Membicarakan konsep mengenai parlemen yang ideal setidaknya membawa saya berpikir lebih jauh mengenai mengenai bagaimana proses terhubungnya rakyat, pemerintah, dan negara. Pada proses ini, terdapat sebuah kecenderungan yang sangat krusial dimana sangat ditentukan ‘kelancaran’ proses sirkulasi kekuasaan di dalam mengatur mekanisme pada negara. Untuk melihat bagaimana proses itu berjalan secara semestinya. Sekiranya sangat perlu, diperhatikannya proses efiensi dan efektivitas kinerja dalam parlemen yang notabenenya merupakan alat kontrol lembaga eksekutif dalam menjalankan otoritas kekuasaan menjalankan pemerintahan.
Mengamati hal ini. Secara khusus dalam benak saya. Adalah baik bagi parlemen di Indonesia untuk menjalankan fungsi-fungsinya lebih maksimal, terlebih dalam masalah proses pengawalan jalannya pemerintahan. Parlemen tidak sekedar hasil dari Pemilihan Umum di dalam demokrasi maupun alat refresentatif dari masyarakat sebagai penyerap dan memproses ansprirasi. Lebih jauh, parlemen ibarat tulang punggung yang punya legalitas formal untuk mengawal dan menegakkan demokrasi di sebuah negara.
Berpijak pada hal tersebut. Menekankan pada ketiga fungsi parlemen di Indonesia, yang tertuang dengan jelas dalam pasal 20A Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ketiga: DPR di Indonesia memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan merupakan tindakan penting, terutama jika kita hendak berbicara mengenai masalah efiensi dan efektivitas parlemen. Memang, jika dilihat secara umum, ketiga fungsi ini sudah berjalan dengan maksimal. Mengingat, parlemen di Indonesia, khususnya DPR sudah mampu memperlihatkan dengan jelas eksistensi mereka dalam mengatur dan mengontrol jalannya pemerintahan demokratis pasca reformasi 98’.
Namun, permasalahan yang sesungguhnya bukan terletak pada eksistensi terus-terusan muncul. Sebab, yang terpenting adalah bagaimana menggiring ke arah efisiensi dan efektivitas parlemen di Indonesia. Sudah sewajarnya, jika fokus parlemen tidak hanya membahas masalah-masalah yang kaitannya formalitas semata. Tetapi perlu adanya rekontruksi baru dalam proses substantivitas dan prosedural. Memang, kenyataan ini perlu dilakukan mengingat terlalu lamanya proses harapan dan cita-cita dari reformasi terlalu lama berjalan.
Mengutip pernyataan Larry Diamond dalam Developing Democracy: Toward Consolidation (1999) bahwa, “hal terpenting dalam demokrasi adalah institusionalisasi politik dalam rangka mewujudkan konsolidasi demokrasi”. Institusionalisasi ini, menurutnya harus mampu melibatkan konvergensi yang mapan di seputar aturan dan prosedur umum persaingan dan aksi politik. Konsolidasi ini harus mampu menjawab tantangan penguatan tiga tipe institusi politik: aparat administratif negara (birokrasi), institusi representasi dan penyelenggaraan demokratis (partai politik, parlemen, dan sistem pemilihan umum), serta struktur-struktur yang menjamin akuntabilitas horizontal, konstitusionalisme, dan pemerintahan berdasarkan hukum, seperti misalnya sistem peradilan dan sistem pengawasan.
Dalam pandangan tersebut, saya sependapat dengan Larry bahwa dalam demokrasi sangat perlu terrefleksikannya institusionalisasi politik dalam rangka memperkuat struktur demokrasi refresentatif, khususnya di Indonesia. Proses ini memang akan membutuhkan waktu yang lama. Tetapi, salah satu masalah yang senantiasa muncul adalah bagaimana proses ini mampu membawa kepada pemerintahan formal? Kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan yang timbul dalam bentuk nepotisme acapkali jadi hambatan tersendiri dalam mewujudkan proses ini.
Nepotisme tidak hanya identik dengan melihat kongkalikong antara keluarga-keluarga elit politik yang duduk di dalam parlemen. Tetapi juga bisa dilihat lebih luas dengan mengamati bagaimana hubungan antar golongan, individu, dan relasi dalam orientasi keuntungan dalam kekuasaan. Memang, dalam paradigma saya. Masalah utama yang tidak selesai dari parlemen di Indonesia, maupun di dunia adalah mengenai bagaimana tingkah laku dari individu atau golongan yang ada di dalamnya mampu mempengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung mekanisme proses jalannya parlemen dalam mengontrol pemerintah.
Lebih jauh menanggapi hal ini, mungkin wacana penguatan parlemen dengan melakukan reorganisasi antara DPR dan DPD di Indonesia mungkin salah satu jalan yang tepat. DPR yang selama ini telah tersugesti dengan citra muram di mata masyarakat awam, sudah sepatutnya melakukan pembenahan diri. Tidak hanya sampai pada permasalahan citra. Masalah anggaran yang cenderung kurang transparan atau bahkan tidak diketahui oleh masyarakat yang seharusnya menjadi ordinat pemerintahan semakin merancukan kedudukan DPR di dalam parlemen. Namun, tidak selamanya sikap skeptis dan pesimis muncul. DPR sudah mulai terlihat bergerak aktif melakukan perbaikan secara internal dalam tubuhnya. Meskipun pelbagai hal, seperti kinerja yang lamban selalu jadi persoalan tiap tahunnya. Walaupun, tidak sepenuhnya kelambatan DPR disebabkan oleh kondisi internalnya. Mengingat bagaimana perumusan kebijakan dan undang-undang dibuat di parlemen. Yang berdampak pada banyaknya aktivitas politik yang harus dilalui dalam mewujudkan undang-undang yang refresentatif.
Kembali pada konsep awal. Pentingnya efisiensi dan efektivitas dalam parlemen. Dapat terwujud dengan memperhatikan posisi dua lembaga legislatif yang berada di dalamnya. Menyetarakan posisi DPD dan DPR memang dibutuhkan. Mengamati persoalan ini, Indonesia pasca reformasi yang mengaplikasikan keberadaan dua kamar (Bikameral) dalam badan legislatif telah membawa kemajuan besar dalam proses keberadaan fungsi check dan belances dalam mekanisme pemerintahan. Selain itu, adanya penataan sistem politik ulang terhadap pola-pola kekuasaan pemerintah telah menjadikan proses efisiensi akan lebih mudah diwujudkan sekarang.
Meskipun begitu, acapkali permasalahan yang timbul dalam upaya efiensi adalah mengenai bagaimana membagi kekuatan di dalam lembaga parlemen tersebut agar tidak mengalami ketimpangan satu sama lain. Memang pada mulanya, amandemen yang dilakukan oleh MPR terhadap Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945. Secara langsung telah menjadi awal dari tujuan proses efiensi dalam kelembagaan parlemen. Keberadaan DPD yang merupakan salah satu organ. Setidaknya telah menjawab tuntutan dari masyarakat terhdap ketidakjelasannya utusan golongan yang pada masa Orde Baru cenderung diatur dan dikendalikan oleh pemerintah eksekutif.
Akan tetapi, penguatan kelembagaan DPD perlu diperhatikan lebih serius agar ketimpangan ini tidak selamanya terus berjalan. Perimbangan usur kekuatan partai dalam DPR dan utusan daerah (teritorial) dalam DPD harus mampu seimbang satu sama lain agar terciptanya parlemen yang efektif dalam menyerap anspirasi masyarakat di seluruh Indonesia.
Secara fundamental, parlemen di Indonesia memang masih setengah hati dalam menjalankan fungsinya. Tetapi permasalahan tersebut akan mampu diselesaikan ketika posisi DPD dalam segi hak dan kewenangan mampu sama dan sesuai dengan DPR. Menyimak hal ini, saya berpandangan bahwa hal yang sangat penting dalam peerwujudan parlemen yang ideal adalah mengenai bagaimana setiap anggota individu yang berada di dalamnya mampu mengelola legitimasi secara amanah dengan penjalanan wewenang yang menyeluruh dari masyarakat. Setidaknya hal yang perlu dalam meningkatkan efiensi kinerja parlemen adalah memperhatikan kedudukan setiap organ yang ada di dalamnya.
Berdasarkan hal itu, beberapa hal yang perlu diutamakan dalam efektifnya parlemen dalam peningkatan kualitas demokrasi, diantaranya adalah: pertama, melakukan restrukturisasi kembali mengenai fungsi-fungsi organ kelembagaan yang ada di dalamnya. Pada masalah ini, perlu diadakannya perimbangan kekuatan legislasi diantara kedudukan dua organ, DPD dan DPR dalam hal kontrol, pembuatan kebijakan, hingga anggaran. Kedua, melakukan pemangkasan dalam hal jumlah partai dalam Pemilihan Umum, agar terfokusnya posisi setiap anggota DPR. Hal yang membuat lambannya kinerja dari lembaga DPR salah satunya adalah proses lobi politik yang lama antara satu partai dengan partai yang lain, karena menyangkut kepentingan ‘internal’ yang mereka usung berbeda-beda. Ketiga, memperbanyak tenaga ahli yang kompeten dan berkualitas dengan berasaskan pada merid systems, bukan pada spoil systems. Bagian ini sangat penting karena mengingat selama ini banyak kecenderungan tenaga ahli di parlemen dipilih atas dasar nepotisme antara anggota parlemen dengan partai. Keempat, memangkas dan menyatukan komisi yang ada di dalam parlemen, khususnya DPR. Sebab, keberadaan komisi yang over load telah menyebabkan lambannya kinerja parlemen dalam memutuskan sebuah kebijakan.[]
*Esai ini ditulis sebagai syarat lolos Parlemen Remaja Tingkat Mahasiswa 2011