Bagian 1
PENDAHULUAN
Soekarno dan Moh. Hatta merupakan Dwi tunggal yang jasanya tidak bisa dilupakan begitu saja dalam membangun negeri ini. Peranan besar yang telah dilakukan oleh kedua orang ini, terutama dalam hal memerdekakan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan akan selalu terpatri sebagai jasa-jasa yang tidak akan tergerus selamanya oleh masa. Memang, jika kita amati. Sosok kedua Bapak bangsa ini merupakan pribadi yang unik satu sama lainnya. Pribadi yang saling melengkapi dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada diantara mereka.
Sebagai sosok yang memiliki label penggerak massa, Soekarno memiliki peranan sebagai pemain depan yang dengan jelas terlihat bagaimana pola pikir dan cara berbicaranya ketika berada di depan podium untuk berpidato. Soekarno adalah Singa Podium yang berjuluk “penyambung solidaritas rakyat”. Ia memainkan peran dalam menyampaikan pesan persatuan dan kesatuan untuk tercapainya Indonesia merdeka.
Berbeda dengan sosok Soekarno. Moh. Hatta adalah sosok yang lebih bersifat ‘dibelakang layar’. Visi dan misinya yang berbentuk konsep mampu memberikan jalan yang lebih luas bagi Soekarno untuk menciptakan jalan dalam menghadapi kendala dan rintangan dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. Moh. Hatta juga memiliki kecenderungan sebagai seorang administratur yang mampu memposisikan diri sebagai konseptor handal dalam menyusun beragam strategi untuk mencapai usaha tersebut.
Namun, terlepas dari semua hal tersebut. Merupakan hal yang unik dalam benak penulis ketika dihadapkan dalam sebuah penelitian literatur untuk mentela’ah dalam perspektif perbandingan pemikiran kedua tokoh ini. Memang, jika dilihat. Perbedaan mendasar antara kedua tokoh dalam melihat dan mengati persoalan-persoalan yang berkaitan tentang Nasionalisme, Demokrasi, Islam, dan Ekonomi. Akan senantiasa mampu menjadi ‘batu asahan’ sekaligus ‘mata pisau’ bagi kita semua untuk lebih obyektif lagi melihat pemikiran dan sumbangsih kedua tokoh besar ini dalam dinamika perkembangan masalah sosial-politik di Indonesia.
Bagian 2
BIOGRAFI SOEKARNO DAN HATTA
2.1 Biografi Soekarno
Ir. Soekarno lahir di Blitar pada 6 Juni 1901. Ayahnya Raden Sukemi Sosrohadihardjo, adalah seorang priyayi rendahan yang bekerja sebagai Guru sekolah Dasar. Ibunya Nyoman Rai berdarah biru dari Bali dan beragama Hindu. Pertemuan mereka terjadi ketika Raden Sukemi, yang sehabis menyelesaikan studi di Sekolah Pendidikan Guru Pertama di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali. Di sanalah mereka bertemu, saling menjalin kasih dan jatuh cinta, lalu berakhir dengan pernikahan. Namun, pernikahan mereka tidak berjalan mulus akibat tidak mendapat restu dari pihak perempuan yang menganggap tindakan yang mereka berdua lakukan melanggar adat. Akhirnya, dengan pemikiran yang matang kedua pasangan baru ini pun meninggalkan Bali dan menetap di Surabaya setelah kelahiran anak pertama mereka yang bernama Soekarmini.
Dalam biografi Bung Karno (Cindy Adams, 1966) diceritakan bahwa pada mulanya ibu Soekarno, Ida Nyoman Rai adalah seorang gadis pura yang tugasnya membersihkan rumah ibadah setiap pagi dan petang. Bapaknya yang bekerja sebagai guru sekolah rendahan milik pemerintah Kolonial Belanda di Singaraja dan setelah selesai mengajar sering pergi ke Pura tempat ibunya bekerja untuk mencari ketenangan. Pada ssuatu hari ia melihat ibunya Soekarno. Dan pertemuan ini terus berlanjut dan berbuah cinta. Hubungan ini terus berlanjut hingga Sukemi mendatangi orang tua dari Ida Nyoman Rai untuk memohon doa restu dan melamar. Tetapi, ia ditolak karena dianggap dari jawa dan Islam. Namun, mereka tetap nekat untuk menikah. Akibatnya, harus menanggung konsekuensi untuk diasingkan dari adat dan keluarga masyarakat Bali.
Di kota Buaya inilah tempat mereka berdua mengadu nasib setelah merasa terasingkan oleh pihak sanak keluarga yang ada di pulau Dewata. Selama di Surabaya, Raden Sukemi kembali melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang guru. Tidak lama berselang setelah kepindahannya, Soekarno akhirnya lahir. Awalnya ia diberi nama Kusno, tetapi karena sering sakit dan berdasarkan mimpi yang dialami oleh ayahnya setelah melakukan tirakat. Ayahnya mengubah nama Kusno menjadi Soekarno. Hal itu terjadi ketika ia berumur lima tahun. Nama Soekarno secara etimologis berasal dari nama seorang ksatria, Karna, seorang panglima perang dalam kisah Bhrata Yudha yang berpihak kepada Kurawa melawan Pandawa. Walaupun Karna sadar bahwa ia berada pada pihak yang salah, tetapi ia rela berkorban demi kesetiaannya kepada Kurawa. Karena itu, menurut Frans (1982) tidak sedikit dari orang Jawa yang mengagumi figur ksatria ini.
Dalam usia kanak-kanak, Soekarno tinggal dan diasuh oleh kakeknya. Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur. Kakeknya adalah seorang pedagang batik, yang secara tidak langsung membantu penghidupan dari kedua orang tua Soekarno yang pada waktu itu tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk menghidupi dirinya dan kakaknya. Kecintaan Soekarno terhadap wayang kulit, mulai tumbuh selama tinggal bersama kakeknya. Iasering kali menonton wayang kulit sampai larut malam. Kesenangannya menonton wayang membuatnya terkesan dengan tokoh Bima dibandingkan dengan tokoh lain.
Tokoh Bima juga memiliki pengaruh yang besar dalam sikap dan pandangan politiknya kelak. Sikap nonkooperasi terhadap musuh-musuhnya, kaum imperialis maupun kaum kapitalis, serta kesediaannya dalam waktu bersamaan berkompromi dengan sesama rekan perjuangannya meskipun berpeda pandangan praktis dapat dikatakan berasal dari Bima.
Di Tulung Agung, ia pertama kali masuk sekolah. Tetapi ia kurang mempergunakan kesempatan sebaik mungkin untuk belajar. Hal ini disebabkan ia lebih sering melamun tentang kisah Perang Bharata Yudha. Namun, sisi keingintahuan yang besar dan minatnya terhadap pengetahuan sudah mulai tumbuh pada saat ini. Berkat sifat keingintahuan yang dimiliki olehnya, Soekarno memiliki wawasan yang lebih luas daripada teman-teman sebayanya.
Tidak lama kemudian, setelah kedua orang tuanya pindah ke Sidoarjo dan mendapat jabatan sebagai kepala Eerste Klasse School di Mojokerto. Di sini, kepandaiannya mulai terlihat dengan jelas. Mungkin ini disebabkan oleh profesi ayahnya yang juga seorang guru sehingga dapat mengawasi kegiatan belajar mengajar anaknya secara langsung. Kemudian, Raden Sukemi memasukkan Soekarno ke Europeesche Lagere School (E.L.S). Sekolah tersebut didirikan guna memenuhi kebutuhan anak-anak pekerja di pabrik gula.
Selama bersekolah di sini. Soekarno merasakan adanya diskriminasi yang diberlakukan kepada kaumnya. Hanya Bumiputera tertentu yang mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan hak istimewa itu. Mereka yang bukan anak pejabat hanya bisa masuk ketika ada izin khusus dari residen dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Sebelum ia menginjakkan kaki di tempat tersebut, pada tahun 1913, Soekarno harus mengorbankan waktunya untuk memperdalam bahasa Belanda pada Juffrow M.P de la Riviera, guru bahasa Belanda di ELS. Selama bersekolah di ELS Soekarno juga mengalami cinta pertama kepada seorang gadis Belanda yang bernama, RikaMeelhuysen. Tetapi, hubungan mereka berdua ditentang oleh ayah sang gadis karena melihat kedudukan Soekarno yang hanya merupakan pribumi. Meskipun, akhirnya hubungan itu putus dan Soekarno dihina. Ia tidak marah karena menganggap hal itu adalah biasa karena merupakan cinta monyet.
Pribadi Soekarno, selain banyak mendapatkan pendidikan di ELS. Ia juga mendapatkan pendidikan dari ayahnya dengan keras, penuh disiplin, tetapi di sisi lain mengajarkan untuk mencintai makhluk tak berdaya. Sedangkan dari ibunya, Idayu, ia mendapatkan pengaruh mistik dari pemikiran Hindu dan sifat yang lemah lembut serta kasih sayang. Dari pembantunya Sarinah, sebagaimana diungkapkan oleh Soekarno sendiri, ia memperoleh pengaruh kemanusiaan dan sikap emansipasif. Ia amat terkesan dan mengagumi sikap perempuan tersebut. Meskipun ia hanya seorang pembantu, di mata Soekarno ia adalah perempuan bijaksana dan berbudi luhur.
Setelah menyelesaikan ELS di Mojokerto, pada tahun 1915, Sukarno ingin melanjutkan pelajarannya di Hogere Burger School (HBS). Agar Soekarno diterima sebagai siswa HBS, ayahnya menggunakan pengaruh kawannya untuk memasukkan ke sekolah tertinggi yang ada di Jawa Timur tersebut. Melalui jasa baik, H.O.S Tjokrominoto, Soekarno akhirnya diterima di sana. Bahkan tokoh gerakan massa nasionalis Islam itu memberikan pondokan di kediamannya, walaupun ia tidak mendapatkan kamar yang baik. Ia menempati sebuah kamar yang gelap tanpa jendela dan daun pintu. Sebagai penerangan lampu pijar yang menyala sepanjang hari. Tetapi ia menerima kenyataan tersebut tanpa menggerutu. Karena memang tidak ada kamar lagi dan hanya itulah satu-satunya kamar yang belum terisi dan Soekarno menjadi penghuninya. Tetapi yang penting bagi ayahnya adalah anaknya dapat tinggal satu atap dengan “Raja Jawa” yang tak bermahkota.
Alasan dari Sukemi untuk menitipkan Soekarno kepada Tjokrominoto dijelaskan oleh Soekarno dalam buku biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams (1966), sebagaimana yang diungkap oleh Soekarno: “Tjokro adalah pemimpin baik dari orang Jawa. Sungguhpun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin darah dagingku menjadi kebarat-baratan. Karena itu kukirim kepada Tjokro orang yang dijuluki Belanda sebagai Raja Jawa yang tidak dinobatkan. Aku tidak ingin melupakan, bahwa warisanmu adalah untuk menjadi Karna kedua.”
Selama berada di Surabaya, Soekarno banyak mendapatkan pengaruh pemikiran Barat yang modern. Perpisahan dengan orang tua dan lingkungan desanya juga memberikan pengaruh postitif bagi dirinya. Soekarno berada di Surabaya selama lima tahun. Selama itu ia tinggal di rumah Tjokrominoto. Di tempat itulah pendidikan politik Soekarno dimulai dengan interaksi dengan berbagai pemahaman pemikiran yang ada disana. Soekarno juga berkenalan dengan orang-orang beraliran sosialis kiri, seperti Alimin, Muso, dan Dharsono yang juga mendapat kedudukan penting dalam kepengurusan Sarekat Islam maupun di dalam keanggotaan Indische School Democratische Vereeniging (ISDV).
Sebagai remaja yang gelisah, ia menyalurkan aspirasinya melalui suratkabar milik Sarekat Islam, Oetoesan Hindia. Ia menuangkan pemikiran dengan nama samaran ‘Bima”. Menurut pengakuannya, penggunaan nama samaran itu dimaksudkan agar ia tidak dimarahi oleh ayahnya. Sebab ayahnya akan marah apabila mengetahui anaknya membahayakan masa depannya sendiri. Memang kata-kata yang digunakan Soekarno cukup tajam seperti “Hancurkan segera kapitalisme yang dibantu oleh budaknya, imperialisme. Dengan kekuatan Islam, Insya Allah itu segera dilaksanakan.” Di samping itu, Soekarno juga aktif dan melibatkan dirinya dalam organisasi pemuda Tri Koro Darmo cabang Surabaya, yang dibentuk pada 1915 sebagai bagian dari organisasi Budi Oetomo. Kemudian berganti nama menjadi Jong Java pada 1918.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di HBS pada 10 Juni 1921. Soekarno beserta istrinya, Siti Oetari Tjokrominoto, puteri Tjokrominoto yang dinikahi olehnya pada 1920 atau 1921, meninggalkan Surabaya menuju Bandung. Disana ia bersama istrinya berdiam di kediaman Haji Sanusi, anggota Sarekat Islam dan juga kawan akrab Tjokrominoto. Di tempat itu pula Soekarno pertama kali bertemu dengan Inggit Garnasih, Isteri Haji Sanusi. Kota Bandung mempunyai iklim ideologis yang khas jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Jika Sarekat Islam berpusat di Surabaya, maka Semarang dikenal sebagai pusat pemikiran Marxisme. Kedua kota ini saling mempengaruhi dan saling berebut pengaruh.
Tetapi Bandung justru Bandung menampilkan watak yang berlainan dengan kedua kedua kota di atas. Sebab di kota Bandung telah berkembang sebuah pemikiran bahwa tujuan pergerakan adalah kemerdekaan penuh bagi Indonesia. Gagasan-gagasan ini dikembangkan oleh para pemimpin Indische Partij yang akhirnya mempengaruhi pemikiran-pemikiran selanjutnya. Akhirnya kota Bandung menampilkan diri sebagai pusat pemikiran nasionalis Sekuler.
Di kota ini, Soekarno berkenalan dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler, seperti, E.F.E Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara. Perkenalan ini telah membawa nuansa baru dalam berpikir Soekarno. Seperti halnya dalam pendekatan yang diperkenalkan oleh Douwes Dekker dalam mendekati situasi Hindia Belanda dan bagaimana cara mengubahnya amat menarik perhatian Soekarno. Pemikiran yang diperkenalkan tersebut terlihat berbeda dari pemikiran sebelumnya didapat dari tokoh-tokoh yang ditemuinya.
Dengan bertemunya berbagai tokoh yang memiliki berbagai aliran pemikiran tentunya membuat pikiran Soekarno semakin tersusun secara teratur. Di samping itu kesaksiaannya terlihat di depan matanya. Soekarno melihat di lingkungan Tjokrominoto senantiasa timbul pertentangan antara golongan kanan (Tjokrominoto) dengan golongan kiri (Semaun-Darsono) dalam sentral Serikat Islam yang berkedudukan di Surabaya. Pertikaian yang memuncak tersebut berakhir dengan terpecahnya Sarekat Islam menjadi dua bagian, yakni Sarekat Islam Putih dan Merah. Sarekat Islam Merah, akhirnya merubah dirinya menjadi Sarekat Rakyat.
Jiwa patriotisme Soekarno tidak hanya dibentuk melalui figur seorang Tjokrominoto. Sebagaimana diungkapkan oleh Bob Hering (2001, hal. 12), bahwa adanya interaksi antara Soekarno dan para pengikut aliran Marxis seperti Muso, Alimin, dan Semaun. Juga para orang-orang Sosialisme Radikal Belanda, seperti Coos Hartogh, Henk Sneevliet, dan Aser Baars. Memang jika penulis pahami, pengaruh Nasionalisme, Islam, dan Marxisme-Sosialisme sudah memiliki andil yang besar pada diri Soekarno bahkan pada saat dia muda. Secara jelas, ini dibentuk dari keberadaan Soekarno yang pada mulanya mendapatkan pendidikan politik di Surabaya.
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini merupakan cikal bakal dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan olehnya pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkan dirinya ditangkap oleh Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoi atau pembelaannya yang fenomenal dengan judul Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Akibatnya, Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Disini, Soekarno hampir hilang dan terlupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun, semangat dan api perjuangan yang tidak pernah padam senantiasa membuat Soekarno tetap tegar dalam menghadapi hambatan dalam perjuangan. Ini terbukti melalui suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.
Selama menjadi Presiden, Soekarno banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan Presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung dan menghasilkan Dasa Sila Bandung. Tujuan dari KAA adalah untuk menentang tindakan imperialisme dan kolonialisme yang terjadi di dunia yang notabenenya banyak dilakukan oleh negara-negara Barat.
Setelah ‘bercerai’ dengan Mohammad Hatta, pada tahun 1955. Masa-masa kesuraman pemerintahan Soekarno sudah mulai tampak. Ditambah dengan keadaan politik dalam negeri yang sudah mulai tidak stabil akibat adanya pemeberontakan separatis yang terjadi di seluruh plosok Indonesia. Dan berpucak pada pemberontakkan G 30 S/ PKI, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak bisa memenuhi cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Akibat selanjutnya, Soekarno terpaksa dicabut masa jabatannya oleh MPRS setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak. Soekarno akhirnya mengalami sakit akibat diasingkan ke Wisma Yaso, Jakarta oleh penggantinya Soeharto. Soekarno akhirnya wafat pada 21 Juni 1970. Jenazahnya dikebumikan di kota Blitar, Jawa Timur.
Selama masa hidupnya, Soekarno seringkali menikah. Adapun istri-istri Soekarno adalah, 1. Oetari menikah pada tahun 1921 dan bercerai pada 1923, 2. Inggit Garnasih menikah pada tahun 1923, 3. Fatmawati menikah pada tahun 1943, 4. Hartini menikah pada tahun 1952, 5. Ratna Sari Dewi menikah pada tahun 1962, 6. Haryati menikah pada 1963, 7. Yurike Sanger menikah pada 1964, 8. Kartini Manoppo menikah pada 1965, 9. Heldy Djafar menikah pada 1966.
2.2 Biografi Mohammad Hatta
Mohammad Hatta lahir di Bukit Tinggi, yaitu sebuah kota sejuk yang terletak di deretan bukit barisan yang diapit oleh dua buah gunung, yaitu gunung Merapi dan gunung Singgalang. Hatta lahir pada 12 Agustus 1902 dari ayah yang bernama Haji Mohammad Jamil dan ibu benama Siti Saleha. Kedua orang tuanya berasal dari luhak yang berbeda. Ayahnya berasal dari daerah Batu Hampar sekitar 9 kilometer dari kota Payakumbuh yang termasuk Luhak Limo Puluh Kota. Sementara ibunya berasal dari Bukit Tinggi yang termasuk Luhak Agam.
Ayah Hatta adalah anak dari Syekh Arsyad, seorang guru agama dan pimpinan Tarikat Naqsyabandi yang cukup terkenal di daerahnya. Beliau tidak sempat membesarkan dan merawat Hatta karena dia sudah meninggal pada usia yang masih terbilang muda, yaitu 30 tahun, ketika Hatta masih berusia tujuh bulan. Sedangkan ibunya adalah anak dari Ilyas Bagindo Marah, yaitu pedagang yang cukup kaya di kota Bukit Tinggi. Nama Mohammad Hatta yang sebenarnya adalah Mohammad Athar. Nama Mohammad adalah nama nabi, sedangkan kata Athar berasal dari bahasa Arab yang artinya harum. Oleh masyarakat Minangkabau, kata Atar ini sering diucapkan Atta, lama kelamaan berubah menjadi Hatta. Akhirnya berubahlah nama Mohammad Atar menjadi Mohammad Hatta.
Dalam keluarga, Hatta adalah anak kedua, kakaknya seorang perempuan bernama Rafi’ah yang lahir tahun 1900 dari hasil perkawinan ibunya dengan Mas Agus Haji Ning, yaitu pedagang dari Palembang yang sudah sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah. Hatta memiliki empat orang adik yang semuanya adalah perempuan. Jadi Hatta adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga tersebut.
Hatta sangat dekat dengan kakeknya baik dari pihak Bapak maupundari pihak ibunya. Kakeknya dari pihak bapak terkenal sebagai orang alim dan memiliki ilmu agama yang tinggi. Beliau punya surau di Batu Hampar. Surau tersebut merupakan pusat pengkajian tarekat (Naqsayabandi) yang banyak didatangi orang untuk belajar dan menimba ilmu dari berbagai daerah di Sumatera. Sementara kakeknya dari pihak Ibu adalah seorang pedagang yang cukup berhasil di Bukit Tinggi yang mempunyai relasi cukup banyak baik dari bangsa Indonesia, maupun dari pihak Belanda.
Hubungan kedua keluarga ini tetap berjalan dengan baik meskipun ayah Hatta sudah lama meninggal. Dalam waktu-waktu tertentu, Hatta datang ke Batu Hampar dan tinggal bersama Ayah Gaeknya. Ia sangat menyayangi Hatta sebagai cucunya, oleh karena itu ia menyuruh Hatta belajar di sekolah agama. Tetapi, keinginan itu tidak disetujui oleh pihak ibunya, mereka ingin memasukkan Hatta ke sekolah umum. Perbedaan ini akhirnya dapat dikompromikan oleh kedua belah pihak dengan kesepakatan bahwa Hatta akan belajar di Sekolah Rakyat terlebih dahulu baru kemudian melanjutkan pembelajaran agama ke Mekah, dan kemudian diteruskan ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.
Dalam usia 5 tahun lebih beberapa bulan, Pak Gaeknya memasukkan Hatta ke sekolah rakyat, tetapi gagal karena dianggap belum mencukupi umur. Tes yang digunakan pada waktu itu setiap orang siswa disuruh melingkarkan tangan dan disuruh menyentuh telinga kiri, apabila telinga nya mampu disentuh, maka otomatis sang anak dianggap mampu dan cukup umurnya untuk bersekolah. Tetapi Pak Gaeknya tetap berkeinginan agar Hatta mampu dan dapat bersekolah. Untuk itu dia menghubungi temannya yang bernama Ledeboer, seorang bekas tentara Belanda yang mendirikan sekolah swasta dan untuk sementara Hatta dimasukkan disini.
Enam bulan kemudian, setelah umurnya cukup enam tahun, Hatta dimasukkan kembali ke Sekolah Rakyat dan duduk satu kelas dengan kakaknya Rafi’ah. Teman-temannya yang lain dalam kelas itu ada yang sudah berumur lima belas tahun. Pada waktu itu masyarakat Minangkabau banyak yang enggan bahkan tidak mau menyekolahkan anaknya ke sekolah pemerintah, karena takut nanti anak-anaknya akan menjadi pegawai pemerintah dan menjadi kaki tangan Belanda. Kebanyakan dari mereka memasukkan anaknya ke sekolah agamam karena menurut mereka sekolah agama tidak kalah mutunya dengan sekolah pemerintah.
Hatta dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai. Sebelum masuk ke Sekolah Rakyat, ia sudah bisa membaca dan menulis. Sebagaimana anak-anak lainnya menurut Deliar Noer, masa kecil Hatta dilalui secara yang biasa pula dengan bermain, bersekolah, dan mengaji. Pagi hari Hatta belajar di Sekolah Rakyat, sore hari ia belajar bahasa Belanda. Sesudah Magrib ia belajar mengaji di Surau.
Hatta belajar di Sekolah Rakyat hanya sampai pada tahun ketiga. Pada pertengahan tahun ajaran ia pindah ke Sekolah Belanda, yakni Europe Lagere School (ELS) dan diterima di kelas dua. Setahun kemudian Hatta, hampir dibawa Pak Gaeknya untuk naik haji. Tetapi, hal itu kembali ditentang oleh pihak ibunya karena menganggap Hatta belum menamatkan bacaan al-Qur’an.
Di samping belajar bahasa Inggris, Hatta juga pernah belajar bahasa Prancis. Karena setelah lulus dari ELS dia berencana untuk melanjutkan studinya ke sekolah Hoogere Burger School (HBS), yaitu sekolah menengah selama 5 tahun di Jakarta. Salah satu syarat bisa diterima di sekolah ini adalah sang calon siswa harus mampu berbahasa Prancis. Setamat dari ELS tahun 1916, Hatta sebenarnya ingin melanjutkan sekolahnya ke HBS di Jakarta, tetapi ia ditentang oleh ibunya yang takut Hatta terpengaruh oleh kehidupan kota besar. Ia khawatir Hatta lebih banyak bermain daripada belajar nantinya.
Hatta berkeberatan dengan rencana ibunya tersebut. Dia bahkan tidak mau bersekolah lagi dan lalu melamar bekerja di kantor pos dan diterima. Ketika pamannya mengetahui hal ini, ia pun membujuk Hatta untuk mengikuti kemauan ibunya. Akhirnya Hatta mau mengikuti kemauan ibunya dan berhasil menyelesaikan pelajarannya di sekolah ini tiga tahun kemudian (tahun 1919).
Hatta memang termasuk beruntung karena mendapatkan pengajaran dari guru-guru yang memiliki pemahaman luas tentang agama Islam. Ketika masih berada di Bukit Tinggi dia belajar dengan Haji Muhammad Djamil Djambek (1860-1947), dan sewaktu pindah ke Padang dan belajar di MULO serta aktif di Jong Sumatranen Bond (JBS), ia berada di bawah asuhan Haji Abdullah Ahmad (1878-1933)
Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond. Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi, sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas dari sifat Mohammad Hatta.
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Selama di Belanda, Ia terdaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesishe Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Selain tergabung dalam organisasi tersebut. Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Hatta lulus dalam ujian ekonomi perdagangan (handels economie) pada tahun 1923. Semula ia bermaksud menempuh ujian doktoral di bidang ekonomi pada akhir tahun 1925. Kerena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi, waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.
Perpanjangan masa studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inagurasinya yang berjudul “Economische Wereldbouw en Machtsegenstellingen” (Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan). Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama Indonesia, Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Internasional untuk perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, Indonesia secara resmi diakui oleh kongres. Nama Indonesia untuk menyebut wilayah Hindia Belanda ketika itu benar-benar dikenal oleh golongan organisasi internasional. Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penying di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Februari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis pada saat itu.
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-koperasi selalu ditekankan pada kader-kadernya.
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di tanah merah, Digoel, Papua. Kepala pemerintahan di sana, Kapten Van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji yang besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam pembuangannya, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honoriumnya cukup untuk biaya hidupnya di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Diguoel, dipenuhi oleh buku-buku yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawan di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah,dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu dibukukan dengan judul antara lain, “Pengantar Ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan”, dan “Alam Pikiran Yunani” (empat jilid).
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggal 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan,”Indonesia terlepas dari penajajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali.”
Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangani oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Dan semua yang hadir setuju. Tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10 pagi di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia dan Mohammad Hatta diangkat menjadi wakil Presiden Republik Indonesia.
Meskipun Indonesia telah merdeka. Masih ada tugas berat yang harus dilakukan oleh Soekarno dan Hatta selaku presiden dan wakil presiden. Mereka harus mempertahannkan kemerdekaan dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.
Pada tahun 195, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan dirinya sebagai wakil presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua parlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah konstituante dibuka secara resmi oleh presiden, Wakil Presiden Muhammad Hatta, mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal 1 Desember 1956. Ia akan meletakkan jabatan sebagai wakil presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.
Pada tanggal 27 November 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yogyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan “Lampau dan Datang”.
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai prguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang Ilmu Hukum.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis “Demokrasi Kita” dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pemikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu. Hatta, menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal 18 Oktober 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang puteri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi’ah, dan Halida Nuriah.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan Tertinggi, “Bintang Republik Indonesia Kelas 1” pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara. Bung Hatta, Proklamator kemerdekaan dan wakil presiden pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Bagian 3
Perbandingan Pemikiran Soekarno Dan Hatta
3. 1 Nasionalisme
Sebelum kita pahami pengertian nasionalisme menurut Soekarno dan Hatta. Penulis kira perlu bagi kita semua untuk tahu terlebih dahulu mengenai definisi nasionalisme. Menurut Athony D. Smith, nasionalisme memiliki beberapa pengertian mendasar jika ditinjau secara umum. Diantaranya, 1. Suatu proses pembentukkan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa, 2. Suatu sentimen atau kesadaran memiliki bangsa bersangkutan, 3. Suatu bahasa dan simbolisme bangsa, 3. Suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa yang bersangkutan, 5. Suatu doktrin dan/atau ideologi bangsa, baik yang umum maupun yang khusus.
Dalam melihat hal tersebut, Smith (2003) menyatakan kembali bahwa definisi yang dikemukakan terhadap apa itu nasionalisme cenderung mengalami proses tumpang-tindih dan menyingkapkan tema yang sama. Tentu saja, tema utamanya adalah masalah yang mendominasi bangsa. Nasionalisme adalah suatu ideologi yang meletakkan bangsa di pusat masalahnya dan berupaya mempertinggi keberadaanya. Namun, kekaburan dari pernyataan ini telah membuat Smith memutuskan bahwasanya ada 3 masalah krusial yang harus dijadikan sasaran utama dalam melihat masalah nasionalisme, yaitu otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional.
Kembali pada permasalahan utama mengenai nasionalisme menurut Soekarno dan Hatta. Penulis menemukan bahwa adanya perbedaan mengenai istilah yang mereka berdua gunakan, meskipun dalam pengertian dan pemahaman Soekarno dan Hatta memiliki kesepahaman yang hampir sama mengenai nasionalisme sebagai sebuah identitas persatuan yang timbul sebagai antitesa dari tindakan penjajahan di Indonesia. Dalam tulisannya pada Suluh Indonesia Muda, tahun 1926. Soekarno mencoba menjelaskan bahwa nasionalisme adalah faham kebangsaan. Soekarno mengutip pendapat dari Ernest Renan (1882), yang menyatakan bahwa bangsa adalah suatu nyawa, asas, dan akal yang terdiri dari dua hal.
Pertama, rasa kebersamaan dan memiliki yang berasal dari perasaan bersama dalam menghadapai sebuah riwayat. Kedua, rakyat harus memiliki kemauan dan keinginan untuk melebur menjadi satu. Bukan terpisah oleh perbedaan ras, bahasa, dan agama. Dalam hal ini, Soekarno melihat bahwa nasionalisme tidak akan bisa tercapai tanpa adanya persatuan yang terbentu dari keinsyafan rakyat mengenai kesatuan golongan. Sebab, nasionalisme sejati bersendi pada susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa. Nasionalisme Indonesia sangat berbeda dengan faham chauvinis, harus menolak pengkultusan sebuah bangsa sebagai bangsa yang berada di atas bangsa lainnya. Nasionalisme Indonesia, adalah nasionalisme yang cinta akan manusia da kemanusiaan (humanistik).
Lebih jauh, Soekarno mencontohkan bahwa nasionalisme Indonesia haruslah menganut paham ketimuran dan memiliki perbedaan yang sangat jauh dengan nasionalisme Eropa yang bersifat serang-menyerang. Disinilah Soekarno mencoba untuk memasukkan konsepnya mengenai nasionalisme timur yang identik dengan nilai Islam. Karena baginya, setiap umat Islam yang berada di dalam suatu negara memiliki kewajiban untuk membela dan bekerja demi kepentingan negeri tempat tinggalnya. Nasionalisme dan Islam, tidak lebih dari seutas benang dan jarum yang saling membutuhkan satu sama lainnya.
Memang penulis akui, Soekarno dalam pandangan nasionalismenya sangat menolak nasionalisme yang berkembang atas dasar kapitalime, atau hasil-hasil perkembangan kapitalisme. Bagi persepsi politiknya, kaum nasionalisme tersebut adalah kaum nasionalisme borjuis . Dan dalam cita-cita nasionalisme kaum borjuis tidak ada ruang untuk keadilan rakyat. Ia tidak mendambakan keadilan sosial. Karena itu revolusi yang digerakkan oleh kaum nasionalisme ini hanyalah revolusi borjuis.
Jika yang dituju masyarakat yang mempunyai keadilan, Soekarno menunjukkan pada tesisnya bahwa nasionalisme yang ingin dibentuknya dalam menghadapi penjajahan kapitalisme-imperialisme adalah nasionalisme yang berlatarkan pada prikemanusiaan. Ia berkeinginan bahwa kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang berprikemanusiaan. Artinya, politik ini menghapuskan kemelaratan dan penindasan yang mencekam kehidupan rakyat dan masyarakat. Dari konsep inilah, Soekarno memberikan istilah ‘sosio-nasionalisme’ yang memberikan cap bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berasal dari akar keadilan dan kemanusiaan.
Secara nyata, kesadaran Soekarno terhadap masalah nasionalisme dimulai ketika ia melihat bagaimana perpecahan terjadi di dalam tubuh Sarekat Islam. Ia melihat bahwa keharusan untuk berasatu harus mulai dirintis ke arah pembentukkan organisasi massa yang mencakup keseluruhan sebagai sarana untuk mengembangkan kekuatan yang mampu menentang kekuasaan rezim kolonial. Soekarno melihat penduduk Bumiputera sebagai suatu kelompok sebenarnya tidak terbagi-bagi dalam kedudukan sosial, terbagi dalam aliran serta ideologi. Keinsyafan inilah, yang mendasari seorang Soekarno untuk menyerukan sebuah persatuan antara ideologi-ideologi, Nasionalisme, Islam, dan Marxisme sebagaimana dituliskan olehnya dalam tulisannya.
Namun, sisi menarik mengenai nasionalisme dalam pandangan Soekarno adalah ketika ia berusaha menggarap penyatuan ketiga aliran itu. Ia mengembangkan suatu pandangan yang secara implisit mengandung pengertian bahwa nasionalisme adalah arus sentral. Tujuan terbentuknya persatuan antara Nasionalisme, Islam, dan Marxisme digiring oleh Soekarno melalui penyamaan dan penyetaraan persepsi terhadap keberadaan musuh bersama, yaitu kaum kolonial.
Soekarno mendapatkan isnpirasi dari Mahatma Gandhi mengenai proses penyatuan ini. Di India, Gandhi berhasil menyatukan golongan Islam, Hindu, Parsi, Sikh, dan kaum Jainis. Terdorong oleh keberhasilan itu, Soekarno mencari kunci untuk menyatukan ketiga paham di Indonesia. Tanpa ragu-ragu Soekarno mencerna itu ke dalam budaya Timur. Soekarno menamakan faham kebangsaannya sebagai nasionalisme Timur atau ke-timuran yang mempunyai nilai lebih tinggi daripada nasionalisme yang berkembang di Barat yang senantiasa berkonflik satu sama lain, karena nasionalisme Barat hanya bersifat kebendaan belaka dan hanya berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Sebagaimana yang diucapkan oleh C.R. Das,
“ . . .Suatu nasionalisme yang saling serang-menyerang satu sama lain; Suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan untung dan rugi . . .”
Sedangkan dalam pandangan Hatta, Nasionalisme atau paham kebangsaan memiliki arti yang hampir sama dengan apa yang diutarakan oleh Soekarno mengenai paham kebangsaan yang bersifat humanistik, egaliter, dan berkeadilan. Dalam pidatonya kepada KNIP, 2 September 1948. Hatta secara tegas mengemukakan bahwa seorang nasionalis haruslah orang yang bersikap sosialis dengan memandang keperluan dan kebutuhan rakyat. Pada hal ini, Hatta mengemukakan perjuangan kemerdekaan melalui nasionalisme tidak akan tercapai tanpa adanya kepercayaan kepada diri sendiri dan berjuang kepada kesanggupan yang ada pada diri kita dengan berlandaskan kepada sosialisme Indonesia.
Memang secara langsung pemikiran Hatta lebih banyak kepada pemikiran mengenai pokok-pokok ekonomi Indonesia. Tetapi, menurut hemat penulis. Hatta secara umum memiliki kesepahaman yang sama dengan Soekarno dalam membicarakan nasionalisme. Sebab, menurut penulis Hatta menginginkan keadaan nasionalis yang sifatnya ‘kebersamaan’ tetapi bukan nasionalisme yang sifatnya komunis. Dalam pidatonya yang berjudul “Ekonomi Indonesia di Masa Mendatang”. Hatta (1948), menekankan rasa kebangsaan yang lahir dari persamaan nasib akibat penjajahan tidak akan pernah akan menemui kesatuan tanpa adanya perhatian terhadap permasalahan ekonomi yang secara langsung akan berdampak pada kesejahteraan rakyat Indonesia.
3.2 Demokrasi
Berbicara tentang interpretasi demokrasi antara Soekarno dan Hatta memang terdapat perbedaan mendasar dari keduanya. Jika Soekarno lebih menekankan pada pentingnya demokrasi yang berasal dari budaya sendiri dan menolak demokrasi yang berasal dari Barat. Hatta lebih sependapat pada bagian kedua, bahwa demokrasi di Indonesia tidak bisa terlepas dari keberadaan demokrasi yang ada di Barat. Sebab baginya, proses transisi demokrasi yang labil merupakan hal yang wajar terjadi pada negeri yang usianya muda seperti Indonesia.
Namun, secara teoritis dalam prosesnya. Soekarno memiliki paham yang hampir sama pada mulanya dengan Mohammad Hatta. Ia menolak demokrasi yang sifatnya hanya politik. Karena bagi Soekarno demokrasi politik, hanyalah memberikan sebuah ruang bagi rakyat untuk berpolitik dan tidak cukup untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Demokrasi ini juga tidak menjamin orang-orang kecil dalam bidang ekonomi. Buruh dapat diberlakukan semaunya oleh majikan.
Perbedaan pendapat ini lebih jelas dapat kita temui dalam tulisan Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” yang ditulis oleh Hatta dalam Pandji Masyarakat. Ada poin penting yang menurut penulis perlu kita pahami dalam tulisan ini yang menjadi akar perbedaan mendasar antara perdebatan Soekarno dan Hatta mengenai demokrasi. Hatta (19960) berpendapat dengan tegas bahwa, “Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahan sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsyafan. Ia akan kembali dengan tahapnya. Berlainan dengan negeri lainnya di Asia, demokrasi di sini berurat-urat di dalam pergaulan hidup. Sebab itu, ia tidak dapat dilenyapkan selama-lamanya.
Memang jika penulis pahami. Anggapan Soekarno yang terlalu phobia terhadap demokrasi yang labil cenderung telah menggerus nilai-nilai demokratis dalam pemerintahan yang diemban olehnya. Meskipun Soekarno memiliki anggapan mendasar mengenai Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan dengan menganggap dirinya sebagai seorang kepala keluarga yang harus tampil dalam menyelesaikan permasalahan yang tidak menemui jalan mufakat dari anggota keluarga lainnya. Soekarno melupakan mengenai bahayanya kekuasaan tanpa penyeimbang dan pengontrolan. Sikap inilah yang juga pada akhirnya menjatuhkan wibawa seorang Soekarno di hadapan demokrasi yang diciptakan oleh dirinya.
Memang jika diamati dari psikologi kepemimpinan. Karakter dan pola kepemimpinan Soekarno dan Hatta memiliki perbedaan yang mendasar. Hatta mempunyai pendirian yang lebih tegas. Tetapi demi kepentingan keseluruhan, beliau suka mengalah. Jika perlu beliau bersedia mengundurkan diri. Berbeda dengan Soekarno yang lebih cenderung menggunakan perhitungan. Soekarno juga terkesan tidak terlalu mati-matian mempertahankan apa yang secara ideologis dianggap benar, melainkan diperhitungkan terlebih dahulu mana yang lebih bermanfaat.
Kembali kepada masalah demokrasi. Menurut Soekarno, demokrasi di Indonesia tidak akan pernah menemukan kata mufakat tanpa adanya pemimpin yang mengarahkan dan menujukkan jalan kemana demokrasi itu akan dibawa. Demokrasi di Indonesia lebih membutuhkan apa yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara dulu sebagai democratie met leiderschamp. Ini Akhirnya, membuat Soekarno melontarkan gagasan di hadapan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka pada 21 Februari 1957. Konsepsi ini berisi tiga pokok utama dari Konsep Presiden Soekarno, diantaranya: 1. Sistem Demokrasi Parlementer secara Barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan sistem Demokrasi Terpimpin, 2. Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet gotong royong yang anggotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini mengetengahkan pula perlunya pembentukkan “Kabinet Kaki Empat” yang mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI, turut serta di dalamnya untuk menciptakan kegotong royongan nasional, 3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Tugas utama Dewan Nasional ini adalah memberi nasihat kepada kabinet baik diminta maupun tidak diminta.
Disinilah awal perdebatan muncul antara Soekarno dan Hatta. Ketidaksetujuan Hatta terhadap ketidakberdayaan parlemen akibat tidak memiliki kekuatan sebagai penyeimbang telah membuat Hatta memutar haluan untuk tidak sejalan secara politik dengan Soekarno. Dalam sistem yang dibuat oleh Soekarno dengan nama Demokrasi Terpimpin. Dengan berlandasakan kepada program pembangunan yang kuat di bawah satu pimpinan , dan melepaskan fungsi parlemen untuk membuat undang-undang, melainkan kepada Dewan Nasional dan Dewan Perancang Nasional. Dalam sistem ini kekuatan Dewan Perwakilan Rakyat hanyalah sebagai pemberi dasar hukum saja kerena keputusan berada di tangan pemerintah. Tetapi, dalam kelanjutannya Demokrasi Terpimpin tidak lebih dari ‘kekuasaan diktator’ yang diusung oleh golongan-golongan tertentu.
Dalam pandangannya, Hatta berpendapat bahwa meskipun demokrasi sudah tergerus oleh kediktatoran. Demokrasi tidak akan pernah hilang dan tergerus. Mungkin ia akan tersingkir sementara, tetapi suatu saat demokrasi akan muncul kembali di Indonesia. Ada dua keyakinan yang membuat Hatta, berpendapat demikian, yakni pertama, cita-cita demokrasi yang hidup dalam pergerakan kebangsaan di masa penjajahan dulu, yang memberikan semangat kepada perjuangan kemerdekaan. Kedua, pergaulan hidup Indonesia yang asli berdasarkan demokrasi, yang sampai sekarang masih terdapat di dalam desa Indonesia.
Tetapi, dalam pandangannya yang pokok mengenai demokrasi. Hatta, secara tegas menolak mengenai konsep dan asas demokrasi Barat, dalam salah satu pidatonya di Universitas Sun Yat Sen di Kanton pada 11 Oktober 1957, Hatta menyatakan dengan tegas bahwa di dalam demokrasi Barat. Tidak ada nilai-nilai kesejahteraan bagi masyarakat dalam bidang ekonomi. Yang ada hanyalah penindasan yang dilakukan oleh kaum kapitalis. Dimana kelas yang satu ditindas oleh kelas yang lain, sehingga menurut Hatta demokrasi atau persamaan tidak akan ditemui dalam demokrasi Barat.
Jadi dalam pemikiran Hatta, tampak bahwa dirinya tidak ingin meniru demokrasi Barat. Dia ingin membangun demokrasi ala Indonesia yang mempunyai watak dan karakter sendiri. Ciri-ciri khas demokrasi Indonesia menurut pernyataan Hatta: “ . . .Tjita-tjita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial, . . .(di mana), tjita-tjita keadilan sosial jang terbayang dimuka dijadikan program-program untuk dilaksanakan dalam praktik hidup nasionaldi kemudian hari . . .”.
Hal-hal lain yang juga membedakan demokrasi Barat dengan demokrasi di Indonesia menurut Hatta, dapat dilihat dalam lima unsur demokrasi di Indonesia, yaitu: “rapat, mufakat, gotong-royong, hak mengadakan protes bersama, dan hak menyingkir.”
Ketika Indonesia merdeka, cita-cita demokrasi sosial Indonesia yang diharapkan oleh Hatta tersebut telah dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, yang menggariskan tiga hal pokok, yaitu pertama, menyangkut pernyataan dasar dan cita-cita bangsa Indonesia, dimana kemerdekaan dilihat sebagai hak-hak tiap bangsa dan adanya kewajiban bagi pemerintah untuk terlibat dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kedua, pernyataan tentang berhasilnya tuntunan politik bangsa Indonesia adalah karena karunia Allah. Dengan demikian ada pengakuan disini bahwa tanpa adanya berkat dari Tuhan Yang Maha Esa Indonesia tidak akan merdeka. Ketiga, pernyataan Pancasila sebagai filsafat atau ideologi negara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Prikemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan dan Keadilan Sosial.
3.3 Islam
Sebelum membahas mengenai pandangan Soekarno dan Hatta mengenai Islam. Sebaiknya kita telusuri terlebih dahulu mengenai latar belakang kehidupan mereka. Soekarno, melalui masa kecilnya dalam tradisi kultur Islam yang cenderung mengalami pertautan dengan budaya Hindu di Jawa. Kultur lingkungan masyarakat Soekarno sewaktu kecil dan tinggal bersama kakeknya di Tulungagung cenderung mengaplikasikan nilai-nilai Islam yang kejawen. Ini terbukti dengan masih kuatnya ramalan yang melekat dalam diri Soekarno yang disimbolkan sebagai putera sang fajar atau sang ratu andil pembebas Indonesia dari belenggu penjajahan. Meskipun keadaan tersebut tidak berlangsung lama, selepas Soekarno mondok di rumah H.O.S Cokrominoto. Soekarno mendapat pengajaran baru mengenai nilai-nilai keislaman yang lebih murni. Meskipun begitu, Islam yang menjadi pemahaman Soekarno bukanlah Islam yang kolot dan bersifat close minded yang menolak perubahan. Islam Soekarno adalah Islam yang fleksibel dan demokratis.
Untuk mendekripsikan sikap tersebut. Bernhard Dahm, misalnya dalam buku yang berjudul Soekarno and the Struggle for Indonesian Independence, mengklasifikasikan 3 fase dalam kehidupan masa muda Soekarno yang membentuk pemikirannya mengenai politik. Fase tersebut ialah, The National Phase (1926-1931), The Marhaenist (Marxist) Phase (1932-1933), The Islamic Phase (1934-1941). Di lain pihak, ada sebuah pertanyaan yang membuat bingung penulis mengenai sikap Soekarno dalam tulisan yang ditulisnya tahun 1941, Soekarno pernah berkata, “Mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang disebut dengan nasionalisme; mau disebut dia Islam, dia mengeluarkan faham-faham yang tidak sesuai dengan fahamnya banyak orang Islam; mau disebut Marxis, dia sembayang; mau disebut bukan Marxis dia gila terhadap Marxisme itu”. Jawaban yang diberikan Soekarno terhadap pernyataannya tersebut ialah ia tetap Nsionalis, Marxis, dan Islam. Hal inilah yang diungkapkan oleh Dahm bahwa Soekarno adalah The Javanese yang mencari sintese.
Pada tulisannya dalam Pandji Islam (1940) yang berjudul “Islam Sontoloyo”. Soekarno dengan keras mengritik para penganut Islam yang hanya melihat suatu hal secara tekstual semata. Tanpa mampu melihat lebih dalam dan kontekstual. Islam yang diajurkan Soekarno adalah Islam yang modernis. Islam yang mampu melihat sisi keislaman dengan melihat kepada kemajuan jaman. Bukan Islam yang hanya menutup diri dan tidak menerima perubahan. Soekarno mencontohkan dengan larangan Islam terhadap makan daging babi, Islam juga melarang kita untuk menghina si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musrik di dalam pemikiran. Maka, ketika seseorang melakukan tindakan tersebut, terkecuali makan daging babi tidak akan ada orang yang akan menyalahi sikap tersebut. Berbeda dengan halnya memakan daging babi, meskipun hanya sekecil biji asap pun akan banyak orang yang mengatakan anda orang kafir.
Inilah gambaran jiwa Islam sekarang menurut Soekarno. Terlalu mementingkan kulitnya saja, tanpa melihat isinya. Jikalau ini masih terus berlanjut, maka tidak akan sekalipun Islam di Indonesia akan mempunyai kekuatan jiwa. Janganlah diharap kita mampu menjunjung diri Islam sebagai agama yang mampu memberikan pertolongan sebagaimana yang Allah janjikan. Menjadi seorang mukmin tanpa perasaan terdalam mengenai Islam tidak lebih dari seorang penganut Islam yang sontoloyo menurut Soekarno.
Berbeda dengan Soekarno yang cenderung mendapatkan pendidikan Islam dengan pemikiran yang modern dan terbuka. Mohammad Hatta, cenderung mendapatkan pendidikan dalam lingkungan Islam yang tradisional dan murni di Bukittinggi. Keluarga besar Hatta adalah ulama yang terpandang di daerah Bukittinggi. Inilah yang mendasari pada masa awal memasuki dunia pendidikan, keluarga Hatta mengalami perdebatan mengenai pendidikan yang harus ditempuh oleh Hatta. Keluarga dari pihak ibunya menginginkan agar Hatta belajar di sekolah biasa dan mendapatkan pelajaran-pelajaran umum. Sedangkan keluarga dari pihak ayah menginginkan agar Hatta mendapatkan pendidikan agama dengan belajar di Kairo. Pada akhirnya, Hatta memilih untuk masuk di sekolah umum mengingat pendidikan agama sudah didapatnya semasa kecil dari lingkungan keluarganya yang memang berasal dari lingkungan religius.
Dalam pandangannya mengenai Islam. Hatta, banyak melakukan elaborasi antara pemikiran sosialisme ekonomi Barat yang didapatnya selama di Belanda dengan sosialisme Islam. Dalam sambutan yang diberikan olehnya pada perayaan Maulid Muhammad 14 April 1971. Bung Hatta, mengajak umat Islam untuk membangun kembali jiwa Islam sebagaimana yang pernah dimiliki oleh kaum muslimin di masa Rasulullah. Agama Islam, menurut Hatta adalah agama yang sosialis yang mampu membentuk usaha-usaha memberantas kemiskinan dan mewujudkan keadilan sosial. Ini terlihat dari diwajibkannya para pemeluk Islam untuk senantiasa mengamalkan fitrah dan zakat. Pandangan ini diwujudkan Hatta dalam konsepnya mengenai Koperasi dan keadilan sosial.
Meskipun begitu ada pemahaman yang latar belakang keislaman yang berbeda antara Hatta dan Soekarno. Dalam melihat Islam Hatta dan Soekarno memiliki kesepahaman yang sama, dengan melihat bahwa kemunduran umat Islam adalah karena kealpaan yang mereka lakukan melalui perpecahan yang mereka sebabkan. Perjuangan yang dilakukan oleh umat Islam pada masa sekarang lebih cenderung kepada orientasinya terhadap kekuasaan dan harta. Hatta mengemukakan sebuah contoh dengan mengutip surat At-Taubah ayat 67, yang berbunyi: “Mereka meninggalkan Allah, makanya Allah meninggalkan mereka”.
Yang dimaksudkan Hatta dengan meninggalkan Allah adalah meninggalkan firman-firmannya yang termaktub dalam al-Qur’an, sebagai pedoman kehidupan sehari-hari di berbagai bidang kehidupan masyarakat, untuk diamalkan. Hatta mengkritik para kaum modernis yang mencoba untuk mengkultuskan para orang-orang alim sebagai pengganti Tuhan. Kebanyakan dari umat-umat Islam pada saat ini menurut Hatta, hanya menjadikan al-Qur’an sebagai sebuah teks yang hanya wajib untuk dibaca dan bukan untuk menjadi sumber inspirasi dan pengamalan pedoman hidup.
Pada sambutan tersebut, Hatta mengutip pernyataan dari Prof. Snouck Hurgronje, bahwa” bukan hal yang mengherankan bahwa Islam mengalami kemunduran dari masa ke masa, karena sejak berabad-abad silam firman-firman Allah tidak lagi menjadi pedoman hidup yang diamalkan, melainkan menjadi bacaan saja”. Makanya, kaum modernis, memiliki pikiran bahwa syarat yang paling pokok untuk menggerakkan ‘revivalism of Islam’ adalah kembali kepada al-Qur’an.
3. 4 Ekonomi
Dalam mencermati pemikiran Soekarno dan Hatta, merupakan hal yang ‘kosong’ dan semu dalam benak penulis. Apabila kita tidak membahas secara khusus pemikirannya mengenai ekonomi. Memang, jika selama ini pemikiran Hatta lebih dominan diketahui dalam bidang ekonomi daripada Soekarno. Tetapi, tidak bisa kita putuskan begitu saja mengenai bagaimana proses pandangan Soekarno mengenai kesejahteraan melalui sosio-nasionalis dan sosio-demokrasinya tanpa melihat secara esensi pemikiran ekonominya. Pemikiran perekonomian Soekarno sebagaimana diungkap oleh Nazaruddin (1988), dimulai untuk pertama kalinya pada 1932. Alam pemikiran ekonomi Soekarno juga mendapat pengaruh yang kuat dari pemikir-pemikir sosialis Eropa. Hal ini dapat kita amati dalam tulisan-tulisannya yang berjudul Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi, Kapitalisme Bangsa Sendiri?, Sekali lagi tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, atau Mencapai Indonesia Merdeka.
Soekarno mengecam demokrasi Barat sebagai demokrasi yang hanya memperhatikan aspek politik saja, tetapi tidak aspek ekonominya. Katanya, Demokrasi yang hendak dicapai oleh revolusi Prancis barulah demokrasi politik dan hak individu saja. Memang, pada kenyataannya demokrasi yang hendak dicapai oleh revolusi ini adalah demokrasi dalam bidang politik saja, sehingga tidak menyentuh aspek ekonomi yang mengakibatkan banyak rakyat menderita.
Di samping itu, Soekarno juga mulai memperhatikan perlu adanya penyesuaian penggunaan konsepsi dari tokoh-tokoh pemikir sosialis Eropa tentang sosialisme dengan kondisi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Soekarno mengganti istilah kaum melarat dan terpinggirkan, Proletar menjadi kaum Marhaen. Istilah Marhaen adalah untuk menggambarkan secara obyektif bagaimana kondisi sosial masyarakat Indonesia yang tertindas oleh kaum penjajah.
Semangat nasionalisme yang akan mewarnai Indonesia merdeka menurut Soekarno adalah sosio-nasionalisme, dimana nasionalisme yang diterapkan haruslah nasionalisme yang dapat menyelamatkan dan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menikmati rasa keadilan dan kemakmuran. Nasionalisme masyarakat, sosio-nasionalisme yang dimaksud untuk memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat, sehingga tidak ada kaum tertindas, tidak ada lagi kaum yang sengsara. Sosio-nasionalisme ini menolak sikap borjuisme.
Sementara itu yang dimaksud Soekarno dengan sosio-demokrasi bahwa sosio-demokrasi itu muncul karena keberadaan sosio-nasionalisme. Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi haruslah suatu nasionalisme dan demokrasi yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki.
Untuk mencapai Indonesia yang merdeka maka salah satu asas perjuangan adalah non kooperasi. Rakyat harus bergerak untuk menghancurkan kapitalisme dan imperialisme melalui suatu pergerakan rakyat yang radikal, yaitu oleh massa aksi. Setelah proses kemerdekaan nasional tercapai, maka menurut Soekarno tidak akan ada lagi kapitalisme dan imperialisme. Lebih lanjut Soekarno mengemukakan, bahwa semua perusahaan besar akan menjadi milik rakyat Indonesia dan pembagian hasilnya berada di bawah pengawasan rakyat.
Sesuai dengan cita-cita sosial ekonomi Soekarno tersebut, dalam pandangan Hatta, sosialisme dalam bidang ekonomi di Indonesia merupakan perjumpaan dari cita-cita sosial demokrasi Barat dengan sosialisme religius (Islam) dimana Marxisme sebagai pandangan hidup tetap ditolak. Jadi, intinya Hatta memandang dalam konsep ekonominya bahwa menimba keyakinan sosialis merupakan berita dari ilahi. Terlaksananya sosialis (kemakmuran) dalam bidang ekonomi merupakan suatu tugas agama.
Memang Hatta, sebagai mana Soekarno sangat mengagumi sosialisme. Karena menurutnya hanya melalui sosialisme lah kita bisa menghendaki suatu pergaulan hidup dimana tidak ada lagi penindasan dan penghisapan dan dijamin bagi rakyat bagi tiap-tiap orang kemakmuran dan kepastian penghidupan serta perkembangan kepribadian. Dan hal ini, bagi Hatta secara jelas tercantum dalam konsep sosialisme Islam, di mana Islam menuntut dasar pelaksanaan sosialisme ini. Jadi intinya, dalam benak Hatta adanya proses elaborasi konsep antara sosialisme dan Islam. Sebab, dalam hemat Hatta. Islam dan sosialisme tidak bertentangan. Terlebih berbicara tentang kemaslahatan rakyat.
Bagian 4
Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan penulis melalui metode kajian literatur dalam melakukan proses perbandingan pemikiran antara Soekarno dan Hatta. Maka, penulis menyimpulkan beberapa poin-poin pokok yang penulis temukan dari pengamatan tersebut, diantaranya:
- Pada pandangan mengenai nasionalisme Soekarno dan paham kebangsaan Moh. Hatta. Penulis menemukan kesamaan dalam konsep mereka untuk mempersatukan semua golongan dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda. Namun, terdapat kecenderungan pemikiran nasionalisme yang dikembangkan oleh Soekarno memiliki sifat yang lebih radikal daripada pemikiran Hatta. Ini wajar menurut hemat penulis, jika kita amati bagaimana hubungan Soekarno pada saat muda dan dewasa yang cenderung mengalami interaksi dengan beragam paham pemikiran dan bentuk pandangan politik, khususnya mengenai masalah nasionalisme.
- Dalam membicarakan demokrasi yang berlandaskan kepada sosialisme. Mungkin Hatta terlihat lebih konsisten daripada Soekarno. Hatta mampu memposisikan idealisme demokrasinya dengan terus berusaha mengingatkan Soekarno yang pada saat awal tahun 1955 sudah mulai mengalami penyimpangan akibat tergiur oleh kekuasaan. Bagi Hatta, demokrasi terpimpin (guided democracy) yang dikembangkan dan dimanifestasikan oleh Soekarno bukanlah bentuk demokrasi yang murni dan ideal diterapkan di Indonesia. Melainkan sebuah bentuk pemerintahan otoriter yang memangkas kedaulatan rakyat di dalam demokrasi.
- Islam dalam pandangan kedua tokoh memiliki banyak kesamaan. Soekarno dan Hatta sepakat melihat Islam sebagai agama yang harus dan semestinya bersifat modernis dan terbuka, serta mampu menawarkan solusi bagi peradaban dan membangun kemerdekaan Indonesia. Bukan sebuah agama yang kolot dan tertutup dan bahkan menentang modernitas.
4. Pada persoalan ekonomi, Hatta setuju dengan konsep sosialisme religius yang menyatakan bahwa antara Islam dan Sosialisme saling membutuhkan dalam mencapai kemakmuran. Soekarno, cenderung bersikap sama dengan Hatta tetapi dalam pelaksanaannya Soekarno lebih banyak meyimpang dari konsep awal yang dicanangkan dan dikonsepkan olehnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Anwar, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Kompas, Jakarta, 2010
Adams, Cindy, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1966
Hatta,Mohammad, Demokrasi Kita, Pustaka Antara. Jakarta. 1966
Hering Bob, Soekarno Architect of A Nation, KIT Publisher, Amsterdam, 2001
-------------, Soekarno Founding Father of Indonesia 1901-1945, KIT Publisher, Amsterdam, 2001
Katoppo, Aristides, 80 Tahun Bung Karno, Kintamani Offset, Jakarta, 1982
Kasenda, Peter, Soekarno Muda: Biografi pemikiran 1926-1933, Komunitas Bambu, Jakarta, 2010
Laelasari, Eksiklopedi Tokoh Politik Indonesia, Nuansa Aulia. Jakarta. 2001
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1965
Soyomukti, Nurani, Soekarno: Visi Kebudayaan&Revolusi Indonesia, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2010
Sjamsuddin, Nazaruddin, Soekarno: Pemikiran dan Kenyataan Praktek, Rajawali Press, Jakarta, 1988
Tim Penyusun 70 Tahun Bung Hatta, Bung Hatta: Mengabdi Pada Cita-cita Perjuangan, Panitia Peringatan Ulang Tahun ke-70 Bung Hatta, Jakarta, 1972