Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

“Dilema Birokrasi Pada Masa Orde Lama: Birokrasi Politik Aliran” (Perbandingan Dua Masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin)




ABSTRAK
Fenomena politik aliran yang berlangsung pasca kemerdekaan Indonesia dan berdirinya demokrasi parlementer secara umum memiliki pemgaruh yang sangat besar di dalam setiap dimensi kehidupan berpolitik dan bernegara. Birokrasi yang notabenenya adalah sebuah alat pemerintahan di dalam sistem politik, mengutip Almond mengalami ketersinggungan yang begitu erat dalam iklim politik yang dinamis. Birokrasi pada masa demokrasi parlementer cenderung menjadi perpanjangan dari ideologi parta-partai. Sehingga seringkali muncul klaim-klaim wilayah politik tertentu terhadap institusi birokrasi pada masa demokrasi parlementer. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin, birokrasi tetap tidak mampu menjaga netralitasnya sebagai sebuah lembaga administratif karena ikut terlibat dalam tarik-menarik 3 kekuatan politik –Soekarno, Militer dan PKI. Tidak boleh abainya birokrasi terhadap political religion: NASAKOM telah memaksa intitusi ini menjadi wilayah di balik layar tempat persaingan sekaligus saling menjatuhkan kedua kekuatan pendukung Presiden Soekarno di bawah dua kekuatan besar Militer dan PKI. Pasca dibrendelnya kebebasan partai politik melalui dekrit presiden 1959. Kerangka konsep yang penulis gunakan untuk menganalisis kondisi birokrasi di Indonesia pada masa tersebut adalah konsep Weber terkait birokrasi rasional, pandangan Lucian W. Pye antara hubungan birokrasi dan pembangunan politik, serta Marle Fainsod tentang model hubungan antara birokrasi dan politik yang terbentuk dalam konteks pembangunan politik. Temuan yang penulis dapatkan sebagai kesimpulan paper ini adalah bahwa birokrasi secara rasional di negara yang masih berproses demokrasinya belum dapat bersikap netral sepenuhnya dari kekuatan-kekuatan politik. Karena, cenderung di dalam birokrasi-lah sebuah persaingan politik sebagai sebuah ideologi maupun kelompok berlangsung secara dinamis dan menarik.

Kata Kunci:
Politik Aliran, Birokrasi, Political Religion.





I.PENDAHULUAN
I.1.Latar Belakang
Birokrasi sangat erat hubungannya dengan proses administrasi di dalam pemerintahan. Proses ini berhubungan dengan pelayanan (service) dan kerja pengelolaan (administratif). Birokrasi bukanlah sebuah fenomena baru di dalam masyarakat modern. Melainkan sudah diletakkan sebagai dasar dan syarat pemerintahan sejak masa Romawi dan masa Mesir kuno. Namun, kecenderungannya mengalami perubahan mendasar dan signifikan sejak seratus tahun terakhir. Dalam masyarakat kontemporer, birokrasi telah menjadi suatu lembaga yang dominan, sesungguhnya, birokrasi lebih sebagai satu lembaga yang melahirkan jaman modern.[1]
Birokrasi pada dasarnya dimaknai sebagai produk dari sebuah proses sosial yang panjang dan kompleks, yaitu dari serangkaian prosedur yang berliku dan menyangkut kontekstualitas sosial yang universal. Manusia sebagai individu sekaligus sebagai makhluk sosial jelas tidak mungkin bisa hidup sendiri. Dia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan juga agar bisa tetap eksis. Ketika individu-individu tersebut ternyata mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang sama, maka mereka berkomitmen untuk membentuk sebuah komunitas sosial yang selanjutnya komunitas sosial ini disebut sebagai negara. Sehingga Negara (Pemerintah) dibentuk berdasar pada kontrak sosial[2], dimana pada kontrak ini negara diberi kuasa untuk mempunyai beberapa fungsi antara lain fungsi keamanan, ketertiban, keadilan, pekerjaan umum, kesejahteraan, dan pemeliharaan Sumber Daya Alam dan lingkungan.
Dalam perjalanannya, ternyata terjadi perbedaan keinginan, kebutuhan, dan pendapat antar individu-individu tersebut bahkan perbedaan pendapat, kebutuhan dan keinginan tersebut mengarah kepada terjadinya konflik. Untuk mengatasi konflik yang terjadi, maka negara membuat peraturan-peraturan yang wajib dipatuhi oleh seluruh individu (masyarakat) tersebut. Menjamin agar peraturan terlaksana, dibutuhkan pemimpin dan aparaturnya. Peminpin dan aparaturnya ini berfungsi mengatur konflik, menegakkan peraturan dan mencapai tujuan. Untuk menjamin terlaksananya fungsi-fungsi itu pemerintahan negara memerlukan organ pelaksana yang mengoperasionalkan fungsi tersebut secara riil. Disinilah organisasi birokrasi muncul[3].
Jadi birokrasi adalah mesin negara (state michenary)[4], karena jika tidak ada negara maka birokrasipun juga tidak pernah ada, dan sebaliknya juga tidak mungkin ada negara tanpa ditopang oleh orgasasi birokrasi. Peran birokrasi menentukan hitam putihnya kehidupan masyarakat dan negara. Jika birokrasi baik, maka negara dan masyarakat akan baik. Begitu juga sebaliknya, jika birokrasi buruk maka masyarakat juga akan buruk. Jadi birokrasi memiliki akibat ganda yang saling bertolak belakang bagi masyarakat, yaitu menjadi lembaga yang sangat bermanfaat atau lembaga yang menyengsarakan bagi masyarakatnya.
Secara umum dapat dimaknai bahwa birokrasi merupakan suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik maupun yang buruk karena birokrasi merupakan instrumen administrasi rasional yang netral pada skala besar. Namun, sayangnya. Pada proses perkembangannya, birokrasi seringkali dilabelkan dengan pelbagai persoalan yang inefisiensi akibat ketidaksesuaian yang muncul dengan tujuan dan cita-cita dari prinsip birokrasi dalam rangka memperbaiki efisiensi administratif. Tidak netralnya birokrasi dan pergesaran nilai yang terbentuk tentang tugas administrasi negara sebagai abdi masyarakat menjadi abdi pemerintah dan pihak penguasa merupakan fenomena dan pilihan dilematis dari birokrasi sebagai alat pemerintah dan sekaligus perpanjangan tangan penguasa politik di negara-negara yang masih bertaruh pada kondisi sosial demokrasi dan sistem politiknya. 
I.2.Rumusan Permasalahan
Netralitas birokrasi di negara yang baru merdeka merupakan ketidakmungkinan yang mustahil. Kebebasan berdemokrasi yang baru tumbuh dalam keberagaman dan pluralnya kondisi sosiologis Indonesia pada masa awal mengalami ujian pertama dengan diselenggarakannya Pemilu 1955. Terpecahnya masyarakat dalam beberapa kelompok pendukung aliran ideologi-politik pada masa ini menimbulkan dampak yang lebih luas dalam perebutan kekuasaan politik di dalam parlemen oleh partai politik –mau tidak mau menyeret birokrasi sebagai institusi administrasi yang mapan dan mampu menjangkau semua lapisan masyarakat sebagai salah satu infrastruktur kelengkapan kekuasaan.
Hiruk-pikuk euforia politik yang berlangsung pasca dilaksanakan Pemilu 55 berdampak secara langsung dalam terbentuknya politik aliran –refresentasi dari keberagaman masyarakat dan ideologi yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Jika pada awal kemerdekaan sentimen ini dapat diredam dan diminimalkan karena kuatnya ikatan politik kebangsaan untuk menghadapi tantangan disintegrasi kemerdekaan karena tantangan dari pihak kolonialisme lama yang ingin bangkit kembali menjajah. Pada periode selanjutnya pasca pesta demokrasi pada menjelang dan sesudah Pemilu 1955. Sentimen-sentimen ini muncul kembali sebagai sebuah keniscayaan dalam sebuah Old Societies and New State[5] yang menimbulkan perbedaaan dan persaingan sengit secara politik dalam lima aliran politik dalam konstestasi demokrasi: Nasionalisme Radikal (PNI), Tradisionalisme Jawa, Islam (NU dan Masyumi), Sosialisme Demokratik (PSI), dan Komunisme (PKI).[6]
Pada masa selanjutnya hilangnya kekuasaan partai politik dalam demokrasi liberal dengan diganti dengan konsepsi Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 1959. Melahirkan koalisi partai yang sentralistik di bawah kendali eksekutif. Akibatnya, persaingan terlihat lebih tertutup di dalam lembaga eksekutif. Di mana tiga kekuatan Soekarno, tentara dan PKI saling berebut pengaruh  di dalam departemen pemerintahan (birokrasi). Paper singkat ini penulis buat sebagai hasil riset singkat dari beragam literatur  untuk menjawab dan menjelaskan apa saja yang menjadi faktor penyebab tertariknya birokrasi ke dalam kondisi-sosial politik pada dua masa orde lama: demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.
I.3.Pertanyaan Penelitian
1.      Bagaimana model persinggungan birokrasi dan politik pada masa pemerintahan Orde Lama?
2.      Bagaimana hubungan antara terbentuknya politik aliran dan netralitas birokrasi di Indonesia pada masa Orde Lama?
II.Pembahasan
II.1Kerangka Konsep
Secara definisi etimologis birokrasi berasal dari kata biro (berau) yang berarti kantor ataupun dinas, dan kata krasi (cracy, kratie) yang berarti pemerintahan. Dengan demikian birokrasi secara umum memiliki pengertian sebagai dinas pemerintahan[7]. Menurut Weber, secara karakteristik birokrasi memiliki definisi berdasarkan enam tipologi (tipe ideal), diantaranya:[8] Pertama, di dalam organisasi ini terdapat pembagian kerja dengan spesialisasi peranan yang jelas. Pembagian kerja dan terperinci ini akan membuka perekrutan tenaga yang ahli dalam bidangnya dan memungkinkan masing-masing pegawai bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugasnya. Kedua, organisasi jabatan ini mengikuti prinsip hirarki. Artinya jabatan yang lebih rendah berada dalam kontrol dan pengawasan jabatan yang lebih tinggi. Setiap jabatan dalam hirarki administrasi ini mempertanggungjawabkan kepada atasannya, tidak hanya terhadap keputusan dan tindakan yang diambilnya sendiri, tetapi juga setiap keputusan dan tindakan yang diambil oleh bawahannya. Ketiga, kegiatan organisasi jabatan ini dilakukan berdasarkan sistem aturan yang abstak yang konsisten dan terdiri dari penerapan aturan-aturan ini ke dalam kasus-kasus yang khusus. Sistem standar ini dirancang untuk menjamin keseragaman tidak hanya dalam pelaksanaan setiap tugas, terlepas dari berapa pun personil yang terlibat di dalamnya, tetapi juga dalam koordinasi berbagai tugas. Aturan dan pengaturan secara eksplisit membatasi kewajiban masing-masing anggota organisasi dan hubungan-hubungan diantara mereka. Keempat, setiap pejabat melaksanakan tugasnya dalam semangat dan hubungan yang formal dan impersonal, yakni tanpa perasaan benci atau simpati, dan karena itu tanpa afeksi atau antusiasme. Perilaku diskriminatif dan ketidakefisienan hanya dapat dihilangkan apabila pertimbangan-pertimbangan pribadi tidak dilibatkan dalam pelaksanaan tugas organisasi. Dalam hal ini terdapat kritik terhadap Weber, yaitu hubungan-hubungan informal yang berlangsung di antara anggotanya justru mendorong pelaksanaan kegiatan organisasi formal.
Kelima, setiap pegawai dalam organisasi ini direkrut menurut prinsip kualifikasi teknis (merit systems), digaji, dan dipensiunkan menurut pangkat dan kemampuan, atau keduanya. Prinsip-prinsip ini akan mendorong pengembangan kesetiaan kepada organisasi dan pengembangan semangat korps di antara para anggotanya. Keenam, organisasi administrasi yang bertipe birokratis dari segi pandangan teknis munrni cenderung lebih mampu mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, birokrasi mengatasi masalah unik organisasi. Artinya meminimalkan koordinasi dan pengendalian sehingga akan tercapai tidak hanya efisiensi organisasi, tetapi juga efisiensi produktif setiap pegawai.
Menurut Weber, keenam tipologi-ideal di atas akan menghasilkan suatu birokrasi yang tidak hanya superior dalam efektivitas, yaitu skala yang besar tetapi juga superior dalam efisiensi. Lebih lanjut, menurut David Beetham (1975)[9], Weber memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep birokrasinya. Tiga elemen itu antara lain: Pertama, birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis (technical instrumen). Kedua, birokrasi dipandang sebagai kekuatan yang independen dalam masyarakat, sepanjang birokrasi birokrasi mempunyai mempunyai kecenderungan yang melekat (inheren tendency) pada penerapan fungsi sebagai insrumen teknis tersebut. Ketiga, pengembangan dari sikap ini karena para birokrat tidak mampu memisahkan prilaku mereka dari kepentingannya sebagai suatu kelompok yang partikular. Dengan demikian birokrasi bisa keluar dari fungsinya yang tepat karena anggotanya cenderung datang dari kelas sosial yang partikular tersebut.
Elemen kedua dan ketiga dari birokrasi Weberian di atas, mengandung pandangan Weber terhadap politik dalam birokrasi. Ada faktor politik yang mampu mempengaruhi terhadap tipe ideal birokrasi. Kehidupan birokrasi tampaknya sudah diperhitungkan tidak bisa dipisahkan dari politik. Pandangan ini selama ini kurang diperhitungkan oleh sebagian besar ahli administrasi publik yang lebih banyak memberikan perhatian kepada elemen pertama. Inilah yang mendistorsi teori birokrasi Weberian. Ada kalangan ahli yang menekankan bahwa bahwa orientasi birokrasi Weberian hanya terbatas pada bagaimana ke dalam sistem administrasi dan organisasi diatur secara rasional. Oleh karena itu, syarat-syarat yang ditetapkan oleh Weber berkisar melihat hal-hal di dalam organisasi itu sendiri (in world looking) bukannya melihat faktor-faktor di luar (our world looking) yang bisa memperngaruhi sistem birokrasi.[10]
Perluasan pengaruh dan pembesaran peran politik seringkali dianggap sebagai aspek kajian yang sifatnya lebih kepada efek negatif dalam perkembangan birokrasi. Padahal hubungan yang terbentuk tersebut tidak hanya sebatas membahas belenggu negatif yang muncul sebagai dampak politisasi birokrasi: aristokrasi, feodalisme, dan arogansi kekuasaan. Karl W Deutch (1974), menjelaskan bahwa manusia pada abad ini hidup pada kondisi yang ia sebut sebagai politicizization. Suatu dunia yang yang sedang mengalami proses politisasi yang luas, sehingga banyak hal di masa lampau yang mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan politik, atau sekurang-kurangnya tidak berkaitan langsung, justru sekarang harus dipandang sebagai political issues.[11]
Masuk dan semakin besarnya peran birokrasi di dalam hajat hidup masyarakat luas membawa sebuah dampak besar dalam kehidupan bernegara. Deutch menyatakan bahwa dalam masyarakat yang modern tidak akan dapat dihindari efek dari suatu keputusan politik, atau sebuah keputusan administratif yang mempunyai dampak psikologi politik. Sebab keputusan ini tidak hanya berkenaan dengan segi-segi esensial dari quality of life. Peranan sentral yang dibawa oleh birokrasi di dalam pembangunan nasional telah membawa sebuah proses manejerial yang dilakukan oleh pemerintah terhadap penguasaan sumber-sumber daya yang terbatas jumlahnya, kemampuan-kemampuan manejerial untuk memobilisasi dana dan daya, serta kapasitas organisasi yang dimiliki, adalah alasan yang cukup kuat untuk memberikan peranan dalam bertindak sebagai penggerak pembangunan nasional.
B. Guy Petters[12] mengemukakan bahwa beraucratic empire building tidak semata-mata berhubungan dengan keinginan dari birokrasi itu sendiri untuk survive, tetapi berkaitan juga dengan pengembangan fungsi-fungsi yang dipandang sebagai esensial bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Bahkan birokrasi juga mempunyai resource yang sulit diimbangi oleh oleh institusi-institusi lain, termasuk institusi politik. Kenyataan bahwa jaringan birokrasi negara cenderung menguasai disposal information yang terpusat pada pemerintah, adanya political supporter yang menyertai keberadaannya, cara kerjanya yang lebih efisien dibanding institusi politik, serta posisinya yang bersifat permanen dan stabil merupakan segi-segi realistis yang harus pula diperhitungkan.
Strategisnya posisi dan peran birokrasi di dalam pemerintahan seringkali menjadikannya sebagai bangunan penting dalam proses pembangunan politik di negara-negara pasca kolonial. Mengutip pendapat Lucian W. Pye (1966)[13], bahwa ada tiga prasyarat yang harus dicapai oleh birokrasi dalam pembangunan politik, yaitu persamaan, kapasitas dan deferensiasi. Dalam ciri pokok yang pertama kesederajatan atau persamaan (equality), pengerahan tenaga-tenaga di dalam pemerintahan harus dapat mencerminkan ukuran-ukuran kemampuan atas dasar prestasi, bukan atas dasar ikatan kekeluargaan dan status yang berdasarkan sistem sosial yang tradisional. Ciri pokok yang dikemukakan selanjutnya, kapasitas sistem politik yang menghasilkan output secara langsung berhubungan dengan prestasi pemerintah dan keadaan-keadaan yang mempengaruhi prestasi. Ciri ketiga merupakan hal terpenting karena terkait diferensiasi dan spesialisasi. Ciri ini berlaku dalam analisa tentang lembaga dan struktur. Jabatan-jabatan pemerintah masing-masing memiliki fungsi tersendiri dan terbatas, dan ada persamaan pembagian kerja di dalam pemerintahan.
Merle Fainsod dalam konteks pembangunan politik dan peranan birokrasi mengamati hubungan antara birokrasi dengan flow of political authority dan memetakannya menjadi lima model sebagai analisis perbandingan, diantaranya[14]:
Pertama, model representative bureaucracy dimana birokrasi bersikap responsif terhadap para pemimpin politik dan tentu saja terhadap kemauan politik setiap masyarakat. Setiap prakarsa yang diambil oleh birokrasi senantiasa didasarkan atas kesadaran terhadap konsensus-konsensus yang berlaku. Perubahan hanya dapat terbentuk melalui kompetensi partai-partai politik, sebagaimana yang berlaku di negara-negara barat.
Kedua, A Party-State Bureaucracy, yang terbentuk di dalam negara yang menganut sistem partai tunggal. Birokrasi negara didominasi atau dikontrol oleh aparatur partai. Atau seperti yang pernah berlaku di Soviet pada masa Stalin, baik partai maupun birokrasi ditetapkan di bawah otoritas seorang penguasa diktatorial.
Ketiga, The Military-Dominated Bureaucracy yang tumbuh di negara-negara yang angkatan bersenjatanya mendominasi jabatan-jabatan politik di bidang eksekutif. Di lingkungan seperti ini, pemantapan kekuatan militer dan penerapan karakteristik militer di dalam mewujudkan disipilin dan kewenangan-kewenangan merupakan hal yang biasa. Keadaan semacam itu kadang-kadang diperlukan bagi perubahan dan pembaharuan sosial.
Keempat, A Personal Instrument of the Authoratic, yaitu suatu kondisi hubungan yang menempatkan para birokrat semata-mata sebagai dari alat dari penguasa otokratis atau diktator. Pengaruh yang dimiliki oleh birokrat secara individual akan sangat tergantung pada kualitas yang dibutuhkan oleh sang penguasa.
Kelima, Colonial Administrations or Nominal Ruling Person or Groups, dalam hubungan ini dijelaskan bahwa birokrasi dapat memerintah, baik secara langsung sebagai administrator kolonial atau secara tidak langsung atas nama seseorang atau sekelompok penguasa.
II.2.Analisis
Mengawali bahasan mengenai birokrasi dan politik aliran di Indonesia. Penulis ingin menjelaskan dua polemik dasar yang seringkali terjadi di negara-negara berkembang yang baru melakukan eksperimen besar dalam sistem pemerintahan politiknya. Bergerak dan tarik menariknya dua kekuasaan dalam konsep trias politika –Eksekutif dan Legislatif. Menimbulkan sebuah konflik politik yang terus berlangsung terus-menerus dan berdampak pada proses demokrasi di negara-negara berkembang pasca kolonialisasi yang berlangsung. Paradigma kekuasaan yang seringkali mengalami tarik-menarik di kedua lokus tersebut memiliki kekhasan dengan ikutnya peran militer dan partai politik di dalamnya. Pada satu waktu, kekuasaan terpusat di lembaga eksekutif. Pemerintah menunjukkan supremasi kekuatan dibandingkan lembaga-lembaga yang ada. Sehingga penggunaan kekuasaan fokusnya diarahkan agar sentralisasi kekuasaan berasal dan bermuara dari satu tempat. Pada kurun waktu yang lain, kekuasaan berada di lembaga legislatif. Partai politik di lembaga legislatif memainkan peranan penting dalam fokus kekuasaan. Pemerintah bisa mengalami kondisi pasang-surut akibat instabilitas politik dikarenakan konflik kepentingan yang sulit disatukan.
Di Indonesia atau kebanyakan negara berkembang di Asia, baik karena kelemahan kelas menengah yang produktif atau preferensi ideologi kanan maupun kiti, biroktasi menjadi alat pembangunan utama. Sebagai alat utama pembangunan, birokrasi memiliki posisi dan peran yang sangat strategis karena menguasai berbagai aspek hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, usaha, hingga urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari urusan birokrasi.
Birokrasi menguasai akses ke sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahauna dan infomasi yang tidak dimiliki pihak lain. Birokrasi juga memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, termasuk evaluasi kinerjanya. Adalah logis apabila pada setiap perkembangan politik, selalu terdapat upaya untuk menarik birokrasi pada area permainan politik. Birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, dan atau memperkuat kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak pemegang kekuasaan.
Hal ini dapat diamati pada masa dinamika dan transisi demokrasi di Indonesia. Pada masa demokrasi parlementer 1950-an di mana partai politik menjadi aktor sentral dalam sistem politik menjadi aktor sentral dalam sistem politik di Indonesia. Pemelihan umum pertama secara demokratis berhasil dilaksanakan pada periode ini. Dan birokrasi, secara massif, telah menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena perlombaan pengaruh oleh partai politik, sehingga menimbulkan polarisasi dan fragmentasi birokrasi.
Sementara peralihan ke masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) tidak menghasilkan perubahan mendasar dalam birokrasi, kecuali perubahan peta kekuatan politik. Pergeseran politik ke arah otoritarianisme saat itu menyebabkan peran partai mulai termarjinalkan. Semua kehidupan politik yang sudah berkembang sebelumnya terhenti dan dihentikan dengan menempatkan Presiden Soekarno sebagai patron kekuasaan (guided). Saat itu, satu-satunya partai yang secara dinamis mampu menarik keuntungan karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menurut Thoha[15], dalam membagi periodisasi proses birokratisasi dan politik di Indonesia pasca kemerdekaan yang berlangsung tahun 1945. Dapat dilihat dari tiga periode atau masa pemerintahan yang berlangsung pasca kemerdekaan Indonesia. Periode tersebut ialah, 1945-1950, 1950-1959, dan 1959-1965. Masing-masing periode memiliki keterkaitan tersendiri antara birokrasi dan kondisi politik yang berlangsung di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat di bawah ini:
a.Periode 1945-1950
Pada periode pertama antara tahun 1945-1950, semangat perjuangan masih mewarnai penyelenggaraan pemerintahan kita. Primordial sentimen yang membuat masyarakat Indonesia terbelah pada masa penjajahan dikesampingkan dengan semangat persatuan dan kesatuan. Bahkan munculnya kekuatan oleh kelompok mayoritas untuk menekan kepentingannya dalam menghargai kelompok minoritas. Contohnya adalah penyimpangan pertama Bung Karno yang dilakukan terhadap UUD 1945 dengan diterimanya usulan Sjahrir untuk menggunakan Kabinet Parlementer. Pilihan ini dipilih sebagai upaya untuk menjaga persatuan dan kesatuan pada masa awal kemerdekaan.
Semangat primordial, walaupun ada, untuk sementara waktu kalah oleh semangat nasional. Satu-satunya organisasi politik primordial adalah PKI yang melakukan pemberontakan dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara. Pada awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan bahwa  lembaga pemerintahan merupakan lembaga politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Angggapan ini beralasan karena lembaga politik memiliki birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Namun dalam perjalanan selanjutnya, menguatnya aspirasi primordial dalam lembaga birokrasi pemerintah menjadikan birokrasi sebagai incaran dari partai politik untuk menguasai pemerintahan.
b.Periode 1950-1959
Pada periode kedua antara tahun 1950-1959, gejala politik yang semakin menguat mengincar lembaga birokrasi pemerintah semakin dapat dirasakan. Pada tahun 1950 saat diberlakukannya UUD Sementara, menimbulkan efek kausalitas terhadap demokrasi parlementer yang memunculkan beragamnya partai politik yang merupakan konsekuensi kebebasan masyarakat untuk mendirikan partai berdasarkan aspirasinya. Pada periode ini terselenggaranya Pemilu pertama pada tahun 1955 yang mendapatkan label Pemilu paling demokratis dan dinamis di Indonesia. Ketika itu semua partai politik yang memenangkan suara berkeinginan untuk menguasai beberapa kementerian. Bahkan tidak jarang kabinet mengalami jatuh-bangun, demisioner akibat pembagian kementerian yang tidak sesuai dengan tuntutan partai politik. Mosi tidak percaya merupaka  awal dari runtuhnya kabinet yang memimpin lembaga pemerintah. Pemerintah di bawah kepemimpinan partai politik yang mendominasi DPR. Kedudukan DPR kuat, dan kedudukan pemerintah lemah. Netralitas birokrasi ikut terpengaruh oleh kondisi sosial-politik pada saat itu.
c.Periode 1960-1965
Pada periode ketiga antara tahun 1960-1965, lembaga pemerintah semakin jelas diincar oleh kekuatan politik. Tiga kekuatan partai politik yang dibungkus dalam Nasakom berusaha membagi kamplingan pengaruhnya di beberapa departemen pemerintah (they are building a block in the goverment bureaucracy). Di bawah label demokrasi terpimpin, tiga partai politik membangun akses ke lembaga pemerintah. Tiga kekuatan partai politik Nasakom berambisi menggunakan jabatan birokrasi dalam lembaga pemerintah sebagai building block untuk membangun organisasi partainya.
Pada masa ini lembaga pemerintah sudah mulai memihak kepada kekuatan politik yang ada. Atau lebih tepatnya lembaga pemerintah kita yang sudah terperangkap ke dalam jaring yang dipasang oleh kekuatan politik Nasakom. Hal ini terbukti ketika terjadi tragedi politik G30/S PKI pada 1965. Dari data yang diungkap ternyata kekuatan politik PKI telah menyusup ke hampir semua departemen pemerintah. Sementara itu, kekuatan agama dan nasionalis mendominasi kampling departemennya masing-masing. Pada periode ini dengan upaya PKI untuk menguasai lembaga pemerintahan, dan peran partai politik yang semakin bersaing satu dengan lainnya kurang mampu menghasilkan profesionalitas pemerintahan sipil yang netral dan kompeten. Akibatnya militer masuk ke dalam pemerintahan untuk menggantikan pemerintahan sipil yang telah kandas oleh konflik dan perpecahan akibat kepentingan pragmatis tiap-tiap kelompok partai politik di dalam pemerintahan.
Melalui tiga periode yang digambarkan oleh Thoha di atas. Penulis berpendapat bahwa pada masa awal kemerdekaan birokrasi (pamong praja) merupakan warisan dari pihak penjajah yang mengalami perubahan fungsi[16].  Jika pada masa kolonial sifatnya hanya sebagai alat administrasid dan pelayan pemerintah kolonial. Pada masa awal pemerintahan birokrasi menjadi salah satu alat untuk mencapai integrasi nasional dan mengkesampingkan sentimen kelompok minoritas terhadap mayoritas dan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dalam sentimen primordial. Rekrutmen lebih didasarkan kepada askriftif (berdasarkan kelas, agama, ideologi, dan kelompok-kelompok tertentu).[17]
Namun, situasi ini berubah pada saat berlangsungnya demokrasi parlementer. Secara penuh bentuk persaingan politik dan berdampak kepada bentuk politisasi terbuka sejak masa pemerintahan Ali Sastroamidjoyo departemen menjadi terlabelkan terhadap ideologi dan partai politik tertentu, yaitu: Depdagri dan Deptan oleh PNI, Depag oleh NU dan Masyumi, Deplu oleh PNI dan PSI, serta Dehub dan Dephan oleh PKI. Aibatnya pada para pemimpin partai politik bersaing untuk memperebutkan posisi menteri yang langsung memimpin sebuah kementerian. Setelah menduduki kursi menteri, maka sang menteri akan berusaha sekuat tenaga memperlihatkan kepemimpinannya dan kebijakan yang ditempuhnya sehingga para pegawai di kementerian tersebut tertarik untuk masuk dan menjadi anggota ke dalam partai sang menteri. Dengan kondisi seperti itu maka akhirnya didapati beberapa kementerian menjadi basis atau didominasi oleh partai politik.[18]
Pada masa demokrasi terpimpin birokrasi cenderung dijadikan sebuah alat mobilisasi polical religion[19] Nasakom yang merupakan representasi dari kekuatan politik pada masa demokrasi terpimpin. Bentuk politisasi pada masa ini bersifat setengah terbuka karena politisasi birokrasi tidak sebebas pada masa demokrasi parlementer. Meskipun terlihat lebih halus, politisasi birokrasi tetap berjalan dengan terbentuknya blok-blok di departemen birokrasi pemerintahan. Dikatakan setengah terbuka karena politisasi birokrasi hanya diperuntukkan bagi parpol-parpol yang mewakili golongan-golongan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Namun golongan yang terakhir ini di satu pihak secara formal memiliki hak untuk menempatkan beberapa pemimpin atau tokohnya ke dalam kabinet dan kemudian melakukan politisasi birokrasi. Tetapi di lain pihak, golongan Komunis tidak pernah menikmati hak tersebut karena masuknya PKI ke dalam kabinet selalu ditentang oleh dua golongan yang lain (nasionalis & agama). Selain itu juga ditentang pihak militer. Tampaknya Sukarno juga tidak bisa berbuat apa pun terhadap penolakan itu. Bahkan dalam banyak hal, Sukarno mengikuti sikap golongan nonkomunis. Sebagai jalan tengah, Sukarno menempatkan pemimpin atau tokoh organisasi satelit PKI, misalnya Baperki, untuk memimpin sebuah kementerian dan kemudian melakukan politisasi. Dengan demikian secara tidak langsung PKI dapat melakukan politisasi birokrasi melalui Baperki.
III.Kesimpulan
Model persinggungan antara birokrasi pada masa orde lama jika penulis kembalikan kepada konsep Merle Fainsod mengenai  hubungan antara birokrasi dengan flow of political authority pada masa demokrasi terpimpin model hubungan yang ingin dibentuk oleh birokrasi adalah model representative bureaucracy dimana birokrasi bersikap responsif terhadap para pemimpin politik dan tentu saja terhadap kemauan politik setiap masyarakat. Setiap prakarsa yang diambil oleh birokrasi senantiasa didasarkan atas kesadaran terhadap konsensus-konsensus yang berlaku. Perubahan hanya dapat terbentuk melalui kompetensi partai-partai politik, sebagaimana yang berlaku di negara-negara barat. Kondisi ini terlihat dari peran besar dari partai politik yang ikut menentukan fokus dan arah birokrasi pada departemen-departemen pemerintahan yang ada di negara. Namun, kondisi ini mengalami perubahan pasca keluarnya dekrit oleh Presiden Soekarno dan diberlakukannya ideologi Nasakom. Hubungan birokrasi dan politik bersifat A Personal Instrument of the Autocratic, yaitu suatu kondisi hubungan yang menempatkan para birokrat semata-mata sebagai alat dari penguasa otokratis atau diktator. Pengaruh yang dimiliki oleh para birokrat secara individual akan sangat bergantung pada kualitas yang dibutuhkan oleh sang penguasa.
Di satu sisi fenomena politik aliran yang berkembang sebagai konsekuensi terhadap konstestasi demokrasi dalam Pemilu 1955. Merupakan kondisi yang tidak dapat dihindarkan dalam proses politisasi birokrasi di Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer. Hubungan ini bersifat kausalitas dimana politik aliran bertindak sebagai penyebab dan politisasi birokrasi adalah akibatnya. Karena minimal melalui politisasi, sebuah birokrasi dapat digiring untuk dijadikan basis pendukung bagi partai sang menteri (merangkap pengurus partai) di dalam pemilihan umum yang akan datang. Akibatnya politisasi birokrasi menjadi hambatan bagi tumbuhnya proses profesionalisasi di dalam birokrasi.  Temuan yang penulis dapatkan sebagai kesimpulan paper sebagai pertanyaan penelitian selanjutnya adalah bahwa birokrasi secara rasional di negara yang masih berproses demokrasinya belum dapat bersikap netral sepenuhnya dari kekuatan-kekuatan politik. Karena, cenderung di dalam birokrasi-lah sebuah persaingan politik sebagai sebuah ideologi maupun kelompok berlangsung secara dinamis dan menarik.[]




Daftar Pustaka
Apter, David E. Politik Modernisasi. Jakarta: Gramedia, 1987.
Feith, Herbeth dan Lance Castle (ed). Pemikiran Politik Indonesia 1945-1966. Jakarta: LP3ES, 1988.
Geertz, Clifford (ed). Old Societies and New State. London: Free Press of Glencoe, 1963.
Hoesen, Djenal Koesoemahatmadja. Fungsi dan Struktur Pamongpraja. Bandung: Penerbit Alumni, 1978.
M. Blau, Peter dan Marshall W. Meyer.  Birokrasi dalam Masyarakat Modern . Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000.
Mansyur, Ahmad Suryanegara. Api Sejarah 2. Bandung:Salamadani Pustaka Semesta, 2010.
Peters , B. Guy. The Politics of Bureucracy. London: Routledge, 2001.
Ryass , Muhammad Rasyid. Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru. Jakarta: MIPI, 1997.
Stuart, John Mill. On Libert. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Sudarsono,  Juwono. Pembangunan Politik dan Perubahan Politik . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Surbakti, Ramlan . Memahami Ilmu Politik . Jakarta: Gramedia, 1992.
Thoha, Mifta. Birokrasi dan Politik di Indonesia . Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Wiliam, T. Gormley Jr and Steven J. Balla.  Bureaucracy and Democracy. Washinton DC: CQ. Press, 2004.



[1] Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000), hal. 12-13.
[2] John Stuart Mill, On Liberty (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 143-144.
[3] Wiliam T. Gormley Jr and Steven J. Balla, Bureaucracy and Democracy (Washinton DC: CQ. Press, 2004), hal. 4.
[4] Ibid, hal. 6.
[5] Clifford Geertz (ed), Old Societies and New State (London: Free Press of Glencoe, 1963), hal. 105.
[6] Herbeth Feith dan Lance Castle (ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1966 (Jakarta: LP3ES, 1988), hal. liii.
[7] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1992), hal. 183.
[8] Ibid, hal. 183.
[9] Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 19.
[10] Ibid, hal. 20.
[11] Muhammad Ryass Rasyid, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru (Jakarta: MIPI, 1997), hal. 42-44.
[12] B. Guy Peters, The Politics of Bureucracy (London: Routledge, 2001), pp. 221-222
[13]Lucian W. Pye “Pengertian Pembangunan Politik” dalam Juwono Sudarsono, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), hal. 21-22.
[14] Muhammad Ryass Rasyid, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, hal. 51-52.
[15] Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 135-140.
[16] Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Fungsi dan Struktur Pamongpraja (Bandung: Penerbit Alumni, 1978), hal. 23-25.
[17] Clifford Geertz (ed), Old Societies and New State, hal. 105.
[18] Bisa dilihat dalam tulisan berjudul “Kabinet PNI, PKI, dan NU” Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah 2 (Bandung:Salamadani Pustaka Semesta, 2010), hal. 340-342.
[19] Konsep Political Religion dapat dilihat dalam tulisan David E. Apter, Politik Modernisasi (Jakarta: Gramedia, 1987), hal. 392.

Analisis Kepemimpinan Di Internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Leader, Kader, dan Jalan Dakwah


Pendahuluan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah salah satu Partai Politik di Indonesia yang seringkali dibahas oleh para peneliti dan pengamat politik di Indonesia. Alasan sederhananya adalah karena partai ini mampu tumbuh besar secara signifikan hanya sekitar satu tahun pasca dideklarasikan pada agustus 1998. Partai yang berdiri sebagai bentuk antusias aspirasi masyarakat terhadap reformasi pasca Orde Baru dengan nama awal Partai Keadilan mengikuti Pemilu pertamanya pada tahun 1999 dan menjaring sebanyak 1.436,565 suara atau sekitar 1, 36 % dari keseluruhan jumlah suara dan menempatkan 7 wakilnya di DPR.
Pada Pemilu 2004, Partai Keadilan (PK) yang mengalami pergantian nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) karena terkendala electoral threshold. Partai ini berhasil meraih 8.325.020 suara atau sekitar 7,34% dari total suara dan berhasil mendudukkan 45 orang wakilnya di DPR. Pada Pemilu 2009 perolehan suara PKS 8.204.946 atau 7,88% dengan 57 kursi di parlemen. Sedangkan pada Pemilu 2014 memperoleh suara 8.480.204 atau 6.79% dengan penurunan jumlah kursi sebanyak 17 buah dari Pemilu sebelumnya.[1]
Meskipun diterpa berbagai macam persoalan di struktural Partainya. PKS mampu tetap solid sebagai mesin partai yang mapan. Kemapanan dan kesolitan di tubuh PKS dapat ditelusuri melalui sistem kaderisasi yang dibangun sebagai mesin utama partai –selain sukses di tingkat nasional partai yang tumbuh dari LDK anak-anak muda Tarbiyah ini berhasil membangun basis politik di daerah-daerah, termasuk mendudukkan wakil-wakilnya di legislatif maupun di birokrasi, bahkan PKS meraih sukses besar dalam menempatkan kader-kadernya atau kandidat-kandidat yang diusung untuk menjadi kepala daerah, baik di tingkat propinsi maupun Kabupaten/Kota. Dengan kekuatannya yang relatif masih kecil, serta manajemen partai yang sangat baik, partai yang dikenal dengan sebutan partai dakwah ini mampu mempengaruhi kompetisi politik dan mempengaruhi keputusan publik.
Permasalahan
Di dalam sub tesis yang membahas tentang dilema Partai PKS, Burhanuddin mengaitkan munculnya fenomena partai dakwah yang bernama PKS sebagai dampak dari marginalisasi politik selama tiga dekade yang dilakukan oleh pemerintahan otoriter Soeharto. Marginalisasi yang menempatkan Islam sebagai sebuah kekuatan politik yang mengancam stabilitas politik negara. Lengsernya Soeharto dan jatuhnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998, ibarat sebuah angin segar yang membawa kesempatan besar bagi persemaian gagasan dan gerakan aktivisme Islam.
Secara teoritis dan praksis, aktivisme Islam dapat diekspresikan dalam beragam bentuk dan aksi. Burhan mencoba membaginya menjadi dua hal, yaitu[2] : Pertama, aktivisme Islam yang diwujudkan dengan dilahirkannya kembali partai-partai politik Islam. Di antara 141 partai politik baru yang didirikan tak lama setelah Soeharto jatuh, sebanyak 42 partai atau hampir sepertiganya bernuansa Islam. Partai Islam yang dimaksudkan disini adalah partai-partai yang secara eksplisit mengklaim Islam sebagai ideologi mereka dan/atau partai yang memiliki basis dukungan dari organisasi-organisasi atau kelompok Islam. Namun demikian setelah proses verifikasi administrasi dan aktual, hanya terdapat 20 partai bercorak Islam dari 42 partai yang berkompetisi dalam Pemilu 1999. Pada Pemilu 2004, Partai Islam kontestan Pemilu menyusut drastis. Terhitung dari 24 partai yang lolos sebagai peserta Pemilu tahun 2004, hanya ada 7 partai Islam saja yang terdaftar sebagai kontestan Pemilu. Partai Islam banyak yang tidak memenuhi kualifikasi ambang batas elektoral untuk ikut serta dalam Pemilu tahun 2004. Pada Pemilu 2009, dari 38 Partai nasional yang berlaga, ada 10 partai di antaranya yang bisa dikategorikan Islam.
Kedua, era pasca Soeharto juga ditandai dengan pertumbuhan gerakan Islam dengan spektrum ideologi dan aksi yang beragam: merentang dari gerakan yang menoleransi kekerasan hingga yang menggunakan cara-cara damai, dari gerakan Islam yang demokratis hingga yang anti demokrasi juga ada. Di antara gerakan Islam baru yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya ada Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Jihad, dua kelompok yang paling dikenal di tingkat nasional.
Dalam konteks pergantian kepengurusan kepemimpinan PKS sebagai partai politik cenderung sangat harmonis dan bahkan cenderung tidak pernah mengalami konflik dan kontraksi kepemimpinan yang berarti. Proses pergantian kepengurusan juga hampir seluruhnya secara transparan diketahui oleh kader, sehingga keterlibatan kader dalam pengambilan keputusan terkait dengan kepengurusan relatif tinggi. Meminjam istilah dari Mutiah Allagapha[3] takkala melakukan assesment legetimasi di dunia Islam, bahwa orang sepertinya terlibat dalam proses politik, namun sejatinya mereka tidak terlibat. PKS sebagai partai politik yang memegang transparansi harus mampu menjelaskan kepada publik bahwa keterlibatan anggota dalam pengambilan keputusan di partai adalah cerminan active participation. Kedua, pandangan yang muncul terhadap PKS sebagai salah satu partai politik yang mampu mengelola, sekaligus memiliki daya tahan yang tinggi dalam mengelola isu suksesi karena masih kohesif dan solidnya elit politik PKS sebagai implikasi dari mapannya sistem perkaderan dakwah Tarbiyah. Pertanyaannya, adalah jika PKS telah menjadi partai terbuka dan kompleks, sehingga elit politik  PKS tidak hanya didominasi oleh perkaderan Tarbiyah, apakah PKS mampu mempertahankan situasi pergantian kepemimpian sebagai sesuatu yang alamiah. Artinya, dengan menjadi partai yang inklusif, PKS harus mulai menyiapkan supra-struktur dan infra-struktur yang memadai, agar ruang transformasi yang dibuat tidak menjadi bumerang. Dari penjelasan ini, penulis mencoba untuk menganalis melalui tulisan pendek ini, terkait “Kepemimpinan Di Internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) : Leader, Kader, dan Jalan Dakwah”
Kerangka Konsep
Partai politik adalah sarana untuk berpartisipasi di dalam sistem negara yang demokratis. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, mereka melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. [4]
Sigmeund Neuman mendefinisikan partai politik sebagai organisasi yang artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai politikmerupakan perantara besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas.[5]
Selanjutnya menurut Murice Duverger, secara umum perkembangan partai politik sejalan dengan demokrasi, dalam hal perluasan hak pilih dari rakyat dan perluasan hak-hak parlemen. Semakin luas pertumbuhan dan fungsi-fungsi kebebasan majelis politik, maka semakin tumbuh kesadaran para anggotanya untuk membentuk kelompok antarmereka dan bersaing dalam pentas politik. Semakin meluas hak individu untuk memberikan suaranya, semakin mendesak pula keperluan pembentukan komite untuk mengorganisasi dan menyalurkan suara para pemilih, serta penyediaan calon-calon untuk mereka pilih. Dengan demikian kebangkitan sejalan dengan kebangkitan kelompok-kelompok dalam parlemen dan komite-komite pemilihan. Sekalipun demikian, perkembangan partai terjadi di dalam maupun di luar lingkaran parlemen, dengan karakteristik yang saling berbeda.[6]
Kepemimpinan adalah sebuah kapasitas untuk menginspirasi keyakinan akan kebenaran tujuan seseorang, keberanian dalam pelaksanaan kolektifnya, dan ketaatan dalam menghadapi ancaman resistensi. Kepemimpinan kadang-kadang dikemukakan sebagai kebajikan atau keutamaan politik tertinggi. Derajat kepemimpinan seseorang ditentukan sejauh mana dapat membangun kendali atas dasar pengaruh. Ada yang berpendapat bahwa kepemimpinan adalah hasil kharisma yang merupakan karakteristik pribadi. Sementara yang lainnya menganggap kepemimpinan lebih tergantung pada konteks sosialnya, sehingga mereka yang menjadi pemimpin di dalam suatu negara atau situasi tertentu belum tentu dapat menjadi pemimpin di negara lain atau situasi yang berbeda. [7]
Dalam praktiknya, ada beberapa tipe kepemimpinan yang dapat dilihat dari gaya kepemimpinan seorang pemimpin. Sarlito dalam Hunneryager dan Heckman mengemukakan bahwa ada beberapa tipologi kepemimpinan dalam sebuah institusi yang sifatnya struktural, diantaranya:[8] Pertama, tipe otokratis. Seorang pemimpin otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri menganggap organisasi sebagai milik pribadi, mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi, serta sering menggunakan pendekatan dengan unsur paksaan dan bersifat menghukum. Kedua, tipe militeristik. Seorang pemimpin yang bertipe militeristik ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat bersifat sentralistik dan bersifat formalistik. Ketiga, tipe paternalistik. Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin paternalistik bersifat melindungi, namun senantiasa jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan. Keempat, tipe kharismatik. Pada umumnya pemimpin ini memiliki daya tarik dan pengikut yang jumlahnya besar. Kelima, tipe demokratis. Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe kepemimpinan yang bersifat demokratis merupakan tipe kepemimpinan yang ideal untuk oraganisasi modern. Tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik senantiasa mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari kelompoknya. Bersifat terbuka dalam menerima saran, pendapat, bahkan kritik dari bawahannya.
Sedangkan Max Weber membahas tentang tipe kemepimpinan didasarkan sumber legitimasi atau otoritas yang dimilikinya. Teori Max Weber tentang otoritas kepemimpinan yang terdiri dari otoritas kepemimpinan kharismatik, tradisional dan legal formal memperlihatkan adanya proses evaluasi secara linear, yaitu dari otoritas kharismatik ke tradisional dan ke legal formal. Kepemimpinan disebut kharismatik jika pengabsahannya tersebut berasal dari kekuatan supra natural yang diyakini para penganutnya. Kemudian kepemimpinan yang berotoritas tradisional yang terjadi manakala memperoleh pengakuan dari para leluhurnya dan masyarakatnya. Lalu, kepemimpinan yang berotoritas legal formal, pengabsahannya berasal dari pengakuan di depan hukum dan karena dipilih oleh mereka yang memiliki hak memilih melalui koridor aturan yang sudah dibakukan.[9]
Pembahasan
1.      Leader
Struktur organisasi pada PKS bersifat federal sentralistik. Ada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang menjalankan dan mengkoordinasikan seluruh pimpinan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) di tingkat Provinsi, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) di tingkat Kabupaten/Kota, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di tingkat Kecamatan sampai ke tingkat struktur PKS terbawah, yang bekerja pada tingkat desa/kelurahan, yang disebut sebagai Dewan Pimpinan Ranting (DPRa). DPP memiliki tanggung jawab penuh atas penyelenggaraan organisasi partai pada semua tingkat, namun secara administratif DPC bertanggung jawab kepada DPD, dan DPD bertanggung jawab kepada DPW masing-masing.[10]
DPP PKS saat ini dipimpin oleh Anis Matta yang menjabat pada 1  Februari 2013, menggantikan Luthfi Hasan Ishaaq, pasca terkait kasus pidana korupsi. Struktur anggota DPP sekurang-kurangnya beranggotakan presiden partai, sekretaris jenderal, bendahara umum, dan ketua-ketua departemen. Menurut statuta PKS, DPP berdiri sejajar dengan Dewan Syariah Pusat (DSP) yang bertugas sebagai lembaga fatwa dan qadha yang merumuskan landasan syar’i terhadap partai dalam melaksanakan aktivitasnya dan memberikan jawaban berdasarkan syariah terhadap berbagai masalah yang dihadapi partai serta anggotanya dan masyarakat.
Majelis Pertimbangan Partai (MPP) adalah lembaga pelaksana harian tugas-tugas Majelis Syuro dalam hal mengawasi jalannya partai agar sesuai dengan tujuan-tujuan partai, sejalan dengan ketetapan-ketetapan yang dikeluarkan oleh Majelis Syoro dan Musyawarah Nasional. Meskipun begitu, secara organisatoris, DPP, MPP, dan DSP berada di bawah lembaga tertinggi partai, yakni Majelis Syuro. Fungsi Majelis Syuro adalah lembaga tertinggi partai yang berfungsi sebagai lembaga Ahlul Halli wal-Aqdi. Menurut statuta PKS, majelis tersebut berfungsi untuk menyusun visi dan misi partai, ketetapan-ketetapan dan rekomendasi Musyawarah Nasional. Majelis ini juga memiliki kekuasaan yang mutlak untuk memilih presiden partai (ketua eksekutif partai di DPP), membentuk kepengurusan MPP, memilih badan harian DSP, menentukan kebijakan partai, memutuskan isu-isu strategis dan semacamnya. [11]
Lembaga tertinggi ini sekarang dipimpin oleh alumnus Universitas Madinah K.H. Hilmi Aminuddin, pemimpin ideologis PKS. Majelis Syuro ini terdiri atas 99 anggota, yang bertugas, seperti senat atau kongres. Anggota Majelis Syuro dipilih oleh kader-kader tingkat Madya ke atas yang disebut sebagai kader inti untuk mewakili kepentingan anggota dan kader PKS di tingkat lokal dan memastikan suara mereka bisa didengar di tingkat nasional. Namun demikian, hasil temuan yang dikemukakan oleh Burhan menyatakan bahwa tidak semua anggota Majelis Syuro dipilih oleh oleh kader-kader inti PKS. Dari 99 Majelis Syuro, 65 anggota memang dipilih; mereka berasal dari 33 provinsi. Komposisi dan alokasi jumlah Majelis per provinsi didasarkan pada kouta kader di masing-masing daerah. Misalnya, kursi Majelis yang diperebutkan DKI Jakarta sebanyak 6, Jawa Barat paling banyak kursinya (12), Bali (1), NTT (1), Jawa Tengah (6), Jawa Timur (4).[12]
Disini pertimbangan keterwakilan provinsi dalam struktur majelis syuro penting dilihat. Sebagaimana kita tahu anggota-anggota kader PKS harus melewati enam jenjang pengkaderan yang pada jenjang takhassus, yaitu mereka yang keahlian paripurna dalam bidang dakwah. Empat tingkat tertinggi disebut kader inti yang kemudian diberi kesempatan untuk memilih bagi Majelis. Namun, dalam beberapa kasus sebelumnya, ada sejumlah provinsi yang tidak memiliki kader inti berjumlah mencukupi sehingga mereka tidak bisa memilih perwakilan mereka di Majelis Syuro. Dalam beberapa kejadian sebelumnya, agar ada representasi anggota Majelis Syuro daari 33 provinsi, anggota-anggota terpilih Majelis Syuro kemudian menunjuk anggota-anggota terpilih yang tidak memiliki cukup banyak kader inti. Selain itu, ada dua anggota Majelis Syuro seumur hidup, yakni K.H. Hilmi Aminuddin dan Salim Segaf Al-Jufri. Juga terdapat 32 anggota Majelis Syuro yang ditunjuk (by selection) berdasarkan hasil rapat 65 anggota terpilih dan 2 anggota Majelis seumur hidup. Ke 32 anggota tersebut ditunjuk berdasarkan keahlian dan profesionalitasnya dalam berbagai bidang, antara lain ekonomi, syariah, politik dan lain-lain[13].
Untuk lebih jelasnya terkait struktru kepengurusan dan kepemimpinan dalam tubuh PKS dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 1.1 Struktur Kepengurusan PKS[14]
https://prokeadilan.files.wordpress.com/2007/03/struktur2.jpg

Namun, terlepas dari model kepemimpinan di dalam PKS. Penulis mencoba mengamati tentang kemungkinan terbentuknya faksi politik di dalam internal PKS. Faksi muncul sebagai bentuk konflik dalam internal partai yang diakibatkan adanya perbedaan pandangan. Sehingga masing-masing kelompok atau individu mencoba untuk melakukan merebut pengaruh kelompok atau individu lainnya di dalam partai atau institusi politik.
Menurut Zariski (1960) faksi adalah “any intra-party combination, clique or grouping whose members share a sense of common identity and common purpose and are organised to act collectively – as a distinct bloc within the party – to achieve their goals”. Dalam definisi itu faksi menyaratkan adanya pengelompokan dalam partai atas dasar sebuah identitas dan tujuan bersama dari pada anggotaya sebagai sebuah blok atau kubu yang berbeda di dalam partai untuk meraih sebuah tujuan secara kolektif. [15]
Sementara itu Rose (1964)[16] membedakan antara faksi dan kecenderungan pengelompokan yang disebutnya sebagai tendensi (tendency). Tendensi lebih bersifat cair di mana pengelompokan atau penyikapan sebuah kelompok dapat berubah-ubah atau bukan suatu hal yang permanen, tergantung isu yang berkembang. Dan karena tidak solid, maka tidak dapat diidentikan dengan kalangan atau orang tertentu. Sementara faksi, menurutnya, merupakan sebuah pengelompokan yang ditandai adanya soliditas pengorganisasian yang tinggi, adanya disiplin dan kesadaran berkelompok, dan memiliki semacam keanggotaan yang kohesif.
Ada beberapa momen dalam PKS yang kemudian menguatkan dugaan adanya faksi. Momen pertama melibatkan kalangan yang Pro-Amien dan Pro-Wiranto pada Pemilu Presiden 2004. Tokoh-tokoh seperti Hidayat Nurwahid, Rahmat Abdullah, dianggap mewakili kubu yang berbeda dengan kalangan yang mendukung Wiranto seperti Anis Matta, Fahri Hamzah atau Aus Hidayat Nur.  Di sini, mulai muncul selentingan adanya kalangan yang lebih pragmatis dalam menentukan pilihan politik, yakni berorientasi kemenangan, versus kalangan idealis yang lebih mengedepankan ukhuwah islamiyah. Momen kedua, terkait dengan kelanjutan koalisi dengan SBY. Situasi ini dipicu dengan naiknya harga BBM di tahun 2005. [17]
Beberapa kalangan dalam PKS menyuarakan untuk meninggalkan koalisi. Di sini tokoh-tokoh sepeti Anis Matta dan Mashadi yang dalam momen tertentu berbeda pandangan, memiliki suara yang sama. Keduanya menginginkan adanya evaluasi atas koalisi yang dirasakan semakin tidak mengutungkan rakyat dan citra partai.  Dalam hal ini, sikap Anis yang menyarankan partai keluar dari kabinet menjadi lebih “idealis”, ketimbang gerbong besar elit partai, termasuk beberapa tokoh yang berbeda pandangan pada kasus Pemilu 2004, yang memilih bersikap hati-hati dan melihat langkah keluar koalisi sebagai langkah yang tidak bijak.[18]
Dalam perkembangannya, di dalam partai muncul seolah pengelompokan antara kalangan yang lebih berorientasi eksklusif dan moderat, terutama dalam menjalin kerjasama dan mengembangkan political networking, dengan kalangan yang lebih hati-hati dan cenderung “text book” dalam soal-soal pengembangan kerjasama dan menafsirkan arah perkembangan partai.  Kalangan yang pertama ini ditengarai digerakan oleh Anis dan Fahri. Sementara kalangan yang kedua diyakini digerakan oleh mereka yang “non-Anis“, yakni mereka yang tidak terlalu sejalan dengan perspektif politik Anis yang kerap “terlalu canggih”. Uniknya kalangan kedua dalam hal ini dipandang lebih idealis ketimbang Anis. Pendukung Anis selanjutnya kerap disebut sebagai “kalangan muda”, yang kemudian dikonfrontir dengan tokoh-tokoh “tua” seperti Rahmat Abdullah atau Yusuf Supendi. Namun pengelompokan “muda versus tua” ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sepenuhnya benar. Karena “tokoh tua” seperti KH Hilmi Aminuddin kenyataannya justru kerap memuluskan jalan kalangan muda. Sementara figur-figur muda seperti Al-Muzzamil atau Untung Wahono cenderung bersikap hati-hati cenderung tidak sejalan dengan kalangan muda meski mereka tidak dapat disebut kalangan tua. Pada akhirnya sifat pengelompokan itu lintas generasi dan lebih pada style dalam menjalankan kepentingan partai. Dengan kata lain lebih disebabkan pada startegi perjuangan.[19]
 Tidak lama setelahnya muncul stereotype yang lebih fenomenal lagi, yakni akan adanya “Faksi Kesejahteraan” dan “Faksi Keadilan”. Faksi Kesejahteraan” dianggap sebagai kalangan extravaganza yang berbeda dengan kalangan “Faksi Keadilan” yang menunjukan sebuah kesederhanaan. Dalam perkembangannya Faksi Kesejahteraan terlihat lebih mengambil peran, tercermin dari sikap partai yang menjadi lebih terbuka, nasionalistik dan fleksibel, termasuk pemberian Award kepada tokoh-tokoh Nasional termasuk Soeharto, hingga keputusan untuk menjadi “partai terbuka” secara resmi di tahun 2010.[20] 
2.      Kader
Pola rekrutmen kader-kader PKS menggunakan sistem dan modus operandi Jama’ah Tarbiyah. Dalam usahanya, PKS menggunakan dua strategi. Pertama, adalah pola rekrutmen individual (al-da’wah al fardhiyyah), bentuk pendekatan orang per orang, meliputi komunikasi personal secara langsung. Daripada mendekati orang-orang yang belum dikenal, strategi ini dimulai dengan dengan mengajak calon-calon kader potensial di lingkungan terdekat kader seperti keluarga, teman, kolega kerja, dan tetangga. Dengan kata lain, rekrutmen PKS dibangun atas relasi sosial yang telah ada sambil pada saat yang sama menumbuhkan semacam solidaritas baru berdasarkan kepercayaan yang sama, serta loyalitas dan komitmen dan loyalitas yang kuat.[21]
Calon-calon kader  yang akan direkrut tersebut akan diajak berpartisipasi dalam serangkaian forum keagamaan dan pelatihan yang diorganisir oleh PKS sebagai fasilitatornya, seperti usrah (keluarga) atau halaqah (kelompok studi terbatas) atau liqo (pertemuan mingguan), rihlah (rekreasi), mukhayyam (camping), daurah (pelatihan dan workshop islami), nadwah (seminar) dan seterusnya. Harapannya adalah setiap peserta baru akan saling mengenal (ta’aruf), memahami (tafahum), dan mendukung (tafaul). Kegiatan-kegiatan ini terorganisir secara sistematis ini dilakukan secara rutin, dengan harapan bahwa peserta-peserta baru bisa memiliki nilai dan pemahaman yang sama.[22]
Kedua adalah pola rekrutmen institusional (al da’wah al-‘amma). Ada pelbagai bentuk rekrutmen institusional yang bisa melibatkan struktur formal PKS maupun organisasi-organisasi sayap yang berafiliasi dengan PKS dengan bekerja sama dengan intitusi-institusi keagamaan seperti masjid maupun institusi pendidikan seperti sekolah dan universitas.
Dilihat dari tujuan politik, strategi rekrutmen kader yang dilakukan PKS dapat dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, ditujukan untuk memobilisasi sebanyak mungkin orang terlepas suku, ras, dan jenis kelamin untuk menjadi anggota, simpatisan, dan sukarelawan PKS. Mereka diharapkan bersedia terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik yang diorganisir oleh partai. Mekanisme rekrutmen kader seperti ini jelas merupakan karakter dasar dari partai politik seperti PKS yang mementingkan kuantitas sebagai alat untuk memenangkan Pemilu.
Kedua, pola rekrutmen yang bertujuan untuk mendaftar kader-kader potensial melalui mekanisme rekrutmen yang selektif. Sebagai partai kader yang memiliki standar rekrutmen yang ketat, PKS mewajibkan para kadernya untuk terlibat aktif dalam serangkaian pelatihan intensif. Pelatihan ini dikemas secara berjenjang dan hirarkis (marhalah), yang mencakup proses pembelajaran (ta’alim), mengasah kemampuan berorganisasi (tandzim), pengembangan karakter dan internalisasi ajaran Islam (taqwin), dan evaluasi (taqwim). Singkatnya, proses pelatihan kaderisasi di PKS dapat dibagi dalam enam tingkatan pelatihan yang berakhir pada tingkatan takhassus yang memiliki keahlian dakwah secara paripurna.[23]
Sebagai cara untuk mengetahui bagaimana proses rekrutmen dan kaderisasi PKS melalui tarbiyah. Penulis mengutip hasil penelitian salah satu mahasiswa UI terkait sistem yang digunakan dalam proses rekrutmen di kampus Universitas Indonesia melalui struktur kepengurusan yang rapi dalam mencapai tujuannya untuk menciptakan kampus madani dengan menguasai posisi strategis lembaga intra kampus. Mulai dari struktur gerakan yang rapi. Alur koordinasi dan rantai komando yang ketat, hingga program-program yang terukur. Berikut adalah struktur kelompok  tarbiyah UI tahun 2012:
Gambar 1.2 Struktur Kepengurusan Kelompok Tarbiyah [24]
 













Keterangan :
·         UK : Unit Kampus, berisikan alumni-alumni yang dulunya memiliki posisi strategis dan para Aktifis Dakwah Kampus Permanen (ADKP) yang meliputi para dosen yang ada di birokrasi kampus.
·         MS: Majelis Syuro
·         BM : Barisan Muslimah
·         Akpro : Aksi dan Propaganda
·         Sospol Sosial Politik

Tahun 2012, terjadi perubahan pola gerakan (atau yang mencakup struktur di atas) dari kelompok tarbiyah. Rantai komando dari atas sedang diupayakan untuk dihilangkan dan diganti dengan jalur koordinasi. Sehingganya dalam pengambilan keputusan atau kebijakan-kebijakan, para kader tarbiyah dituntut untuk mengambil berdasarkan hasil rasionalisasi bersama anggota mereka di internal organ intra. Kegiatan kemahasiswaan pada kelompok tarbiyah ini dibagi menjadi kegiatan terbuka dan tertutup. Kegiatan terbuka dimaksudkan apabila kegiatan tersebut dapat diikuti publik secara umum. Kegiatan terbuka ini dapat dijumpai di kegiatan-kegiatan lembaga intra yang didominasi oleh anggota tarbiyah. Kegiatan tertutup jika kegiatan tersebut diadakan secara tertutup tanpa diketahui oleh publik. Kegiatan ini disebut kegiatan amiyah atau rahasia oleh internal tarbiyah. Biasanya kegiatan-kegiatan ini diadakan oleh struktur tarbiyah kampus.[25]
Berdasarkan kepada manhaj atau nilai-nilai dasar perjuangan yang dimiliki oleh anggota tarbiyah, maka di dalam pergerakan mahasiswa mereka memiliki daftar agenda yang harus dicapai setiap tahunnya. Agenda tersebut dinamakan agenda dakwah. Beberapa agenda tersebut antara lain: Penambahan jumlah kelompok belajar atau mentoring atau holaqoh, dan peningkatan kualitas kader. Pusat pembinaan ini terpusat di LDK Salam UI dan LDF-LDF. Pembinaan merupakan sebuah kegiatan terpenting di kelompok tarbiyah. Dasar dari pembinaan tersebut adalah halaqoh.[26]
Temuan dari riset yang dilakukan oleh Ibnu, alasan yang menjadikan gerakan kaderisasi sukses dari kelompok tarbiyah dalam lingkup universitas di UI adalah dikarenakan dimilikinya jabatan-jabatan strategis-struktural secara birokratis di lingkungan UI. Kelompok tarbiyah mampu meletakkan kader-kader unggul mereka untuk menjabat di birokrasi Direktorat Kemahasiswaan UI. Pejabat ini adalah ADKP yang berkoordinasi dengan struktur tarbiyah kampus.



3.      Jalan Dakwah
Gerakan tarbiyah diinspirasi oleh gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Gerakan ini dipelopori oleh Hasan Al-Banna dan Sayyid Qutb sebagai acuan gerakannya. Ketika Lembaga Dakwah Kampus (LDK) berkembang menjadi sebuah gerakan politik pasca kejatuhan rezim Orde Baru. Pengaruh gerakan tarbiyah semakin kuat, terutama setelah dideklarasikannya Partai Keadilan (PK) pada tahun 1998. Pengaruh ideologi Ikhwanul Muslimin semakin kuat. Ideologi yang didoktrin secara kuat melalui manhaj gerakan dakwah tidak pernah pernah diganti meski sudah menjadi partai.
Dalam praktik dakwah yang dilakukan oleh kader-kader tarbiyah/PKS ada beberapa medan perjuangan yang menjadi tahapan yang harus dilakukan oleh para kader-kader, diantaranya:[27] Pertama, medan pengorganisasian (mihwar tanzhimi), yakni membangun sebuah organisasi yang kuat dan solid, yang menjadi kekuatan utama dalam mengoperasikan dakwah. Organisasi ini diperkuat dengan orang-orang yang tangguh sebagai lokomotif dakwah maupun memimpin umat. Untuk kepentingan tersebut, dilakukan pembinaan dan kaderisasi yang sistematis, integral, dan berjenjang dengan waktu yang relatif panjang. Kedua, medan kemasyarakatan (mihwar sya’biy), yakni membangun basis massa yang luas dan merata sebagai pendukung dakwah. Medan ini bersifat terbuka bagi semua orang dengan orientasi kuantitas.
Ketiga, medan institusional (mihwar mu’asasi), yaitu membangun berbagai lembaga untuk mewadahi berbagai kerja perjuangan di seluruh sektor kehidupan dan seluruh segmen masyaraka. Selain membangun institusi ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan, dan politik, kegiatan ini juga memasuki berbagai intitusi yang sudah ada, termasuk pemerintahan dan militer. Dengan langkah ini maka terjalin jaringan strategis antara PKS dan pihak-pihak tersebut.
Keempat, medan kenegaraan (mihwar daulah), yakni wilayah dakwah di tingkat negara. Bagi PKS, dakwah harus sampai pada tingkat negara karena institusi negara dipandang mampu merealisasikan secara legal dan kuat seluruh kehendak Allah atas kkehidupan masyarakat. Mencermati uraian di atas, nyaris sulit dibedakan antara manhaj dakwah PKS dengan manhaj dakwah Ikhwanul Muslimin. Dalam hal ini Ikhwan bukan hanya inspirasi bagi PKS melainkan sebuah qiblat dan acuan perjuangan.
Mengenai perjuangan dakwah terhadap persoalan gender PKS, menegaskan bahwa kesetaraan antarmanusia tidak bisa dilepaskan dari bagian integral konsep Islam tentang keadilan. Tidak ada keistimewaan bagi sebagian manusia atau sebagian yang lain. Laki-laki tidak istimewa karena kelaki-lakiannya dan perempuan tidak istimewa karena keperempuanannya. Laki-laki dan perempuan sederajat dalam hak keagamaan, etika, sipil, tugas dan kewajiban. Setiap individu dalam pandangan PKS memiliki kewajiban untuk menegakkan keadilan dan menjalin hubungan yang sehat antara laki-laki dan perempuan sebagai suatu pasangan. Di sini pentingnya apa yang disebut relasi gender yang didasarkan kepada nilai keadilan, yaitu proses dan pemberlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki dalam menjalankan peran kemanusiaannya atas dasar persamaan. Persamaan kemanusiaan ini menjadi dasar dua jenis kelamin untuk saling berintegrasi dalam kerangka persaudaraan.[28]
Memiliki akes dan kesempatan berpartisipasi berarti laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memanfaatkan sumber dayanya dalam pembangunan peradaban dan dapat menikmati anugerah sumber daya alam yang sempurna. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk terlibat dalam mengambil keputusan atas penggunaan hasil sumber daya alam tersebut demi kebaikan dan kesejahteraan bersama.[29]


Kesimpulan
PKS sebagai sebuah partai politik Islam merupakan bentuk tipologi partai yang lebih rajin membangun basis kekuatan melaluo aksi-aksi ektra-institusional untuk menarik perhatian publik. PKS adalah satu-satunya partai yang secara aktif melakukan mobilisasi terhadap kader dan simpatisannya untuk turun ke jalan dan melakukan aktivitas non-elektoral. Dalam proses ini dapat dipahami karena PKS adalah partai yang tidak biasa (unusual party). PKS lahir dari gerakan sosial bernama tarbiyah yang kemudian bermutasi menjadi partai politik. Basis sosialnya adalah kelompok muslim terdidik, muda, dan kelas menengah kota. PKS mampu mendulang simpati publik dengan memobilisasi kader dan simpatisannya untuk melakukan kegiatan bakti sosial secara terus-menerus dan tidak hanya menjelang Pemilu. PKS tampil sebagai sebagai partai kader yang menerapkan standar ketat dalam proses rekrutmen dan pelatihan-pelatihan para anggotanya.
Dalam proses kepemimpinan di dalam internal partai. PKS memiliki tokoh kharismatik yang menjadi unsur perekat dan pemersaru, yaitu Hilmi Aminuddin yang senantiasa dianggap sebagai golongan tua pendiri tarbiyah yang mendirikan PK. Namun, tokoh-tokoh kunci ini lebih sering menempatkan diri di belakang layar dan pembuat keputusan, sekaligus mengawawasi jalannya partai. Tokoh-tokoh yang dianggap golongan muda lebih cenderung dimunculkan untuk berhadapan dengan kompetisi politik, seperti Hidayat Nur Wahid, Fahri Hamzah, Tifatul Sembiring, Lutfi, Nur Mahmudi Ismail, dan Anis Matta. Pengaruh ini membawa unsur positif di dalam model kepemimpinan partai karena PKS muncul ke publik dengan brands sebagai partainya anak muda dan terpelajar.
Kebijakan PKS yang menekan model kepemimpinan yang kharismatik terhadap golongan tua sebagai perekat apabila terjadi konflik. Keputusan diinternal partai dapat dibuat secara cepat dengan cara melibatkan golongan-golongan muda sebagai eksekutif partai tentunya. Namun, kelemahan dari model kepemimpinan dalam tubuh PKS adalah kurang dikenalnya para kader yang mengusung berdirinya kepemimpinan secara kolektif. Meski kuat secara internal karena terlibatnya kader secara keseluruhan dalam mengambil peran di dalam partai. Kurang dikenalnya tokoh-tokoh populer di dalam PKS di tingkat nasional lebih sering menempatkan PKS sulit menjadi partai besar yang berbasis massa yang mengutamakan kepopuleran tokohnya sebagai magnet penarik suara dalam Pemilu.
Olivier Roy mengkritik partai-partai Islamis yang mengalami kegagalan ketika masuk ke dalam tahapan mengelola pemerintahan karena memilih pemimpin lebih atas dasar kesalehan dan bukannya kapasitas dan profesionalitas. Kritik tersebut relevan bila digunakan untuk membedah model rekrutmen kepemimpinan di PKS karena seringkali pertimbangan jenjang keanggotaan dan lamanya masa tarbiyah seorang kader lebih diutamakan dari kapasitas. Bila ada pilihan seseorang dengan jenjang keanggotaan tinggi namun kurang kapasitas sedangkan ada kader yang lebih kapasitasnya namun jenjang keanggotaannya lebih rendah, maka masih lebih sering kader yang lebih senior yang diutamakan. Sementara stressing pembinaan atau tarbiyah di  masa awal gerakan Tarbiyah memang mengutamakan peningkatan kesalehan dan ketaatan, bahkan kadang kala ada taqwim, pengujian apakah seseorang mau meninggalkan kewajibannya di kantor untuk ikut demonstrasi di hari kerja. Bila kader tersebut tidak mau mangkir dari kantor, maka ia akan dinilai tidak taat kepada murabbi dan lebih mementingkan urusan duniawi.[30]






Daftar Pustaka
Aman (ed), Ichlasul. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik . Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Budiardjo, Mirriam . Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor, 1998.
Budiman, Ibnu . Geopolitik Islam Kampus UI: Indonesia, Islam, dan Ikhwah(n). Yogyakarta: Gre Publishing, 2014.
Muhtadi, Burhanuddin . Dilema PKS: Suara dan Syariah. Jakarta: KPG,  2012.
Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Memperjuangkan Masyarakat Madani. Jakarta: Majelis Pertimbangan Pusat PKS, 2008.
Rahmat, M. Imdadun t. Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus Ke Gedung Parleme. Yogyakarta: Lkis, 2009.
S.G. Huneryager &I.L. Heckman. Kepemimpinan. Semarang: Dahara Prize, 1992.
Suekanto, Sitaresmi S. Desertasi: Pemenangan Pemilu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia 1999-2009 dan Adelet Ve Kalkinma (AKP) di Turki 2002-2007: Studi Perbandingan. Depok: Desertasi Universitas Indonesia, 2012.
Ware, Alan. Political Parties and Party Sytems. New York: Oxford University Press, 1996.
Wibowo, Ragil Sapto. Skripsi : Suksesi Kepemimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Internet
http://pks.id/content/kepengurusan (diakses pada Kamis, 9 April 2015 pukul 21.00 wib)
Firman Noor artikel berjudul “Faksi dalam PKS” pada www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-nasional/832-faksi-dalam-pks.html (diakses pada Rabu, 8 April 2015 pukul 13.00 wib).
Jurnal
Rose, R. (1964), ‘Parties, Factions and Tendencies in Britain’, Political Studies, 12 (1) : 33-46.
Zariski, R. (1960). ‘Part Factions and Comparative Politics: Some Preliminary Observations’, Midwest Journal of Political Science, 4 : 1,










[1] M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus Ke Gedung Parlemen (Yogyakarta: Lkis, 2009), hal. 1.
[2] Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah (Jakarta: KPG, 2012), hal. 2-3.
[3] Mutia Allagapha dalam Ragil Sapto Wibowo “Skripsi : Suksesi Kepemimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hal. 5.
[4] Mirriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik (Jakarta: Yayasan Obor, 1998), hal. 16.
[5] Neuman dalam Mirriam, Partisipasi dan Partai Politik, hal. 16.
[6] Meurice Duverger dalam Ichlasul Aman (ed), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hal. 2.
[7] Roger Scruton. The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought dalam Sitaresmi S. Suekanto “Pemenangan Pemilu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia 1999-2009 dan Adelet Ve Kalkinma (AKP) di Turki 2002-2007: Studi Perbandingan” (Depok: Desertasi Universitas Indonesia, 2012), hal.61.
[8] S.G. Huneryager &I.L. Heckman, Kepemimpinan (Semarang: Dahara Prize, 1992), hal. 9-10.
[9] Op. Cit, hal. 62.
[10] Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, hal. 126.
[11] Ibid, hal. 127.
[12] Ibid, hal. 129.
[13] Ibid, hal. 144.
[14] Struktur Kepengurusan PKS di atas mengalami penyederhanaan agar dengan mudah dapat dipahami. Untuk struktur lengkapnya dapat diakses pada http://pks.id/content/kepengurusan (diakses pada Kamis, 9 April 2015 pukul 21.00 wib).
[15] Zariski, R. (1960). ‘Part Factions and Comparative Politics: Some Preliminary Observations’, Midwest Journal of Political Science, 4 : 1
[16] Rose, R. (1964), ‘Parties, Factions and Tendencies in Britain’, Political Studies, 12 (1) : 33-46
[17] Firman Noor artikel berjudul “Faksi dalam PKS” pada www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-nasional/832-faksi-dalam-pks.html (diakses pada Rabu, 8 April 2015 pukul 13.00 wib).
[18] Firman Noor artikel berjudul “Faksi dalam PKS” pada www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-nasional/832-faksi-dalam-pks.html (diakses pada Rabu, 8 April 2015 pukul 13.00 wib).
[19] Firman Noor artikel berjudul “Faksi dalam PKS” pada www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-nasional/832-faksi-dalam-pks.html (diakses pada Rabu, 8 April 2015 pukul 13.00 wib).
[21] Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, hal. 144.
[22] Ibid, hal. 146.
[23] Ibid, hal. 147-148.
[24] Skripsi mahasiswa Departemen Geografi UI sudah diterbitkan Ibnu Budiman, Geopolitik Islam Kampus UI: Indonesia, Islam, dan Ikhwah(n), (Yogyakarta: Gre Publishing, 2014), hal. 61.
[25] Ibid, hal. 62.
[26] Ibid, hal. 63.
[27] M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus Ke Gedung Parlemen, hal. 128-129.
[28] Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Memperjuangkan Masyarakat Madani, (Jakarta: Majelis Pertimbangan Pusat PKS, 2008), hal. 569.
[29] Ibid, hal. 570.
[30] Desertasi Sitaresmi S. Suekanto “Pemenangan Pemilu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia 1999-2009 dan Adelet Ve Kalkinma (AKP) di Turki 2002-2007: Studi Perbandingan” (Depok: Desertasi Universitas Indonesia, 2012), hal. 290.

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009