Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Suatu Pagi Di Pasar Baru

Suatu pagi di pinggiran kota tanah kelahiranku. Tak kala mentari masih merasa malu untuk menebar sinar hangat. Ketika pagi masih memeluk erat mereka yang tertidur pulas sebab kelelahan dari ladang. Seharian banting tulang untuk menghidupi istri dan anak-anak mereka. Jejeran pepohonan hijau yang kini tampak mulai alpa dan hilang akibat tergerus pembangunan. Digantikan oleh gedung-gedung mewah perkantoran dan fasilitas-fasilitas kaum menengah ke atas. Karena dianggap sudah tidak layak lagi untuk dijadikan sebuah ikon kemajuan jaman. Batinku merenung, semua tampak berbeda seperti yang kulihat 15 tahun yang lalu. Ketika aku masih begitu muda dan sayu untuk mengingat dan mendengar deru kemajuan jaman---tampak berjalan tanpa batas ruang dan waktu---menyentuh pembangunan di desa kecil tempat keluarga besar ibuku bernaung. Dramatis, begitulah batinku mencoba berteriak pagi ini. Bersama deru lalu-lalang kendaraan bermotor yang sudah mulai hilir-mudik menyisakan debu-debu pagi. Semua seperti kesemuan belaka. Kesemuan antara kehadiran sebuah kemajuan dan hilangnya arti kehidupan.

Kupercepat langkah kedua kakiku untuk mengamati apa ada yang berubah. Kuhentikan langkahku tak kala kedua mataku bertemu pandang dengan puluhan kendaraan bermotor yang berjejer di pasar tradisional kampungku. Orang bilang namanya pasar Baru. Nama yang cukup membikin kerutan di kepalaku. Pasar Baru mungkin memiliki arti pasar yang selalu menawarkan barang-barang baru. Atau bisa juga, diartikan sebagai pasar yang selalu mempertemukan orang-orang baru, mereka yang belum pernah kenal satu sama lainnya untuk bertransaksi jual dan beli.

“Tunggu, bukankah itu kawan kecilku?”, batinku mencegat diri untuk diam dan mengamati lelaki remaja yang sibuk mengatur kendaraan bermotor agar terparkir dengan baik dan rapi.

“Ya, siapa lagi kalau bukan dia. Tubuh yang kurus. Wajah yang tampak kurang makan seharian akibat menahan puasa di bulan suci ini.”

Perlahan kudekati dirinya. Kucoba untuk memastikan penglihatanku ini. Setelah lebih dekat. Kucoba untuk memanggil namanya.

Oy, ce. Dame kabar kaba?[1], mulutku spontan menyapa sahabat yang semenjak 2 tahun lalu berpisah denganku. Akibat ketidakmampuan dirinya untuk melanjutkan kuliah. Kusadari aku masih beruntung. Meski hanya berasal dari keluarga pas-pasan. Ayah dan ibuku masih juga memikirkan pendidikan kami, meski terkadang harus pontang-panting cari utangan kepada tetangga dan tenggulak.

Alhamdullilah, baek ce. Mak inilah kabaku. Mase sibuk mbantu umak semenjak bak dek de ade agi. Ngan dame kaba? Ai kukinak la brubah nian ngan ni. Cerite la, boy. Cerite gok’ kance nganni tentang Jakarte. Tentang kota yang uji jeme tu banyak jeme kaye dan duit melimpah disane.”

Amen kabaku ni alhamdulliah, baek lur. Ai dek de kan brubah ige aku ni. Maseh mak dulu nilah. Maseh kance lame ngan yang galak nyakah ikan gok kijing[2] di sungai Ogan. Pedie kaba nganni? Ngape dek de melanjutkan skolah? Uji dulu nak masuk. Pedie namenye yang bada uhang bepangkat gale?”

“IPDN, lur!”

“O, iye ye. . . . Lupe aku. IPDN ngape laju dek jdi tu ngan nak masuk sane. Haseku dulu nganni budak paling calak gok’ pintar di kelas?”

“Entahlah lur, aku kadang bingung. Tige kali aku tes, tapi dek pernah masuk sekali pun. Gagal nilah! Dek tau. Haseku nasibku ini mak inilah. B’balek naek setingkat ndai bapak kabah yang dulu cume buruh takok balam. O, jadilah mak ini aku jadi tukang parkir di pasar ni.”

“Au lah lur. Mak inilah idup tekadang ade proses yang dek de sesuai dengan ape yang kite arapkan. Dek de legalenye jalan yang kite lalui mudah dan alus’. Ade kian, yang mesti kite kurbankan untuk n’dapatkan sesuatu. Ade bahagie dalam idup. Tetapi, kite hala lupe ade pule derite yang harus kite lalui untuk jadi pribadi gagah perkase.”

Percakapan kami berhenti. Ia sepertinya harus kembali menata parkiran motor yang semakin ramai. Alamat hari yang semakin tinggi menunggu siang. Dan sepertinya cahaya matahari sudah mulai keluar dengan perkasanya. Untuk menunjukkan keadilan. Sebuah proses siklus yang mesti terjadi selama Bumi berotasi dalam mempertahankan keseimbangannya.

*

Aku terdiam. Sekembali berjalan-jalan pagi kemarin. Ada beberapa hal yang terpikir olehku. Keadaan yang merengsek otakku untuk merenung. Memikirkan sebuah arti hidup yang selama ini kulalui. Ada beberapa paradoks tentang hidup yang selalu lewat dalam perenunganku. Tentang manusia, tentang keadilan, dan tentang kebenaran. Selama di kampus, selalu kudengar dari ceramah dosen-dosenku bahwa manusia akan selalu mengalami sejarah. Dan materilah yang mempengaruhi kondisi sosial milik mereka. Ya, itu memang benar. Dan kondisi inilah yang membuat seorang pria revolusioner asal Jerman. Mencoba menghakimi keadaan yang terjadi akibat adanya pertentangan kelas dalam hidup akibat adanya kesenjangan materi yang tercipta---Kaum di atas yang berprilaku sebagai pemegang kekuasaan. Mereka berhak melakukan segala tindakan apa pun. Menelurkan hukum, mengubah keadilan, hingga mendapatkan segala hal yang berbau kenikmatan di atas dunia: kejayaan dan kedikjayaan.

Dan kaum yang di bawah, kaum yang mungkin tercipta dan dilahirkan untuk jadi obyek penghisapan. Mereka hanya sedikit yang mampu sadar secara organik untuk melawan kekangan penindasan. Mencoba menegoisasikan kembali mimpi-mimpi dan cita kepada Tuhan. Dan kemudian lahirlah sebuah kata-kata, “Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kita?”

Kembali aku merenung. Penat dalam menelusuri lewat rasio yang mungkin karunia terbesar dari Tuhan. Akal yang mengajarkan manusia untuk berbeda dari makhluk lainnya. Bahkan untuk membunuh sesama jenisnya dengan dalil penghalalan rasio dan pemikiran.

Lama aku berpikir. Ingatanku kembali kepada kisahku yang terjadi 2,5 tahun lalu. Ketika aku masih terlalu hijau untuk memahami sifat dan prilaku manusia. Sebab aku hanya diajarkan manusia adalah makhluk welas kasih. Saling bahu-membahu memberi. Saling mengajarkan lewat keadilan dan keterbukaan dalam setiap proses yang mereka lalui dalam seleksi. Karena mereka punya hati, punya perasaan untuk merasa sakit dan sedih ketika dikhianati.

Dulu, aku memandang manusia adalah penebar cinta. Ini yang diajarkan guru-guruku selama sekolah. Mereka dijadikan Tuhan sebagai khalifah di atas dunia karena kemampuan dan kasih sayang yang mereka miliki.

Tetapi semua salah. Dan hari itu datang juga, ketika aku mulai merasa gersang dan lelah terjebak dalam paradigmaku tentang manusia. Paradigma yang terlalu normatif memandang sisi kejujuran dan pertanggungjawaban karena nanti akan dicatat oleh malaikat. Aku bimbang, selama ini mungkin aku selalu mensakralkan seorang agamawan yang kuanggap sebagai tokoh sekelas di bawah nabiku tercinta, Muhammad SAW.

Namun, semua salah. Karena kemampuan diri pada agama. Mereka coba untuk menipu Tuhan. Memanipulasi keadaan dengan bertingkah bagai monyet spekulan. Banyak diantara mereka sudah berpuluh kali atau mungkin beratus kali berkunjung ke rumah-Mu. Memuji dengan mulut yang manis dan anggun. Tetapi dengan wajah yang tak ubah srigala-srigala lapar mencoba menuntut setiap keadilan yang Engkau gariskan.

Aku mungkin sudah terlalu hapal apa itu KKN. Dosa-dosa bangsaku juga lahir akibat dosa keturunan yang menganggap keadaan ini sebagai budaya. “Halalkan segala cara; menjilat, menghasut, menindas”. Hingga kalian dapatkan semua kenikmatan milik orang lain. Jadikan sumber dayamu. Bungkam kecerdasan dan kualitas dengan uang. Dengan kroni-kroni yang siap menyambut keadilan dengan segepok uang.

Bagiku, keteledoran ini tidak sepenuhnya salah manusia. Mungkin keadaan rasio yang menghalalkan segala cara yang menyebabkan hal ini. Tak perlu kita salahkan nafsu. Tak perlu kita menggerutu pada masa. Karena mau bagaimanapun keadaanlah yang membuat semua tampak berbeda. Kebenaran di dunia selalu akan menjadi milik kaum berharta, milik mereka yang bisa membeli semuanya. Dan, keadilan yang mutlak dan sejati hanya ada di langit. Sementara di dunia hanyalah kepalsuan semata.

Kulepaskan lamunan ini. Kutebarkan wajahku kehadapan rembulan. Dan kucoba membasuh kemarahan hati lewat semilir angin malam yang datang dan membelai keadaan. Membisikkan tentang keberadaan surga. Membius diri tentang panas dan angkernya keberadaan neraka. Dan di sana, terdengar percekcokan antara kedua malaikat, penjaga surga dan neraka. Karena penuhnya neraka dan lapangnya surga. Sementara Tuhan, tidak memperbolehkan program transmigrasi untuk dilaksanakan di akherat.

***

Baturaja, 20 Agustus 2011

“Manusia tidak dilahirkan oleh keadaan,

tetapi keadaan yang melahirkan manusia”

(B-pol)



[1] Apa kabar, kawan? (Bahasa suku Semende di OKU, Sumatera Selatan).

[2] Kerang kecil jenis air tawar. Sering ditemukan ketika air sungai surut di sekitar pasir dasar sungai.

0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009