Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Menyelami Esensi Demokrasi

Ada sebuah permasalahan klasik yang selama ini kerap menjadi bahan perenungan bagi para cendikiawan politik di seluruh dunia, yaitu mengenai hubungan kausatif antara demokrasi dan kemakmuran perekonomian yang dianggap merupakan satu sisi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Demokrasi yang dewasa ini dianggap sebagai sebuah sistem pemerintahan yang paling ideal di seluruh dunia, seakan tak mampu berkata apa-apa ketika dihadapakan pada permasalahan kemakmuran rakyat yang notabenenya merupakan faktor utama sebagai tolak ukur kemajuan berdemokrasi.

Mungkin apabila bersama kita tinjau melalui kacamata sejarah, akan kita temukan berbagai macam hal yang menjadi fokus perhatian para ilmuwan demokrat dalam usaha mensinergiskan demokrasi dan kemakmuran ekonomi. Berkaca pada situasi di negara kita, Indonesia. Ada banyak upaya untuk melakukan sebuah landasan konsulidasi penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis sejak awal mula negara kita di proklamirkan. Usaha-usaha try and doing tersebut telah intens dan berkelanjutan dilaksanakan oleh para founding fathers kita. Dimana dimulai sejak masa orde lama dengan impelementasi demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin, orde baru dengan demokrasi pancasila, dan orde reformasi saat ini yang katanya paling demokratis.

Akan tetapi, permasalahan klasik ini masih saja muncul ketika kita melihat bagaimana ketimpangan perekonomian rakyat semakin tinggi pada era demokrasi reformasi pada saat ini. Hal tersebut seakan menjadi sebuah paradoks pemikiran yang terlupakan oleh kaum elit-elit negeri ini dalam bertindak mengawasi bagaimana jalannya demokrasi tanpa adanya penyuburan dalam segi perekonomian kerakyatan.

Demokrasi saat ini seakan kehilangan raison d’etre-nya ketika mengingat semakin sering terjadi pemanipulasian kepentingan umum dengan adanya praktik money politics oleh sekelompok orang atau perorangan dengan usaha menjual suara untuk memilih seseorang atau menggolkan sesuatu kepentingan sepihak milik oknum tertentu. Hal inilah yang menjadi parasit dalam proses demokrasi di Indonesia, yang seakan sudah mulai kehilangan eksistensi dan harga dirinya. Dimana ketika ditinjau dari segi moral, upaya spekulasi dengan mengubah suara rakyat menjadi komoditi ekonomi yang mampu dijual dan diobral merupakan faktor penyebab utama yang membuat demokrasi di negara ini tidak mampu berbuat banyak untuk menjadi instrumen milik rakyat demi tercapainya kemakmuran yang sebesar-besarnya dalam bidang ekonomi.

Bertepatan dengan permasalahan tersebut, Wapres RI Boediono yang memberikan kuliah umum tentang demokrasi dan ekonomi kepada segenab civitas akademika FISIP UIN Syarif Hidayaullah Jakarta, pada hari Kamis, 23 Desember 2010 lalu. Mencoba untuk menjawab permasalahan ini. Menurutnya, ada dua faktor yang selalu muncul dalam proses demokrasi yang mengakibatkan terjadinya kompleksitas kegagalan demokrasi, yaitu disfungsionalitas dan degenerasi demokrasi.

“Uji terakhir dari suatu sistem politik, termasuk demokrasi, adalah apakah ia dapat memberikan manfaat berupa peningkatan kesejahteraan dan keadilan pada rakyat. Demokrasi yang disfungsional atau tidak berjalan tidak akan memberikan manfaat bagi rakyat dan oleh karena itu sering diikuti oleh timbulnya delegitimasi atau hilangnya kepercayaan rakyat terhadap sistem itu. Sistem politik yang baru kemudian muncul dan tidak jarang ia juga ternyata disfungsional. Sistem yang baru lagi kemudian menggantikannya. Demikian seterusnya”, ujarnya.

Sebagai catatan, Boediono juga menambahkan bahwa kita harus mewaspadai terperangkapnya demokrasi oleh eternal circle atau vicious circle yang menyebabkan ambruknya nilai-nilai demokratisasi dan berujung pada “2D”, sehingga berdampak pada kekecewaan rakyat yang berujung pada delegitimasi pemerintahan. Delegitimasi akan mengasilkan sebuah degenerasi sistem pemerintahan yang berujung kepada penurunan kualitas demokrasi dengan sistem lain yang kurang demokratis, seperti oligarki dan otoriter. Proses ini akan senantiasa terus berlanjut apabila tidak segera mungkin dilakukan respon yang cepat dalam menyelesaikan permasalahan yang campur-aduk antara kepentingan privat dan kepentingan publik, dan umumnya berakhir dengan pengorbanan kepentingan umum.

Memahami fenomena tersebut, bagi Boediono sendiri ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam proses mengawal jalannya demokrasi di Indonesia demi tercapainya keselarasan antara demokrasi dan ekonomi di Indonesia. Hal itu ialah: Pertama, bersikap hati-hati dan penuh kewaspadaan terhadap kerawanan menuju konsolidasi demokrasi dalam upaya menjalankan sebuah komitmen berdemokrasi dengan senantiasa berpijak kepada landasan masyarakat umum, bukan untuk keuntungan segelintir pihak elit yang memiliki kekuasaan di dalam pemerintahan. Kedua, memiliki sikap yang loyal dan tinggi terhadap anspirasi rakyat guna untuk menghindari terjadinya dua kerawanan, “2D”, yaitu disfungsionalitas dan degenerasi. Ketiga, meningkatkan komitmen dan solidaritas antar elit politik untuk membangun bersama sendi-sendi dasar dan aturan-aturan dasar yang bisa menjadi landasan kemajuan perekonomian rakyat yang berkesinambungan. Keempat, mengawasi jalannya demokrasi secara intensif dan transparan untuk mencegah terjadinya degenerasi karena adanya penyalahgunaan kewenangan publik dan korupsi, money politics dan politisasi birokrasi.

Oleh karena itu, kembali kepada hal normatif dalam tujuan akhir dari demokrasi yang termaknai dalam kata-kata “vox Populi Vox Dei”, dengan landasan kedaulatan rakyat yang memegang kendali utama untuk terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya sekat-sekat pembatasan yang bersifat aristokrat dan untuk terwujudnya situasi “Manunggaling Kawulo Gusti”. Sudah sepantasnya pemerintah merefleksikan demokrasi sebagai instrumen proyeksi peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat dan bukan sebaliknya menjadikan demokrasi sebagai milik perorangan dengan tanpa memberikan dedikasi dan sense of responbility terhadap rakyat yang masih kekurangan. Karena sesungguhnya demokrasi dan ekonomi adalah satu kesatuan, demokrasi berperan sebagai alat untuk memajukan ekonomi dan sebaliknya, ekonomi merupakan penilaian akhir dari proses jalannya demokrasi di negeri ini. (*)

Eko Indrayadi

Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Karl Marx Api Kecil Dalam Genggaman Kaum Borjuis


Berbicara tentang Karl Marx, maka mau tidak mau kita juga harus masuk ke dalam pemikiran kaum sosialis, Marxisme yang kerap diakui sebagai sebuah teori ideologis yang paling lengkap serta dianggap sebagai salah satu mazhab pemikiran yang paling berpengaruh di dunia. Sistem pemikiran Marx sangat orisinil dimana sistem pemikiran ini dapat kita kotomi menjadi tiga bagian segmentasi pengaruh teoritis besar: Filsafat Hegel, teori ekonomi Inggris, dan ide-ide revolusioner Perancis. Bagi Marx, apa yang bisa menyatukan semua elemen eksistensi manusia bukanlah ‘semangat zaman’ (zeitgeist), tetapi kondisi material seseorang. Adalah ekonomi, dan struktur sosialnya, yang menentukan karakter setiap zaman. [1]

Sehingga apabila terjadi perubahan pada faktor-faktor dasar ini, maka akan timbul sebuah kekuatan pendorong sejarah, yang melahirkan sebuah gerakan revolusi sebagai simbol dari transisi perkembangan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan selanjutnya. Hal inilah yang dapat penulis jadikan sebuah think and re-thingking, bahwasanya konsepsi sejarah yang dikemukan oleh Marx bersifat materialisme dialektis. Terkadang, teori-teori Marx disebut sebagai ‘sosialisme ilmiah’ karena adanya integrasi keilmuan yang sifatnya empiris dan terstruktur, seperti ekonomi dan sosiologi.

Kelebihan dari pemikiran Marx adalah kemampuan dan dedikasinya bersama Engels di dalam melakukan andil besar dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial Barat, terkhusus di dalam kajian pengembangan teori-teori kelas dan perjuangan kelas. Keyakinan mengenai detik-detik kematian kapitalisme dan feodalisme merupakan substansi utama dalam menorehkan karya-karya pemikirannya. Meskipun pada awalnya, Marx sendiri tidak tahu menahu mengenai logat pemikirannya itu secara teoritis ilmiah. Ia hanya berpendirian sebagaimana pemikirannya dianggap sebagai usaha nyata dalam usaha perbaikan-perbaikan kehidupan.

Meskipun terkadang hingga kini pemikiran Marx banyak menuai kecaman dan kritikan dari berbagai ilmuwan sosial, khususnya dalam persfektifnya mengenai agama yang dianggap olehnya sebagai candu bagi masyarakat. Karl Marx mampu membuktikan serta mengelaborasikan sebuah faham pemikiran yang sifatnya terstruktur dalam sebuah pemikiran runtut diantaranya, pertama, perkembangan histories berlangsung melalui sintesis ketegangan atau kontradiksi yang inheren (dialektika). Kedua, institusi sosial dan politik dibentuk dan ditentukan oleh ekonomi (materialisme historis). Ketiga, gerakan dialektik sejarah terungkap dealam pertentangan atau konflik antarkelompok-kelompok ekonomi (pertentangan kelas). Berdasarkan hal tersebut, maka wajar apabila Karl Marx dengan pemikiran Marxismenya mampu menjadi seorang soko guru perlawanan terhadap penindasan terhadap kaum-kaum buruh (proletar) di setiap perkembangan zaman. [2]

Namun terlepas dari semua itu, pembeda pemikiran Marx dan kaum materialis awal terletak dari paradigma pemikiran yang dipandang dan diamati. Kaum materialis awal lebih tertarik kepada dunia fisik, sedangkan Marx lebih memfokuskan kajian pemikirannya terhadap manusia dan masyarakat.[3] Ia berbicara tentang materialisme yang dinamis. Mungkin untuk menjadi sebuah perbandingan pemikiran dari teori yang berpendapat bahwa materi bergerak karena semata-mata karena pengaruh lingkungan. Ia mengedepankan materialisme sebagai cakupan proses dalam perkembangan dari dalam.

Mungkin hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis untuk mengkaji pemikiran Karl Marx yang mampu mempengaruhi 1,3 Milyar penduduk bumi, meskipun setelah satu abad kematiannya.[4] Jumlah yang luar biasa apabila dibandingkan dengan jumlah penganut ideologi manapun sepanjang sejarah kehidupan manusia. Bukan sekedar jumlahnya yang mutlak, melainkan juga sebagai kelompok dari keseluruhan penduduk dunia. Inilah yang mendorong semangat kaum Komunis, dan juga sebagian yang bukan komunis percaya dan yakin, bahwa di masa depan akan terjadi dan tercipta imperium marxisme yang akan merebut kemenangan di seluruh dunia.

B. Biografi Karl Marx

Karl Marx dilahirkan di Treves, kota kecil di wilayah Rhineland Jerman[5]. Ia adalah keturunan rahib Yahudi dari pihak ayah dan ibunya meskipun ayahnya, seorang pengacara yang terkenal, pindah ke Protestan. Marx menerima pendidikan di Universitas Bonn, Berlin, Jena. Ketika masih mahasiswa, ia terutama tertarik dengan pemikiran-pemikiran materialis Yunani, yang dimanifestasikan oleh Marx dalam thesis doktornya On the difference between the natural Philosophy of Democritos and of Epicurus[6]. Selepas memperoleh gelar doktor ini, Marx berusaha untuk menjadi staf pengajar di universitas. Ketika upayanya ini gagal, Marx beralih profesi sebagai seorang jurnalistik dan menjadi redaktur dari harian Rheinisce Zeitung, surat kabar demokratis-liberal yang terbit di Cologne. Tapi, pemikirannya yang radikal telah membuat Marx terusir dari Jerman dan hijrah menuju Paris dimana ia banyak berhubungan dengan banyak pemikir sosialis Prancis.

Ia memulai kehidupannya sebagai orang yang berada dipengasingan. Di Perancis, Marx bertemu dengan Friedrich Engels, putra pengusaha tekstil Jerman yang kaya. Pada saat itu Engels adalah pengelola pabrik di Machester, Inggris. Tetapi sebagaimana Owen, ia merasa muak dengan kondisi sosial yang ada. Melalui persinggungan dirinya dengan Engel, Marx menjadi sadar dan tahu mengenai betapa mengenaskan nasib buruh dan hubungannya dengan keadaan ekonomi Inggris saat itu. Persahabatan dan hubungan baik diantara keduanya berlangsung sampai akhir hayat Marx empat puluh tahun kemudian.Pada saat berada di Paris, Marx banyak menulis kritik-kritikan terhadap filsafat Hegelian melalui kolaborasinya dengan Engels melalu tulisan-tulisannya di berbagai media massa. Beberapa artikel yang ditulis oleh Marx umumnya tidak berubah yakni mengenai sikap radikalnya. Salah satu artikel yang ditulis Marx berisi seruan provokatif untuk melakukan revolusi Jerman. Hal inilah yang menyebabkan Karl Marx lagi-lagi harus pindah karena diusir. Marx akhirnya pindah ke Brussel dimana dia membentuk liga komunis, sebuah organisasi yang berusaha menghimpun orang-orang di bawah satu mazhab sosialisme.

Pada kongresnya tahun 1874, liga ini memberikan mandat kepada Marx dan Engels untuk menyusun Manifesto Komunis (Communist Manifesto). Dokumen ini terbit satu tahun berikutnya dan menjadi karya politik yang fenomenal sepanjang jaman. Ketika revolusi pecah tahun 1848, Marx kembali ke tanah airnya Rhineland untuk ikut serta dalam gerakan. Kemudian dia kembali ke London ketika gerakan ini gagal dan menghabiskan sisa umurnya di sana.

Kehidupan Marx bukanlah berada di dalam kesejahteraan dan kenikmatan. Marx senantiasa berada di dalam kemiskinan dengan gangguan kesehatan yang menghinggapinya. Kepribadian Marx tidaklah menarik, sikap kasar dan kerasnya terhadap orang lain, serta metodenya yang asal-asalan telah menjadikan diri Marx sebagai pribadi yang terkadang membosankan. Pada tahun 1843 ia menikah dengan Jenni von Westphalen, putri seorang pejabat tinggi pemerintah. Penghidupan keluarga Marx sebagian besar ditopang oleh Engels. Marx meninggal pada tahun 1883 di London.

C. Pemikiran Karl Marx

Sebelum kita terjun ke dalam dunia pemikiran Karl Marx, menurut penulis ada baiknya, kita pahami terlebih dahulu paradigma pemikiran Marx mengenai manusia yang berlaku sebagai subjek perubahan. Menurut Marx, manusia adalah mahkluk alamiah yang berkembang dalam lintasan sejarah dunia. Manusia adalah makhluk kreatif dengan hasrat dan kekuatan. Manusia dalam sejarahnya telah mengubah objek-objek sejarah alamiah dan telah menciptakan kebudayaan di seluruh dunia. Hal inilah yang mendorong Marx untuk berpandangan bahwa sejarah di dunia akan selalu mengikuti perkembangan manusia, dimana dalam proses ini, bangsa manusia, akan menemukan sendiri objeknya dalam upaya meraih aktualisasi diri.

Bagi Marx, apa yang bisa menyatukan semua elemen eksistensi manusia bukanlah ‘semangat zaman’ (zeitgeist), tetapi kondisi material dari kehidupan dari kehidupan orang. Adalah ekonomi dan struktur sosialnya yang menentukan karakter setiap zaman. Perubahan dari faktor-faktor dasar ini yang menjadi kekuatan pendorong sejarah, yang melahirkan revolusi sebagai tanda transisi dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan selanjutnya. Maka, konsepsi sejarah ini secara jelas mengokohkan pemikiran materialistis. Teori dasar ini sering disebut materialisme dialektis.

Marx menyetujui bahwa organisasi ekonomi-sosial memiliki sifat yang sangat fundamental. Hal ini dimungkinkan karena ia tidak hanya mempengaruhi semua aspek kehidupan yang lain, tetapi juga menentukan sifat dari semua aspek itu. Akibatnya, hukum, pemerintahan, pendidikan, agama, seni, kepercayaan, dan nilai masyarakat merupakan hasil langsung dari organisasi ekonomi-sosial tersebut. Marx menyebut organisasi sosio-ekonomi ini dengan istilah “substruktur (basis)”, sementara sisi lain yang lain disebut dengan “superstruktur”, prinsip dasar dari teori Marx adalah bahwa substruktur menentukan suprastruktur.

Konsep pemikiran Marx mengenai perjuangan kelas dapat kita telusuri dari beberapa karyanya. Di dalam The Manifesto of the Comunist Party yang ditulisnya bersama Engels, Marx mengemukakan konsepsinya mnengenai perjuangan kelas. Di dalam halaman pertama buku tersebut, sebagaimana yang diungkapkan oleh Marx dalam Ahmad Suhelmi,

“Sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai saat ini merupakan cerita dari perjuangan kelas. Kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, kepala serikat kerja dan para tukang, dengan kata lain, penekan dan yang ditekan, berada pada posisi yang selalu bertentangan satu sama lainnya, dan berlangsung tanpa terputus.”[7]

Dalam pernyataan Marx tersebut, secara tersirat beberapa konsepsi pemikiran penting Marx dan Engels. Pertama, bahwa gagasan sentral dan yang ada dibalik pernyataan itu adalah fakta bahwa sejarah sejarah umat manusia diwarnai oleh perjuangan atau pertarungan diantara kelompok-kelompok manusia. Dan, dalam bentuknya yang transparan, perjuangan itu berbentuk perjuangan kelas. Menurut Marx, perjuangan ini akan senatiasa terjadi dan permanen karena merupakan bagian yang inheren dalam kehidupan sosial, serta akan terus berlangsung sejak dimunculnya kelas-kelas sosial.

Kedua, pernyataan tersebut mengandung preposisi bahwa dalam sejarah perkembangan masyarakat selalu terdapat polarisasi. Suatu kelas hanya berada dalam posisi pertentangan dengan kelas-kelas lainnya. Dan kelas yang saling bertentangan itu tidak lain adalah kelas penindas dan kelas tertindas. Marx berpandangan bahwa dalam proses perkembangannya masyarakat akan mengalami perpecahan dan kemudian terbentuk dua blok kelas yang saling bertarung, kelas borjuasi kapitalis dan kelas proletariat.[8]

Mengacu pada kedua hal tersebut, Marx menilai bahwa arti penting dari konflik kelompok ekonomi bagi berjalannya proses politik. Secara umum menurutnya, pertentangan tersebut merupakan kenyataan yang inheren dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Marx mencoba membedakan konflik kapitalis-pekerja dengan pertentangan kelas sebelumnya. Di masa lampau, satu kelas hanya membangun satu kekuasaan kelas baru setelah menumbangkan dominasi dari kelompok yang berkuasa. Di bawah sistem kapitalis modern, proletariat secara bertahap menyerap semua kelopmpok sosial kecuali sekelompok kecil kapitalis. Kemenangan dari kelompok proletariat, menurutnya adalah kemenangan semua masyarakat dan bukan kemenangan sebagian kecil yang signifikan. Ketika kemenangan kelompok ini tercapai, konflik kelas akan berakhir karena semua pembagian kelas telah dieliminasi. Sintesis baru akan muncul dan bebas dari ketegangan internal yang telah memporak-porandakan masyarakat.

Kerangka singkat dan sederhana tentang masyarakat feodal dan kapitalis ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana sebuah masyarakat dapat berubah jika kelas penguasanya tetap solid. Menurut Marx, berdasarkan prinsip bahwa substruktur menentukan struktur atas, maka kekuatan sosial dan ekonomi menciptakan perubahan sejarah. Peristiwa-peristiwa besar, seperti Reformasi atau Revolusi Perancis, tidak muncul karena perubahan ide rakyat atau karena tindakan-tindakan indivindu besar, semua ini hanyalah manifestasi luar dari perubahan struktur bawah yang lebih dalam.

Dalam teorinya mengenai dinamika dasar perubahan[9], sejarah dibangun di seputar empat ide yang saling terkait: perkembangan ekonomi, konflik kelas, dialektika, dan revolusi. Setiap cara produksi, Marx percaya, serta memiliki logika tersendiri. Ekonomi berubah dan berkembang melalui inovasi teknologi, teknik keuangan yang baru, tumbuhnya perdagangan dan kemakmuran. Perkembangan-perkembangan semacam itu menimbulkan ketegangan dan kontradiksi di dalam sebuah sistem. Menurut Marx, sebuah jenis produksi baru akan muncul bersamaan dengan munculnya kelas baru yang mengeksploitasi. Secara perlahan-lahan, struktur masyarakat lama akan berisikan perkembangan-perkembangan yang baru ini, dan kelas baru menantang supremasi kelas penguasa lama. Semua kontradiksi dan konflik hanya dapat diselesaikan dengan revolusi, karena setiap kelas penguasa lama akan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara. Setelah dilakukan revolusi, kelas penguasa baru akan mentransformasikan masyarakat sesuai dengan cara produksi dan ideologinya sendiri.

Mekanisme perubahan yang rumit ini dianggap bisa menjelaskan bagaimana terjadinya tahap perkembangan manusia menjadi tahap yang lain, meskipun secara konsisten Marx hanya menerapkannya untuk tahap perkembangan yang belakangan. Tahap-tahap yang diidentifikasi oleh Marx adalah sebagai berikut, sebelum muncul peradaban yang mapan menurut Marx, masyarakat bercirikan komunisme primitif, dimana semua harta adalah milik kepala suku. Ketika orang menetap dan menciptakan peradaban yang sebenarnya, harta milik komunitas masih dipertahankan dalam kehidupan desa, meskipun kelebihannya dibayarkan sebagai upeti pada negara yang lalim, yang mengorganisasi kerja publik besar untuk menangani masalah pengairan atau mempertahankan tanah. Marx menyebut ini sebagai cara produksi Asiatik, karena cara ini masih bertahan di Asia, sementara bagian dunia yang lain telah bergerak ke tahap-tahap perkembangan yang lebih belakangan. Tipe Asia digantikan oleh tipe Klasik, yang merupakan sebuah sistem ekonomi yang didasarkan pada perbudakan. Ini akhirnya memberi jalan pada tipe feodal, yang akhirnya digantikan oleh tipe kapitalis atau borjuis.[10]

Bagimanapun, kelas kapitalis memiliki persoalannya sendiri. Seorang kapitalis dituntut cerdas dan cakap, tidak seperti kaum feodal yang gila hormat. Ekonomi kapitalis didasarkan pada kompetisi, sehingga seorang kapitalis harus terus-menerus memperbaiki daya saingnya dengan memproduksi lebih banyak barang dengan harga yang semakin murah. Ini dapat dilakukan melalui dua cara[11]: Pertama, dengan mesin baru yang lebih baik, yang akan meningkatkan kekuatan pekerja dalam menciptakan nilai. Kedua, dengan mengurangi jumlah pekerja. Ada tekanan terus-menerus pada seorang kapitalis untuk semakin mengekploitasi para pekerjanya, mengambil jumlah nilai surplus. Kapitalis yang lebih kuat akan berkembang, sementara yang lemah akan tertendang dari bisnis. Maka, kelas kapitalis tumbuh semakin kecil dan semakin kaya, sementara kelas proletariat tumbuh semakin besar dan celaka.

Marx mengatakan bahwa kaum kapitalis adalah orang-orang yang bersikap aneh yang mempekerjakan dan mendidik orang-orang (buruh) yang akan menghancurkan masa depannya. Tidak seperti tipe produksi lain, kapitalisme industri selalu berpusat pada pada tenaga kerjanya. Dalam keadaan ini, kaum proletariat berkesempatan untuk mengorganisasi diri dan mencapai saling pemahaman tentang pengalamannya sendiri dan apa yang perlu dilakukan, dengan kata lain, kaum proletariat memiliki kesempatan untuk mencapai apa yang disebut Marx dengan kesadaran kelas.

Penderitaan mau tidak mau telah memaksa kaum proletariat untuk melihat keadaan dirinya secara jelas, tanpa didistorsi oleh ideologi borjuis. Mereka akan menilai bahwa masyarakat kapitalis tidak boleh terus hidup. Kaum proletariat mampu dan harus dan harus mengambil alih alat produksi, membuang peran kapitalis dalam produksi yang bersifat parasit. Singkatnya, kelas pekerja akan menyadari dunia kapitalis bukanlah akhir dari proses sejarah.[12] Dengan mengikuti dinamika perkembangan sejarah hingga puncaknya yang logis, Marx percaya bahwa kita dapat memprediksi transformasi tahap kapitalis ke tahap lebih lanjut dan final, komunisme. Komunisme pasti merupakan tahap akhir karena ia akan menyelesaikan konflik dan kontradiksi. Ia juga merupakan sintesis terbaik dari semua masyarakat terdahulu.

Marx percaya bahwa revolusi komunis tidak dapat dielakkan. Kapitalisme tidak dapat diperbaharui, begitu pula dengan keadaan para pekerja. Kelas kapitalis tidak bisa mengubah cara hidup mereka. Mereka harus terus mengeksploitasi kaum pekerja atau berhenti jadi kapitalis. Dinamika perkembangan kapitalis begitu kuat, dan kontradiksi internalnya begitu fundamental, sehingga kelas kapitalis akhirnya akan menemui kehancuran dirinya. Marx menegaskan bahwa hanya melalui revolusi yang kejam dan penciptaan masyarakat komunis, semua kontradiksi ini akhirnya dapat dihilangkan.

Di lain sisi, Marx memiliki keyakinan bahwa revolusi komunis baru akan terjadi setelah kapitalisme mencapai puncak perkembangannya. Marx melihat revolusi dimulai di industri Barat yang maju. Tetapi, dimanapun dimulainya, revolusi akan terjadi di seluruh dunia, karena salah satu segi kapitalisme yang unik adalah kemampuannya melalui perdagangan dan eksploitasi di daerah koloni untuk membawa seluruh dunia di dalam jaringannya. Marx juga berpandangan, bahwa nasionalisme adalah aspek ideologi borjuis, sebaliknya kesadaran kesadaran proletariat benar-benar bersifat internasional, yakni dimana adanya kesamaan antara pekerja di negeri-negeri lain dibandingkan dengan kaum borjuis itu sendiri. Maka, ketika revolusi komunis dimulai di sebuah negara, revolusi ini akan cepat menyebar ke negara lain dan akhirnya ke seluruh dunia, sehingga seluruh umat manusia akan terbebas sama sekali.

Namun, Marx tidak percaya bahwa revolusi komunis akan segera diikuti oleh masyarakat komunis. Sebelum muncul masyarakat komunis, menurutnya akan terjadi lebih dahulu periode transisi yang disebut oleh Marx dengan kediktatoran proletariat, dimana kekuasaan tertinggi terletak di tangan pekerja. Negara dan instrumennya masih menjadi alat bagi kelas penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya, tetapi perbedaannya yang menjadi penguasa sekarang adalah kelas pekerja, pihak mayoritas. Kediktatoran proletariat memiliki dua tugas[13]: Pertama, mempertahankan dan memperluas revolusi. Kedua, mempersiapkan jalan bagi tahap akhir sejarah manusia, mendirikan masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara, jenis masyarakat yang bagi Marx adalah yang paling sesuai untuk alam manusia.

D. Kritik Terhadap Pemikiran Karl Marx

Berdasarkan analisis deskriftif yang dikemukakan di atas, penulis mencoba untuk melakukan sebuah proses kontemplasi kritis terhadap pemikiran-pemikiran Karl Marx, khususnya dalam menyimak dan melihat konsepsi pemikiran Marx mengenai perjuangan kelas. Berlandaskan pada asumsi Tom Bottomore dalam Suhelmi yang menyatakan bahwa ada dua hal utama dari teori Marx yang rentan untuk dikritik: Pertama, Marx terlalu berlebihan dalam melihat kelas-kelas sosial dan kelas konflik sebagai unsur determinatif dalam menjelaskan perubahan struktural dalam sejarah manusia. Kedua, teori-teori Marx kurang mampu dan relevan dalam menjelaskan jumlah tipe stratifikasi sosial.[14]

Sehingga menurut hemat penulis, betapapun kuatnya religuitas dan moralitas aktual dalam pemikiran Marx, hipotesis mengenai kontradiksi kapitalisme dan komunisme yang dikemukakan oleh Marx kini merupakan kesalahan yang serius. Berbeda dengan perkiraan Marx, kapitalisme belumlah hancur. Marx terlalu berlebihan dalam meremehkan kekuatan kapitalisme untuk mereformasi dirinya. Penghormatan terhadap komunisme belumlah muncul di negara-negara kapitalisme maju, bahkan ketika muncul konflik antara hubungan dan kekuatan produksi mereka. Komunisme malah berkembang dalam kultur feodal di negara, seperti Rusia dan Cina.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Ian. “Ideologi Politik Mutakhir”. CV. Qalam. Yogyakarta. 2004

Hart, H. Michael“100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah”, Pustaka Jaya. Bandung. 2002

Lavine, T.Z. “Marx: Konflik Kelas Dan Orang Yang Terasing”. Jendela. Yogyakarta. 2003

Losco, Joseph. Dkk. “Political Theory”. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2005

Malik, dkk. “Pemikiran-Pemikiran Revolusioner”. Averroes Press. Yogyakarta. 2001

Noer, Deliar. “Pemikiran Politik Di Negeri Barat”. CV. Rajawali. Jakarta. 1982

Schmandt, J. Henry. “Filsafat Politik”. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2009

Suhelmi, Ahmad. “Pemikiran Politik Barat”. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2007


[1] Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya,Yogyakarta, Qalam, 1993, hlm. 237.

[2] Henry J. Schmandt, Filsafat Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, hlm.514. Cetakan Ke 3.

[3] Abdul Malik, dkk, Pemikiran-Pemikiran Revolusioner, Malang, Averroes Press, 2001, hlm. 8.

[4] Michel H. Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Jakarta, Dunia Pustaka Jaya, 2002, hlm.87.Cetakan ke 20.

[5] Michel H. Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, hlm. 86. Cetakan ke 20.

[6] Henry J. Schmandt, Filsafat Politik, , hlm.512. Cetakan Ke 3.

[7] The Manifesto Marx dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 269.

[8] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm 270.

[9] Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya, hlm. 244.

[10] Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Jakarta: CV. Rajawali, 1982, hlm. 165.

[11] J.J. Von Schmid, Ahli-Ahli Pemikir Besar Tentang Negara Dan Hukum, Djakarta: PT. Pembangunan, 1962, hlm. 235.

[12] Joseph Losco dan Leonard Williams, Political Theory: Kajian Klasik Dan Kontemporer Volume II, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 573.

[13] T. Z. Lavne, Marx: Konflik Kelas Dan Orang Terasing, Yogyakarta: Jendela, 2003, hlm. 97.

[14] Bottomore, Tom dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, hlm. 272.


Eko Indrayadi

Pemerhati Isu-Isu Politik Kontemporer

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009