Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Menyelami Esensi Demokrasi

Ada sebuah permasalahan klasik yang selama ini kerap menjadi bahan perenungan bagi para cendikiawan politik di seluruh dunia, yaitu mengenai hubungan kausatif antara demokrasi dan kemakmuran perekonomian yang dianggap merupakan satu sisi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Demokrasi yang dewasa ini dianggap sebagai sebuah sistem pemerintahan yang paling ideal di seluruh dunia, seakan tak mampu berkata apa-apa ketika dihadapakan pada permasalahan kemakmuran rakyat yang notabenenya merupakan faktor utama sebagai tolak ukur kemajuan berdemokrasi.

Mungkin apabila bersama kita tinjau melalui kacamata sejarah, akan kita temukan berbagai macam hal yang menjadi fokus perhatian para ilmuwan demokrat dalam usaha mensinergiskan demokrasi dan kemakmuran ekonomi. Berkaca pada situasi di negara kita, Indonesia. Ada banyak upaya untuk melakukan sebuah landasan konsulidasi penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis sejak awal mula negara kita di proklamirkan. Usaha-usaha try and doing tersebut telah intens dan berkelanjutan dilaksanakan oleh para founding fathers kita. Dimana dimulai sejak masa orde lama dengan impelementasi demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin, orde baru dengan demokrasi pancasila, dan orde reformasi saat ini yang katanya paling demokratis.

Akan tetapi, permasalahan klasik ini masih saja muncul ketika kita melihat bagaimana ketimpangan perekonomian rakyat semakin tinggi pada era demokrasi reformasi pada saat ini. Hal tersebut seakan menjadi sebuah paradoks pemikiran yang terlupakan oleh kaum elit-elit negeri ini dalam bertindak mengawasi bagaimana jalannya demokrasi tanpa adanya penyuburan dalam segi perekonomian kerakyatan.

Demokrasi saat ini seakan kehilangan raison d’etre-nya ketika mengingat semakin sering terjadi pemanipulasian kepentingan umum dengan adanya praktik money politics oleh sekelompok orang atau perorangan dengan usaha menjual suara untuk memilih seseorang atau menggolkan sesuatu kepentingan sepihak milik oknum tertentu. Hal inilah yang menjadi parasit dalam proses demokrasi di Indonesia, yang seakan sudah mulai kehilangan eksistensi dan harga dirinya. Dimana ketika ditinjau dari segi moral, upaya spekulasi dengan mengubah suara rakyat menjadi komoditi ekonomi yang mampu dijual dan diobral merupakan faktor penyebab utama yang membuat demokrasi di negara ini tidak mampu berbuat banyak untuk menjadi instrumen milik rakyat demi tercapainya kemakmuran yang sebesar-besarnya dalam bidang ekonomi.

Bertepatan dengan permasalahan tersebut, Wapres RI Boediono yang memberikan kuliah umum tentang demokrasi dan ekonomi kepada segenab civitas akademika FISIP UIN Syarif Hidayaullah Jakarta, pada hari Kamis, 23 Desember 2010 lalu. Mencoba untuk menjawab permasalahan ini. Menurutnya, ada dua faktor yang selalu muncul dalam proses demokrasi yang mengakibatkan terjadinya kompleksitas kegagalan demokrasi, yaitu disfungsionalitas dan degenerasi demokrasi.

“Uji terakhir dari suatu sistem politik, termasuk demokrasi, adalah apakah ia dapat memberikan manfaat berupa peningkatan kesejahteraan dan keadilan pada rakyat. Demokrasi yang disfungsional atau tidak berjalan tidak akan memberikan manfaat bagi rakyat dan oleh karena itu sering diikuti oleh timbulnya delegitimasi atau hilangnya kepercayaan rakyat terhadap sistem itu. Sistem politik yang baru kemudian muncul dan tidak jarang ia juga ternyata disfungsional. Sistem yang baru lagi kemudian menggantikannya. Demikian seterusnya”, ujarnya.

Sebagai catatan, Boediono juga menambahkan bahwa kita harus mewaspadai terperangkapnya demokrasi oleh eternal circle atau vicious circle yang menyebabkan ambruknya nilai-nilai demokratisasi dan berujung pada “2D”, sehingga berdampak pada kekecewaan rakyat yang berujung pada delegitimasi pemerintahan. Delegitimasi akan mengasilkan sebuah degenerasi sistem pemerintahan yang berujung kepada penurunan kualitas demokrasi dengan sistem lain yang kurang demokratis, seperti oligarki dan otoriter. Proses ini akan senantiasa terus berlanjut apabila tidak segera mungkin dilakukan respon yang cepat dalam menyelesaikan permasalahan yang campur-aduk antara kepentingan privat dan kepentingan publik, dan umumnya berakhir dengan pengorbanan kepentingan umum.

Memahami fenomena tersebut, bagi Boediono sendiri ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam proses mengawal jalannya demokrasi di Indonesia demi tercapainya keselarasan antara demokrasi dan ekonomi di Indonesia. Hal itu ialah: Pertama, bersikap hati-hati dan penuh kewaspadaan terhadap kerawanan menuju konsolidasi demokrasi dalam upaya menjalankan sebuah komitmen berdemokrasi dengan senantiasa berpijak kepada landasan masyarakat umum, bukan untuk keuntungan segelintir pihak elit yang memiliki kekuasaan di dalam pemerintahan. Kedua, memiliki sikap yang loyal dan tinggi terhadap anspirasi rakyat guna untuk menghindari terjadinya dua kerawanan, “2D”, yaitu disfungsionalitas dan degenerasi. Ketiga, meningkatkan komitmen dan solidaritas antar elit politik untuk membangun bersama sendi-sendi dasar dan aturan-aturan dasar yang bisa menjadi landasan kemajuan perekonomian rakyat yang berkesinambungan. Keempat, mengawasi jalannya demokrasi secara intensif dan transparan untuk mencegah terjadinya degenerasi karena adanya penyalahgunaan kewenangan publik dan korupsi, money politics dan politisasi birokrasi.

Oleh karena itu, kembali kepada hal normatif dalam tujuan akhir dari demokrasi yang termaknai dalam kata-kata “vox Populi Vox Dei”, dengan landasan kedaulatan rakyat yang memegang kendali utama untuk terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya sekat-sekat pembatasan yang bersifat aristokrat dan untuk terwujudnya situasi “Manunggaling Kawulo Gusti”. Sudah sepantasnya pemerintah merefleksikan demokrasi sebagai instrumen proyeksi peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat dan bukan sebaliknya menjadikan demokrasi sebagai milik perorangan dengan tanpa memberikan dedikasi dan sense of responbility terhadap rakyat yang masih kekurangan. Karena sesungguhnya demokrasi dan ekonomi adalah satu kesatuan, demokrasi berperan sebagai alat untuk memajukan ekonomi dan sebaliknya, ekonomi merupakan penilaian akhir dari proses jalannya demokrasi di negeri ini. (*)

Eko Indrayadi

Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009