Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Pelayaran Panjang Bahtera Demokrasi Di Indonesia

Oleh Eko Indrayadi

FISIP/IP/05/UIN Jakarta


Apa yang terbersit dalam benak kita ketika kita dihadapkan sebuah keadaan sistem yang menghendaki keadaan demokratis dan transparan? Mungkin akan muncul beragam persfektif pandangan yang bisa tiba-tiba muncul sebagai tanggapan dari pertanyaan ini. Keadaan transisi (demokrasi) dimana pun di seluruh bagian dunia pasti menginginkan keadaan tersebut. Tidak dapat dipungkiri, demokrasi dan kedaulatan rakyat merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah satu sama lain.

Berdasarkan hal inilah, FISIP UIN Jakarta melalui serangkaian Lecture Series on Democracy mencoba untuk mencari, sekaligus memahami titik refleksi dari demokrasi melalui beragam paradigma. Melanjutkan tur ini, pada pekan lalu (Rabu, 21 September 2011). FISIP UIN Jakarta mengundang H. Jusuf Kalla (JK) untuk mengisi kuliah umum dengan tajuk yang berjudul ‘Demokrasi dan Kepemimpinan’.

Pada kesempatan ini, JK menjelaskan mengenai urgen-nya hubungan antara pemimpin dan demokrasi. Baginya, dalam proses berdemokrasi. Demokrasi adalah cara yang digunakan untuk mencapai kemakmuran rakyat. Bukan, sebuah tujuan akhir yang ingin menciptakan Indonesia yang demokrasi. Ini, jelas terlihat. Sebab baginya, manifestasi demokrasi di Indonesia bukan sebuah upaya yang instan.

“Pelaksanaan demokrasi di Indonesia telah diwujudkan dan dilaksanakan sejak lama. Bahkan, telah dimulai sejak masa awal kemerdekaan Indonesia. Sejak masa Presiden Soekarno demokrasi telah diterapkan. Namun, dengan bentuk yang berbeda-beda”, ujarnya.

Lebih jauh, JK mencoba membandingkan mengenai keadaan demokrasi di Indonesia dengan wilayah lainnya di Asia Tenggara. Mengambil contoh Malaysia. JK menjelaskan bahwa demokrasi di negara jiran itu hanyalah sebuah demokrasi yang dibuat-buat. “Di Malaysia, tidak ada yang namanya mekanisme oposisi seperti di negara kita. Di sana hanya ada satu partai UMNO (United Malays National Organizations) dan partai tersebut yang punya posisi kuat untuk menentukan arah kebijakan”, jelasnya.

Mengenai kepemimpinan demokrasi, JK menjelaskan bahwa pemimpin adalah orang yang mendapatkan legitimasi untuk menjalankan otoritas yang diamanahkan kepada mereka. Sehingga, pemimpin harus mampu mempengaruhi orang lain untuk patuh terhadap perintahnya, tidak hanya menuntut sikap loyal kepada bawahannya. Tetapi juga, harus senantiasa tampil mengayomi dengan penuh dedikasi. Sebab, menurut analogi JK, pemimpin itu harus punya dua sikap. Pertama, seperti universitas yang berorientasi kepada masa depan.

Pada sikap pertama, pemimpin harus punya visi yang revolusioner yang mampu menciptakan beragam konsep yang jelas. Tidak, hanya cerdas beretorika tetapi juga pintar untuk mengimplimentasikan konsepsi yang dia visikan. Sedangkan yang kedua, pemimpin harus bersikap seperti museum. Belajar dari sejarah untuk melakukan refleksi terhadap beragam tindakan yang dia lakukan. Pada sisi yang kedua, JK mengemukakan pentingnya sikap untuk belajar dari pemimpin terdahulu. Karena, dalam pandangannya. Pemimpin bukan orang yang cepat berpuas diri dengan melihat dan mendengar yang baik-baik saja. Tetapi, melupakan keadaan yang menurutnya tidak baik dan patut dilupakan.

Di akhir acara, JK berpesan bahwa untuk jadi seorang pemimpin mesti memiliki kemauan untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak populer, tidak hanya pekerjaan yang populer. Sebab, pemimpin baginya tidak hanya sebuah legalisasi yang diberikan. Pemimpin adalah mereka yang dipercaya untuk mengemudikan sebuah kapal demokrasi dan membawanya ke arah kesejahteraan. Bukan, ke arah badai dan kelamnya keadaan. Dan, disinilah ketegasan diperlukan sebagai pondasi keukeh menentukan kemudi arah. (*)

*Eko Indrayadi

NIM. 109033200006

IP/05/ FISIP UIN Jakarta

Kritik Terhadap Feith dan Castles

I.Membaca pengantar dari buku yang berjudul Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Membuat penulis berkontemplasi panjang mengenai betapa keras dan peliknya fluktuasi dalam proses transisi politik yang terjadi di Indonesia. Kumpulan karya yang mencoba mendeskrifsikan secara analitis-kritis dan lugas dengan nilai subyektif apa adanya sangat sulit penulis temukan. Buku yang membahas beragam pemikiran politik Indonesia ini memang sangat tepat dengan menghadirkan Herbert Feith dan Lance Castles sebagai editornya. Mereka berdua memang secara akademis tidak perlu diragukan kepiawaiannya dalam melakukan berbagai macam riset yang berkaitan dengan kondisi sosial-politik di Indonesia, terlebih pada masa dekade pemerintahan Soekarno hingga Soeharto.

Dalam pandangan penulis, hadirnya pengantar untuk mengawali bagian pertama dalam buku ini, mampu menjadi sebuah refresentasi penting dalam proses dinamika politik di Indonesia. Terlebih, ketika mencoba untuk mencari keterwakilan secara jelas dan faktual dari beragam aliran politik yang memiliki pengaruh dalam dinamika politik di Indonesia. Memang, indikator yang digunakan untuk menilai kapasitas intelektual seorang pemikir politik, harus diukur dengan ukuran kesarjaaan (1988: hal. xii). Tetapi, dalam melihat pada konteks Indonesia, ukuran tersebut harus diubah dengan melihat bagaimana proses dan pemahaman diri yang mereka lakukan ketika berhadapan dengan kondisi politik di sekelilingnya. Meskipun, kesulitan dalam melakukan upaya selektif. Upaya keras yang dilakukan oleh editor mampu menjawab keraguan mereka ketika menilai, apakah kumpulan tulisan ini telah mampu memiliki sisi refresentatif terhadap beragam aliran politik yang timbul dan muncul dalam dinamika perkembangan pemikiran politik di Indonesia, khususnya pada kurun tahun 1945-1965.

Meskipun begitu, sebuah pertautan emosional dan ideologis tidak bisa dilepaskan dalam diri seorang. Seperti yang dinyatakan oleh editor. Tetapi, usaha untuk membuat kumpulan tulisan ini otentik dan bisa dipertanggungjwabkan secara akademis telah menjadikan karya ini patut dipilih sebagai referensi pokok dalam mengamati jalannya peta-peta pemikiran politik yang terjadi pada saat itu. Terlepas, dari nilai-nilai subyektifitas yang menekankan posisi relatif dari kelompok-kelompok yang cenderung menilai adanya kesukaan akademisi Barat untuk menekankan adanya keragaman dan pertentangan mengenai keadaan Indonesia, ketimbang adanya persatuan (1988: hal. xv).

Namun, bagi penulis disinilah keunikan dari pengantar yang mereka hadirkan. Memang jika diamati bagian pengantar ini lebih menekankan kepada analisis perbandingan dengan melihat dan mengamati secara mendalam keadaan yang terjadi dengan mengamati beragam tulisan yang dihasilkan oleh para pemikir politik dalam kurun 1945-1965. Memilih karya-karya secara selektif untuk masuk sebagai kumpulan dalam karya ini pun merupakan kerja keras yang patut dihargai dari seorang editor.

II.Secara kualitas, tulisan yang mencoba untuk membandingkan dua periode yang berbeda memiliki unsur kesulitan di atas tulisan yang hanya mencoba untuk menyoroti keadaan pada priode. Hal yang dilakukan oleh editor, menurut hemat penulis sudah tepat dengan melakukan proses pemilihan berdasarkan: priode politik, aliran ideologi yang muncul dan berperan penting terhadap periode tersebut, hingga kepada persoalan mendalam yang mengenai tipe-tipe kebijakan dan metode kepemimpinan yang dilakukan.

Pada bagian pengantar edisi Indonesia misalnya, penulis temukan bagaimana metodologi yang penulis lakukan untuk melihat secara jelas dan kritis mengenai dua perbedaan tipe kepemimpinan diantara dua priode, Soekarno-Hatta dan Soeharto. Pada perbandingan yang pertama. Ketika dihadapkan pada penilaian kedua rezim, Orde Lama dan Orde Baru (1988: hal. xvii). Editor dengan cepat melihat kepada kondisi sosial-politik yang terjadi pada tatanan konflik kebijakan. Walaupun begitu, editor lebih cenderung untuk memilih analisis dengan melihat kepada pendekatan prilaku dari pelaku politik. Ini jelas bagi penulis, apabila analisis yang editor tawarkan berpijak dari keadaan yang selalu berupaya mencari kejelasan dalam runtutan peristiwa secara kualitatif. Terlihat dari bagaimana usaha yang dilakukan oleh editor untuk memecah kembali persfektif pembaca mengenai masa pemerintahan Soekarno-Hatta dengan tidak terjebak kepada penggunaan istilah Orde Lama (1988: hal. xviii).

Bagi diri Feith dan Castles, tindakan dengan melihat tatanan pemerintah lebih jauh adalah sebuah upaya untuk tidak terjebak dalam satu sudut pandang yang terlalu menggeneralisasikan sesuatu. Mengingat, seringkali munculnya anggapan dari benak penulis bahwa seolah-olah pemerintahan Orde Lama berlangsung sejak dimulainya masa awal dari pemerintahan presiden Soekarno. Namun ternyata, anggapan ini menjadi berubah ketika penulis menyandingkan kedua pendapat, antara Feith yang menyatakan bahwa ada masa-masa yang menurutnya presiden Soekarno tidak mendominasi keputusan politik dalam pemerintahan (1988: hal. xviii). Serta pendapat dari Wiliam Liddle dalam buku Pemilu-Pemilu Orde Baru (1994: hal. 108) yang sependapat untuk menyatakan bahwa Orde Lama dimulai ketika Soekarno berupaya untuk membentuk otoriterisme pribadi, dari 1959 sampai 1965.

Berbeda dengan hal tersebut, penyebutan Orde Baru sebagai sebuah tatanan pemerintahan yang berupaya untuk menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Banyak disepakati oleh para ilmuwan, khususnya Miriam dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008: hal. 442) sejak dilakukannya pencabutan terhadap ketetapan MPRS NO. III/1963 tentang penetapan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Sedangkan Arswendo Atmowiloto, dalam Buku yang berjudul Pengkhianatan G30S/PKI, menilai bahwa kejatuhan Orde Lama dan dimulainya Orde Baru adalah ketika dimulainya peristiwa Coup berdarah pada dini hari menjelang 1 Oktober 1965 (1994: hal.75). Tindakan inilah, lebih lanjut menurutnya telah menuntut Presiden Soekarno, untuk segera mengeluarkan Supersemar yang notabenenya sebagai upaya stabilitasi negara pasca terjadinya kudeta. Namun, sayangnya inilah yang menjadi ‘pecahan kerikil’ yang menusuk dan menghentikan Orde Lama dibawah kepemimpinan Soekarno.

Hal selanjutnya yang menjadi fokus permasalahan dalam pengantar buku yang diedit oleh Feith dan Castles, adalah mengenai perbandingan pelaksanaan kegiatan politik partai, terlebih mengenai masalah ideologi. Setidaknya ada, ada 5 klasifikasi ideologi menurut mereka yang setidaknya berperan dalam politik sejak 1945-1965 (1988: hal. xxv). Aliran tersebut diantaranya: Nasionalisme Radikal, Tradisonalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokratis dan Komunisme. Meskipun, mengalami persaingan satu sama lainnya. Yang berakibat kepada hilangnya beberapa aliran dan menjadi subordinat yang termarginalkan. Bagi editor, aliran tersebut tidak satu pun yang hilang sama sekali pada priode politik berikutnya, namun dua atau tiga diantaranya lenyap atau menjadi marjinal dalam wacana politik penting.

Memang penulis akui, sebagaimana yang diungkapkan oleh editor bahwa ketika mencoba untuk membandingkan pemikiran politik pada dua periode, Orde Lama dan Orde Baru. Kita semua akan dikejutkan oleh satu kesamaan yang menarik dan beberapa perbedaan pokok (1988: hal xxi). Terlihat dari pendapat, Feith yang menyatakan bahwa akan semakin pentingnya peranan ideologi negara. Pada dekade demokrasi parlementer, perang ideologi secara nyata terlihat secara jelas ketika partai-partai saling berebut dan bertaruh kekuatan dalam merumuskan kebijakan dalam parlemen. Tindakan ini terus berlangsung hingga terjadinya polemik terhadap beberapa harian surat kabar yang notabenenya merupakan underbouw ideologi dari partai yang mereka anut.

Secara implisit, tindakan ini pada awalnya adalah upaya untuk melakukan tindakan penggalangan masa ideologis yang bersifat populisme dalam menentang sikap imperialisme dari kaum penjajah. Namun, semakin mengalami kristalisasi kepada arah persaingan mendapatkan pengaruh ketika pemilu pertama di gelar pada 1955 pada Kabinet Burhanudin Harahap. Tindakan yang memperbolehkan setiap ideologi mendirikan partai. Akhirnya setelah mengumumkan berakhirnya demokrasi parlementer melalui dekrit 1959, untuk menghindarkan perpecahan. Soekarno mencoba mengadu peruntungan dengan mengeluarkan pemikiran NASAKOM, dengan tujuan untuk berdiri di atas setiap golongan ideologis. Wadah ini dibentuk pada tahun 1960 dengan sebutan Front Nasional (Miriam, 2008: hal. 441).

Berbeda dengan upaya yang dilakukan Soekarno yang berupaya mengadu nasib dengan berdiri di atas semua golongan. Soeharto yang belajar dari peristiwa G30 S/PKI memulai dengan tindakan perintisan penggunaan asas tunggal (Astu) Pancasila sebagai ideologi yang mendapat platform ideologi negara. Perintisan ini bertujuan untuk memuluskan jalan pemerintah OrBa di bawah kepemimpinan Soeharto untuk dapat mempertahankan stabilitas negara dan mengejar ketertinggalan ekonomi (Lidle, 1992: hal. 32).

III. Dalam pandangan penulis, pengantar yang ditulis oleh editor mampu menampilkan sebuah penghayatan deskriftif yang luas dan mendalam mengenai proses dinamika perpolitikan di Indonesia dalam kurun 1945-1965. Pembagian melalui klasifikasi yang runtut dan analitis, dapat menjadi posisi tawar dari karya yang dihasilkan Feith dan Castles. Rangkuman yang memuat tiga aspek mendasar dari perbandingan dua periode, Orde Lama dan Orde Baru. Yang dimulai dari: membandingkan situasi dan kondisi sosial politik, perubahan politik dan ekonomi, dan sikap kedua pemerintah dalam menghadapi dunia luar dalam politik internasional. Mampu menjadi sebuah batu asahan analisis kritis bagi setiap pembaca untuk diajak merenung, sekaligus berdiskusi tentang keadaan paradoksal pemikiran para tokoh politik di Indonesia, terkhusus kepada sudut yang paling kecil sekali pun, seperti ideologi.

Bagi penulis pribadi, kekuatan klasifikasi Feith dalam mengkotomi bagian partai politik dan aliran pemikiran politik pada masa demokrasi liberal atau menjelang pemilu tahun 1955. Telah menjadi sebuah perenungan unik mengenai peta perpolitikan yang menggambarkan keadaan nyata dari proses perkembangan pemikiran politik di Indonesia. Klasifikasi ini secara detail mungkin bisa mengeksplorasi lebih jauh mengenai bagaimana sebuah ideologi mampu berperan dalam penentuan masa depan negara. Mengingat hal itu, penulis berpandangan bahwa nilai-nilai ideologis yang dinilai sebagai sistem ideal terkadang memiliki arti penting dalam usaha penentuan maju atau mundurnya sebuah negara. Ideologi terkadang memang bisa berkompetisi menjadi dan bahkan menciptakan keretakan yang cenderung berujung pada deharmonisasi. Tetapi, ideologi juga mampu menjadi ‘batu asahan’ pendewasaan proses berpikir politik. Melalui perantara apa ideologi itu nantinya dipilih oleh rakyat untuk membentuk dan ikut serta terlibat dalam menentukan masa depan negara dan pemerintahan (Ian Adams:2004, hal.x-xii).

Namun, sayang. Seyogyanya pengantar pada buku ini menjelaskan lebih lanjut proses dinamika perpolitikan yang tidak hanya mengambil sampel di ibu kota, Jakarta. Mungkin akan ditemukan realitas lain dari cara pandang terhadap kenyataan dari budaya berpolitik di Indonesia pada kurun waktu itu. Memang, secara gentle editor mengakui bahwa kekurangan karyanya terlalu sedikit mengupas peristiwa-peristiwa pemberontakan yang berlatar belakang ideologi. Seperti, yang dicontohkan pada peristiwa Madiun (Feith&Castles:1988, xxxiv). Selain itu, di dalam pengantar buku, Feith dan Castle, tidak menjelaskan secara rinci dan mendalam mengenai proses berlangsung pemilu yang pertama di wilayah lain di Indonesia. Terlihat, editor mencoba untuk membuat sampel keadaan persaingan dan peta ideologi dengan hanya mengamati wilayah politik di seputar tradisi berpolitik dan perkembangan ideologi pada masyarakat di wilayah Jawa.

IV. Terlepas dari semua hal di atas, penulis rasa patut untuk memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Herberth Feith dan Lance Castles. Pengantar yang ditulis oleh mereka dalam membuka kumpulan tulisan dari para pemikir politik Indonesia telah mampu menjadi langkah awal untuk mengajarkan berpikir kritis dalam melihat perbandingan dari hasil pemikiran politik dalam kurun waktu 1945-1965. Selain itu, ada dua hal yang dapat penulis simpulkan dari pengantar yang ditulis oleh kedua editor, yaitu: Pertama, usaha dari editor untuk melakukan klasifikasi serefresentatif mungkin terhadap peta ideologi yang berpengaruh dalam dinamika politik Indonesia telah cukup menjadi gambaran keadaan politik yang terjadi pada tahun 1945-1965. Proses perbandingan secara ideologi dan periode rezim pemerintahan dengan melihat tidak hanya secara internal, seperti aliran pemikiran dan tipe kepemimpinan (1988: hal. xxvi). Tetapi juga, melihat kepada sisi eksternal dari keadaan politik, seperti bentuk kebijakan politik (1988: hal. xxii). Telah menjadikan bagian pembuka (pengantar) mampu membuat pembaca secara perlahan dan sistematis dituntut berpikir kritis.

Kedua, Feith dan Castle berhasil menciptakan sebuah dokumentasi sistematis dengan melihat melalui pola-pola tingkah laku dari setiap pemikir politik. Sehingga dapat diketahui secara jelas dan tegas mengenai tipe-tipe aliran pemikiran politik di Indonesia. Yang tidak hanya terbatas pada priode awal pemerintahan Soekarno, tetapi hingga kepada masa transisi pemerintahan kepada Soeharto dengan senantiasa memperhatikan kepada aspek subyektifitas sebagai seorang akademisi (1988: hal xviii).

Menyimak 3 Aliran Pemikiran Islam Tentang Hubungan Agama Dan Negara

  1. Pendahuluan

Mengamati hubungan agama dan negara merupakan keharusan mutlak bagi setiap ilmuwan politik. Kedua hubungan yang diciptakan oleh keduanya seringkali menimbulkan multi interpretasi yang berbeda-beda dari setiap ilmuwan politik. Hal ini tentu dipengaruhi oleh beragam faktor yang mendasari paham pemikiran tersebut. Mulai dari faktor sosiologis-antropologis masyarakat yang mendiami negara tersebut (rakyat). Hingga kepada faktor konstitusional yang menjadi pondasi dasar dari hubungan tersebut.

Menyimak itu, perbedaan perspektif cenderung memiliki doktrin ideologi tersendiri dari para ilmuwan untuk mengemukakan pandangannya dalam mengamati hubungan antara agama dan negara. Secara spesifik, dalam Islam sendiri pun, ini telah menjadi sebuah perdebatan panjang yang menghasilkan tiga aliran utama yang mendasari hubungan antara agama dan negara. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata sebuah agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Beberapa tokoh utama pendukung aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan yang paling vocal adalah Maulana Al-Maududi.[1]

Berbeda dengan aliran yang pertama yang cenderung menganggap Islam secara holistik sebagai agama yang paripurna. Kelompok kedua, cenderung memiliki pendirian sebagaimana pemahaman Barat, bahwa Islam hanyalah sebuah agama yang tidak memiliki hubungan dengan persoalan ketatanegaraan. Kelompok ini cenderung menginginkan sebuah pemisahan dalam ruang agama dan negara. Baginya, agama adalah urusan indivindu yang sifatnya privat. Negara tidak memiliki hak untuk ikut mencampuri urusan agama. Dan begitu pula sebaliknya. Tokoh terkemuka dalam aliran ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Dr. Thaha Husein.[2]

Sedangkan pada aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat nilai etika bagi kehidupan bernegara. Diantara tokoh-tokoh yang mendukung aliran ini adalah Dr. Muhammad Husein Haikal.[3]

Berdasarkan trikotomi yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa dalam hubungan agama dan negara, khususnya Islam secara garis besar memiliki tiga aliran besar yang cenderung memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam meletakkan posisi hubungan agama dan negara. Ketiga aliran tersebut memiliki pandangan yang kuat sebagai fundamen dari idealisasinya terhadap integrasi agama dan negara. Sebagai alasan mendasar, dalam menulis makalah. Penulis, ingin mencopa mengeksplorasi lebih jauh dan mendalam mengenai pola-pola hubungan tersebut dengan mencoba memahami melalui pendekatan teoritis.

B.Isi

1.Definisi

a.Definisi Agama Dan Negara

Sebelum memahami sebuah konsep secara menyeluruh. Ada baiknya bagi kita untuk mengetahui definisi awal dari permasalahan yang akan kita bahas dan kaji. Agama secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta[4], yang berarti peraturan tradisional, ajaran, kumpulan peraturan atau ajaran. Akar kata agama adalah gam yang berarti pergi, sedangkan awalan a berarti tidak, sehingga agama memiliki arti yang tetap atau yang tidak berubah. Sedangkan secara terminologis, agama berarti seperangkat keyakinan yang dipahami ataupun diikuti oleh seorang indivindu dan kelompok sebagai pandangan hidupnya.[5]

Sedangkan definisi negara menurut Marbun, “1. Organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat, 2. Kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik, dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.”[6]

C.Hubungan Agama Dan Negara

Dalam pandangan Bachtiar Efendy dalam bukunya Islam Dan Negara dinyatakan bahwa kompelsitas berdebatan antara agama dan negara tidak hanya berhenti pada ranah praktis, tetapi juga akan merambah ke ranah akademis. Baginya, agama, terkhusus Islam tidak mungkin dapat diperas menjadi bentuk yang tunggal. Pokok utama dari perdebatan dari hubungan ini senantiasa mengkotomi Islam menjadi dua bagian. Satu sisi sebagai agama (din) dan disisi lain sebagai (Dawlah).

Kembali kepada konsep awal, sebagaimana dikemukakan oleh Munawir mengenai cara pandang ketiga aliran Islam dalam melihat bagaimana hubungan agama dan negara. Perdebatan mengenai hubungan ini akan senantiasa berlanjut. Sebagaimana dikemukakan oleh Adi dalam Azyumardi Azra, “Bahwa ketegangan antara perdebatan antara hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan-hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai negara di lain pihak.”[7]

Kembali menjelaskan permasalahan ini, Munawir Sjadzali, membagi tiga aliran utama dalam Islam dalam mengamati peran hubungan antara Islam sebagai agama, maupun Islam sebagai negara. Pada Kelompok pertama, kecenderungan memandang Islam secara holistik dan kafah’ telah menjadikan bentuk rasio implementasi bahwasanya bentuk keparipurnaan Islam harus menyentuh segala aspek. Tidak hanya menawarkan bentuk atau cikal-bakal negara itu dibentuk secara teokratis, tetapi juga mengatur bagaimana sebuah pelaksanaan institusi yang bernama negara berjalan dengan semestinya. [8]

Namun, dalam proses perwujudannya melalui implimentasi yang luas. Menurut Adi, akan berdampak kepada sebuah kecenderungan untuk memahami Islam hanya sebatas pada sudut literal yang hanya menekankan dimensi luarnya saja. Dalam contoh yang lebih ekstrim, ia mengungkapkan bahwa kecenderungan ini telah menghalangi kaum muslimin untuk lebih jernih memahami al-Qur’an sebagai nilai-nilai instrument ilahiah yang dapat memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia.[9]

Pada kelompok yang kedua, ide sekuleriasi yang menginginkan pemisahan mengenai ketidakmampuan Islam sebagai agama untuk mengatur tata kelola pemerintahan. Menurut mereka, Islam cukup sebagai sebuah agama yang menyimbolkan hubungan antara manusia kepada Sang Khalik. Nabi Muhammad hanyalah sebatas pembawa wahyu yang tugas utamanya menyerukan kepada manusia untuk kembali kepada kehidupan yang dimuliakan Allah. [10]Dalam aliran ini, proses hubungan antara agama dan negara mungkin akan cenderung terkotak antara wilayah privat dan publik. Agama mungkin hanya sebatas sebuah sistem kepercayaan yang tidak dapat menyentuh wilayah kebijakan-kebijakan yang sikapnya politis.

Sedangkan pada kelompok ketiga yang mencoba untuk mendamaikan dengan mengambil jalan tengah. Mereka menolak pandangan bahwa Islam merupakan agama yang serba lengkap dalam mengatur hubungan agama dan negara. Tetapi juga tidak menyetujui anggapan bahwa Islam tidak mengatur hubungan ketatanegaraan. Menurut mereka, memang Islam tidak menyediakan sebuah sistem ketatanegaraan. Namun, memiliki seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.[11]

Dari ketika pemahaman mengenai cara pandang mengenai Islam dan negara di atas. Maka dapat kita simpulkan bahwa, hubungan antara agama dan negara cenderung memiliki perbedaan ditarik dari beberapa faktor. Secara internal misalnya. Sosiologis-antropologis antara satu masyarakat yang mendiami wilayah satu negara dengan negara lainnya cenderung berbeda. Seperangkat nilai-nilai budaya cenderung memiliki posisi yang penting dalam menentukan pola-pola kebijakan atau kontrak sosial mengenai hubungan agama dan negara.

Mengambil beberapa contoh kasus, seperti di Indonesia. Mungkin akan kita temui bagaimana proses akomodasi Islam sebagai kekuatan politik, meskipun secara tekstual tidak memprolamirkan diri sebagai negara Islam. Ini, mungkin didasari oleh mayoritas penduduk Indonesia yang cenderung tidak terlalu fanatik dalam memanifestasikan agama secara tekstual. Percampuran antara Islam sebagai agama dan budaya masyarakat cenderung erat pada Islam tradisionil yang berada di wilayah pedesaan. Selain, tidak adanya keinginan dari kaum modernis yang berada di wilayah perkotaan untuk melakukan pengimplimentasian secara penuh dalam membentuk negara Islam.

Munculnya sisi moderat ini. Bagi penulis juga tidak bisa dilepaskan dari sense of pluralilsm atau ke-bhinekaan yang begitu kental. Terlepas dari hal itu, kecenderungan agama untuk ikut campur ke dalam ranah politik mungkin bisa kita amati dalam sebuah kontrak umat dengan berdirinya Departemen Agama (Depag) yang berada di bawah naungan Kementrian Agama. Selain itu, hadirnya MUI, sebagai wujud eksistensi keagamaan, khususnya Islam dalam negara Indonesia masih memberikan ruang luas kepada agama untuk ikut berpartisipasi secara aktif bahkan cenderung pro aktif untuk mempengaruhi negara. Dalam hal perumusan dan pembuatan kebijakan yang berkenaan dengan masalah sosial keagamaan.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis melihat bagaimana pola hubungan agama dan negara di dunia. Ada tiga tipologi yang dapat penulis temukan: Pertama, hubungan yang bersifat integrative. Kedua, hubungan yang sifatnya simbiosis mutualisme, dan Ketiga hubungan yang bersifat separatisme. Dari ketiga hubungan ini, maka penulis menyimpulkan bahwa pola-pola hubungan antara agama dan negara memiliki hubungan yang urgent mengenai bagaimana proses negara tersebut dibentuk pada mulanya.

DAFTAR PUSTAKA

Elposito, John. L. “Islam Dan Politik”. PT. Bulan Bintang. 1990

Budiardjo, Miriam“Dasar-Dasar Ilmu Politik”, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2008

Hendarsah, Amir. “Buku Pintar Politik: Sejarah Pemerintahan dan Ketatanegaraan”. Jogja Great Publisher, Yogyakarta. 2009

Marbun, B.N. “Kamus Politik”. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 2007

Marijan, Kacung. “Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru”. Prenada Media Group. Jakarta. 2010.

Jurnal

Rahardjo, Dawam, “Islam Dan Demokrasi”, Titik Temu, vol. 3, no. 2 (Januari-Juli 2011), h. 42-58.

Webside

http://paramadina.wordpress.com/2008/04/18/meredefinisi-hubungan-agama-dan negara/ (Diakses pada 20 September 2011, pukul 10.15 WIB).



[1]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 2008), h. 1.

[2] Ibid, h. 1.

[3] Ibid, h. 3.

[4] B.N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta:Sinar Harapan, 2005), h. 9.

[5] Ibid, h. 9.

[6] Ibid, h. 331.

[7] Adi Prayitno, Politik Akomodasi Islam:Percikan Pemikiran Politik Bachtiar Efendy, (Jakarta: UIN Press, 2009), h. 37.

[8] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 1.

[9] Adi Prayitno, Politik Akomodasi Islam:Percikan Pemikiran Politik Bachtiar Efendy, h. 38

[10] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 1.

[11] Ibid, h. 3.

Menyimak 3 Aliran Pemikiran Islam Tentang Hubungan Agama Dan Negara

  1. Pendahuluan

Mengamati hubungan agama dan negara merupakan keharusan mutlak bagi setiap ilmuwan politik. Kedua hubungan yang diciptakan oleh keduanya seringkali menimbulkan multi interpretasi yang berbeda-beda dari setiap ilmuwan politik. Hal ini tentu dipengaruhi oleh beragam faktor yang mendasari paham pemikiran tersebut. Mulai dari faktor sosiologis-antropologis masyarakat yang mendiami negara tersebut (rakyat). Hingga kepada faktor konstitusional yang menjadi pondasi dasar dari hubungan tersebut.

Menyimak itu, perbedaan perspektif cenderung memiliki doktrin ideologi tersendiri dari para ilmuwan untuk mengemukakan pandangannya dalam mengamati hubungan antara agama dan negara. Secara spesifik, dalam Islam sendiri pun, ini telah menjadi sebuah perdebatan panjang yang menghasilkan tiga aliran utama yang mendasari hubungan antara agama dan negara. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata sebuah agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Beberapa tokoh utama pendukung aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan yang paling vocal adalah Maulana Al-Maududi.[1]

Berbeda dengan aliran yang pertama yang cenderung menganggap Islam secara holistik sebagai agama yang paripurna. Kelompok kedua, cenderung memiliki pendirian sebagaimana pemahaman Barat, bahwa Islam hanyalah sebuah agama yang tidak memiliki hubungan dengan persoalan ketatanegaraan. Kelompok ini cenderung menginginkan sebuah pemisahan dalam ruang agama dan negara. Baginya, agama adalah urusan indivindu yang sifatnya privat. Negara tidak memiliki hak untuk ikut mencampuri urusan agama. Dan begitu pula sebaliknya. Tokoh terkemuka dalam aliran ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Dr. Thaha Husein.[2]

Sedangkan pada aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat nilai etika bagi kehidupan bernegara. Diantara tokoh-tokoh yang mendukung aliran ini adalah Dr. Muhammad Husein Haikal.[3]

Berdasarkan trikotomi yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa dalam hubungan agama dan negara, khususnya Islam secara garis besar memiliki tiga aliran besar yang cenderung memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam meletakkan posisi hubungan agama dan negara. Ketiga aliran tersebut memiliki pandangan yang kuat sebagai fundamen dari idealisasinya terhadap integrasi agama dan negara. Sebagai alasan mendasar, dalam menulis makalah. Penulis, ingin mencopa mengeksplorasi lebih jauh dan mendalam mengenai pola-pola hubungan tersebut dengan mencoba memahami melalui pendekatan teoritis.

B.Isi

1.Definisi

a.Definisi Agama Dan Negara

Sebelum memahami sebuah konsep secara menyeluruh. Ada baiknya bagi kita untuk mengetahui definisi awal dari permasalahan yang akan kita bahas dan kaji. Agama secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta[4], yang berarti peraturan tradisional, ajaran, kumpulan peraturan atau ajaran. Akar kata agama adalah gam yang berarti pergi, sedangkan awalan a berarti tidak, sehingga agama memiliki arti yang tetap atau yang tidak berubah. Sedangkan secara terminologis, agama berarti seperangkat keyakinan yang dipahami ataupun diikuti oleh seorang indivindu dan kelompok sebagai pandangan hidupnya.[5]

Sedangkan definisi negara menurut Marbun, “1. Organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat, 2. Kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik, dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.”[6]

C.Hubungan Agama Dan Negara

Dalam pandangan Bachtiar Efendy dalam bukunya Islam Dan Negara dinyatakan bahwa kompelsitas berdebatan antara agama dan negara tidak hanya berhenti pada ranah praktis, tetapi juga akan merambah ke ranah akademis. Baginya, agama, terkhusus Islam tidak mungkin dapat diperas menjadi bentuk yang tunggal. Pokok utama dari perdebatan dari hubungan ini senantiasa mengkotomi Islam menjadi dua bagian. Satu sisi sebagai agama (din) dan disisi lain sebagai (Dawlah).

Kembali kepada konsep awal, sebagaimana dikemukakan oleh Munawir mengenai cara pandang ketiga aliran Islam dalam melihat bagaimana hubungan agama dan negara. Perdebatan mengenai hubungan ini akan senantiasa berlanjut. Sebagaimana dikemukakan oleh Adi dalam Azyumardi Azra, “Bahwa ketegangan antara perdebatan antara hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan-hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai negara di lain pihak.”[7]

Kembali menjelaskan permasalahan ini, Munawir Sjadzali, membagi tiga aliran utama dalam Islam dalam mengamati peran hubungan antara Islam sebagai agama, maupun Islam sebagai negara. Pada Kelompok pertama, kecenderungan memandang Islam secara holistik dan kafah’ telah menjadikan bentuk rasio implementasi bahwasanya bentuk keparipurnaan Islam harus menyentuh segala aspek. Tidak hanya menawarkan bentuk atau cikal-bakal negara itu dibentuk secara teokratis, tetapi juga mengatur bagaimana sebuah pelaksanaan institusi yang bernama negara berjalan dengan semestinya. [8]

Namun, dalam proses perwujudannya melalui implimentasi yang luas. Menurut Adi, akan berdampak kepada sebuah kecenderungan untuk memahami Islam hanya sebatas pada sudut literal yang hanya menekankan dimensi luarnya saja. Dalam contoh yang lebih ekstrim, ia mengungkapkan bahwa kecenderungan ini telah menghalangi kaum muslimin untuk lebih jernih memahami al-Qur’an sebagai nilai-nilai instrument ilahiah yang dapat memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia.[9]

Pada kelompok yang kedua, ide sekuleriasi yang menginginkan pemisahan mengenai ketidakmampuan Islam sebagai agama untuk mengatur tata kelola pemerintahan. Menurut mereka, Islam cukup sebagai sebuah agama yang menyimbolkan hubungan antara manusia kepada Sang Khalik. Nabi Muhammad hanyalah sebatas pembawa wahyu yang tugas utamanya menyerukan kepada manusia untuk kembali kepada kehidupan yang dimuliakan Allah. [10]Dalam aliran ini, proses hubungan antara agama dan negara mungkin akan cenderung terkotak antara wilayah privat dan publik. Agama mungkin hanya sebatas sebuah sistem kepercayaan yang tidak dapat menyentuh wilayah kebijakan-kebijakan yang sikapnya politis.

Sedangkan pada kelompok ketiga yang mencoba untuk mendamaikan dengan mengambil jalan tengah. Mereka menolak pandangan bahwa Islam merupakan agama yang serba lengkap dalam mengatur hubungan agama dan negara. Tetapi juga tidak menyetujui anggapan bahwa Islam tidak mengatur hubungan ketatanegaraan. Menurut mereka, memang Islam tidak menyediakan sebuah sistem ketatanegaraan. Namun, memiliki seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.[11]

Dari ketika pemahaman mengenai cara pandang mengenai Islam dan negara di atas. Maka dapat kita simpulkan bahwa, hubungan antara agama dan negara cenderung memiliki perbedaan ditarik dari beberapa faktor. Secara internal misalnya. Sosiologis-antropologis antara satu masyarakat yang mendiami wilayah satu negara dengan negara lainnya cenderung berbeda. Seperangkat nilai-nilai budaya cenderung memiliki posisi yang penting dalam menentukan pola-pola kebijakan atau kontrak sosial mengenai hubungan agama dan negara.

Mengambil beberapa contoh kasus, seperti di Indonesia. Mungkin akan kita temui bagaimana proses akomodasi Islam sebagai kekuatan politik, meskipun secara tekstual tidak memprolamirkan diri sebagai negara Islam. Ini, mungkin didasari oleh mayoritas penduduk Indonesia yang cenderung tidak terlalu fanatik dalam memanifestasikan agama secara tekstual. Percampuran antara Islam sebagai agama dan budaya masyarakat cenderung erat pada Islam tradisionil yang berada di wilayah pedesaan. Selain, tidak adanya keinginan dari kaum modernis yang berada di wilayah perkotaan untuk melakukan pengimplimentasian secara penuh dalam membentuk negara Islam.

Munculnya sisi moderat ini. Bagi penulis juga tidak bisa dilepaskan dari sense of pluralilsm atau ke-bhinekaan yang begitu kental. Terlepas dari hal itu, kecenderungan agama untuk ikut campur ke dalam ranah politik mungkin bisa kita amati dalam sebuah kontrak umat dengan berdirinya Departemen Agama (Depag) yang berada di bawah naungan Kementrian Agama. Selain itu, hadirnya MUI, sebagai wujud eksistensi keagamaan, khususnya Islam dalam negara Indonesia masih memberikan ruang luas kepada agama untuk ikut berpartisipasi secara aktif bahkan cenderung pro aktif untuk mempengaruhi negara. Dalam hal perumusan dan pembuatan kebijakan yang berkenaan dengan masalah sosial keagamaan.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis melihat bagaimana pola hubungan agama dan negara di dunia. Ada tiga tipologi yang dapat penulis temukan: Pertama, hubungan yang bersifat integrative. Kedua, hubungan yang sifatnya simbiosis mutualisme, dan Ketiga hubungan yang bersifat separatisme. Dari ketiga hubungan ini, maka penulis menyimpulkan bahwa pola-pola hubungan antara agama dan negara memiliki hubungan yang urgent mengenai bagaimana proses negara tersebut dibentuk pada mulanya.

DAFTAR PUSTAKA

Elposito, John. L. “Islam Dan Politik”. PT. Bulan Bintang. 1990

Budiardjo, Miriam“Dasar-Dasar Ilmu Politik”, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2008

Hendarsah, Amir. “Buku Pintar Politik: Sejarah Pemerintahan dan Ketatanegaraan”. Jogja Great Publisher, Yogyakarta. 2009

Marbun, B.N. “Kamus Politik”. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 2007

Marijan, Kacung. “Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru”. Prenada Media Group. Jakarta. 2010.

Jurnal

Rahardjo, Dawam, “Islam Dan Demokrasi”, Titik Temu, vol. 3, no. 2 (Januari-Juli 2011), h. 42-58.

Webside

http://paramadina.wordpress.com/2008/04/18/meredefinisi-hubungan-agama-dan negara/ (Diakses pada 20 September 2011, pukul 10.15 WIB).



[1]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 2008), h. 1.

[2] Ibid, h. 1.

[3] Ibid, h. 3.

[4] B.N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta:Sinar Harapan, 2005), h. 9.

[5] Ibid, h. 9.

[6] Ibid, h. 331.

[7] Adi Prayitno, Politik Akomodasi Islam:Percikan Pemikiran Politik Bachtiar Efendy, (Jakarta: UIN Press, 2009), h. 37.

[8] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 1.

[9] Adi Prayitno, Politik Akomodasi Islam:Percikan Pemikiran Politik Bachtiar Efendy, h. 38

[10] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 1.

[11] Ibid, h. 3.

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009