Radikalisasi Agama merupakan masalah klasik yang kembali mencuat seiring dengan munculnya antitesa terhadap fenomena sosial politik yang ada. Berbicara mengenai radikalisasi dalam agama, mungkin tidak bisa kita pisahkan dari bagaimana seorang indivindu atau sekelompok orang melakukan interpretasi terhadap agama yang dianut dan diyakini. Dalam melihat dan mengamati perilaku radikalisme dalam agama dalam konteks demokrasi, maka secara tidak langsung akan timbul dua pertanyaan mendasar-Apakah pengaruh yang diberikan oleh demokrasi terhadap munculnya radikalisme? Lalu, bagaimana usaha demokrasi untuk menengahi tindakan radikalisme?
Beranjak dari pertanyaan serupa, Sidney Jones mencoba untuk “memberikan angin segar” melalui kuliah umumnya pada segenap civitas akademika UIN Jakarta pada Senin (23/5). Kuliah umum yang merupakan bagian dari serial demokrasi ini mengangkat tema mengenai Radikalisme Agama dan Demokrasi.
“Radikalisme cenderung tumbuh pada rezim pemerintahan yang demokratis dan otoriter”, ujarnya. Pada rezim demokrasi radikalisme merupakan bentuk pengaplikasian dari kebebasan bersekpresi yang dimiliki oleh masyarakat. Radikalisme itu sendiri cenderung menjadikan demokrasi sebagai wahana menebar bibit-bibit yang umumnya bertentangan secara langsung terhadap demokrasi. Sedangkan pada rezim otoriter, radikalisme tumbuh sebagai perlawanan sekelompok orang yang ingin melakukan protes maupun melakukan perompakan sistem pemerintahan secara radikal dan fundamental. Baginya, aksi radikalisme yang muncul dan menunjukkan eksistensinya pada saat ini, tidak bisa dilepaskan dari faktor sebab-akibat dari pelaksanaan reformasi. Sebab, tindakan radikalisme pada saat ini merupakan proses akumulasi atau ledakan ideologi yang ditekan oleh rezim orde baru di bawah pemerintahan Soeharto.
Ditinjau dari bentuk tipologinya, menurut pakar terorisme asal Amerika ini. Tindakan radikalisme agama dalam konteks sosial politik yang bertujuan untuk melakukan perubahan secara fundamental memiliki dua rupa; Pertama, menggunakan aksi massa dengan melakukan demonstrasi. Pada pengunaan aksi massa sebagai bentuk radikalisme, Sidney mencontohkan gerakan-gerakan islam yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Ia beranggapan, aksi massa yang dilakukan dengan turun ke jalan, merupakan aksi yang berbentuk soft dan tidak bertentangan dengan demokrasi. Asalkan aksi ini berjalan sesuai tanpa ada tindakan anarkis dari massa. Kedua, terorisme yang melakukan tindakan menebar teror dan meresahkan masyarakat. Tindakan yang kedua ini sangat bertentangan dengan demokrasi. Sebab menurut Sidney, menebar teror dengan menggunakan alat peledak atau bom yang bertujuan untuk menghilangkan nyawa seseorang sangat bertentangan dengan sisi humanisme.
Tetapi, meskipun wajar apabila dilakukan pembunuhan terhadap para pelaku terorisme yang melawan. Pakar human rights ini juga berpendapat mengenai perlunya pengawasan terhadap otoritas kepada densus 88 yang merupakan sebuah lembaga anti teror. Sidney mencatat, sejak Februari 2010, sudah 28 orang teroris tewas dalam operasi antiteror. "Jumlah itu terlalu banyak," kata Sidney.
Penembakan wajar dilakukan jika ada keadaan yang mengancam. Seperti penembakan atas Dr. Azahari pada November 2005 karena ada perlawanan. Tapi, dia mempertanyakan tewasnya Dulmatin pada Maret 2010 di tangan Detasemen Khusus Antiteror 88. "Dia (Dulmatin) terjebak di warnet, tidak mungkin dia tidak bisa ditangkap hidup-hidup," kata Sidney.
Oleh karena itu, dia menilai kematian Dulmatin telah memutus informasi penting tentang hubungan kelompok teroris di Mindanau dengan kelompok di Indonesia. Kepolisian harus mencari opsi-opsi selain penembakan. "Apakah latihan yang diterima Densus 88 cukup?" kata Sidney. "Mengapa tembak dulu baru tanya kemudian?"
Terlepas dari pengamatan mengenai hal itu, ada sisi kemanusian yang sangat ditekankan oleh Sidney. Meskipun pelaku terorisme memiliki kesalahan besar dalam tindakan teror yang berujung pada melenyapkan nyawa seseorang. Demokrasi menawarkan sebuah mekanisme hukum yang memiliki fungsi mengadili secara adil dan jujur dalam proses menyelesaikan permasalahan radikalisme agama. Mengutip sebuah ayat dalam al-Qur’an, Lakum Dinukum Waliyadin. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu. Dan marilah kita semua hidup dalam toleransi dan perdamaian. (*)
* Eko Indrayadi
Tulisan ini aku buat sebagai keresahan hati sebagai seorang manusia yang beragama.