Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan: Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

Hidup Sebagai "Civitas Academika", Hanya Punya Dua Pilihan:  Apatis Atau Idealis Untuk Indonesia

SELAMAT DATANG DI HOME PAGE BUJANG POLITIK BERKATA


BIODATAKU

  • Nama : EKO INDRAYADI
  • TTL : Baturaja,28 Maret 1991
  • Alamat : Jalan Pesanggrahan, Ciputat-Jaksel
  • No HP : 0856692432xxx

Sendiri Kita Kaji, Berdua Kita Diskusi, Bertiga Kita Aksi

Mari kita Renungkan

Buktikan
by Iwan Fals

Kata kata berbisa
Mulut mulut berbusa
Janji janji bertebaran
Seperti biasa dari atas panggung
Atas nama bangsa

Yang mendengar terpesona
Bahkan ada yang terkesima
Aku pun tergoda
Untuk mengikuti apa yang terjadi
Apakah memang janji hanya janji

Buktikan buktikan
Itu yang di nanti nanti
Buktikan buktikan
Kalau hanya omong
Burung beo pun bisa

Kita hidup sering terancam
Tak ada jaminan keselamatan
Kamu ngomong tentang keamanan
Tapi makin banyak penggusuran

Kita hidup sering terancam
Tak ada jaminan keselamatan
Kamu ngomong tentang kemakmuran
Tapi makin banyak pengangguran

Buktikan buktikan
Itu yang di nanti nanti
Buktikan buktikan
Kalau hanya omong
Burung beo pun bisa

Kata kata berbisa
Mulut mulut berbusa
Janji janji berhamburan
Seolah olah kami ini bodoh
Tak mengerti apa apa
Seolah olah kami ini anak kecil
Yang bisa kau bohongi sesuka hatimu

Buktikan buktikan
Itu yang di nanti nanti
Buktikan buktikan
Kalau hanya omong
Burung beo pun bisa

Buktikan buktikan
Buktikan buktikan
Buktikan buktikan
Buktikan buktikan

* * *

Sebagian besar kita pasti pernah mendengar lagu ini. Sebuah lagu yang ditulis dan dinyayikan oleh sang maestro musik Indonesia, Virgiawan Listanto. Atau yang lebih populernya dikenal dengan nama Iwan Fals. Lagu ini sangat artistik, berisi berbagai macam kegundahan masyarakat yang merasa tertipu atau dibohongi oleh "pembawa amanah". Ya, semua orang pasti akan mengamini jika berbicara mengenai iklim demokrasi abal-abal di negara kita.

Pada saat masa kampanye, atu lebih tepatnya masa-masa tebar pesona. Banyak dari figur pemimpin-pemimpin kita berjanji, bersugesti, atau mungkin mengatasnamakan dirinya wakil rakyat. Suatu hal yang sangat manis, atau terkesan bikin phobia jika kita bayangkan. Seribu satu janji mulai ditebar-tebar, bermuka manis penuh keramahan.

Satu hal yang tak mampu kita bayangkan sedikit pun ketika hirarki telah mereka dapatkan. Mereka berubah seolah rahwana-rahwana yang haus akan kekuasaan. Berubah menjadi begundal-begundal pragmatis yang hedonis akan harta. Lalu, bagaimana dengan rakyat? Ya, dengan terpaksa mereka kembali disingkirkan laksana kaum pinggiran yang terbuang. Terkotomi!, atau lebih ekstremnya kita sebut "anak tiri". Namun, seiring waktu berjalan rakyat mulai menjadi hewan-hewan perkasa, laksana singa-singa di padang pasir. Mereka beringas dan tak mampu lagi dibohongi, mereka jadi liar. Tetapi terkadang, mereka diperdaya dengan "bom politik" yang bernama uang. Ironis memang, di kala kita merindukan demokrasi dengan figur-figur pemimpin yang kharismatik, kebapak-an, serta transparan, dan demokratis. Harus terperdaya karena keluguan kita. Keluguan yang telah mengaklamasikan demokrasi menjadi tirani.

Rakyat harus bangkit dan melakukan "resufling" pada diri mereka. Jangan karena uang, jangan karena diberikan sedikit sembako atau bahkan rokok kretek dan nasi bungkus untuk mengorbankan hati nurani dan suara mereka yang idah oleh kejamnya politik. Ataukah inilah pembuktian yang dikatakan oleh Machiovelli, bahwa politik tidak mengenal kawan sejati, tak mengenal lawan abadi, dan yang ada hanyalah kepentingan.

Hidup yang "gemah rifah loh jenawi" atau terkadang lebih pragmatis dengan menyebutkan "Baldatun Warrabbun Tayyibatun Ghofur", harus menjadi normatif karena tergerus oleh kepentingan politik-politik kotor yang telah menjadi momok menakutkan bagi bangsa kita sejak jaman penjajahan. Mungkin secara perlahan-lahan suasana ini akan berubah, ke arah positifkah, atau justru menjadi makin runyam di tengah kegilaan setiap indivindu untuk berebut kuasa mencari tahta.

Indonesiaku,
haruskah menjadi korban yang tak pernah terselamatkan. Setelah sekian lama proklamasi kemerdekaan diteriakkan. Setelah sekian lama kita mendengungkan kata "merdeka, merdeka, dan merdeka!". Namun rakyat masih sengsara, rakyat masih kelaparan, rakyat masih pengangguran, dan beberapa dari mereka tak mampu untuk sekolah atau bahkan punya mimpi untuk kuliah.

Keadaan yang abnormal atau seakan mengiris-ngiris hati para pejuang kita dulu. Membuat rintihan para proklamator kita. Seharusnya negeri ini jadi lebih makmur, seharusnya lebih sejahtera dengan segala macam kekayaan yang dimilikinya. Negeri yang teramat kaya ini harus terseok-seok oleh segelintir orang yang mengatasnamakan kemakmuran untuk pribadinya.

Polemik panjang akan terus terjadi apabila kita hanya mampu berkata, berretorika panjang tanpa menghasilkan apa-apa. "Talk less, do more", itulah seharusnya tindakan yang kita lakukan. Tindakan yang bukan karena adanya bayaran atau mengharapkan serupiah, dua rupiah masuk ke dalam saku baju kita. Apakah setiap orang di negeri ini harus dibayar terlebih dahulu untuk menyumbangkan ilmunya, menyumbangkan dedikasinya. Ya, kembali kepada persoalan pertama uang dan harta. Suatu siklus lingkaran setan yang sulit diputuskan.

Dan kemudian, lahirlah otonomi daerah. Sebuah desentralisasi kekuasaan yang memiliki visi mengejar ketinggalan. Sebuah refleksi dan proyeksi terhadap impelementasi kemakmuran. Sebuah indoktrinisasi yang teramat manis jika kita pahami secara normatif. Namun, setelah sekian lama terjadi. Ada berbagai macam proses tersirat di dalamnya. Otonomi daerah semakin membuka peluang KKN di ranah-ranah daerah. Radikalisasi rakyat untuk diperas dan diambil hasil buminya. Semua pemimpin memang berasal dari daerah asalnya. Namun, waktu telah membuat mutasi-mutasi yang menakutkan pada diri mereka. Mutasi yang menyebabkan munculnya para "belalang-belalang baru" yang lebih rakus daripada belalang-belalang sebelumnya. Ironis, dan sangat menyedihkan. Sekali lagi rakyat harus menanggung bebannya.

Lalu sebagai akhir, aku mengimajinasikan sesosok pemimpin yang serupa dengan Imam Mahdi yang mampu membawa kemakmuran, sesosok Gadhi yang membawa perdamaian, atau mungkin sesosok Khulafaur Rasyidin yang mengayomi rakyatnya hingga akhir hayatnya. Mungkin imajinasiku ini terlalu tinggi. Imajinasi dari seorang indivindu anggota dari beratus juta, atau bahkan lebih dari rakyat Indonesia yang merindukan sesosok pemimpin. Haruskah semua ini menjadi butiran-butiran debu yang hilang dihembus oleh angin, mimpi-mimpi indah yang tak sampai di atas negeri ini

* * *

EKO INDRAYADI
MAHASISWA FISIP Universitas Islam Negeri Jakarta dan Peneliti Sosial&Politik UIN Jakarta.
(30 Februari 2010)

Protes!!!

Lelaki itu kemabali tersenyum padaku, dengan wajah yang sudah mulai menua. Ia telah banyak berubah dipermainkan oleh masa yang datang tiada berhenti. Namun, walau deretan keriput mulai menghisasi wajahnya. Dan hampir separuh dari rambut yang dulu hitam kini mulai memutih, ia tetap sama. Ia senantiasa tersenyum ikhlas dan bersyukur atas karunia Tuhan yang dilimpahkan-Nya pada diri lelaki itu. Aku tak kuasa menahan butir-butir embun yang mulai menetes di kelopak mataku, butir-butir embun yang senantiasa mengingatkanku pada sederet perjuangan dirinya untuk menyekolahkanku di salah satu sekolah terbaik di kota kecil ini. Aku sadar, gaji dirinya yang tak lebih dari satu juta telah mengajarkan kepada diriku sebuah arti kata “jangan menyerah”.


Memang terkadang putaran nasib ini tiada adil mengais mimpi-mimpi kita. Tiada jemu merampok setiap cita-cita yang pernah kita ucapkan atau lebih pragmatisnya kita janjikan. Orang tua itu senatiasa kerja keras berpeluh lumpur di perkebunan kelapa sawit, hanya untuk dapat menyaksikan diriku bercanda ria, bergembira tiada kenal waktu menuntut ilmu di bangunan yang kuanggap neraka. Padahal, betapa mahal harga yang harus ia keluarkan, berapa butir keringat air mata yang harus ia keluarkan ketika bekerja keras untuk masa depanku. Terkadang semua itu senantiasa menjadi semacam imajinasi bisu yang muncul di dalam benakku. Ayahku, seorang lelaki kumal, berbadan kurus kering, beriringan bersama para buruh perkebunan lainnya. Mereka ternyata memiliki sebuah indoktrinisasi mulia bagi anak-anaknya. Sebut saja ayahku, seorang buruh kasar kumal yang hanya lulusan sekolah rakyat. Ia tak pernah punya mimpi untuk lebih menjadi seorang pegawai negeri rendahan yang bekerja sebagai seorang guru. Ayahku hanya bermimpi menjadi seorang guru, namun daya dan kemampuan ekonomi Kakekku berkata lain. Ayah tak mampu melanjutkan sekolah, Ia hanya mampu mengeyam pendidikan rendahan dan bergumul dengan tanah berlumpur dan bau amis keringat para proletar.

***


“Semir, Semir!!”.

Kerumunan manusia di pasar tradisional di kotaku sangatlah menyesakkan. Ini adalah sebuah amoralisasi penggambaran antara mangsa dan pemangsa. Pasar, tempat berkumpulnya semua jenis manusia. Tempat terjadilah proses jual beli. Disinilah aku dapat melihat solidaritas pergumulan semua jenis manusia. Aku menyeret langkah rapuh kakiku dengan sebuah kotak semir usang yang setia menemaniku sejak bangku sekolah dasar, aku menyeret langkahku melompati beberapa kardus kosong milik para penjual perabotan rumah tangga yang sudah menggelar dagangannya sejak dini hari tadi.


“Semir, Pak, Bu, Semir,” suaraku berteriak sumbang beradu dan membaur bersama ratusan hulu lalang manusia yang saling berhimpit-himpitan mencari sesuap nasi.


Seluruh pasar ini mengenal siap diriku. Seorang anak remaja berkalung kotak semir sejak ibuku meninggal 2 tahun yang lalu. Ibuku adalah pedagang sayuran yang meninggal karena tertabrak truk kontainer yang melarikan diri dari kejaran polisi. Sebuah realitas kehidupan yang terkadang sulit untuk kupahami. Mungkin jika tidak ada semangat, aku sudah berlarian bersama anak-anak malang lain di kota ini utuk menjadi pegawai rendahan di luar negeri.


Pukul 12.00 WIB, suara azan memanggil mendayu-dayu mengiris-iris perasaanku. Sudah dua hari ini aku tidak sholad. Ya, aku malas meminta dan beribadah pada Tuhan. Aku ingin protes pada-Nya. Aku ingin mengadukan ketidakadilan yang senantiasa diberikan-Nya. Namun, ada dorongan perasaan yang membuatku segera berlari untuk berwudu dan sholad pada hari ini. Aku kurang tau, apakah setan yang mengerjaiku telah bosan menguji imanku.


“Tidak!”, bentakku.

“Tak ada setan di dunia ini, setan adalah kemiskinan, setan adalah ketidakadilan”, Teriak batinku.

Selesai sholad aku duduk termenung di tepi beranda masjid yang sudah tampak kumal ditinggalkan oleh penghuninya. Masjid ini adalah masjid yang paling besar di kota kecilku. Masjid yang diberi hiasan ornamen mahal dan paling indah. Bangunan ini diselesaikan dengan dana yang tidak kurang dari 1 milyar. Akan tetapi, tengoklah disini. Tiada penghuni, tiada jemaah yang melaksanakan ibadah pada Tuhan, hanya beberapa orang tua yang sudah sangat renta duduk mesra berzikir dan bertafakur pada Tuhan.


Sekali lagi jiwaku berontak, “Tuhan apakah engkau tak pernah berpikir mengapa engkau begitu baik pada diri kami manusia? Kami lupa pada-Mu, kami senantiasa datang mengadu ketika diri ini dirundung masalah, didatangi berbagai ujian. Namun, apa yang terjadi ketika kami sudah mendapatkan apa yang kami mau, mendapatkan apa yang sesuai dengan nafsu dan proritas diri kami. Semua hilang, semua hampa dan kosong. Kami pergi meninggalkan-mu, kami terlena dengan nikmat dan karunia yang Engkau berikan pada kami. Tuhan, haruskah semua ini menjadi kodrat kami manusia? Hidup dengan berbagai peluang hingga pandangan untuk berubah dan berbuat sekehendak hati kami?”


Tiba-tiba aku dikejutkan oleh lengkingan orang-orang di sekelilingku. Bangunan ini bergetar. Dunia bergoyang keras, mengamuk tak terbendung oleh kami para manusia-manusia hina. Bangunan itu runtuh, satu persatu puing-puingnya ambruk menimpa tubuh kami. Mengubur diri kami dalam sebuah tanda tanya kebimbangan, kegundahan, dan protes beku kami pada ketidakadilan di dalam dunia ini.

***

Masa & Air Mata

(Ciputat,18 November 2009)

Kulalui masa . . .

Mengepung keinginan dalam pelita

Menyesak di dalam rintihan air mata

Melambai bersama angin senja

Bergerak perlahan, bebas dan bergerak

Berubah-ubah bersama sunyi

Sembilu perih menggores hati

Mendayu-dayu menjadi satu

Relakan aku membuang waktu

Kubuang sauh,

kemudi diri yang mulai lalu

Berlari setapak demi setapak hadapi hidup

Dari masa, menjadi rasa.

Rasa air mata.

OPTIMIS

(Ciputat, 4 November 2009)

Diantara sunyi,

Meniti bait-bait nada tiada henti

Berjalan jajaki setiap misteri

Dalam sanubari

Terbenam kelam

Pagi tak kembali

Rembulan berlari,

Kukejar mentari

Semua adalah pragmatis tanpa idealis

Dramatis tanpa argumentasi

Tercoret mesra pada tembok-tembok tinggi

Kukejar, kejar dan tak kan pernah henti

Kulangkah, dan pasti terlewati

Ya. . .Ya . . .Ya

Ya

Aku tulis sebuah testimoni

Antara hati nurani, konsensus-sugesti.

Ketika parade kedilan negeri.

Mati suri oleh suatu institusi.

Lembaga-lembaga rakyat.

Berkarat dan berbau lumpur akherat.

Membusuk!, berulat.

Kemanakah lagi kami harus mencari?

Keadilan!

Kesejahteraan!

Ataukah semua telah diobral?

Dimarginalkan oleh royalti dan kepentingan.

Aku bertanya,

Apakah nasib baik sudah tiada?

Diatur dan dikendalikan dengan benang-benang merah.

Terikat erat tak mampu dilepaskan.

Atau,

Nasib baik bisa diperdagangkan?

Menjadi kepingan keberuntungan,

Menggunung tersimpan,

Menggunung dipestakan.

Namun hambar.

Ya . . . Ya

Semua telah dipintal jadi satu.

Dalam jaring laba-laba setiap lembaga.

Indah, indah dan mencengangkan.

Tapi,

Mataku, mataku buta tak mampu melihat.

Sebuah bayang-bayang kabur mengkerat dan melekat erat.

Ya . . .Ya . . .Ya

Biarkan saja,

Aku

buta,

Tuli,

bisu.

Semua kau yang atur.

Untuk maju atau mundur.

Asal semua teratur.

Bagianmu bisa kuatur.

Atur, atur, atur,

Yang penting akur

Ciputat, 9 Desember 2009