Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Efisiensi Dan Efektivitas Parlemen Dalam Kualitas Demokrasi Di Indonesia

Membicarakan konsep mengenai parlemen yang ideal setidaknya membawa saya berpikir lebih jauh mengenai mengenai bagaimana proses terhubungnya rakyat, pemerintah, dan negara. Pada proses ini, terdapat sebuah kecenderungan yang sangat krusial dimana sangat ditentukan ‘kelancaran’ proses sirkulasi kekuasaan di dalam mengatur mekanisme pada negara. Untuk melihat bagaimana proses itu berjalan secara semestinya. Sekiranya sangat perlu, diperhatikannya proses efiensi dan efektivitas kinerja dalam parlemen yang notabenenya merupakan alat kontrol lembaga eksekutif dalam menjalankan otoritas kekuasaan menjalankan pemerintahan.

Mengamati hal ini. Secara khusus dalam benak saya. Adalah baik bagi parlemen di Indonesia untuk menjalankan fungsi-fungsinya lebih maksimal, terlebih dalam masalah proses pengawalan jalannya pemerintahan. Parlemen tidak sekedar hasil dari Pemilihan Umum di dalam demokrasi maupun alat refresentatif dari masyarakat sebagai penyerap dan memproses ansprirasi. Lebih jauh, parlemen ibarat tulang punggung yang punya legalitas formal untuk mengawal dan menegakkan demokrasi di sebuah negara.

Berpijak pada hal tersebut. Menekankan pada ketiga fungsi parlemen di Indonesia, yang tertuang dengan jelas dalam pasal 20A Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ketiga: DPR di Indonesia memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan merupakan tindakan penting, terutama jika kita hendak berbicara mengenai masalah efiensi dan efektivitas parlemen. Memang, jika dilihat secara umum, ketiga fungsi ini sudah berjalan dengan maksimal. Mengingat, parlemen di Indonesia, khususnya DPR sudah mampu memperlihatkan dengan jelas eksistensi mereka dalam mengatur dan mengontrol jalannya pemerintahan demokratis pasca reformasi 98’.

Namun, permasalahan yang sesungguhnya bukan terletak pada eksistensi terus-terusan muncul. Sebab, yang terpenting adalah bagaimana menggiring ke arah efisiensi dan efektivitas parlemen di Indonesia. Sudah sewajarnya, jika fokus parlemen tidak hanya membahas masalah-masalah yang kaitannya formalitas semata. Tetapi perlu adanya rekontruksi baru dalam proses substantivitas dan prosedural. Memang, kenyataan ini perlu dilakukan mengingat terlalu lamanya proses harapan dan cita-cita dari reformasi terlalu lama berjalan.

Mengutip pernyataan Larry Diamond dalam Developing Democracy: Toward Consolidation (1999) bahwa, “hal terpenting dalam demokrasi adalah institusionalisasi politik dalam rangka mewujudkan konsolidasi demokrasi”. Institusionalisasi ini, menurutnya harus mampu melibatkan konvergensi yang mapan di seputar aturan dan prosedur umum persaingan dan aksi politik. Konsolidasi ini harus mampu menjawab tantangan penguatan tiga tipe institusi politik: aparat administratif negara (birokrasi), institusi representasi dan penyelenggaraan demokratis (partai politik, parlemen, dan sistem pemilihan umum), serta struktur-struktur yang menjamin akuntabilitas horizontal, konstitusionalisme, dan pemerintahan berdasarkan hukum, seperti misalnya sistem peradilan dan sistem pengawasan.

Dalam pandangan tersebut, saya sependapat dengan Larry bahwa dalam demokrasi sangat perlu terrefleksikannya institusionalisasi politik dalam rangka memperkuat struktur demokrasi refresentatif, khususnya di Indonesia. Proses ini memang akan membutuhkan waktu yang lama. Tetapi, salah satu masalah yang senantiasa muncul adalah bagaimana proses ini mampu membawa kepada pemerintahan formal? Kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan yang timbul dalam bentuk nepotisme acapkali jadi hambatan tersendiri dalam mewujudkan proses ini.

Nepotisme tidak hanya identik dengan melihat kongkalikong antara keluarga-keluarga elit politik yang duduk di dalam parlemen. Tetapi juga bisa dilihat lebih luas dengan mengamati bagaimana hubungan antar golongan, individu, dan relasi dalam orientasi keuntungan dalam kekuasaan. Memang, dalam paradigma saya. Masalah utama yang tidak selesai dari parlemen di Indonesia, maupun di dunia adalah mengenai bagaimana tingkah laku dari individu atau golongan yang ada di dalamnya mampu mempengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung mekanisme proses jalannya parlemen dalam mengontrol pemerintah.

Lebih jauh menanggapi hal ini, mungkin wacana penguatan parlemen dengan melakukan reorganisasi antara DPR dan DPD di Indonesia mungkin salah satu jalan yang tepat. DPR yang selama ini telah tersugesti dengan citra muram di mata masyarakat awam, sudah sepatutnya melakukan pembenahan diri. Tidak hanya sampai pada permasalahan citra. Masalah anggaran yang cenderung kurang transparan atau bahkan tidak diketahui oleh masyarakat yang seharusnya menjadi ordinat pemerintahan semakin merancukan kedudukan DPR di dalam parlemen. Namun, tidak selamanya sikap skeptis dan pesimis muncul. DPR sudah mulai terlihat bergerak aktif melakukan perbaikan secara internal dalam tubuhnya. Meskipun pelbagai hal, seperti kinerja yang lamban selalu jadi persoalan tiap tahunnya. Walaupun, tidak sepenuhnya kelambatan DPR disebabkan oleh kondisi internalnya. Mengingat bagaimana perumusan kebijakan dan undang-undang dibuat di parlemen. Yang berdampak pada banyaknya aktivitas politik yang harus dilalui dalam mewujudkan undang-undang yang refresentatif.

Kembali pada konsep awal. Pentingnya efisiensi dan efektivitas dalam parlemen. Dapat terwujud dengan memperhatikan posisi dua lembaga legislatif yang berada di dalamnya. Menyetarakan posisi DPD dan DPR memang dibutuhkan. Mengamati persoalan ini, Indonesia pasca reformasi yang mengaplikasikan keberadaan dua kamar (Bikameral) dalam badan legislatif telah membawa kemajuan besar dalam proses keberadaan fungsi check dan belances dalam mekanisme pemerintahan. Selain itu, adanya penataan sistem politik ulang terhadap pola-pola kekuasaan pemerintah telah menjadikan proses efisiensi akan lebih mudah diwujudkan sekarang.

Meskipun begitu, acapkali permasalahan yang timbul dalam upaya efiensi adalah mengenai bagaimana membagi kekuatan di dalam lembaga parlemen tersebut agar tidak mengalami ketimpangan satu sama lain. Memang pada mulanya, amandemen yang dilakukan oleh MPR terhadap Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945. Secara langsung telah menjadi awal dari tujuan proses efiensi dalam kelembagaan parlemen. Keberadaan DPD yang merupakan salah satu organ. Setidaknya telah menjawab tuntutan dari masyarakat terhdap ketidakjelasannya utusan golongan yang pada masa Orde Baru cenderung diatur dan dikendalikan oleh pemerintah eksekutif.

Akan tetapi, penguatan kelembagaan DPD perlu diperhatikan lebih serius agar ketimpangan ini tidak selamanya terus berjalan. Perimbangan usur kekuatan partai dalam DPR dan utusan daerah (teritorial) dalam DPD harus mampu seimbang satu sama lain agar terciptanya parlemen yang efektif dalam menyerap anspirasi masyarakat di seluruh Indonesia.

Secara fundamental, parlemen di Indonesia memang masih setengah hati dalam menjalankan fungsinya. Tetapi permasalahan tersebut akan mampu diselesaikan ketika posisi DPD dalam segi hak dan kewenangan mampu sama dan sesuai dengan DPR. Menyimak hal ini, saya berpandangan bahwa hal yang sangat penting dalam peerwujudan parlemen yang ideal adalah mengenai bagaimana setiap anggota individu yang berada di dalamnya mampu mengelola legitimasi secara amanah dengan penjalanan wewenang yang menyeluruh dari masyarakat. Setidaknya hal yang perlu dalam meningkatkan efiensi kinerja parlemen adalah memperhatikan kedudukan setiap organ yang ada di dalamnya.

Berdasarkan hal itu, beberapa hal yang perlu diutamakan dalam efektifnya parlemen dalam peningkatan kualitas demokrasi, diantaranya adalah: pertama, melakukan restrukturisasi kembali mengenai fungsi-fungsi organ kelembagaan yang ada di dalamnya. Pada masalah ini, perlu diadakannya perimbangan kekuatan legislasi diantara kedudukan dua organ, DPD dan DPR dalam hal kontrol, pembuatan kebijakan, hingga anggaran. Kedua, melakukan pemangkasan dalam hal jumlah partai dalam Pemilihan Umum, agar terfokusnya posisi setiap anggota DPR. Hal yang membuat lambannya kinerja dari lembaga DPR salah satunya adalah proses lobi politik yang lama antara satu partai dengan partai yang lain, karena menyangkut kepentingan ‘internal’ yang mereka usung berbeda-beda. Ketiga, memperbanyak tenaga ahli yang kompeten dan berkualitas dengan berasaskan pada merid systems, bukan pada spoil systems. Bagian ini sangat penting karena mengingat selama ini banyak kecenderungan tenaga ahli di parlemen dipilih atas dasar nepotisme antara anggota parlemen dengan partai. Keempat, memangkas dan menyatukan komisi yang ada di dalam parlemen, khususnya DPR. Sebab, keberadaan komisi yang over load telah menyebabkan lambannya kinerja parlemen dalam memutuskan sebuah kebijakan.[]


*Esai ini ditulis sebagai syarat lolos Parlemen Remaja Tingkat Mahasiswa 2011

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009