
Malam begitu hening kurasa, rintihan air hujan tak berhenti menyapa keheningan ini. Menatapku dengan mesra dan khitmat melalui jendela buram kamar kontrakanku. Semua seakan menyapaku dikeheningan yang membisu ini. Suara burung malam dan katak sahut-menyahut menjadikan sebuah simponi keagungan Tuhan yang tiada mampu digoreskan dalam sebuah mozaik kehidupan. Namun, semuanya tidak berarti bagi diriku. Di dalam kehampaan ini kucoba menerawang sebuah perjalanan panjang seorang anak desa seperti diriku. Ya, sebuah perjalanan yang sangatlah melelahkan kawan. Perjalanan yang telah membuatku mengerti sebuah makna tentang cinta dan pengorbanan. Pikiranku melayang bersama hembusan angin malam yang sejuk menerpa-nerpa wajahku. Dan terbenam kembali ke masa aku SMA dulu. Kemasa pertama kalinya diriku mengenal sebuah kata yang sangat memusingkan diriku. Ya, itulah cinta. Sebuah kata yang memiliki berjuta interpretasi jika kita artikan. Namun, cintaku ini bukanlah sebuah cinta yang mampu berjalan dengan mulusnya kawan. Cintaku ini hanyalah cinta “Si bungkuk yang merindukan rembulan”. Masih ingat dan terlelap dalam sel-sel kelabuku. Bagaimana kejadian hari itu menjadi sepotong karunia Tuhan.
Hari itu adalah hari pertama aku masuk Sekolah Menengah Atas. Semua hari petualangan dalam pencarian sebuah arti dari kedewasaan. Hari pertama masuk sekolah ini bagiku, tiada jauh berbeda dengan hari-hari yang kulalui. Berlalu, berlalu, dan berlalu. Namun, sebuah pristiwa telah merubah sugesti teoritis dalam benakku. Hari itu kini menjadi seberkas prasasti yang hidup yang senantiasa mengalir bersama setiap hembusan napasku. Sesosok rupawan dan sederhana telah menjadi motivasiku. Ia, tidak begitu sempurna jika kita hanya mampu memandang berdasarkan sebuah pendekatan yang fisiologis. Ia sama dengan setiap perempuan yang ada di bumi ini. Lalu, apakah yang membuatnya begitu berbeda? Ya, pertanyaan yang terkadang kurenungkan untuk mencari jawabannya.
“Namaku Ica”, ucapnya singkat.
“Aku adalah siswa yang berasal dari SMP unggulan di kota ini. Motivasi saya menjadi siswa disini adalah saya ingin menjadi seorang siswa yang unggul dalam bidang imtaq dan iptek. Saya bersyukur dapat diterima menjadi siswa baru di SMA unggulan ini. Saya harap saya mampu mewujudkan cita-cita saya menjadi seorang dokter dengan bersekolah disini”, tambahnya dengan penuh semangat.
Aku hanya mampu menghela napas panjang hari itu. Jujur, aku merasakan sebuah perasaan yang asing merangsang hormon adrenalinku. Jantungkku berdetak lebih cepat setiap kali aku menatap wajahnya. Ia begitu sempurna, dengan sepasang mata tajam dan otak yang cerdas. Perkenalannya di depan kelas pada hari itu telah membuat berjuta bintang jatuh di dalam imajinasiku.
Waktu bergulir dengan cepatnya, ketika detik berganti menit, ketika menit berganti jam. Semuanya mutlak terjadi, semua adalah sebuah kekekalan yang tak mampu dibendung oleh siapapun. Semua kata-kata yang diucapkannya seolah telah dicatat oleh sang takdir. Ia memang siswa yang sempurna, hampir setiap mata pelajaran eksak mampu dilahapnya seperti makanan pokok. Sementara aku, bagaikan seorang kakek tua yang tersok-seok mengejar ketinggalanku dari dirinya. Aku dulu tak pernah menganggapnya sebagai orang yang berharga bagi diriku. Ia tak lebih adalah seorang rival yang harus kusingkirkan dalam setiap bidang akademis. Namun, rahasia Tuhan siapa yang tahu. Kompetisi yang senantiasa kualami, kini berbuah menjadi seribu perasaan galau di hati. Wajahnya senantiasa menghiasi setiap kata, prasa, kalimat, paragraf, hingga rima dalam karya-karyaku. Aku begitu bersemangat untuk menggorekan kata-kata pada selembar kertas ketika aku mengingat senyuman di wajahnya.
Pada suatu hari yang sudah kucoba untuk kulupakan. Kurangkai sebait sajak tentang cinta dengan maksud hati menyatakan cinta. Tetapi, apa daya bukankah cinta adalah zat yang universal dan fleksibel. Cinta bukanlah udara yang mampu bereaksi dengan terpaksa dan dipaksa. Sejujurnya, ia menolakku. Sebuah kata-kata yang sulit diterima dan diresapi oleh manusia yang pertama kali mengalami cinta. Dan cinta itu pada saat menjelang sebuah masa yang paling berharga dalam stratifikasi kehidupan manusia. Biarlah semuanya hanya kisah lalu pilu, sebuah kisah yang mengharu biru.
Namun, semuanya tak kuasa kulupakan hingga saat ini. Semua adalah cat pewarna kehidupan bagiku. Haruskah aku melupakan kenangan itu, ketika semuanya telah menumpuk menjadi tumpukan sedimentasi kenangan masa indah antara aku dan dirimu. Suatu kenangan yang mungkin akan kau lupakan suatu saat nanti, akan kau buang jauh-jauh ke dasar relung hatimu. Akan tetapi, bagiku kisah ini adalah mimpi di masa lalu. Kisah yang suatu saat nanti tak akan terulang dan kutemui kembali dimanapun aku berjalan menapaki tangga-tangga petualanganku mengintari kehidupan ini.
. . .