Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Transformasi Global Terhadap Implementasi Demokrasi Di Indonesia


Demokrasi dan Globalisasi ibarat sebuah sistem yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Globalisasi dapat diibaratkan sebagai salah satu faktor penunjang pertumbuhan demokrasi sebagai alternatif sistem nilai di berbagai bagian dari kehidupan manusia, baik secara mikro yang berupa indivindu dan keluarga, maupun secara makro dalam lingkup, masyarakat, bangsa, dan negara. Di dalam perkembangan globalisasi yang telah mampu menembus batas ruang dan waktu, ada beberapa konsepsi yang dikeluarkan oleh para ilmuwan di dalam memahami konteks globalisasi di dalam mempengaruhi perkembangan dari demokrasi.

Kelompok pertama, adalah kelompok yang memandang secara optimis dalam melihat perkembangan globalisasi dan demokrasi. Keruntuhan Uni Soviet, sebagai salah satu negara adi kuasa telah membuat demokrasi liberal tidak lagi mempunyai pesaing utama. Akibatnya, di era sekarang ini, sebagian besar negara-negara di dunia mengklaim sebagai negara demokratis, dan setiap orang mengaku dirinya sebagai demokrat. Negara-negara Eropa Timur dan Rusia, yang sebelumnya berada dalam intervensi Uni Soviet kini juga telah mulai mengadopsi sistem demokrasi. Sehingga negara-negara di dunia secara global mulai melangkah ke dalam suatu lingkaran demokrasi liberal.

Kelompok kedua adalah para ilmuwan yang cenderung pesimis dan bahkan skeptis dalam melihat demokrasi. Ada beberapa alasan mengenai sikap pesimis dan skeptis mereka dalam melihat nasib demokrasi dalam era global sekarang ini. Pertama, globalisasi ekonomi telah melahirkan aktor-aktor ekonomi baru yang sangat berkuasa, yakni perusahan-perusahan transnasional. Seperti yang telah dikemukan oleh Nicolas Yeates dalam makalahnya yang berjudul Globalization and Social Policy: From Global Neoliberal Hegemony to Global Political Pluralism , “ Globalisasi telah menghadirkan ekonomi global yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan global yang tidak dapat dikontrol sebagai aktor kunci, yakni transnational corporations. Hal ini merupakan sebuah kendala yang menjadi titik permasalahan pada masa global. Perusahaan-perusahaan transnasional ini dan sekutu-sekutu mereka merupakan aktor politik yang menekankan bahwa kemakmuran bersama dapat dicapai melalui proses free market dan free tread, lembaga dan dan proses melalui mana mereka mengontrol baik melalui diri mereka sendiri maupun melalui aliansi mereka ditingkat lokal, nasional, regional, dan global. Kedua, korporasi global ini tidak demokratis dalam struktur dan prosesnya. Selain itu, tingkat sentralitas dalam perumusan dan pembuatan kebijakan hanya ditujukan untuk memaksimalisasi keuntungan. Sebagian besar pekerja tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan perusahaan, posisi mereka sangat rentan ketika dihadapkan dengan manajemen perusahaan. Di luar keadaan itu, mereka tidak mempunyai akuntabilitas publik yang memadai. Akibatnya perusahaan transnasional ibarat negara dalam negara.

Kelompok ketiga adalah kelompok yang lebih menekankan pentingnya pendefinisian kembali demokrasi di era global sekarang ini. Menurut konsepsi kelompok ini, persoalan-persoalan yang terkait dengan demokrasi dan globalisasi dapat diselesaikan melalui kerjasama multilateral antarnegara. Sehingga dapat ditemukan sebuah keuntungan ekonomi dari ekonomi global jika bekerjasama satu dengan yang lain dalam satu kawasan.
Berdasarkan pendapat dari ketiga kelompok yang memandang sintegritas globalisasi terhadap demokrasi, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa negara negara tidak lagi memiliki entitas yang outonom yang berdaulat karena karena tingkat otonomi dan kedaulatannya telah dilemahkan sedemikian rupa oleh berbagai sebab. Untuk itu, demokrasi hendaknya juga mencakup berbagai subsistem politik yang mengisi ruang-ruang politik internasional ataupun global.

Menurut Moh. Mahfud MD , ada dua alasan utama dipakainya demokrasi dalam alasan bernegara. Pertama, hampir seluruh negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental. Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.

Senada dengan hal tersebut, menurut Robert Dahl dalam Budi Winarno, “Demokrasi memiliki lima standar yang mampu digunakan dalam mengukur demokratisnya suatu proses politis. Diantaranya, 1). Partisisipasi yang efektif, 2). Persamaan dalam memberikan suara ,3). Pemahaman yang jernih dari warga negara anggota suatu kelompok asosiasi, 4). Pengawasan agenda, dan 5). pencakupan orang dewasa.

Selain itu, ada dua unsur penting dari demokrasi yang dapat digunakan sebagai tolak ukur demokratisnya suatu sistem pemerintahan. Pertama , rakyat harus memiliki andil yang besar dan utama dalam mengendalikan kebijakan (popular control). Kedaulatan dan kemakmuran rakyat harus menjadi prioritas dimana diberikan dan diwujudkan melalui pemilihan para wakil rakyat. Kontrol publik terhadap pemerintah juga dapat dilakukan melalui media masa, LSM, dan berbagai organisasi masyarakat lainnya. Kedua, pemerintah harus mampu menciptakan kebijakan-kebijakan yang menjamin persamaan dalam kedudukan politik untuk menciptakan kesetaraan politik bagi setiap warga negaranya.

Dalam proses perkembangannya di Indonesia terkadang demokrasi tidak berjalan mulus dan lancar. Ada berbagai hambatan yang menyebabkan terjadinya proses pasang-surut. Hal ini tergantung pada berbagai kondisi dan situasi yang mendorong demokrasi itu sendiri. Senada dengan hal itu, priodisasi waktu yang senantiasa terus dinamis telah menyebabkan sebuah proses globalisasi yang mau tidak mau, ikut memiliki peranan yang besar di dalam menumbuhkan dan mengembangkan proses pemerintahan yang demokratis di Indonesia. Harapan pemerintahan yang demokratis yang mencuat sejak dimulainya orde reformasi telah menciptakan sebuah simbiosis mutualisme antara globalisasi dan proses perkembangan demokrasi di Indonesia.

Salah satu contoh yang sangat krusial adalah keberhasilan Indonesia dalam menyelenggarakan pemilihan umum pada tahun 1999. Runtuhnya orde baru yang telah berkuasa lebih dari 20 tahun dengan corak pemerintahan yang refresif dan totaliter, atau bahkan cenderung otoriter telah membangkitkan harapan baru bagi dunia internasional tentang prospek demokrasi Indonesia ke depan. Terpilihnya Gus Dur yang berasal dari golongan masyarakat santri (civil Society) telah meningkatkan kepercayaan dunia internasional mengenai berahirnya rezim yang diktator oleh pihak militer dan munculnya sebuah sistem pemerintahan baru yang demokratis dari reformasi.

Dilihat dari sudut kepentingan rakyat, banyak hal yang sesungguhnya dapat ditarik sebagai pelajaran dari pelaksanaan pemilu tahun 1999. Pemilu yang pertama kalinya dianggap sebagai realisasi agenda reformasi telah melahirkan berbagai bentuk aspirasi rakyat dalam hal kebebasan mengeluarkan pendapat sebagai aplikasi semangat berpartisipasi di dalam dunia politik yang baru saja mengalami sebuah metamorfosis. Peranan seseorang atau kelompok orang untuk ikut aktif serta secara aktif dalam kehidupan politik semakin mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Semua ini dapat kita lihat dari jalannya pemilihan pimpinan negara yang mulai mengalami transparansi, partisipasi media dan masyarakat luas dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintahan pun semakin mengalami tranformasi ke arah pemerintahan yang lebih demokratis.

Di dalam analisis politik mengenai partisipasi politik masyarakat dalam mengaspirasikan konsepsi, serta anspirasinya sebagai salah satu kekuatan yang mempengaruhi kebijakan pemerintah, Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries memberi tafsiran mengenai definisi dari partisipasi politik,
“ Political participationwe mean activity by private citizens designed to influences goverment decision making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or inefective.” (Parisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif).

Berdasarkan pada pendapat Samuel P. Huntington di atas, maka proses jalannya pembentukan pemerintahan yang demokratis di Indonesia telah mengalami kemajuan yang sangat luar biasa. Kemajuan ini dapat dilihat dari keberhasilan Indonesia di dalam menyelenggarakan pemilu legeslatif dan pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004. Hal ini merupakan awal dari sebuah proses pemulihan citra dan identitas nasional bangsa Indonesia yang selama ini berkembang di dunia Internasional. Konsulidasi politik demokrasi di Indonesia bergerak satu langkah lebih maju karena kesuksesan pemilu tersebut karena Indonesia telah mampu mengelola keanekaragaman masyarakatnya melalui mekanisme politik yang berlaku secara universal.

Di samping itu, kemenangan dari SBY dan JK yang merupakan calon mayoritas dari pemilihan umum secara langsung oleh rakyat Indonesia telah memberikan bentuk legitimasi yang kuat yang mampu menciptakan sebuah identitas nasional yang positif terhadap negara Indonesia dalam persfektif global dalam paradigma internasional sebagai usaha pencapaian tujuan politik luar negeri Indonesia. Dibandingkan dengan sistem pemerintahan pada era sebelumnya, pemerintahan pada era SBY dan JK, memiliki kelebihan di dalam penciptaan situasi dan kondisi birokrasi pemerintahan yang bersih dari korupsi. Terlegitimasinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai lembaga yang berwenang dalam mengawasi jalannya pemerintahan telah ikut andil di dalam membangun kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Oleh karena itu, proses transformasi dalam pengimplementasian demokrasi di Indonesia sudah dapat dinilai keberhasilannya. Walaupun secara normatif, masih banyak permasalahan-permasalahan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang belum dapat terselesaikan dengan baik di Indonesia.

Salah satu contoh permasalah tersebut adalah beberapa kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah. Kasus pelanggaran HAM berat seperti, penghentian secara refresif terhadap aktivis-aktivis mahasiswa pada orde baru, hingga pembunuhan aktivis HAM, Munir. Belum menapaki titik terang pada era demokrasi reformasi. Peranan dunia secara internasional maupun global diharapkan benar-benar mampu menciptakan sebuah iklim demokrasi yang meskipun tidak secara normatif murni dan mendekati sebuah sistem demokrasi yang absolut di Indonesia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh cendikiawan muslim Nurcholis Masjid, bahwa demokrasi memiliki enam unsur pokok yang dibutuhkan dalam membentuk tatanan masyarakat yang demokratis, yaitu: 1. Kesadaran akan pluralisme, 2. Musyawarah, 3. Cara haruslah sesuai dengan tujuan, 4. Norma dan kejujuran dalam permufakatan, 5. Kebebasan nurani, persamaan hak dan kewajiban, 6. Trial and error (percobaan dan salah dalam berdemokrasi.

Berdasarkan hal itu, akhirnya saya mencoba menjajaki sebuah proses asasi demokrasi dan globalisasi di Indonesia. Globalisasi telah membantu Indonesia di dalam memujudkan sebuah iklim demokratis yang secara menyeluruh dalam bidang kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang beranekaragam suku, bahasa, etnis, dan budaya (pluralis) sudah sepantasnya Indonesia menerapakan sebuah prinsip equality (kesetaraan) dan liberty ( kebebasan) dari setiap rakyatnya sebagai salah satu faktor pendukung tegaknya demokrasi Indonesia di era globalisasi.

Akan tetapi, beberapa permasalahan yang perlu dikaji dan didefinisikan kembali mengenai globalisasi dan demokrasi adalah mengenai penyetaraan terhadap negara-negara dunia ke tiga di dunia. Hal ini akan berakibat terhadap muncul dan berkembangnya suatu bentuk neokolonialisme dalam bidang ekonomi terhadap negara-negara yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap negara-negara maju atau adikuasa. Namun, terlepas dari semua itu, Indonesia sebagai negara yang besar dan memiliki berbagai macam potensi yang luar biasa, baik secara SDM maupun secara SDA harus mampu berkompetisi di dalam era global. Tidak hanya menyangkut permasalahan demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia, tetapi juga menyangkut semua dimensi kehidupan rakyat Indonesia yang berada sebagai satu kesatuan masyarakat yang pluralis, beradap, dan berlandaskan pada pancasila. (**)

DAFTAR PUSTAKA
Beetham, David dan Kevin Boyle, Demokrasi, Kanisius, Yogyakarta, 2000.
Budiardjo, Mirriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
B. N. Marbun, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2007.
Jemadu, Aleksius, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008.
Sahdan, Gregorius, Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto, Pondok Edukasi, Yogyakarta, 2004.
Pambudi, S. Himawan dan Siti Fikriyah, Menuju Demokrasi Terkonsolidasi, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2003.
Tim Indonesian Center for Civic Education (ICCE), Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah Press, Jakarta, 2007
Urbaningrum, Anas, Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Masjid, Republika, Jakarta, 2004.
Winarno, Budi, Globalisasi & Krisis Demokrasi, MedPress, Yogyakarta, 2007.


B-Pol
(The Social Civitas Of UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

Pengadu Nasib Jalanan Kota Jakarta

Jakarta, ibu kota Negara Republik Indonesia yang menyimpan berbagai macam pernak-perniknya. Semua persoalan seolah menjadi kompleks di kota metropolitan ini. Perkembangannya senantiasa dijadikan sebuah manifestasi kebijakan oleh elit-elit penguasa, yang menjadikan ibu kota berbeda dari kota manapun di Indonesia dengan menciptakan sebuah superkultur metropolitan. Ada banyak persoalan realita sosial yang mampu saya tangkap di kota besar ini, mulai dari persoalan kemiskinan yang menghasilkan berbagai macam permasalahan hingga permasalahan kepadatan penduduk dan polusi udara yang kerap memusingkan kepala.


Jakarta secara sosial maupun spasial terbagi secara jelas, dengan kawasan kampung kelas bawah dicirikan oleh kepadatan penduduk yang luar biasa dan kegiatan-kegiatan sektor informal. Salah satu permasalahan penyebab hal ini adalah tingginya urbanisasi yang sering kali melanda kota ini setiap tahunnya. Jakarta bagaikan sebuah magnet yang mampu menarik setiap masyarakat yang berada di seluruh Indonesia untuk bermukim dan mengadu nasib di dalam wilayahnya.


Berdasarkan pengamatan saya, kebanyakan dari para pengadu nasib tidak memiliki kemampuan hidup apa-apa alias modal nekat. Sebagian besar dari pengadu nasib umumnya bekerja di pabrik-pabrik sebagai buruh kasar. Mereka bekerja hanya sebagai tenaga-tenaga pengganti yang suatu saat bisa di-PHK oleh majikannya. Sebagian dari buruh pabrik yang di-PHK terpaksa menganggur dan menjadi salah satu faktor pembentuk berbagai kendala sosial di Jakarta.


Salah satu kendala yang mudah kita jumpai di kota Jakarta adalah pengemis, yang biasanya sering terlihat di seputaran lampu merah. Pengemis merupakan sebuah fenomena sosial. Berdasarkan penelitian sebuah LSM di Jakarta belum lama ini, pendapatan bruto mereka antara Rp. 50.000,- s.d Rp. 100.000,-, dan uang receh yang beredar di tangan para pengemis ini hampir mencapai Rp. 1 milyar perhari.


Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengantisipasi kegiatan mengemis yang semakin marak, salah satunya adalah fatwa haram mengemis yang dikeluarkan oleh MUI Jawa Timur. Dan langkah MUI Jawa Timur ini telah mendapatkan sambutan yang positif dari MUI Pusat. Sedangkan di Jakarta sendiri sebenarnya telah lama dikeluarkan larangan untuk mengemis yang dimuat melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.


Pelarangan terhadap kegiatan mengemis bukan merupakan sebuah bentuk antipati terhadap mereka, namun apabila dibiarkan terus-menerus dan tanpa adanya tindakan pencegahan, kegiatan ini akan menjadi sebuah bibit penyakit sosial yang berakibat timbulnya penyakit malas yang menghinggapi anak bangsa.


Selama tinggal di Cakung saya akrab dengan lingkungan dan orang-orangnya. Salah satu contoh yang dapat saya deskrifsikan mengenai kehidupan pengemis adalah Paijo (35 tahun), laki-laki setengah baya yang terpaksa mengemis akibat dari PHK. Sebelumnya laki-laki asal Jawa Timur yang sering saya temui di dalam Bus Kopaja 512 jurusan Pulo Gadung ini bekerja sebagai buruh serabutan di salah satu pabrik yang berada di kawasan Cakung. Ia merantau ke Jakarta pada tahun 2000 karena tergiur atas ajakan teman satu kampungnya untuk mengadu nasib di Jakarta. Pada awalnya memang nasib berpihak pada Paijo, ia diterima bekerja dengan gaji yang cukup lumayan untuk hidup di ibu kota. Namun, semuanya pupus ketika terjadi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di pabrik tempatnya bekerja pada tahun 2005.


Saya akrab dengan dengan dia karena selalu menaiki bus tersebut. Biasanya ketika saya pulang kuliah senantiasa saya berjumpa dengan Paijo yang memang tinggal satu daerah dengan saya. Paijo biasa memulai pekerjaan mengemis pada pukul 05.30 wib dan pulang pada pukul 22.00 wib. Paijo dan kawan-kawannya biasa mengemis di daerah Pasar Senen hingga ke daerah Monas, Jakarta Pusat.


Paijo terpaksa mengemis karena sulitnya mencari pekerjaan, sebelum mengemis Paijo telah mencoba berbagai upaya dan usaha. Mulai dari berwirausaha dengan berdagang kelontongan hingga berdagang buah-buahan di Pasar Ular, Cakung. Namun, ironisnya ketika tabungannya yang dipakai untuk modal habis, ia tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, Paijo memutuskan untuk menjadi pengemis.


Menurut Paijo, tidak semua pengemis adalah korban pemutusan hubungan kerja. Ada juga diantara mereka yang memang merantau dari desa untuk menjadi pengemis karena terpaksa tidak punya pekerjaan. Paijo juga menambahkan bahwa para pengemis baru biasanya muncul pada saat menjelang bulan puasa. Biasanya pengemis-pengemis ini datang ketika puasa belum dilaksanakan. Paijo juga mengakui, bahwa pada bulan puasa hasil yang didapatkan dari mengemis lebih banyak daripada bulan-bulan biasa.


“Hasil yang didapatkan dari mengemis biasanya berkisar antara Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 50.000,-. Tergantung dari keberuntungan dan keuletan masing-masing pengemis”, ujarnya.


Selain itu, Paijo juga menuturkan bahwa daerah-daerah objek wisata merupakan lahan mengemis yang kondusif dan strategis. karena biasanya para pengunjung sangat antusias untuk memberi. Salah satu tempat lainnya yang sering dia datangi adalah masjid-masjid. Paijo mengaku bahwa umumnya jema’ah masjid legowo dalam memberikan sedekah kepada para pengemis. Akan tetapi, semenjak dikeluarkannya fatwa haram oleh MUI Jawa Timur, jema’ah masjid sudah mulai sedikit yang mau bersedekah secara langsung kepada pengemis. Mereka cenderung memberikan kepada masjid untuk langsung diberikan kepada panti asuhan atau yayasan sosial.


Mengemis jelas merupakan persoalan untung-untungan, terkadang Paijo dan teman-temannya pulang kerumah dengan tangan hampa karena hasil yang mereka dapatkan dipalak secara paksa oleh preman-preman yang biasa mangkal di terminal Pulo Gadung. Mereka biasanya meminta setoran kepada para pengemis sebagai kontribusi kawasan yang dijadikan lahan untuk mengemis. Seperti halnya Paijo, yang sering mangkal di kawasan Pasar Senen. Biasanya preman-preman inilah yang membuat sebuah pengorganisasian terhadap pengemis. Preman ini bertindak sebagai pimpinan dari pengemis yang menyediakan lahan dan pengemislah yang bertugas untuk menggarapnya.


Ketika saya bertanya mengenai apakah dirinya malu menjadi seorang pengemis, Paijo hanya menunduk seraya lirih mengatakan bahwa ia sebenarnya malu, namun tuntutan yang membuatnya berlaku seperti itu. Paijo sebenarnya ingin segera berhenti menjadi seorang pengemis. Ia malu kepada kedua orang tuanya yang berada di kampung. Akan tetapi, Paijo hanya mampu pasrah pada nasibnya. Mengemis adalah satu-satunya cara bagi Paijo dan teman-temannya untuk menyambung hidup di kota metropolitan yang kejam ini.


Paijo pastilah memiliki harapan dan cita-cita, bukan keinginan dari dirinya untuk menjadi pengemis di Jakarta. Paijo berharap suatu hari nanti ia dapat mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga ia mampu menyekolahkan kembali ketiga adiknya hingga ke jenjang sarjana.


Terlepas dari semua permasalahan di atas, tentu apabila kita semua berpikir sistematis dalam menanggapi persoalan yang dihadapi oleh Paijo. Keberadaan pengemis ini merupakan sebuah hubungan kausatif dengan kemiskinan dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia. Pemerintah sudah selayaknya melakukan penanganan serius dalam menanggapi fenomena sosial ini agar tidak terbentuknya sebuah penyakit sosial. Selain itu, peran serta institusi agama juga sangatlah penting di dalam menanamkan sugesti etos kerja di dalam kehidupan. Bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan yang berada di bawah. (*)

B-Pol

(Sebuah Kisah Petualangan Di Jakarta)

“Pemerintah, Mahasiswa, Dan Kesehatan Masyarakat”


“Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat!”. Begitulah kata-kata sebuah slogan yang tidak asing lagi di telinga kita para generasi muda. Kesehatan merupakan sebuah keabsolutan yang menjadi harapan dan tujuan setiap manusia. Bagaimana pun caranya, pasti setiap manusia menginginkan dirinya sehat. Sehat adalah harta yang tak ternilai harganya, sebab dengan kesehatanlah kita semua mampu beraktivitas dengan lancar tanpa hambatan. Sudah sepatutnya jika kita sebagai mahluk yang berpikir untuk senantiasa bersyukur terhadap karunia kesehatan yang diberikan oleh Allah SWT.


Hal inilah yang menjadi sebuah landasan seminar kesehatan pada hari Selasa, 06 April 2010 di Aula Syahida Inn UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Seminar yang dihadiri oleh Menteri Kesehatan RI, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DRPH dan dimoderatori oleh Rektor UIN Jakarta, Prof Dr. Komarudin Hidayat, dan dihadiri oleh sebagian besar mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIP) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.


Seminar yang senada dengan peringatan Hari Kesehatan Sedunia (HKS) ke-62 yang jatuh pada hari Rabu, 7 April 2010. Mengangkat tema kontemporer dan krusial mengenai “Kupas Tuntas Upaya Menciptakan Generasi Yang Sehat Dan Islami”. Di dalam seminar ini, Ibu Endang banyak berbicara mengenai berbagai upaya yang akan ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam menciptakan Indonesia sehat ke depan.


“Pemerintah memiliki visi dan misi yang harus ditempuh di dalam memanifestasikan kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Diantaranya, meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan pemberdayaan di dalam masyarakat untuk senantiasa membiasakan diri hidup sehat, serta mengajak seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk ikut serta dan berpartisipasi di dalam mewujudkan Indonesia sehat”, tutur beliau.


Beliau juga mensosialisasikan mengenai beberapa program dari pemerintah untuk senantiasa pro terhadap rakyat di dalam bidang kesehatan. Diantaranya, revitalisasi puskesmas, reformasi birokrasi yang bebas dari KKN, pemberian bantuan dalam bentuk subsidi obat-obatan, bidan siaga, desa siaga, posyandu balita dan lansia, serta pemberian Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) kepada puskesmas-puskesmas yang berada di daerah dan wilayah terpencil.


Senada dengan hal tersebut, beliau juga menambahkan adanya beberapa kendala yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Pertama, adanya disparitas sosial yang menyangkut tingkat pendidikan masyarakat di dalam menciptakan lingkungan yang sehat. Tingkat pendidikan merupakan faktor utama yang mendukung adanya upaya kesadaran di dalam masyarakat untuk hidup sehat.


Kedua, kurangnya jumlah tenaga kesehatan, khususnya di daerah-daerah terpencil. Seperti tenaga dokter spesialis, ahli farmasi, bidan, dan perawat. Beliau sangat menyayangkan akan adanya sentralisasi kesehatan yang hanya terpusat di kota-kota besar, khususnya di Pulau Jawa. Selain itu, beliau juga menghimbau kepada para calon-calon tenaga kesehatan agar mau dan ikhlas untuk menyumbangkan kemampuaannya di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia.


Ketiga, masih minimnya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan fasilitas kesehatan yang ada di daerah. Menurut beliau, masih banyak daerah-daerah tingkat II di seluruh Indonesia yang belum memiliki rumah sakit sendiri. Beliau berharap kepada pemerintah daerah setempat untuk cepat tanggap di dalam menyelesaikan permasalahan ini.


Keempat, kurangnya kepercayaan dari masyarakat terhadap tenaga kesehatan Indonesia. beliau menyatakan bahwa masih banyaknya orang Indonesia yang berobat ke luar negeri. Padahal dokter-dokter yang berada di luar negeri adalah dokter Indonesia. Harapan beliau ke depan, agar kedepan, masyarakat dapat mengubah sugesti tersebut dan mau mempercayakan pengobatan kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan yang ada di Indonesia.


Terlepas dari semua permasalahan tersebut, beliau juga menghimbau serta berharap adanya keikutsertaan rekan-rekan “Civitas Akademika” sebagai duta kesehatan di dalam masyarakat. Mahasiswa sebagai agen perubahan sosial, diharapkan mampu untuk ambil bagian di dalam upaya penciptaan “Green City”, dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan sosialisasi mengenai pentingnya upaya hidup sehat di dalam masyarakat. Selain itu, mahasiswa juga diharapkan mampu untuk ikut berpartisipasi dalam upaya “screening” tehadap penyakit-penyakit menular di dalam masyarakat. (**)



B-Pol

(Pemerhati Masalah Sosial)

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009