Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Jalan Tol Menuju Demokrasi Konstitusi

Jalan panjang demokrasi di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama dirintis dan dikembangkan. Sejak negara ini berada dalam buaian pasca proklamasi yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta, Indonesia sudah menempatkan dirinya dalam keadaan perintisan demokrasi. Dalam keadaan tersebut Indonesia mencoba untuk mencari sisi terang penyelenggaraan sistem demokratis, meskipun pada saat “praktiknya” demokrasi di Indonesia acap kali mengalami berbagai macam kendala-dimana menuntut adanya proses perbaikan terus-menerus untuk mencapai konsolidasi demokratisasi. Ditinjau dari pendekatan historis-yuriditis, proses ini bukanlah hal yang mudah dilakukan bak “membalikkan telapak tangan”. Ada tantangan dan hambatan yang senantiasa timbul sebagai kerikil-kerikil penyelenggaraan demokrasi di Indonesia sejak masa rezim Soekarno dan Soeharto yang mau tidak mau menuntut usaha peningkatan mutu dan kualitas demokrasi yang berujung kepada proses rekontruksi demokrasi Indonesia pasca reformasi 98’.

Secara teoritis, proses demokrasi di suatu negara memiliki dua tahapan penting dalam proses terbentuk dan penyelenggaraannya, yakni transisi dan konsulidasi. Mengutip perkataan dari Samuel P. Huntington, setidaknya ada tiga hal yang terjadi dalam demokratisasi di negara-negara di dunia: 1. Berakhirnya rezim otoriter, 2. Dibangunnya sebuah rezim yang demokratis, hingga 3. Pembangunan rezim yang demokratis itu sendiri. Sebagai sebuah landasan, ketika ditanya sejauh mana demokrasi di Indonesia pada saat ini. Mungkin kita semua akan mencoba mengacu kepada pendapat Huntington. Namun, permasalahannya apakah demokrasi di Indonesia benar-benar telah mencapai titik maksimal dalam proses penyelenggaraannya setelah gelombang reformasi berhasil menduduki “tembok-tembok tebal” yang dibangun oleh rezim otoritariat birokratiknya orde baru?

Tidak salah, apabila kita semua bersepakat bahwa Indonesia sebagai negara yang umurnya belum mencapai satu abad, masih berada di dalam proses transisi demokrasi. Indonesia sudah mulai berupaya untuk memantapkan diri dalam jalan-jalan demokrasi sejak tahun 1945. Tetapi sayang, demokrasi di Indonesia selama ini masih dipahami sebagai demokrasi yang prosedural. Hanya dipahami lewat pelaksanaan yang umumnya mencoba menggeneralisasi maksud demokrasi itu sendiri dengan hanya berlandaskan pada bagaimana pemilihan umum dilaksanakan. Tanpa mencoba untuk mencari usaha mencapai dan menerapkan demokrasi yang bertujuan untuk memakmurkan, sekaligus mensejahterahkan rakyat dari segi ekonomi.

Memang, jika dilihat proses transisi demokrasi memang rentan terhadap berbagai kendala, mulai dari pembajakan demokrasi oleh kaum oligarkhis hingga upaya-upaya pembunuhan demokrasi oleh pihak-pihak penguasa. Sebuah kesimpulan penting mungkin akan kita dapatkan ketika ditanya mengenai “apakah yang akan terjadi pada demokrasi selanjutnya pasca transisi?”. Jawabannya hanya dua, terciptanya konsolidasi demokrasi atau ambruknya demokrasi itu sendiri yang ditandai dengan timbulnya keadaan lebih buruk. Untuk mencegah hal terburuk dalam proses transisi demokrasi, sebaiknya kita semua mulai mencoba untuk meninggalkan paradigma lama yang dianut oleh sebagian golongan tua yang bertindak sebagai penguasa lama yang hanya mampu menilai kualitas demokrasi secara sepihak, dengan hanya melihat proses formal dalam demokrasi melalui pemilu atau pilkada. Ada tuntutan yang harus dijalankan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Mencoba untuk menjawab tantangan tersebut, Prof. Mahfud MD dalam kuliah umumnya di Syahida UIN Jakarta, Selasa (5/4). Kepada segenap insan civitas akademika FISIP UIN Jakarta, Ketua MK RI ini dalam kuliah umum betema, “Demokrasi dan Konstitusi”, berupaya menjawab tantangan mutu demokrasi di Indonesia dengan cara melakukan konsolidasi demokrasi-nomokrasi. Baginya, proses demokrasi harus diikuti oleh konstitusi yang berimbang yang sekaligus berfungsi sebagai penuntun jalannya demokrasi. Belajar dari sejarah, Mahfud juga menjelaskan bahwa konstitusi Indonesia yang terdapat pada UUD 1945 yang belum dilakukan amandemen terlalu menekankan diri pada tubuh eksekutif.

Konstitusi yang tidak berimbang tidak akan mampu menciptakan demokrasi yang sehat dalam penyelenggaraannya. Oleh karena itu, setelah proses reformasi Indonesia melalui pemerintahan yang baru mencoba untuk melakukan proses integrasi demokrasi di dalam tubuh konstitusi. Di dalam negara yang menggunakan konsep hukum-demokratis, demokrasi diatur dan dibatasi oleh aturan hukum, sedangkan hukum itu sendiri ditentukan melalui cara-cara yang demokratis melalui konstitusi. Dengan demikian, aturan dasar penyelenggaraan negara harus disandarkan kembali secara konsisten pada konstitusi. Tanpa kecuali, semua aturan hukum yang dibuat melalui mekanisme demokrasi tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.

Berdasarkan itu, adalah tugas dari MK yang merupakan pengawal konstitusi di Indonesia untuk senantiasa bertugas sebagai penjaga jalan untuk tercapainya proses demokrasi-konstitusi di Indonesia. MK memiliki kewajiban untuk menciptakan kesepakatan-kesepakatan dalam konstitusi agar terciptanya keharmonisan hukum dan demokrasi. Sebagai jalan tol untuk mencapai kesinergisan demokrasi-konstitusi di Indonesia. *

*Eko Indrayadi

Ilmu Politik 09’

FISIP UIN Jakarta

Mahabbah Seorang Aktivis

Tarian Padang Pasir

Serunai bisu kalbu mendesah gema syahdu.

Gamelan Mahabbah, ombak pencipta.

Setinggi gunung Thursina, sedalam lautan merah.

Syair Tuhan lafaz, “Laila hailallah”.

Tiada kata tandingi makna.

Lepas lunglai desah air mata keikhlasan.

Bimmilah . . .

Teriring masa membenam setiap kisah

Rembulan sujud mengukir tawakal

Ya, Rahman . . .

Segenggam cipta menguat kuasa

Lemah-berdaya mahkluk hina

Bersedekap muram memohon anugerah

Bismillah . . .

Sedikit kata ujarkan sikap

Mentari senja memeluk keridhaan

Lafazkan tobat waktu bergumam

Merah saga memeluk keridahaan

Pasir beku guguran dosa tanpa pembilang

Mengandung sebab-beralih akibat

Doa-doa harap dan dekat

Semenit kian nurani menggugat

Bismillah . . .

Sebening kristal menguyur deras

Kerinduan mendalam membelam kebisuan

Kabut terhalang waktu

Masa jauh; kuasa membenam cinta

Sambut-menyambut

Samar rasa hati terkena sembilu

Bismillah . . .

Perih batin rindu berlari

Suri tauladan tambatan hati

Ila’hi Robbi hamba berserah menanti

Penawar kehampaan

Diri

Bismillah . . .

Sentuhan angin membelai kerelaan sunyi

Sepi menanti tiada terganti

Jauh terlewati, memayungi hati

Terik Mentari-Hujan mengalir rintih

Bismillah . . .

Kelopak rindu merona pasrah

Gejolak hari kian meledak

Pertemuan hati luluh-meledak

Terbang membubung aliran,

Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad

Wa ‘ala ali Sayyidina Muhammad

. . . . .

Ciputat, 1 April 2011

“Sesuke hati tiade kate, hambe merindu tiade sanggup mendue cinte”

(Eko Indrayadi)

Fatmawati: Ibu Negara Pertama Yang Pertama Menentang Tindakan Poligami


The First Lady, itulah julukan yang sering terdengar ketika kita membicarakan Ibu Fatmawati. Seorang Srikandi Indonesia yang juga merupakan Ibu Negara Pertama Indonesia. Peran sertanya sebagai seorang istri sekaligus pendamping dari Ir. Soekarno telah menjadikannya sebagai seorang perempuan yang memiliki pengaruh besar dalam proses pemerintahan Indonesia pada masa awal kemerdekaan.

Fatmawati lahir di Bengkulu pada hari Senin tanggal 15 Februari 1923 di Kampung Pasar Malabero. Ia lahir pada saat iklim pergerakan mulai menghangat di persada bumi pertiwi dalam upaya merebut kemerdekaan dari cengkeraman penjajahan kaum kolonial. Fatmawati memiliki arti bunga teratai yang mungkin dimaksudkan agar beliau kelak menjadi sosok tegar dan kuat dalam menghadapi kerasnya perjuangan. Ayahnya bernama Hassan Din dan ibunya bernama Siti Chadidjah. Sebetulnya ayahnya telah menyiapkan dua nama untuk anaknya yang akan lahir, yaitu Fatmawati dan Siti Djubaidah. Namun kemudian nama Fatmawati itulah yang diambilnya.[1]

Ayahnya, Hassan Din adalah seorang Pengurus (pemimpin) organisasi Muhammadiyah cabang Bengkulu. Di samping, juga bekerja di Borsumij (Borneo - Sumatra Maatschappij), yaitu sebuah perusahaan swasta milik orang Belanda. Akan tetapi, ketika Hassan Din dihadapkan pada salah satu alternatif pilihan, beliau memilih keluar dari Borsumij, dan lebih memusatkan diri pada Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sepasang suami-istri ini selanjutnya terlibat aktif dalam perserikatan Muhammadiyah.[2]

Dibesarkan dalam keluarga yang memiliki pondamen Islam yang kuat telah menjadikan dirinya sebagai perempuan yang mandiri dan memiliki prinsip yang kuat. Sikap ini tertanam erat mengikuti didikan keluarga yang senantiasa menanamkan ajaran Islam yang dimulai sejak Fatmawati kanak-kanak. Sebelum ia memasuki usia sekolah, Fatmawati kecil sudah menempa diri dengan mempelajari (mengaji) al-Qur’an kepada kakeknya, maupun kepada para ulama-ulama agama. Fatmawati kecil adalah seorang gadis yang cerdas dan rajin, hal ini dibuktikan dirinya dengan senantiasa mengaji tepat waktu setiap harinya. Selain menyibukkan diri dengan mempelajari berbagai pengetahuan agama Islam, Fatmawati kecil tidak pernah melalaikan kewajibannya untuk membantu kedua orang tuanya dalam bekerja untuk menjaga warung.[3]

Setelah mencukupi umur untuk belajar di sekolah, Fatmawati dimasukkan oleh orang tuanya ke HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930. Namun, semangat belajarnya yang tiada pernah padam telah mengantarkan dirinya untuk bersekolah dan menuntut ilmu agama secara ekstra di Sekolah Standar Muhammadiyah. Jadwal pelajaran yang padat dengan beragamnya ilmu pengetahuan yang diperoleh Fatmawati pada masa kecil hingga masa remaja telah menjadikan diri Fatmawati sebagai seorang gadis yang tidak hanya mapan dalam pengetahuan umum, tetapi juga mengerti secara mendalam tentang pengetahuan agama Islam. Karena itu, wajarlah pada diri Fatmawati yang masih remaja telah mengalami perkembangan yang melebihi kapasitas seorang remaja pada saat itu.[4]

Saat masa kecil hingga remaja, Fatmawati seringkali harus berpindah-pindah tempat. Dari satu tempat ketempat lain, dari satu rumah ke rumah lain, dari satu se kolah ke sekolah lain, mengikuti jejak langkah Ayahnya sebagai seorang pimpinan Syarikat Muhammadiyah di Bengkulu. Pengalaman inilah yang senantiasa menjadi batu asahan dalam menempa mental dan sikap Fatmawati mengenai makna perjuangan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia. Terlebih lagi ketika dirinya bertemu dengan Bung Karno yang pada saat itu mengalami pembuangan oleh pemerintah kolonial di Bengkulu. Fatmawati yang baru menginjak usia 15 tahun, telah mampu diajak dalam perbincangan dan diskusi mengenai filsafat Islam, hukum-hukum Islam, termasuk masalah gender dalam pandangan hukum Islam. Bahkan Bung Karno sendiri sebagai gurunya telah mengakui kecerdasan Fatmawati. [5]

Karena jiwa, semangat, dan ketajaman berpikir terhadap ajaran agama Islam yang telah menempanya, serta ketajaman menyikapi fenomena sosio-kulturalnya, beliau mampu mengoperasionalisasikan fungsi rasionalitasnya sebagai pengendali dari unsur-unsur emosi yang selalu merangsang dalam setiap detik kehidupan manusia. Maka, ketika Bung Karno menyatakan keinginannya untuk memperistri beliau, meskipun secara emosional beliau juga terpikat kuat oleh Bung Karno, tetapi beliau tidaklah mudah untuk menerimanya begitu saja.

Penolakan tersebut, di samping alasan-alasan yang mendasar, juga didasari sikap empati terhadap sesama kaum feminis. Dan disinilah seorang Fatmawati telah matang jiwanya, meneguhkan prinsipnya untuk menolak sebuah tradisi yang bernama poligami, yang dianggap sangat tidak menguntungkan bagi kedudukan dan peranan wanita dalam kehidupan sosialnya. Bahkan kalau boleh dibilang, sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia khususnya, bagi pegawai negeri, seorang Fatmawati telah mendahului masanya dengan tekad, sikap, dan prinsip anti poligami. Oleh karenanya, sudah sangat patutlah bagi generasi muda sekarang, khususnya kaum wanita, untuk mensyukuri, menghormati, serta meneladani, nilai-nilai perjuangan Ibu Fatmawati terutama terhadap harkat dan maratabat kaum wanita Indonesia.[6]

Sikap konsisten untuk anti berpoligami ini terus melekat di dalam diri Fatmawati, hingga pada saat beliau menjadi First Lady Indonesia. Perjuangannya dalam merintis, merebut, hingga mempertahankan kemerdekaan Indonesia telah menjadikan sikap tersebut sebagai prasasti keyakinan yang melekat erat pada diri Fatmawati. Ketika Bung Karno berkeinginan menikah lagi tepatnya pada tanggal 15 Januari 1953 dua hari setelah beliau melahirkan Guruh. Tindakan ini ditanggapi dengan sabar dan tegar oleh Fatmawati dengan menyatakan bahwa ia tetap konsisten terhadap sikapnya yang menentang poligami. Beliau bahkan dengan tegar meninggalkan istana negara ketika tahu dirinya sudah dipoligami. Prinsip ini tetap dipegangnya meski ia harus berpisah dari suami dan anak-anaknya. Walaupun Bung Karno tidak mengizinkan dirinya untuk pergi dari istana.[7]

Tindakan ini terus berlanjut hingga Bung Karno meninggal, Fatmawati tetap tidak mau mengunjungi Bung Karno, terkecuali jasad Bung Karno dibawa ke rumahnya yang ada di Kebayoran Baru. Memang jika dipahami, sikap dari Fatmawati merupakan cerminan dari keteguhan hati seorang perempuan yang dengan konsisten memegang prinsip-prinsip kehidupan. Baginya perempuan bukan hanya sekedar pendamping seorang lelaki yang suatu saat kelak menjadi suami, menjadi seorang pemimpin yang berhak menjadi pengatur sekaligus juga pembimbing rumah tangga yang dibentuk diatas sumpah dan ikatan setia dalam pernikahan. Perempuan lebih dari semua itu, perempuan haruslah memiliki jati diri dan prinsip yang menjadi pegangannya dalam kehidupan. Perempuan bukan mahkluk lemah yang mampu diintimidasi atau bahkan dipoligami atas nama cinta dan kasih sayang.

Perjalanan kehidupan Fatmawati sebagai First Lady Indonesia yang dengan teguh dan konsisten memperjuangkan nilai-nilai anti poligami yang dianut dan dipegang erat olehnya merupakan tauladan dan contoh kepada semua perempuan Indonesia. Sebagai seorang istri, Fatmawati adalah perempuan yang patuh terhadap suaminya, namun sebagai seorang perempuan Fatmawati adalah orang yang memiliki perasaan yang tidak mau dibelah dan dibagi-bagi kedudukannya.

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009