin jadi penyebabnya adalah, pertama karena adanya kegemaran dalam dirinya dalam menggunakan analogi dalam menggambarkan sesuatu permasalahan. Kedua, kebiasaan SBY tidak berbicara to the point yang seringkali menyampaikan hanya hakikat dari permasalahan.

Salah satu contoh tentang kebiasaan SBY dalam melakukan analogi diungkapkan oleh Tjipta pada saat SBY melakukan pidato mengenai pemberantasan korupsi di penghujung tahun 2007. Salah satu isi pidato tersebut menyatakan, “Karena kelalaian kita, dulu banyak yang pesta. Pesta di hutan, pesta di bisnis dengan bisnis KKN, dan mengambil uang negara. Mereka lupa mencuci piringnya; piringnya kotor. Kita cuci bersama-sama piringnya sekarang. Tetapi jangan diganggu. Kita mencuci piring akibat kekotoran yang selama ini terjadi di negeri kita.”[16]

Secara jelas dalam kutipan pidato tersebut. SBY menganalogikan proses pemberantasan korupsi sama halnya dengan kegiatan mencuci piring. Memang di satu pihak bahasa yang digunakan oleh SBY memiliki kelebihan tersendiri dalam menyampaikan keadaan dan kondisi politik. Namun, permasalahan akan menjadi semakin berlarut-larut ketika tidak adanya posisi sikron antara SBY dan bawahannya yang diberikan intruksi melalui informasi tersebut.

Dalam komunikasi politiknya pada pemerintahan yang kedua. Tidak banyak perubahan dalam pola-pola komunikasi yang seringkali disampaikan olehnya. Namun, SBY sepertinya sudah mulai mengandalkan komunikasi yang berbentuk personal dan emosional. Sebagaimana Megawati. SBY, cenderung memiliki kedekatan komunikasi yang emosional dengan para menteri yang dianggao memiliki kedekatan pribadi dengan dirinya.

Kelebihan Dan Kekurangan

Pada masa pemerintahan SBY nuansa kultur Jawa, mulai terasa kembali meski tidak sekental pada masa Soeharto. Salah satunya adalah mengenai sikap SBY yang memposisikan dirinya sebagai pemimpin yang seringkali tidak berbicara terus terang atau to the point mengenai permasalahan yang ingin disampaikan olehnya. SBY cendrung lebih menekankan pada hakekat masalah tanpa menyinggungnya secara langsung. Akibatnya, seringkali berdampak pada keputusan-keputusan politik yang dibuat oleh dirinya.

SBY seingkali terjebak pada permainan high context. Sehingga memunculkan ketidakberanian dari dirinya untuk berbicara terus-terang kepada publik. Bahkan berakibat kepada, reaksi yang membingungkan. Dengan demikian, komunikasi politik SBY sering mencerminkan karakternya yang tidak bisa dimengerti dan dipahami. Banyak sekali hal yang berakibat fatal akibat, tindakan SBY yang peragu. Memang, di lain pihak SBY ingin memposisikan dirinya sebagai rekonsiliator dan seorang tokoh dengan pola politik santun dan penuh pertimbangan. Tetapi, hal tersebut akan berdampak pada tidak efektifnya kebijakan yang dibuat olehnya, meski terkadang dengan penuh perimbangan dan jangka waktu yang lama.

Pers Pada Masa SBY

Di bawah SBY, kebebasan pers Indonesia dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat. Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, sedikitnya lima tahun mendatang, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media).

Pers diposisikan SBY sebagai mitra kerja sekaligus alat pengritis pemerintahannya. Meskipun terkadang berjiwa demokratis dan menerima kritik. SBY juga merupakan sosok yang cenderung memiliki sikap anti terhadap kritik pers. Memang, secara pencitraan SBY, acapkali menanggapi persoalan pemberitaan yang tidak penting dalam pemerintahannya. SBY bisa menjadi sosok yang ‘melow’ dan menganggap dirinya korban yang teraniaya ketika diri dan keluarganya dikecam oleh pers.

Memang pada awal pemerintahannya. SBY dan pers memiliki hubungan yang sangat baik. Beberapa kali ia mengundang pimpinan media untuk berdialog di belakang istana. Ia juga seringkali membuka kebebasan kepada media untuk berdiskusi mengenai beragam masalah apa saja yang ada di Indonesia. Tetapi, hubungan harmonis ini tidak berlangsung lama. Ketika Kabinet Indonesia Jilid 1 berumur 1 tahun, dan pemerintahannya mulai mendapat banyak kritik dan kecaman dari beberapa pers melalui pengamat politik. SBY mulai merasa gerah dan melontarkan omelan-omelannya terhadap pers melalui pidato kenegaraan dan pers istana untuk menandingi dan meredam isu tersebut.[]



[1] Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, (Jakarta: Gramedia, 2009), halaman prakata

[2] Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, (Jakarta: Gramedia, 2009), halaman prakata

[3] Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 31

[4] Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 33

[5] Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 35

[6] Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 181

[7] Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 183

[8] Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 185

[10] Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 243

[11] Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 245

[12] Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 247

[13] Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 247

[14] Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 316

[15] Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 317

[16] Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 319

0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009